Empat Perempuan

Ilustrasi oleh Azam Raharjo
Episode 17: Trendy Trent (2)

Sabtu sore kali ini bagi Dea tidak sama dengan sore-sore lainnya. Ada sesuatu yang ia nantikan melebihi kedatangan teman-temannya yang sering melewatkan malam minggu di rumahnya. Sebelum pukul lima sang dara telah berdandan. Gaun chiffon warna kuncup lavender jatuh sempurna melingkupi pinggul, menonjolkan sisi femininnya.

“Ma, mau berangkat jam berapa?” Dea mengulang pertanyaan untuk kesekian kali. Runi mengangkat 6 jarinya, matanya tak beralih dari novel pemberian Trent. Sejak ia terima seminggu lalu novel itu belum disentuhnya. Kemarin sore ia diberi dua lagi, semuanya karya penulis yang belum pernah ia dengar namanya.

“Ma, kita mau jemput Trent atau…”

“Ya. Kita jemput dia dulu,” sahut Runi, “Coba kamu lakukan sesuatu, telpon temenmu, update status FB-mu atau apa… jangan bengong aja.” Mata Runi masih tak lepas dari novelnya. Ia tahu anak gadisnya tak mau menunggu lebih lama untuk bertemu Trent. Runi tidak heran. Lelaki Australia itu memang pandai membuat perempuan merasa nyaman berada di dekatnya, tak pandang usia. Runi bahkan yakin ibunya pun akan terpikat dalam waktu singkat.

Dea beranjak dari sofa. Bibirnya terkatup, mencegah rasa jengkel keluar lewat kata-kata. Bila menunggu, seperti ada sesuatu menyumbat otaknya hingga ia tak mampu berpikir selain menghitung waktu. Trent menurutnya bukan hanya tampan. Waktu bagai terbang bila ngobrol dengannya. Ia bisa bicara apa saja, bahkan film dan bintang-bintang muda Korea ia hapal. Ia juga pendengar yang bisa membuat lawan bicaranya merasa istimewa. Matanya akan menatap lurus lawan bicaranya, sesekali mengangguk-anggukkan kepala, tidak menyela. Meskipun baru bertemu, Dea seperti sudah kenal lama. Karakter yang tidak ia dapati pada teman-teman cowok sebayanya.

Runi sepenuhnya memahami kecenderungan Dea menyukai lelaki yang jauh lebih dewasa. Bila perempuan yang baru bisa terlelap menjelang tengah malam itu terbangun dari tidurnya, ia sering masuk ke kamar anaknya, memandangi raut wajahnya yang belum terbentuk sempurna itu sambil berdoa untuk keselamatannya. Sepeninggal suaminya, Runi menyadari karakter maskulinnya menjadi lebih terasah. Namun tak jarang ia merasa gagal menjalankan peran seorang ayah untuk anaknya.

“Kita berangkat aja sekarang.” Runi menutup novelnya. Tak tahan melihat Dea mondar-mandir di depan meja kerjanya. “Kalau Trent belum siap kita bisa duduk di lobi, di coffee shop. Lumpia dan kroketnya enak. Ada gelato juga.”

Rindik asu digitik, Dea berlari keluar membuka pagar.

***

Malam minggu itu bulan dan gemintang enggan menampakkan diri. Langit jadi sedikit lebih kelam dari sepasang mata Dea. Runi sudah memperkirakan sikap anaknya akan berubah seperti itu. Cepat atau lambat remaja itu akan tahu. Runi melintasi area parkir menuju mobil sambil menggandeng erat-erat tangan anaknya. Ia siap mendekap tubuh tinggi kurus itu bila sewaktu-waktu tangisnya pecah.

Beberapa jam lalu bisa saja Runi meminta Trent tidak berpelukan dan berciuman dengan sang seniman itu di depan anaknya. Namun Runi merasa tidak punya hak untuk mengatur perilaku mereka. Ia juga tahu Trent sudah beberapa bulan terpisah dari Kukilo, begitu bertemu mereka tak mau berpikir panjang untuk melepas kerinduan.

“Maafin Mama, Sayang,” ucap Runi lembut, memeluk pundak anaknya saat mereka sudah di dalam mobil. Seusai pembukaan pameran, Trent menemani Kukilo pergi bersama teman-teman seniman lain. Trent meminta mereka bergabung, namun Dea menggelengkan kepala sambil membuang muka. Lelaki itu bermandi bahagia bertemu kekasihnya hingga tidak menyadari apa yang terjadi pada anak sahabatnya.

“Harusnya Mama ngasih tahu!” Tangis menggetarkan suaranya. “Dea kira Trent itu pacar Mama!”

“Mama tidak tahu harus mulai dari mana.” Tubuh Runi condong ke kiri, mempererat pelukannya. “Trent banyak membantu Mama menjalani hari-hari sulit setelah papamu meninggal.” Runi berusaha keras agar tidak larut dalam suasana yang menekan itu. “Mama tahu dia gay sejak masih di Australi.” Runi mengulurkan tangan kanannya, membelai wajah Dea. Tubuh gadis itu kaku. “Dia sahabat sejati. Dia mendengarkan semua keluhan Mama. Semuanya…” Runi berhenti. Ia ingin bercerita pada anaknya kalau Trent mampu memberinya rasa aman. Ia gay, namun ia tetap lelaki. Justru karena ia gay, Runi menjadi lebih bebas dan nyaman berbagi beban hidup. Runi bisa mencintainya tanpa kuatir muncul hasrat di antara mereka. Runi bisa memiliki lelaki tanpa harus kehilangan suaminya. Namun Runi tidak akan bercerita saat ini.

Runi membiarkan Dea terisak. Ia tahu anaknya sangat kecewa justru karena diamnya. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan kecuali meminta maaf.

“Maafkan Mama,” ucap Runi sekali lagi, “Kita sering melihat orang dengan cara seperti yang kita maui, bukan melihat mereka seperti adanya. Lihatlah Trent seperti adanya dia, kamu pasti tidak akan kecewa. Dia tetap orang yang sama. Lelaki tampan dan trendy. Lelaki baik hati dan teman bicara yang bisa dipercaya.” Runi melepaskan pelukannya ketika otot-otot tubuh anak itu mulai mengendur. “Kita pulang, ya.”

Mobil yang dikendarai Runi pelan-pelan bergabung dengan lalu lintas Sabtu malam yang masih mengular selepas pukul 10. Sesekali perempuan itu menoleh ke kiri. Separuh beban hatinya terangkat saat tangan Dea meraih sekeping CD, memasukkannya ke dalam CD player, lalu memilih track lagu. Runi menghela nafas bersamaan dengan suara ABBA melantunkan The Winner Takes It All. Ia tak ingin tahu mengapa Dea memilih lagu itu.

***

Penuh percaya diri dewi pagi menyingkap tabir malam, memberi jalan pada sang matahari keluar dari persembunyiannya di belahan bumi utara untuk menampakkan wajahnya di cakrawala Jogja.

Runi terlambat membuka mata. Ibunya sengaja tidak membangunkannya karena tahu semalam anaknya kelisikan hingga menjelang subuh.

“Sarapannya sudah dingin,” ucap Ibu, menguak pintu kamar Runi yang setengah terbuka, “tapi Iroh bisa menghangatkan lagi.”

Runi maupun ibunya sama-sama tahu, basa-basi itu sungguh tidak perlu, karena Runi setiap pagi memanasi sendiri sarapannya, tinggal memasukkan ke microwave. Namun Runi mengerti pagi ini ibunya ingin menunjukkan perhatian lebih. Bukan sarapan itu yang ingin ia hangatkan, melainkan perasaan anaknya.

Lenggah, Bu…”

Ibu melangkah ke dalam kamar, duduk di satu-satunya kursi di sudut ruang, di sebelah meja rias. “Ada yang perlu dibicarakan?” Ibunya tidak mau memperpanjang basa-basi. Runi jarang sekali secara khusus memintanya duduk di dalam kamar.

“Ini soal Trent, Bu.”

“Oh!” Sejak kemarin ia sudah siap mendengar kabar kalau anak sulungnya itu berniat mengakhiri masa menjanda.

“Bukan… bukan soal saya dan Trent.” Runi bisa membaca arti ‘oh’ yang keluar dari mulut bundanya.

“Oh?” Kuatnya rasa ingin tahu tersorot dari kilauan matanya.

“Trent… Dia gay…”

“Oh…” Kilauan mata perempuan itu seperti api lilin yang berangsur-angsur mengecil terhembus angin. Caranya mengucapkan ‘oh’ kali ini mewakili kekecewaan hatinya. Bukan lantaran Trent seorang gay, namun karena ia telah salah mengira; mengharapkan sesuatu yang sangat berbeda. Runi rupanya masih belum mau membuka pintu hati untuk lelaki. “Kalau begitu, Ibu selama ini salah mengerti.”

Runi mendengus. Kebiasaannya bila gagal menemukan kata-kata untuk mewakili perasaan atau pikirannya. “Maafkan aku, Bu,” ucap Runi pelan. Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya. Sehabis melipat selimut, Runi mendekati ibunya, mengelus punggungnya lalu melangkah keluar kamar.

“Seniman itu pacarnya? Siapa namanya?” Ibu mengatupkan matanya di belakang punggung Runi.

“Kukilo.”

“Ah… burung…” Ibu tertawa, berusaha melupakan kegalauannya.

Sekali lagi Runi mendengus. Dalam sehari ia telah mengecewakan dua perempuan yang paling ia kasihi di dunia, ibu dan anaknya. Kadar cinta seseorang bisa diukur dari sikapnya saat orang tercinta mengecewakannya. Runi yakin, rasa kecewa mereka tidak akan mengendap lama, apalagi bila malam nanti Trent datang ke rumah untuk makan malam. Selain tampan dan trendy lelaki itu ahli mengambil hati para perempuan yang ia kasihi.

***


Catatan:
Rindik asu digitik: anjing yang dipukul berlari lebih lambat, istilah untuk melukiskan kecepatan (lari).
Kelisikan: bergerak-gerak karena gelisah atau tidak nyaman.
Lenggah: duduk (Jawa halus)

6 comments:

  1. yang dikecewakan Runi bukan hanya Dea dan Ibu, tetapi juga saya *sigh*

    kenapa sih laki-laki keren, yang mengerti perempuan (baca: sempurna) itu harus gay?

    *cari pohon dan berencana menangis meraung-raung*

    ReplyDelete
  2. Wakakakaaa... malah ngakak dengan pertanyaan Meli, brarti kalau perempuan ingin menikah dengan laki2 sempurna yg mengerti perempuan, nikah aja sama laki2 yg gay ya, nyahahaha.... Yuuuk mareee...

    OK OK, pesannya Trent "berbeda" nyampe dengan selamat sentausa mbak Endah, yaiiiiy! Mbak Endah sudah sukses "breaking the vicious circle of you know what"-lah, hahaha... *menunggu saya sendiri bisa "breaking my own vicious circle of you know what"-lah, kekekeke....

    *salaman mbak Endah* Bravo.

    ReplyDelete
  3. @Meli: mungkin krn gay punya unsur feminin lbh kuat yaaa... hiks... semua perempuan juga pd bilang begitu, gay lbh ngerti perempuan drpd lelaki tulen (yg kayak apa, ya? pake bahan organik apa ya? wuahahahahaaaa)

    @G: yihaaaaaaa... bener itu, ide brilian, nikah, punya anak, terus udah hidup bersama masing2 cari pasangan baru, pasti seru... *evil face*

    Dengan menyabarkan diri menunggu giliran G memecahkan circle-nya... :-)

    ReplyDelete
  4. Hiks... aku mendapat sesuatu yang banget di sini... Makasih Mbak Endah, sesuatu benget.. sungguh...

    ReplyDelete
  5. Duh sayang..lagi-lagi napa harus gay?...huuh pria tampan banyakan gay kali ya sekrang ini...ah kesel ahh...jangan gay dunk Trent-nya..hihihi...protes..protes...

    ReplyDelete