Lagu itu mengalun. Ah, bukan. Bukan mengalun, tetapi mendesah. Ah bukan. Bukan mendesah, tetapi berbisik. Sebab dia tidak berdesakan memenuhi seluruh partikel udara, hanya menggantung di samping telingaku.
Ananda oleh Azam Raharjo

Tidak ada yang tahu mengapa Ananda meninggalkan orang tuanya lalu memilih hidup di jalanan. Gadis kecil 12 tahun itu mestinya berada dalam kehangatan dekapan ayah-bunda dan bergelimang suka-ceria bersama teman-temannya di sekolah.
Namun Ananda berada di sini. Di Gupon Hijau, sebuah rumah singgah yang didirikan oleh Ratna, sahabatku.

Rumah kecil berhalaman luas itu bernama Gupon Hijau. Gupon yang berarti rumah merpati dan hijau yang menunjuk warna catnya.

“Mengapa gupon? Mengapa merpati?” Tanyaku.

“Itu pilihan anak-anak sendiri. Mereka menyebut diri seperti merpati. Yang mau terbang kemana-mana untuk belajar hidup mandiri tapi juga ingin punya rumah untuk pulang kalau mereka lelah.” Jelas Ratna.

Dia ada dihadapanku. Tertawa menyeringai. Tapi aku sungguh tidak mengerti apa yang lucu baginya.

“Ada apa kamu tertawa? “

Dia tidak menjawab. Hanya tertawa.
Aku heran. Padahal setahuku dia baru saja terkena masalah, lebih tepatnya musibah.

“Apakah ada yang lucu?”

Dia semakin terbahak dengan tawanya.

Aku geram. Kenapa dia bisa begitu gembira, sedangkan suami dan anaknya sekarang entah dimana?

Aku sangat tahu. Dulu dia hidup berbahagia. Bergelimang dengan harta dan kasih sayang suaminya. Anak lelaki tunggalnya pun sudah berhasil menjadi sarjana. Namun bahagianya bersanding tipis dengan kekacauan rumah tangganya.


Pernahkah kamu merasa telah dikhianati oleh satu buah hari dalam hidupmu? Ya, aku mengatakan satu buah, kamu tidak salah dengar. Satu buah hari yang spesifik itu telah berkhianat padamu. Justru pada saat kamu sangat membutuhkan kesetiaannya, dan dia berpaling darimu.

Hari ini aku nobatkan menjadi hari pengkhianat dalam hidupku. Di saat harusnya aku bangun lebih awal untuk melaksanakan ujian akhir semesterku di kampus, dan dia berkhianat dengan membiarkan aku bangun terlambat. Di saat motor bututku harusnya bisa melesat kencang membantuku untuk sampai di kampus tepat waktu, dan dia berkhianat dengan batuk-batuk kambuhannya dan mogok di tengah jalan.

Hari ini adalah hari pengkhianat. Aku benciii sekali. Kesialan yang berawal dari bangun terlambat tadi pagi, seolah seperti efek kartu domino yang disusun dan kemudian dijatuhkan di ujung yang satu lalu merembet ke kartu-kartu berikutnya. Tanpa ampun aku dihantam kesialan demi kesialan sepanjang hari ini.

Ext. Di Awang-awang
Seorang Ayah sedang merisaukan sebuah surga. Apakah ia akan kehilangan surganya atau akankah ia kembali menemukan Surganya.
Aku kembali dalam masa beliamu
 Aku selalu merindukanmu di ruang putih
Aku raba pintu itu, namun belum pernah terbuka
Tiga hal baru di jasadku

Ilustrasi oleh Azam Raharjo
Episode 17: Trendy Trent (2)

Sabtu sore kali ini bagi Dea tidak sama dengan sore-sore lainnya. Ada sesuatu yang ia nantikan melebihi kedatangan teman-temannya yang sering melewatkan malam minggu di rumahnya. Sebelum pukul lima sang dara telah berdandan. Gaun chiffon warna kuncup lavender jatuh sempurna melingkupi pinggul, menonjolkan sisi femininnya.

“Ma, mau berangkat jam berapa?” Dea mengulang pertanyaan untuk kesekian kali. Runi mengangkat 6 jarinya, matanya tak beralih dari novel pemberian Trent. Sejak ia terima seminggu lalu novel itu belum disentuhnya. Kemarin sore ia diberi dua lagi, semuanya karya penulis yang belum pernah ia dengar namanya.

“Ma, kita mau jemput Trent atau…”

Hidup ini adalah fiksi Tuhan. Dia bebas menentukan tokoh dalam cerita yang akan dibuatNya. Bebas menentukan jalan cerita si tokoh yang dipilihNya. Dan bebas pula menentukan nasib si tokoh dan akhir cerita itu.

Saya suka bermain di ranah fiksi, karena saya merasa menjadi 'tuhan' dalam tulisan saya. Kuasa yang tergenggam dalam tangan saya adalah tenaga penuh dalam mencurahkan kreativitas berpikir. Tak ada yang bisa menghalangi saya dalam memutar balik cerita bahkan menjungkirbalikkan tokoh-tokoh dalam cerita fiksi saya. Semua terserah saya, si 'tuhan' dalam fiksi saya. Luar biasa rasanya.

Walaupun begitu, menulis fiksi bukan berarti bebas tanpa hambatan seperti jalan tol. Duh, bahkan jalan tol pun tak luput dari kemacetan juga toh? Ada beberapa masa manakala saya menuliskan kisah fiksi lalu saya merasa terblokir dalam pikiran. Hey, habis ini mau kemana lagi, ya? Bingung sendiri. Walaupun fiksi bergantung sangat kepada khayalan 'tuhannya' namun berkhayal bukan berarti tak bermodal.
 "Kamu yakin nih mau ke pesta itu? Duh, males beneeeerrrr...," Lidia menggerutu seraya tangannya mengibas-ngibaskan sepucuk kertas di tangannya. Ia mendongak dan mendapati temannya sedang tersenyum-senyum entah pada siapa. Lidia berhenti mengipaskan kertas tersebut dan menepuk lengan Intan saat itu juga. Yang ditepuk langsung buyar lamunannya dan dengan wajah bingung bertanya mengapa Lidia segalak itu padanya.



gambar diunduh dari sini


At first I was afraid
I was petrified
I kept thinking
I could never live without you by my side

Hujan mulai reda. Sisa titik-titik air masih menggaris di langit, menyisakan sedikit gerimis. Kutengadahkan tangan kiri ke atas, seperti hendak menakar takdir hujan di sore yang abu-abu ini. Barisan panjang jalan di hadapanku mulai bergerak. Sketsa perjalanan yang masih berputaran, tentang antara menuju dan yang tersendat di sela-sela.

Gambar diambil sini
Perkenalkan namaku, ahh, tunggu, lebih baik aku tidak memberitahumu namaku, karena siapa tau beberapa tahun dari sekarang, apa yang aku tulis ini mungkin saja mendatangkan kesulitan bagiku, jadi lebih baik apabila aku tetap anonim, seseorang yang mungkin kamu kenal, mungkin juga tidak.

Aku bisa jadi temanmu di bangku sekolah menengah sekian belasan tahun silam. Kamu ingat, teman sebangku yang suka kamu jahili ketika sedang berusaha konsentrasi akan apa yang diajarkan guru namun kamu selalu menganggu dan akhirnya membuatku dihukum harus ikut kelas tambahan sepulang sekolah padahal perutku telah keroncongan tapi terpaksa masih harus tinggal satu jam lebih lama setelah bel sekolah berbunyi. Kalau kamu mau tahu, oh kamu tidak mau tahu sekalipun akan tetap aku memberitahukannya kepadamu, kamu adalah  salah satu alasan mengapa dulu aku begitu benci pergi ke sekolah!


gadis itu mengenakan bunga rumput di kepalanya, atau lebih tepatnya disela-sela rambutnya yang ikal dan menari-nari cantik dimainkan angin sore. dia. adalah dia. yang selalu aku kenal-kekal dalam sepanjang waktu-waktu yang sama-sama kami lewati. tidak lebih, tidak kurang. selalu masih dikisaran yang sama 24 jam, 1440 menit, 86400 detik jarak hitungnya yang sama dengan satu putaran hari.
Episode 16: Trendy Trent (1)

Sepasang mata sipit Dea membelalak. Ia baru mendengar suara Trent Martin, belum pernah melihat fotonya. Ia tahu mamanya menyimpan beberapa foto lelaki Australia itu. Namun ia selalu lupa mengintipnya.

“Wow! Keren!” Seru Dea menahan nafas. Matanya terpaku pada foto-foto di layar laptop ibunya. “Wow! Trendy!” lanjutnya masih dengan sepasang mata membelalak. “Kayaknya nggak pas buat Mama…” setengah berbisik Dea menoleh, mengamati ibunya.

“Maksudmu?” Ganti mata Runi yang membulat.

“Yaaa… Mama keren juga. Trendy juga. Cuma tetep biasa-biasa aja, nggak segitunya. Si Trent ini… bedaaa… Coba dia jalan di catwalk, nggak ada yang ngira kalau dia bukan model!”


Siapa yang tidak kenal  Rinta? Sudah pintar, cantik, punya karir yang bagus, kaya pula. Penampilan dan pembawaanya selalu menghipnotis siapa saja untuk mendecak kagum. Sosok yang sempurna, ramah, baik hati dan tidak sombong. Tidak sombong? Entahlah. Yang sering kudengar adalah ia selalu berbiacara mengenai dirinya, keakuannya yang penuh bla bla bla dan serba blab la bla.

Sebagai teman dekat, bahkan untuk iripun aku tidak mampu. Dengan segala kelebihannya, maka keadaan kami seperti langit dan bumi. Jauh dari mirip. Dia punya segala hal yang digilai tiap orang. Sedangkan aku, sebelah matapun tidak ada yang melirik. Kalau sampai saat ini kami masih berteman, itu hanya karena masa lalu saja.

6 bulan setelah pencarian. Di depan gedung perkantoran.

Wanita berusia 26 tahun itu sekali lagi melihat  foto yang ada di tangannya dan membandingkan dengan wajah pria yang berdiri sejajar darinya. Persis sekali. Bentuk hidungnya, warna rambutnya, tinggi badannya, warna matanya, dan kira-kira sesuai-berat badannya dengan data profil-yang wanita itu miliki. “Dia pasti orangnya,” ucap wanita itu kegirangan. “Semoga aku tidak salah sekarang dan jangan sampai salah lagi dan tak mau terus-terusan salah orang,” katanya mencandai dirinya sendiri.
 "Sedang nonton film apa nih sekarang?"

Meli menengok kepada temannya, Felicia yang baru saja melontarkan pertanyaan tersebut. Felicia terlihat sedang bosan, padahal mereka baru saja keluar dari teater usai menonton film drama bersama. Yah, tidak bisa disalahkan juga karena dia sendiri pun nyaris tertidur di dalam ruangan ber AC tersebut.

"Mau mampir sebentar ke kost gue? Elo cari sendiri deh film seri yang mau ditonton," Meli menawarkan hal tersebut pada Felicia.


picture is taken from here

Senyum itu, peri-peri kecilku, adalah sinar mentari pagi yang kau bawa bersama ransel di punggungmu. Senyum yang sama, peri-peri kecilku, yang menyalakan impian dan membukukan kejujuran. Di setiap langkah kecilmu, ada nyanyian yang kau senandungkan dengan riang gembira. Kau, peri-peri kecilku yang menggambar langitku dengan lengkung pelangi, tarian bidadari, pun badai dan rinai, dengan segenap semesta cinta..

1. Michael Smiles
You see, Ms?
The aeroplanes. balloons. helicopters and harry potters. blue clouds. white clouds. fallen leaves.

You see, Michael?
You’re smiling!


2. Mata Fiona
Mata Fiona adalah embun
Mata Fiona adalah telaga
Mata Fiona adalah kaca yang meniru
Mata Fiona adalah tempat peri-peri dan putri duyung berbagi rahasia
sttt..


3. Meets Abi: Your Next super Hero
eng ing eng..
Abi akan menyelamatkan dunia
Sebab Abi kini sudah besar
dan Abi tidak boleh menangis lagi, kan?
Sekarang Abi tidak pernah lupa bilang ‘terima kasih’
Sebuah pelukan di pagi hari dan sesudahnya

eng ing eng..
Maka Abi siap menyelamatkan dunia!

Empat Perempuan oleh Azam Raharjo

Episode 15: Jeng Sekar

“Eyaaang…!!!” Jerit Dahlia mengungguli gemericik air kran dan denting alat-alat makan yang tengah dicuci Runi dan Iroh di dapur. Disusul suara sendal yang diseret oleh dua kaki kurusnya.

“Deaaa…” Ganti suara Eyang menegur cucunya yang selalu lupa perintahnya untuk tidak berjalan menyeret sendal, sebab itu tidak sopan.

“Ini nih… ada yang nanyain Eyang…” Derai tawa Dea terdengar hingga ke dapur, meledek sang nenek. “Ini nih… nggak tahu siapa. Ada yg kirim message. Foto profilnya burung perkutut, namanya Sentot Borot… iiihhh… namanya… amit-amit!” Dea terkikik.

"Apalagi yang bakalan terjadi?" Kasenda berkata dengan suara keras. "Akan muncul di mana lagi aku kali ini?" Gerutunya.

"Astaga! Kasenda!" Seorang wanita dewasa muncul dihadapan Kasenda. Wajahnya nampak kesal sekali.

Kasenda menggoyangkan kepalanya yang terasa agak pusing, lalu melihat ke sekelilingnya.Ia berada di dalam sebuah ruangan yang serba pink.Cahaya matahari nampak jatuh dengan meriahnya dari jendela-jendela besar di ruangan itu. Bau harum sesuatu membuatnya sadar ia sedang kelaparan. Perutnya langsung berkriuk agak keras.
"Selamat pagi, Jema. Kenapa pagi ini tak kulihat sapaanmu seperti biasa? Biasanya kau mulai hari dengan menyapa seluruh dunia dengan kalimat sapaan andalanmu itu. 'Good morning, guys! Have a nice day! Mudah-mudahan gak kena macet hari ini.’ Atau kadang kau menyapa dengan kata-kata penuh nasehat seperti, 'Pagi semuanyaaa!!! Semoga hari ini lebih baik daripada kemarin.’ Tapi hari ini kamu kenapa, Jema? Jemu?"

"Nggak apa-apa!" jawabmu singkat.

"Ah, nggak mungkin! Kamu nggak mungkin melewatkan kesempatan menyapa semua orang, kecuali kalau ada sesuatu yang sangat penting. Jema gitu, lho!"

"Lagi males aja!" jawabmu singkat lagi.
*the three angels are about sprinkling their magic wands on you*
picture is taken from here
Thu 28/4 (1:48 pm)

Angel 1 : I'm the Angel of Peace and I'm so concern with the neverending unpeacefulness in the place where you live. When are you people gonna realize that being different is not a sin! You're different one another but even in your differences, you might be surprised to find that beneath them all, you're not that different at all! Therefore.. I'm gonna lift what has been covering your eyes all these times so hopefully you might be able to see clearly and start living in peace one another.

*waving her wand to the people on Earth*


"Pi, bangun." Tubuh laki-laki itu diguncang. Ia membuka mata dengan malas dan nampak agak terkejut.
"Jam berapa sekarang?" Gumamnya sambil beranjak dari posisi berbaring.
"Sudah jam enam. Air hangat sudah saya siapkan. Handuk saya gantung di pintu kamar mandi. Hari ini pakai safari yang biru saja ya?"

Aku duduk di luar gerbang kedatangan internasional. Kutengok arloji untuk kesekian kali. Duapuluh menit lagi pesawat dari Kuala Lumpur mendarat. Mataku menatap kosong pada orang-orang yang lalu-lalang di Bandara Adisucipto. Inilah tempat perjumpaan diakhiri dan perpisahan diawali; atau sebaliknya. Ada tawa tergelak mesra menyambut sang kekasih yang baru tiba. Ada seorang anak menangis tak rela berpisah dengan sang ayah. Ada airmata buaya yang menetes agar dikira melepas pergi dengan berat hati. Ada duka bersembunyi di balik kacamata hitam dan senyum yang dipaksa mengembang. Tempat ini bagai panggung yang mementaskan aneka sandiwara.

Kepadanya aku berjanji, bahwa sewindupun akan kunanti. Meski  tiap detiknya terasa tertatih, ada gumpalan asa yang menebal, menggelembung dan terbang melayang.
“Aku harus pergi, walau kaki tak ingin melangkah. Tugas membawaku merentang jarak denganmu. Tapi kuyakin, jarak menjadikan rinduku semakin besar padamu. Tunggu aku, dengan rindumu.”

Itu pesan yang kau sampaikan lewat surat, ya, surat, tertulis dalam lembarannya berwarna kuning gading. Dan sejak saat itu, menantimu adalah sebuah keharusan. Bukan ikatan, tapi kenyataan bahwa apa yang menjadi harapan terkadang menjadi pengikat rasa.

Lembaran awal penantian masih tak berbilang duka. Pagi masih selalu hangat, walau semburat embun terlihat mengasap. Pada tiap bulirnya kutitipkan secercah senyum, masa itu akan datang. seiring dengan embun yang menguap.

Iroh oleh Azam Raharjo
Episode 14: Menjadi Seperti

Aroma timun menguar segar dari rambut Iroh yang terurai menutupi punggungnya. Sayangnya, wajahnya berselaput kabut. Sambil duduk di depan Runi, matanya memandangi saja kaki majikannya. Sesekali tangannya menyibakkan rambut yang jatuh menyentuh pipinya.

“Rambutmu indah, Roh,” Runi berusaha membuka percakapan seraya menghalau kabut di mata Iroh. “Cuma perlu dirapikan sedikit ujung-ujungnya.”

Masih dengan mata ke bawah, tangan Iroh menarik seikal rambut yang tergerai di lengan kiri, jarinya menyentuh ujung-ujungnya, “Biar nanti dirapikan Non Dea aja.” Akhirnya Iroh membuka mulutnya.

Masih teringat jelas. Guratan senyum di wajah tampan Risman. Tutur kata yang menyejukan hati. Sendau gurau yang menyenangkan. Kecupan manis yang menggelora. Senja dikala itu, Risman mengajakku ke pantai yang tak berpenghuni, hanya 2 manusia, aku dan Risman. Langit penuh biru dan awan penuh putih. Burung-burung Elang terbang tinggi lalu bertengger di puncak karang berusia ratusan tahun. Nyiur daun kelapa melambai bersama tiupan angin. Ombak-ombak bergulung berlari kecil membasahi sepasang kaki milkiku dan Risman. Risman melihat satu buah kelapa jatuh dari induknya. Segera kami pun menghampirinya. Dengan sekuat tenaga dalam Risman membuka kelopak buah itu dan berdua kami meminumnya di atas hamparan butir-butir pasir.

"Miriam, kamu kenapa sih? Sepertinya sedang tidak konsentrasi hari ini?"

Wanita yang dipanggil Miriam itu mendongak dan mendapati para wanita yang ada di hadapannya tengah memandanginya. Ia menghela napas dan menyandarkan tubuhnya di sofa empuk milik sang pemilik rumah, Cindy. Apakah aku harus menceritakannya pada mereka, Miriam bertanya-tanya dalam hati. Dirasakannya tatapan ingin tahu dari para wanita yang sekarang menghentikan kegiatan mereka dan memandanginya. Aku tidak ingin menceritakan pada mereka, karena aku malu dan malu..., ia mengeluh dalam hati. Tapi jika aku tidak bercerita rasanya aku bisa gila! Aku sungguh sudah tidak tahan lagi...