Hai Fictionholics, piye kabare? 

Sudah lama sekali rasanya blog ini tidak diisi artikel-artikel baru seputar penulisan fiksi. Sekarang, saya hadir di sini, solo karir mengelola Kampung Fiksi kesayangan untuk bulan-bulan dan tahun-tahun ke depan. Semoga saya bisa rutin mengisi blog ini ya (mohon doa restu).

Seperti yang sudah Fictionholics lihat, tampilan blog jadi berubah lebih personal, alias sama dengan blog khusus curhatan saya yang satunya lagi. Sengaja saya buat demikian supaya saya merasa di rumah sendiri. Singkatnya, blog ini menjadi blog Kampung Fiksi ala G, semoga tetap bermanfaat baik bagi penulis fiksi maupun pembaca fiksi.

Saya berencana untuk mengisi blog ini paling tidak satu mingu satu kali, syukur-syukur bisa lebih banyak lagi. Tentunya dengan artikel-artikel yang saya nilai bermanfaat bagi penulis-penulis pemula yang masih mencari referensi-referensi untuk melengkapi kemampuannya menciptakan dan mengedit sebuah cerita. Saya juga kepingin membawa gosip-gosip yang menarik seputaran dunia fiksi tentunya ke dalam blog ini, selain ulasan novel dan film.

Demikian pemberitahuan tentang perubahan yang terjadi di Kampung Fiksi sejak tahun 2017 dan hal-hal lain seputaran pemidahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Sampai bertemu di artikel-artikel selanjutnya!




Judul: Mencintai Malam Yang Malang
Penerbit: Monday Flash Fiction melalui Stiletto Indie Book
Penulis: Anindita Hendra, ChocoVanila, Danis Syamra, Dian Farida Ismayama, Edmalia Rohmani, Erlinda SW, Indah Lestari, Istiadzah Rohyati, Putri Widi Saraswati, Rinrin Indrianie.

Ketika membuka buku ini pertama kali, saya tidak dapat langsung membaca cerita-cerita di dalamnya, karena merasa tertarik untuk melihat ilustrasi-ilustrasi yang ada di dalam buku ini terlebih dulu. Ilustrasi muncul sebagai halaman pembuka dan penutup sebuah cerita, dan beberapa diantaranya digambar oleh para penulis ceritanya sendiri. Diam-diam saya merasa kagum dengan kreativitas tim penyusun buku. Apalagi saat membaca satu persatu flash fiction, bahasanya rapi dan cerita-cerita di dalamnya seperti secangkir kopi pahit panas dan kental yang gurih, memikat dan mengalir lancar.


Kopi pahit?

Ya, Mencintai Malam Yang Malang, yang diambil dari judul cerita pendek tulisan Anindita Hendra, memang bukan kumpulan cerita buat mereka yang berhati lemah atau ingin membaca cerita yang melegakan dan menyenangkan hati. Cerita-cerita pendek di dalam kumpulan flash fiction ini, kebanyakan menyajikan sisi muram dan kelam dari sebuah situasi dan reaksi manusia ketika ditempatkan pada posisi yang tak mudah. Penulis-penulisnya tanpa ampun mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang dapat terjadi dan menjadikan mimpi buruk sebagai kenyataan. Bahkan dalam beberapa cerita, tanpa kejutan di akhir cerita pun saya sudah bertanya-tanya, 'ada lagi kejadian yang bisa lebih buruk dari ini?' 

Kopi pahit, kalau sudah dingin atau encer, pastinya nggak enak kan? 

Kumpulan cerita di dalam buku ini, jelas tidak dingin dan tidak encer. Kenapa saya tulis sebagai panas dan kental? Sebab penulis-penulisnya menyajikan informasi-informasi baru (setidaknya bagi saya) sehingga selesai membaca saya jadi tahu ada ritual mengerikan yang harus dialami oleh seorang perempuan muda yang akan menikah dengan pemuda dari suku lain di sebuah tempat di ujung timur Indonesia, misalnya. Catatan-catatan kaki yang disajikan di akhir cerita, menjelaskan informasi-informasi yang dimasukkan ke dalam cerita dan tidak mengganggu jalan cerita, bahkan menjadikannya gurih dan menarik, karena ada referensi bagaimana pengarang terinspirasi oleh potongan-potongan informasi dan meraciknya menjadi cerita yang menarik untuk dibaca.

Lalu, cerita-cerita apa saja yang menjadi favorit saya? Saya sering lho 'dituduh' feminis, mungkin karena itu cerita favorit saya dalam buku ini adalah Pleidoi Untuk Durga, yang ditulis dengan apik oleh Putri Widi Saraswati. Metafora dalam cerita ini, dapat kita temukan di banyak berita tentang para TKW Indonesia yang dianiaya di tempat mereka bekerja lalu harus menghadapi kenyataan pahit lagi ketika pulang ke tanah air. Nah, ketidakadilan terhadap perempuan, digugat melalui tulisan ini. Yang lebih menarik lagi adalah bagaimana Durga memilih untuk melawan, ketika satu-satunya yang masih dimilikinya hanya harga diri, dan itu dipertahankannya (iya, saya baca informasi ini pada bagian catatan, dan melengkapi kesan saya secara keseluruhan terhadap cerita ini.).

Tentu saja, masih banyak sekali cerita-cerita menarik di dalam buku ini yang tidak saya bahas satu-persatu, misalnya Sepucuk Surat Untuk Putraku, tulisan Edmalia Rohani, di bab Science Fiction, saya ikut larut dalam 'petualangan' si ayah, dan pertanyaan si ibu yang ini, 'Jika bumi kita, seluruh atmosfer, semua benda hidup dan mati, termasuk kita, terdiri dari atom, apa yang mencegah atom-atom itu melakukan reaksi nuklir, yang dapat terjadi kapan saja dan di mana saja?' Itu daleeem ya... dan menarik untuk dipikirkan bahkan setelah buku ini selesai dibaca.

Sepertinya, satu lagi nih, catatan saya, khusus buat RedCarra alias Carolina Ratri, ada bagusnya kalau mulai dipikirkan membuat artikel atau sekalian workshop untuk memberikan informasi bagaimana menerbitkan buku sendiri atau terbit indie, sebab buku ini bagi saya adalah contoh sebuah buku indie yang dieksekusi dengan sangat-sangat baik. 
Sumber Gambar: The Tinderbox at The Charing Cross Theater
Kotak Korek Api atau The Tinder Box, adalah salah satu dongeng Hans Christian Andersen yang paling awal. Diadaptasinya dari cerita rakyat yang beredar dengan beberapa versi di Eropa pada saat itu. Bila sudah membaca dongeng minggu lalu,  The Blue Light, maka dapat dilihat dengan jelas kesamaannya dan perbedaannya.

Yuk kita lihat beberapa perbedaan dan kesamaan serta bagaimana secara kreatif Andersen membuat dongeng ini terasa lebih humoris dibandingkan dengan cerita rakyat yang dikoleksi oleh Grimm Bersaudara.

Silahkan dibaca dulu dongengnya, sedangkan pembahasan singkat selanjutnya ada di bagian akhir tulisan ini.


The Tinderbox (Kotak Korek Api)

Seorang serdadu berbaris di jalan raya: kiri, kanan! kiri, kanan! Dia memanggul ransel di punggungnya dan pedang di pinggangnya, karena selama ini ia pergi berperang dan sekarang dia sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan penyihir tua--mukanya sangat jelek, bibir bawahnya tergantung sampai ke dadanya. Penyihir menyapanya: 'Selamat malam, serdadu! Bagus sekali pedangmu dan besar sekali ranselmu, kamu benar-benar seorang serdadu sejati. Dan kini, kamu akan memiliki uang sebanyak yang kamu inginkan!'

'Terima kasih ibu penyihir tua!' kata serdadu.

'Bisakah kamu melihat pohon besar itu?' penyihir berkata, menunjuk ke arah pohon yang berada di samping jalan dekat mereka berdiri. 'Pohon ini dalamnya kosong sama sekali. Kamu harus memanjat sampai ke puncaknya dan dari sana kamu bisa melihat sebuah lubang yang bisa kamu masuki hingga jauh ke dasar pohon! Aku akan mengikatkan tali ke pinggangmu, supaya nanti aku bisa mengerekmu kembali ke atas ketika kamu memanggilku!'

'Apa yang harus aku lakukan di bawah sana?' Tanya serdadu.

'Mengambil uang!' kata penyihir, 'saat kamu mendarat di dasar pohon, kamu akan berada di sebuah aula yang sangat besar dan terang benderang, karena lebih dari seratus lampu meneranginya. Lalu, kamu akan melihat ada tiga buah pintu, kamu bisa membukanya, anak kunci ada pada lubang kunci. Saat kamu memasuki pintu pertama kamu akan melihat ada sebuah kotak kayu besar di tengah kamar dan seekor anjing duduk di atasnya. Anjing itu memiliki mata sebesar piring tatakan gelas, tapi tak usah kuatir mengenainya! Aku akan memberikan celemek biru kotak-kotak milikku untuk kau bawa, segera angkat dan taruhlah anjing itu di atas celemekku agar kamu bisa membuka kotak kayu dan mengambil koin yang ada di dalamnya sebanyak yang kau inginkan. Semuanya terbuat dari tembaga, kalau kamu lebih memilih koin perak, kamu harus pergi ke kamar berikutnya, tetapi anjing yang menjaga di sana memiliki mata sebesar roda turbin air, tapi jangan kuatir mengenainya, taruhlah dia di atas celemekku dan nikmati uangnya! Jika kamu lebih menyukai emas, kamu bisa memperolehnya, dan kamu bisa mengambil sebanyak yang dapat kamu angkut, saat kamu masuk ke kamar yang ketiga. Tapi anjing yang duduk di atas kotak kayu di kamar itu memiliki sepasang mata sebesar Menara Bundar. Itu anjing sungguhan, percayalah! Tapi, jangan kuatir mengenainya. Taruh saja dia di atas celemekku dan dia tidak akan mencelakaimu, lalu ambillah emas sebanyak yang kamu inginkan dari dalam peti itu!'

'Kedengarannya tidak buruk sama sekali!' kata serdadu. 'Tapi apa yang harus aku berikan kepadamu, penyihir tua? Sebab kamu pasti menginginkan sesuatu, aku bisa menduganya!'

'Tidak,' kata penyihir, 'Aku tidak menginginkan sepeser pun! Satu-satunya barang yang harus kau ambilkan untukku hanyalah sebuah kotak korek api milik nenekku yang ketinggalan di sana ketika ia masuk ke sana terakhir kali.'

'Baiklah kalau begitu. Ikatkan tali ke pinggangku!' kata serdadu.

'Ini dia!' kata penyihir, 'dan ini celemek biru kotak-kotak-ku.'

Lalu serdadu mulai memanjat pohon, dan membiarkan dirinya jatuh ke dalam lubang, dan tepat seperti yang sudah dikatakan penyihir, dia menemukan dirinya berada di sebuah aula yang sangat besar dimana ratusan lampu menyala.

Dia pun membuka pintu pertama. Uh! duduklah di sana seekor anjing dengan mata sebesar piring sedang melotot memandangnya.

'Kamu seekor anjing yang tampan!' kata serdadu, diletakkannya anjing itu di atas celemek milik penyihir dan mengambil koin tembaga sebanyak-banyaknya ke dalam sakunya, menutup peti, menaruh anjing di atas peti itu lalu pergi ke ruang kedua. Ooh! Duduk di dalam sana seekor anjing dengan mata sebesar roda turbin.

'Jangan melotot seperti itu!' kata si serdadu, 'bisa-bisa matamu menjadi sakit.' Dan diletakkannya anjing itu ke atas celemek penyihir, ketika ia melihat begitu banyaknya koin perak, dibuangnya semua koin tembaga dari dalam sakunya dan diisinya seluruh saku dan ranselnya dengan perak murni. Kemudian dia pergi ke ruangan ketiga! Oh tidak, mengerikan sekali! Anjing yang ada di dalam sana benar-benar punya dua mata sebesar Menara Bundar. Dan mata itu berputar-putar seperti sebuah roda!

'Selamat malam!' kata si serdadu, mengangkat tangan ke atas topinya, karena dia belum pernah melihat anjing semacam ini sebelumnya; namun ketika ia sudah cukup melihat untuk sekian waktu lamanya, ia berpikir cukup sudah, diletakkannya anjing itu ke lantai dan dibukanya tutup peti--astaga sungguh luar biasa! Banyak sekali emas di dalamnya! Dia bisa membeli kota Kopenhagen, dan seluruh gula-gula babi perempuan pembuat kue, semua serdadu timah, cambuk dan kuda-kudaan kayu yang ada di dunia ini! Ya, ini betul-betul uang! Segera saja si serdadu membuag semua uang perak yang ada di saku dan ranselnya dan mengisi saku, ransel, topi dan sepatu botnya dengan koin emas, begitu penuhnya sehingga dia hampir saja tak bisa melangkah. Sekarang dia betul-betul punya banyak duit! Diangkatnya kembali anjing itu ke atas peti, dibantingnya pintu ruangan hingga tertutup rapat dan berteriak ke arah lubang keluar, 'Angkat aku sekarang juga, penyihir tua!'

'Apakah kamu sudah membawa kotak korek api bersamamu?' tanya si penyihir.

'Astaga, benar juga,' kata si serdadu. 'Aku lupa sama sekali mengambilnya!' dia pergi dan mengambil kotak korek api. Penyihir kemudian menariknya keluar dari dalam pohon, tak lama kemudian dia sudah kembali berada di jalan besar, kali ini seluruh saku, ransel dan sepatu botnya penuh sesak dengan koin emas.

'Kamu akan melakukan apa dengan menggunakan kotak korek api ini?' tanya si serdadu.

'Bukan urusanmu!' kata penyihir, 'kamu sudah memperoleh banyak uang! Berikan kotak korek api itu kepadaku!'

'Enak saja!' kata si serdadu, 'beritahu sekarang juga, akan kamu pergunakan untuk melakukan apa kotak korek api ini, atau aku akan mengeluarkan pedangku dan memenggal kepalamu!'

'Tidak mau!' kata penyihir.

Lalu si serdadu memenggal kepalanya.  Tergeletaklah penyihir di jalanan. Serdadu itu membungkus uangnya dengan celemek si penyihir, memanggul bundelan itu di atas pundaknya, memasukkan kotak korek api ke dalam sakunya dan langsung memasuki sebuah kota.

Kota itu indah sekali, ia pergi ke penginapan paling bagus, memesan kamar terbaik dan makanan kesukaannya, karena sekarang dia sudah kaya, ia punya banyak uang.

Pelayan yang bertugas menyemir sepatunya, mengakui bahwa sepatu itu tidak sesuai untuk orang kaya sepertinya, tetapi si serdadu belum sempat membeli sepasang sepatu baru; keesokan harinya dia membeli sepasang sepatu baru, dan baju yang indah juga! Sekarang dia sudah benar-benar kelihatan seperti orang terpandang, maka mereka menceritakan hal-hal penting yang terjadi di kota itu, tentang raja dan ratunya, serta puteri raja yang ccantik jelita.

'Dimana aku dapat melihatnya?' tanya serdadu.

'Dia tidak bisa ditemui oleh siapapun!' jawab mereka. 'Dia tinggal di dalam sebuah istana tembaga, dikelilingi tembok-tembok dan menara-menara tinggi! Tidak seorang pun kecuali raja berani ke sana, sebab sudah diramalkan bahwa dia akan menikah dengan seorang serdadu biasa, dan raja sama sekali tidak menyukai hal itu!'

'Nah dia sepertinya seorang gadis yang ingin aku temui!' pikir si serdadu--sayangnya dia tak akan pernah diperbolehkan melakukan hal itu.

Sekarang dia menjalani kehidupan yang menyenangkan, pergi ke teater, berjalan-jalan di Taman Kerajaan dan memberi banyak sedekah untuk orang miskin--dan hal ini adalah hal yang sangat terhormat! Dari masa lalunya sendiri dia belajar bagaimana sulitnya tidak memiliki uang sepeser pun. Sekarang dia sudah kaya, punya banyak baju bagus, dan dikelilingi banyak teman. Mereka semua memujinya sebagai orang baik, pria sejati--dan si serdadu menyukai hal ini! Tetapi, karena dia menghambur-hamburkan uang setiap hari dan tidak memiliki pekerjaan sehingga tak ada pemasukan, akhirnya uangnya habis juga, hanya tersisa beberapa keping dan dia harus pindah dari kamar terbaik di penginapan ke sebuah kamar kecil di loteng. Dia harus menyemir sepatunya sendiri dan menjahit sendiri, dan tidak satu pun temannya datang menjenguknya, sebab begitu banyaknya tangga yang harus didaki bila hendak menuju ke kamarnya itu.

Pada suatu malam yang gelap dan dia tak punya cukup uang untuk membeli sebantang lilin, ia tiba-tiba ingat masih ada sisa korek api di dalam kotak korek api yang diambilnya dari dalam lubang pohon tempat penyihir menurunkannya pada saat itu.

Dikeluarkannya kotak korek api dan lilin yang masih tersisa, tetapi begitu digeseknya korek api pada kotak korek api dan terjadi percikan api, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka lebar, dan anjing dengan mata sebesar piring yang waktu itu pernah dilihatnya di dalam lubang pohon, kini berdiri di hadapannya dan bertanya: 'Apa yang hendak tuan perintahkan?'

'Luar biasa!' kata si serdadu,'ini kotak korek api yang lucu juga -- apakah aku bisa memperoleh apa yang aku inginkan? Ambilkan uang,' katanya kepada si anjing dan wush, si anjing itu pergi! Wush, dia kembali, dan di moncongnya tergantung sekantung penuh koin.

Barulah si serdadu sadar betapa hebatnya manfaat kotak korek api tersebut! Jika digesek satu kali, anjing yang duduk di atas peti berisi koin tembaga yang datang, jika digesek dua kali, anjing peti perak, dan jika tiga kali, anjing peti emas. Sekarang, si serdadau bisa kembali menginap di kamar terbaik, mengenakan baju-baju indah dan dengan segera teman-temannya kembali kepadanya dan kembali menyukainya. Dan serdadu berpikir: Benar-benar ganjil rasanya bahwa tak mungkin bisa bertemu dengan putri raja! Semua orang berkata dia sangat cantik. Tapi apa gunanya jika dia hanya harus berdiam saja di dalam istana tembaga dengan banyak menara itu? Tidak bisakah aku melihatnya sama sekali? Dimana kotak korek apiku! Maka digeseknya kotak itu hingga muncul percikan api dan wush, muncul si anjing dengan mata sebesar piring.

'Aku tahu sekarang sudah tengah malam,' kata serdadu, 'tapi aku sangat ingin bertemu dengan putri raja, sebentar saja.'

Anjing itu segera berlari keluar dan sebelum serdadu sempat berpikir, dia sudah muncul bersama dengan putri raja--putri raja yang sedang tidur, berbaring di atas punggungnya, dan tuan putri nampak luar biasa cantiknya, siapapun akan langsung tahu bahwa dia benar-benar putri raja. Serdadu tak dapat menahan dirinya, dia harus mencium putri raja, karena dia seorang serdadu sejati.

Si anjing berlari mengembalikan putri raja ke istananya, tapi ketika pagi tiba, dan raja dan ratu sedang bercakap-cakap sambil minum teh, putri raja bercerita dia mengalami mimpi yang aneh sekali tadi malam tentang seekor anjing dan seorang serdadu. Dia tidur di atas punggung anjing dan seorang serdadu menciumnya.

'Cerita yang bagus sekali!' kata ratu.

Sekarang salah satu dayang-dayang ratu ditugaskan untuk menjaga putri pada malam harinya, untuk mengamati apakah cerita putri itu benar-benar hanya mimpi, atau hal yang benar-benar terjadi.

Si serdadu sangat merindukan dan ingin bertemu kembali dengan putri cantik sekali lagi, lalu si anjing diutusnya untuk menjemput putri dan berlari secepatnya kembali, tetapi dayang-dayang ratu mengenakan sepatu bot anti-air dan berlari mengejar anjing itu secepat-cepatnya juga; ketika dia melihat anjing itu masuk ke sebuah rumah besar, dia berpikir sekarang aku tahu tempatnya, dan menggoreskan tanda silang besar dengan kapur pada pintu rumah itu. Lalu dia pulang dan tidur, setelah itu si anjing datang dan mengembalikan putri raja; tapi saat anjing melihat tanda silang besar yang sudah digoreskan pada pintu rumah tempat serdadu tinggal, dia mengambil sebatang kapur dan menggambar tanda silang besar pada semua pintu rumah di kota itu, dan itu adalah hal yang sangat bijaksana untuk dilakukan, karena dengan begitu dayang-dayang ratu tidak bisa menemukan pintu yang tepat karena semua pintu sudah diberikan tanda yang sama.

Pagi-pagi sekali, raja dan ratu, dan dayang-dayang ratu beserta semua pejabat istana pergi bersama-sama untuk melihat kemana putri raja dibawa pergi semalam.

'Itu dia!' kata raja ketika melihat pintu pertama dengan tanda silang.

'Bukan suamiku sayang, pintunya ada di sana!' kata ratu yang sedang melihat sebuah pintu lain dengan tanda silang.

'Tapi ada juga tanda silangnya di pintu yang di sana dan yang di sebelah sana!' mereka semua berkata--kemanapun mereka memandang, semua pintu sudah diberi tanda silang. Lalu mereka menyadari, tak ada gunanya mencari-cari lagi.

Tapi ratu adalah seorangg perempuan yang sangat bijaksana, seorang yang dapat melakukan lebih banyak hal daripada sekedar berjalan-jalan di dalam kereta kuda saja. Dia mengambil gunting emasnya yang besar, menggunting selembar kain sutera lalu menjahitnya menjadi satu dompet kecil, yang kemudian diisinya dengan butir-butir gandum, dijahit pada bagian belakang gaun putrinya, kemudian membuat sebuah lubang kecil pada dompet itu sehingga butir-butir gandum akan jatuh dan meninggalkan jejak kemanapun putri pergi.

Malam itu anjing datang kembali, mengangkut putri ke atas punggungnya dan berlari membawanya kembali kepada serdadu, yang sangat menyukainya, dan sangat ingin menikah dengannya.

Kali ini, anjing tidak menyadari adanya butir-butir gandum yang jatuh dari baju putri raja sehingga meninggalkan jejak sejak dari istana hingga ke jendela kamar penginapan serdadu saat dia memanjatnya sambil memanggul putri di punggungnya. Keeskokan pagi, raja dan ratu dapat dengan mudah mengetahui kemana putri mereka semalam, mereka memerintahkan serdadu ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Di sanalah sekarang si serdadu duduk termenung. Uh, betapa gelap dan sangat tidak menyenangkan, lalu mereka berkata kepadanya: Besok kamu akan digantung. Itu juga hal yang tidak enak untuk didengar, dan dia lupa membawa serta kotak korek apinya yang kini tertinggal di penginapan. Ketika pagi tiba, dia dapat melihat melalui jeruji jendela kecil ruang tahanannya bagaimana semua orang bergegas-gegas ke luar kota untuk melihat acara penggantungannya. Dia mendengar suara drum dan melihat para serdadu berbaris. Semua orang berjalan tergesa-gesa; di antara mereka yang lalu lalang itu, ada seorang anak laki-laki, bocah penyemir sepatu, ia mengenakan celemek kulit dan sepatu kayu, dia berlari begitu cepat sehingga sepatu kayunya terlepas dan terlempar hingga jatuh ke dekat jendela dimana serdadu sedang melihat-lihat.

'Hai penyemir sepatu! Tidak perlu tergesa-gesa seperti itu!' si serdadu berkata kepadanya, 'tidak ada yang akan terjadi sebelum aku muncul! Tapi, kalau kamu mau pergi ke kamar tempat aku menginap dan mengambilkan kotak korek apiku, aku akan memberikan empat koin uang ini untukmu! Tapi kamu harus pergi kesana cepat-cepat, sekarang juga!' Bocah penyemir sepatu itu sangat girang akan mendapatkan uang, maka dia berlari sekencang-kencangnya untuk mengambilkan kotak korek api itu, lalu kembali dan memberikannya kepada serdadu--dan, mari kita saksikan apa yang terjadi selanjutnya!

Di luar kota sebuah ting gantungan yang tinggi sudah ditegakkan, di sekelilingnya para serdadu berdiri mengelilingi bersama ratusan bahkan ribuan orang. Raja dan ratu duduk di atas singgasana mereka yang bagus berseberangan dengan hakim dan para pegawai persidangan.

Si serdadu sudah berdiri di atas tangga, siap untuk digantung, tetapi ketika mereka akan mengalungkan tali pada lehernya dia mengingatkan bahwa sudah menjadi kebiasaan untuk mengabulkan satu permintaan terakhir pendosa sebelum menjalani hukuman matinya. Permintaan serdadu adalah ia ingin merokok, karena itu akan menjadi rokok terakhirnya di dunia ini.

Raja tidak akan menolak permintaan yang seperti itu, dan serdadu pun mengambil kotak korek apinya dan menggeseknya sampai mengeluarkan api, satu kali, dua kali, tiga kali! Maka muncullah ketiga ekor anjing, yang bermata sebesar piring, yang bermata sebesar roda turbin, dan yang bermata sebesar Menara Bundar.

'Selamatkan aku dari hukuman gantung!' kata serdadu, maka ketiga ekor anjing itu mengejar para hakim dan seluruh petugas pengadilan, dan melemparkan mereka.

'Tidak, tidak, aku tidak mau!' kata raja, tapi anjing yang terbesar mengangkatnya bersama dengan ratu dan melemparkan mereka berdua. Lalu para serdadu menjadi sangat ketakutan dan semua orang berseru: 'Serdadu kecil, jadilah raja kami dan menikahlah dengan putri yang cantik!'

Lalu mereka menyediakan kereta kerajaan untuk si serdadu, dan ketiga ekor anjing menari-nari di depan kereta sambil bersorak 'Hore!' Anak-anak laki-laki bersiul melalui jari-jari mereka, dan para serdadu memberi hormat. Tuan putri dikeluarkan dari istana tembaga dan diangkat menjadi ratu, dan dia menyukai hal itu! Pesta pernikahan berlangsung sampai delapan hari, dan ketiga ekor anjing duduk di atas meja dengan mata terbuka lebar.


Beberapa perbedaan adalah:

1. Serdadu tidak diusir oleh raja dan sedang dalam perjalanan pulang ke rumah.

2. Serdadu tidak diminta untuk mengerjakan tiga pekerjaan sebelum berhasil memperoleh benda ajaib yang akan menjadi penolongnya.

3. Penolongnya adalah tiga ekor anjing, bukan gnome.

4. Serdadu tidak punya keinginan untuk membalas dendam kepada raja penguasa kota.

Tentu bisa dirinci lagi perbedaan yang lain.

Kesamaannya, seluruh cerita adalah cerita yang sama. Tentang serdadu miskin yang pulang berperang, bertemu dengan seorang penyihir di tengah jalan dan mendapatkan benda ajaib yang kemudian menolongnya menjadi raja atau penguasa dan menikahi putri cantik.

Pesan-pesan positif apa yang dimasukkan secara humoris oleh Andersen ke dalam dongeng ini?

1. Perhatikan bagaimana cara hidup serdadu yang setiap hari berfoya-foya karena kaya mendadak, mengakibatkan dia menjadi bangkrut sebab uang dengan cepat terkuras habis.

Hal ini merupakan hal yang relevan sepanjang masa. Kita sendiri melihat kasus semacam ini terjadi di masyarakat kita bahkan diri kita sendiri tidak terlepas dari kesalahan semacam ini.

2. Teman-teman yang mengelilingi serdadu saat dia kaya raya segera meninggalkannya ketika dia sudah tak punya uang lagi. Hal ini dengan satir digambarkan oleh Andersen melalui kalimat: tidak satu pun temannya datang menjenguknya, sebab begitu banyaknya tangga yang harus didaki bila hendak menuju ke kamarnya itu.

Uang tidak bisa membeli persahabatan dan ketulusan. Lebih banyak orang datang mendekat ketika ada manfaat yang bisa diperoleh mereka, dan menjauh ketika tidak lagi ada manfaatnya.

3. Seperti roda yang berputar, demikian juga kehidupan manusia. Tidak selamanya akan berada di bawah terus-menerus apabila mau mempergunakan kecerdikan. Kecerdikan yang dilakukan oleh serdadu adalah memanfaatkan kesempatan untuk mengambil kotak korek api ajaibnya, dan memanfaatkannya pada saat yang tepat.

Bagaimana menurutmu, silahkan diskusikan pada kolom komentar.

Kotak Korek Api. Dongeng karangan Hans Christian Andersen. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh G. Siahaya dari terjemahan bahasa Inggris The Tinder Box oleh John Irons untuk Hans Christian Andersen Centre.
Pembunuhan ABC,  karangan Agatha Christie ini, sudah pernah saya baca, dulu sekali, entah berapa tahun yang lalu. Sepertinya waktu jaman SMP atau SMA, dan itu sudah sangat lama, sekitar 30 tahunan yang lalu. Tidak heran pada saat saya membaca ulang novel ini sekarang, saya sama sekali lupa siapa pembunuhnya, meskipun samar-samar saya tahu bahwa cerita ini tentang pembunuhan berantai.

MEMBAHAS POINT OF VIEW

Sebelum masuk ke dalam pembahasan tentang isi ceritanya, saya mau membahas sedikit tentang sudut pandang yang dipergunakan dengan sangat cerdik oleh Agatha Christie sebagai alat untuk mempertajam misteri dalam ceritanya. Penulis please take notes kalau sedang membaca novel semacam ini sebab banyak banget trick penulisan yang sebetulnya bisa dicuri dari sang ratu cerita detektif dan misteri ini.

Novel ini adalah salah satu novel penyelidikan yang dilakukan oleh Hercule Poirot, pria Belgia kecil, botak dan berkumis tebal. Poirot memiliki sel-sel abu-abu yang sangat cerdas di otaknya sehingga ia dapat menghubungkan titik-titik yang tidak kasat mata saat memecahkan sebuah misteri kejadian.

Karena Agatha Christie tidak ingin pembaca dapat langsung memahami cara pikir Poirot dan dapat menebak dengan lebih mudah misteri pembunuhan yang terjadi, maka dalam The ABC Murders ini, ada dua sudut pandang yang dipergunakan oleh penulis, yaitu sudut pandang orang pertama obyektif dan sudut pandang orang ketiga terbatas.

Sudut pandang orang pertama dilakukan melalui penuturan Kapten Hastings, sahabat baik Poirot yang acap mendampingi Poirot ketika memecahkan misteri-misteri kejahatan.

Apa peran POV1 Kapten Hastings? Ia bertugas untuk melaporkan kepada kita, para pembaca, apa saja yang terjadi dan dilihatnya secara langsung. Kapten Hastings tidak bisa mengetahui dengan pasti apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh Hercule Poirot. Ia hanya bisa menebak apa yang mungkin saja dipikirkan oleh Poirot atau oleh tokoh-tokoh yang lain, apabila mereka tidak mengucapkan atau memberitahu kepadanya secara langsung. Dengan demikian, Kapten Hastings dapat menjadi pengamat yang tidak dapat dipercaya (unreliable narrator), sebab bisa saja penulis memang secara sengaja memilihnya untuk mengatakan dan melihat hal-hal yang dapat menyesatkan kita, para pembaca.

Sudut pandang yang kedua adalah: Sudut pandang orang ketiga (POV 3).

Apa peran POV 3 ini?  Agatha Christie mempergunakannya untuk menceritakan kepada kita kejadian-kejadian di belakang layar yang tidak dapat diceritakan oleh Kapten Hastings karena kejadiannya terjadi tanpa diketahui baik oleh Hercule Poirot maupun Kapten Hastings sendiri. Melalui sudut pandang orang ketiga ini, Agatha Christie, sekaligus mengajak kita bertemu langsung dengan pria yang memiliki kaitan erat dengan peristiwa pembunuhan yang sedang terjadi. Pria ini nampaknya bersalah, tapi benarkah ia memang bersalah?

Kedua sudut pandang yang dipilihkan Agatha Christie untuk kita ini, membuat kita merasa atau menduga bahwa kita lebih banyak tahu dibandingkan dengan Kapten Hastings maupun Hercule Poirot. Tetapi, kita hanya mengetahui kejadian-kejadian tanpa mengetahui dengan jelas hubungan-hubungan antara kejadian-kejadian yang satu dengan yang lain dan kita dibiarkan terus bertanya-tanya: Siapa kira-kira pelakunya dan benarkah dia yang melakukannya?

Pelajaran apa yang saya peroleh?

Melalui pemilihan sudut pandang dalam novel The A.B.C Murders ini, Agatha Christie mengajarkan kepada saya bahwa sudut pandang merupakan salah satu alat yang harus dikuasai dengan baik oleh seorang pengarang agar ia dapat mempergunakannya di dalam cerita untuk menyampaikan cerita dengan cara tertentu dan tujuan tertentu.

Dengan membiarkan Hastings yang bercerita, Agatha Christie telah secara baik hati mengikut-sertakan saya menyaksikan apa yang terjadi di dalam kelompok kecil Poirot yang sedang berusaha untuk menyelesaikan misteri pembunuhan-pembunuhan yang sedang terjadi. Tetapi, karena kunci pemecahan misteri ada pada Poirot seorang, bukan pada tokoh-tokoh yang lain, maka, hasil pengamatan Hastings tidak memberikan kepada saya akses yang cukup banyak untuk memahami apa yang dipikirkan Poirot.

Melalui sudut pandang orang ketiga, Agatha Christie memperluas pandangan saya, sehingga tidak hanya saya menyaksikan adu pendapat di pertemuan-pertemuan para polisi, saya juga dibawa mengikuti potongan-potongan kejadian dalam kehidupan Mr. A.B. Cust yang mencurigakan. Dengan demikian, walaupun pada titik tertentu, ingatan saya tentang siapa pembunuhnya sudah kembali, saya tetap masih tertarik untuk mengetahui kenapa dia melakukan pembunuhan dan bagaimana proses berpikir Poirot sehingga ia dapat tiba pada kesimpulan yang tepat. Selain itu, sangat menarik menyaksikan bagaimana Poirot membuka kedok masing-masing tokoh yang terlibat di dalamnya.

Ringkasan ceritanya sendiri adalah seperti ini:

Hercule Poirot menerima surat kaleng yang menantangnya untuk memecahkan misteri-misteri pembunuhan yang akan dilakukan oleh seseorang yang mengaku sebagai A.B.C.

Korban pertamanya adalah seorang perempuan tua, pemilik kedai kecil yang berjualan rokok dan koran/majalah. Perempuan tua ini dipukul kepalanya hingga pecah dan mati. Ia bernama Nyonya A.A. dan tinggal di Kota A. Sebuah peta A.B.C. ditinggalkan di tempat terjadinya kejahatan. Nyonya A.A. mempunyai seorang mantan suami yang pemabuk dan kalau saja tidak ada surat kaleng dari A.B.C. kepada Hercule Poirot, pastilah suami wanita itu yang akan menjadi tersangka utamanya.

Korban kedua adalah seorang gadis muda, yang bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran di Kota B. Gadis muda ini bernama BB. Ia mati dicekik dengan ikat pinggangnya sendiri. Sebuah peta A.B.C. ditinggalkan pada tempat terjadinya kejahatan.

Korban yang ketiga adalah seorang bangsawan di Kota C, bangsawan itu bernama Lord C.C. ia mati dengan kepala remuk saat sedang melakukan rutinitas jalan kakinya. Pada tempat terjadinya kejahatan, sebuah peta bermerek A.B.C. ditemukan kembali sebagai bukti bahwa ini adalah kejahatan yang secara sengaja dilakukan oleh A.B.C. untuk mengolok-olok Poirot.

Setelah pembunuhan ketiga ini, terbentuk kelompok kecil yang terdiri dari para keluarga dan ahli waris dari korban-korban pembunuhan yang ingin ikut berpartisipasi dalam memecahkan misteri pembunuhan itu. Lalu Hercule Poirot mendapat satu lagi surat kaleng dan pembunuhan terjadi di Kota D, tetapi kali ini yang terbunuh tidak memiliki inisial yang tepat seperti pembunuhan-pembunuhan sebelumnya. Apakah si pembunuh A.B.C. salah membunuh orang kali ini? Siapa sebetulnya pembunuh A.B.C. dan apa motivasi di balik pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya?

***

Memang jauh lebih seru kalau membaca novel itu sendiri dari awal hingga akhir dan mendapatkan kenikmatan menebak-nebak pembunuhnya yang khusus untuk The ABC Murders, menurut saya, tidak terlalu sulit menebak siapa pembunuhnya (mungkin juga karena saya sudah pernah membaca novel ini sebelumnya, sehingga sel-sel abu-abu otak saya masih merekam jejaknya), walaupun agak sulit bagi saya untuk menemukan jalan bagaimana Poirot dapat menjebaknya supaya mengaku.

Resolusinya Agatha Christie, saya ibaratkan seperti seekor kucing, yang setelah puas bermain-main (dengan kita sebagai pembacanya, menyesatkan kita ke sana ke sini tanpa kehilangan kegembiraan perburuan) lalu memutuskan sudah saatnya menyudutkan tikus buruannya, dan mengarahkan (kita) dan buruannya hingga ke pojokan sehingga tak bisa lagi lari kemana-mana. Itulah gambaran mental yang saya alami mendekati saat-saat akhir Poirot mulai memojokkan sang pembunuh dan ia berbalik menjadi korban kecerdikan Hercule Poirot (dan Agatha Christie).

Sudah pernah membaca novel ini juga? Silakan tulis pendapatmu di kolom komentar.

The Blue Light atau yang saya terjemahkan sebagai Lentera Api Biru (kalau ada istilah lain yang lebih tepat, tolong diinformasikan) adalah salah satu dari cerita rakyat Jerman yang dikoleksi oleh Grimm bersaudara. Kita akan melihat beberapa kesamaannya dengan cerita yang populer sekali di seluruh dunia. Silakan ditebak setelah membaca dongeng ini. Dongeng ini tidak terikat copyright dan dapat disebarkan secara bebas, bahkan untuk tujuan komersial sekalipun. Saya terjemahkan dari terjemahan bahasa Inggris oleh John Irons yang bisa dibaca di sini.

Berikut, silakan menikmati terjemahan ala miss G di bawah ini, discroll untuk membaca selengkapnya, ya. Dan jika ada terjemahan yang dirasa kurang pas, silakan diinformasikan pada kolom komentar.

THE BLUE LIGHT (Lentera Api Biru)

Ada seorang prajurit yang selama bertahun-tahun dengan setia melayani rajanya. Tetapi ketika perang berakhir, dan prajurit itu tak dapat lagi melanjutkan pengabdiannya karena luka-luka yang dideritanya, raja berkata kepadanya 'Kamu boleh pulang, aku tidak lagi memerlukanmu. Kamu tidak lagi menerima upah, karena upah hanya dibayarkan untuk mereka yang masih melayaniku.' Mendengar hal ini si prajurit tak tahu bagaimana dia akan hidup nantinya. Dia pergi dengan perasaan sangat sedih dan melangkah tak tentu arah hingga menjelang malam dan ia tiba di sebuah hutan. Ketika hari menjadi semakin gelap, ia melihat cahaya lalu mendekatinya dan tiba di sebuah rumah tempat tinggal seorang penyihir. 'Tolong berikan aku tempat menginap untuk malam ini dan sedikit makanan dan minuman,' katanya kepada penyihir, 'karena kalau tidak, aku pasti mati.' 'Oho!' jawab penyihir, 'siapa yang mau memberikan apapun untuk prajurit yang mangkir dari tugasnya? Tapi, aku akan berbaik hati dan menerimamu, dengan syarat kamu melakukan apa yang aku tugaskan.' 'Apa yang akan kamu tugaskan kepadaku?' tanya si prajurit. 'Tugasmu adalah menggali kebunku besok pagi.' Prajurit menyanggupi tugas tersebut dan besok paginya dia mulai bekerja, tetapi hingga petang hari tiba dia tidak sanggup menyelesaikan tugas tersebut. 'Aku mengerti,' kata tukang sihir, 'kamu tidak sanggup lagi bekerja untuk hari ini. Aku memperbolehkanmu  tinggal satu malam lagi, tetapi besok pagi kamu harus membelah kayu sebanyak satu gerobak penuh untuk kayu bakar.' Prajurit menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk membelah kayu, dan malam itu penyihir menyarankannya untuk tinggal satu malam lagi. 'Kamu hanya perlu melakukan satu pekerjaan kecil lagi untukku besok pagi, di belakang rumahku ada sumur tua yang sudah kering, lenteraku jatuh ke dalamnya, lentera itu memiliki api berwarna biru dan tidak pernah mati--yang harus kamu lakukan adalah turun dan mengambilkannya untukku.' Keesokan hari, penyihir tua itu membawa prajurit ke sumur dan menurunkannya dalam sebuah keranjang. Prajurit menemukan lentera berapi biru dan memberi tanda agar penyihir menariknya ke atas. Si penyihir mulai menariknya ke atas, tetapi sebelum ia sampai ke tepian sumur, penyihir mengulurkan tangan hendak mengambil lentera itu darinya. 'Tidak,' kata prajurit menyadari niat buruk penyihir, 'aku tidak akan menyerahkan lentera ini sampai kedua kakiku sudah menginjak tanah dengan selamat.' Lalu penyihir itu menjadi murka, dibiarkannya si prajurit jatuh kembali ke dalam sumur dan ditinggalkannya di sana.

Prajurit yang malang itu jatuh--tanpa melukai dirinya--ke lantai sumur yang lembab dan berlumut tebal, dan lentera berapi biru itu masih tetap menyala, tapi apa gunanya? Prajurit sadar ia pasti mati di dalam sumur ini. Dia duduk termenung, hatinya sedih, dimasukkannya tangannya ke dalam saku dan menemukan pipa-nya, masih ada tembakau di dalamnya. 'Ini akan menjadi kenikmatan terakhirku,' pikirnya, dikeluarkannya pipa itu, dinyalakannya dengan api biru dan mulai merokok. Ketika asap rokok mulai memenuhi lorong sumur, tiba-tiba saja muncul gnome hitam berdiri di depannya, sambil bertanya 'Tuan, apa keinginanmu?' 'Memangnya siapa aku sehingga bisa menyuruhmu melakukan keinginanku?' tanya si prajurit dengan takjub. 'Aku harus melakukan apapun,' jawab si gnome, 'yang kamu ingin aku lakukan.' 'Baiklah,' kata si prajurit, 'kamu bisa mulai dengan menolong aku keluar dari sumur ini.' Si gnome memegang tangannya dan menuntunnya melalui sebuah terowongan. Prajurit itu tidak lupa untuk membawa api biru bersamanya. Dalam perjalanan mereka, cahaya api itu menunjukkan kepada prajurit harta karun yang sudah dikumpulkan dan disembunyikan si penyihir di dalam terowongan itu, dan prajurit mengambil sebanyak-banyaknya emas yang dapat dibawanya. Ketika sudah kembali berada di atas tanah, prajurit itu memerintahkan kepada gnome, 'Sekarang, pergi dan ikat penyihir tua itu dan bawa dia ke pengadilan.' Tidak lama kemudian, penyihir itu muncul seperti diseret angin dengan secepat kilat sambil menjerit kencang, dan hanya sebentar kemudian gnome sudah kembali, 'segalanya sudah dilaksanakan seperti yang diperintahkan,' katanya, 'dan si penyihir sudah dihukum gantung sekarang juga. Nah, Tuan, sekarang apa lagi keinginanmu?' tanya si gnome. 'Tidak ada lagi untuk sementara ini,' jawab si prajurit, 'kamu boleh pulang, tapi kalau kupanggil, segeralah datang.' 'Yang harus kamu lakukan,' jawab si gnome, 'adalah menyalakan pipa dengan api biru -- dan aku akan muncul di hadapanmu.' Setelah itu ia menghilang.

Kemudian prajurit kembali ke kota darimana ia berasal. Dia memasuki penginapan paling bagus dan membuat pakaian paling indah untuk dirinya, lalu ia memerintahkan pemilik penginapan untuk menyiapkan kamar yang terbaik bagi dirinya. Ketika semuanya siap, prajurit itu pindah ke sana, lalu ia memanggil si gnome hitam dan berkata, 'Aku sudah melayani raja dengan setia, tetapi ia mengusirku begitu saja dan tega membiarkan aku mati kelaparan, sekarang aku akan membalas perbuatannya.' 'Apa yang harus aku lakukan?' tanya si gnome. 'Larut malam nanti, ketika putri raja sudah tidur, bawa dia ke sini untuk menjadi pelayanku.' Si gnome berkata, 'untukku ini hal yang mudah dilakukan, tapi untukmu ini hal yang berbahaya. Kalau apa yang kamu lakukan ini ketahuan, bisa jadi bencana bagimu.' Ketika jam berdentang pada tengah malam, pintu terbuka lebar, dan gnome masuk sambil membopong putri raja. 'Aha, ini dia!' teriak si prajurit. 'Turun dan bekerja sekarang juga! Ambil sapu dan sapu seluruh ruangan.' Ketika putri raja sudah selesai, prajurit memerintahkannya untuk mendekati tempat dimana ia sedang duduk, diselonjorkannya kakinya ke arah putri raja dan berkata, 'lepaskan sepatu bot-ku,' lalu dilemparkannya sepatu-sepatu itu ke muka putri raja dan dia harus mengambilnya kembali, membersihkannya dan menyemirnya hingga mengkilat. Putri raja melakukan semua itu dengan patuh, tanpa berkata apa-apa dan matanya setengah tertutup. Ketika ayam berkokok, gnome cepat-cepat membawa pulang putri raja ke istana dan meletakkannya kembali di tempat tidurnya.

Pagi hari, ketika putri raja bangun, dia menceritakan kepada ayah dan ibunya bahwa ia mengalami mimpi yang sangat aneh, 'Aku dibawa lari dengan sangat cepat melewati jalan-jalan lalu dan dimasukkan ke kamar seorang prajurit, yang memperlakukan aku seperti seorang pelayan, aku harus menyapu dan menyemir sepatu bot-nya. Semua itu cuma mimpi, tapi aku merasa kelelahan seperti benar-benar sudah melakukan semuanya.' 'Bisa saja mimpi itu memang nyata,' kata raja, 'Aku punya nasehat untukmu, isi saku bajumu dengan biji kacang dan lubangi sakumu; jika kamu diambil lagi, biji-biji kacang akan jatuh dan membuat jejak di jalanan.' Ketika raja mengatakan semua ini, si gnome sedang berdiri tanpa kelihatan di dekatnya dan mendengar apapun yang dikatakannya. Malam itu, saat gnome membopong putri raja yang sedang tidur melewati jalan-jalan kota, beberapa biji kacang memang jatuh di sepanjang jalan, tetapi biji-biji itu tak dapat meninggalkan jejak, sebab si gnome yang cerdik telah lebih dulu menyebarkan biji-biji kacang di seluruh jalan-jalan di kota. Dan putri raja harus dengan patuh kembali bertugas menjadi pelayan prajurit sampai ayam berkokok.

Keesokan hari, raja mengirim orang-orangnya untuk mencari jejak, tetapi usaha itu sia-sia saja, karena di jalan-jalan, anak-anak miskin bermunculan dan memunguti biji-biji kacang--mereka berkata 'semalaman turun hujan kacang.' 'Kita harus memikirkan cara lain,' kata raja, 'tetap pakai sepatumu saat kamu tidur, dan sebelum kamu pergi dari kamar prajurit itu nanti, sembunyikan sebelah sepatumu di sana. Aku pasti akan berhasil menemukannya nanti.' Gnome hitam juga mendengar saran raja tersebut, dan ketika pada malam hari si prajurit memerintahkannya untuk menjemput putri raja lagi, gnome menasehati prajurit untuk tidak melakukannya sebab menurutnya kecerdikan raja kali ini tidak dapat dikalahkannya dan jika sepatu putri berhasil diketemukan di dalam kamar prajurit keadaan akan menjadi sangat buruk untuk si prajurit. 'Lakukan saja apa yang kukatakan,' jawab si prajurit, dan malam itu, sekali lagi, putri raja harus bekerja sebagai pelayan lagi untuk malam yang ketiga; tetapi sebelum dia dikembalikan, dia berhasil menyembunyikan sebelah sepatunya di bawah tempat tidur prajurit.

Keesokan hari, raja menyuruh orang-orangnya mencari sepatu itu di seantero kota: sepatu itu diketemukan di kamar si prajurit demikian pula si prajurit, yang atas desakan si gnome berusaha melarikan diri tetapi dengan segera tertangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sayangnya, dia kelupaan memasukkan benda paling berharganya--api biru dan semua emasnya, yang ada di dalam sakunya hanya satu koin emas. Saat sambil dibelenggu dengan rantai-rantai besi ia berdiri di dekat jendela kamar penjaranya, ia melihat salah satu teman prajuritnya lewat di depan jendela itu. Diketuk-ketuknya jendela dan saat orang itu datang mendekatinya, dia berkata, 'berbaikhatilah, tolong ambilkan bundelan kecil yang kutinggalkan di penginapan--ini sebuah koin emas, hadiah untukmu.' Temannya cepat-cepat pergi dan kembali dengan membawakan bundelannya. Segera setelah si prajurit kembali sendirian di dalam ruang penjaranya, dinyalakannya pipa-nya dengan api biru dan gnome pun muncul. 'Jangan kuatir,' kata gnome kepada tuannya, 'pergi kemana mereka akan membawamu, dan biarkan saja apa yang akan terjadi, tapi bawalah api biru bersamamu.' Keesokan hari, ketika prajurit dibawa untuk diadili, walaupun dia tidak melakukan kejahatan, hakim menjatuhkan hukuman mati. Saat ia digiring keluar, dia mengajukan permintaan terakhirnya kepada raja. 'Apa permintaan terakhirnya?' Tanya raja. 'Di saat terakhir aku diijinkan untuk mengisap pipa untuk terakhir kalinya.' 'Kamu boleh merokok tiga pipa,' jawab raja, 'tapi jangan berpikir aku akan mengampunimu.' Lalu si prajurit mengeluarkan pipa dan menyalakannya dengan api biru, dan ketika beberapa cincin asap keluar dari pipa, berdirilah gnome sambil menggenggam tongkat pemukul dan berkata 'Apa yang diinginkan oleh tuanku?' 'Hajar para hakim palsu dan tukang jagal sampai mereka jatuh terkapar, dan jangan ampuni juga raja yang sudah memperlakukan aku dengan sangat buruk.' Lalu gnome pun bergerak secepat kilat, berzig-zag, bolak-balik, dan siapapun yang terkena tongkat pemukulnya langsung jatuh ke tanah dan tidak berani bergerak sedikitpun. Raja sangat ketakutan, ia mulai memohon ampun, dan untuk menyelamatkan hidupnya ia terpaksa menyerahkan pasukannya dan kerajaannya--dan putrinya menjadi istri si prajurit.

Apa yang dapat kita petik dari kisah ini? Apa yang kamu peroleh dari kisah ini? Siapa protagonisnya, siapa antagonisnya, siapa yang menjadi penolong tokoh utama dan apa yang diperoleh tokoh utama pada akhirnya?

Ini resensi singkat ala saya:

Yang menarik dari dongeng ini bagi saya, adalah peran si gnome, yang sengaja tidak saya terjemahkan menjadi orang cebol tetapi tetap mempertahankan istilah aslinya. Mengapa peran gnome ini menarik? Sebab, ia tidak hanya menjadi mesin penghasil keinginan tetapi ia juga menunjukkan kualitasnya sebagai penasehat yang bijaksana bagi tokoh utama (kalau saja si tokoh utama ini penurut). Hal ini menempatkan gnome sebagai penolong utama dalam cerita, bagaikan Gandalf bagi Aragorn di Lord Of The Rings karangan Tolkien.

Penyihir tua, yang selalu saja takdirnya menjadi tokoh jahat, sebetulnya pada awal cerita justru tidak kelihatan jahat. Dia menolong si prajurit saat prajurit sangat membutuhkannya. Tapi, mungkin memang dengan motivasi untuk menyuruhnya mengambil lentera yang jatuh di sumur. Apa salahnya memanfaatkan seseorang, ya kan? Jahatnya justru ketika dia meninggalkan si prajurit di dalam sumur karena tidak mau menyerahkan lentera api biru. Malangnya nasib penyihir, hal itu dijadikan alasan kuat untuk menghukum mati si penyihir.

Yang betul-betul kasihan dalam cerita ini adalah putri raja. Dialah korban sesungguhnya dari perseteruan antara raja dan prajurit. Bayangkan, diculik, dijadikan budak lalu dipaksa untuk menjadi istri orang yang sudah memperlakukannya seperti itu. Kesimpulannya: Apes banget menjadi seorang putri raja pada jaman itu.

Bagaimana menurutmu?

Ada 30 Alasan Umum Mengapa Seseorang Ingin Menjadi Penulis. Ayo Jujur, Yang Mana Alasanmu?



Kalau kita mau secara jujur mengakui alasan "kenapa saya ingin menulis atau jadi penulis" kita dapat menentukan tujuan kita dalam menulis. Berikut ini, adalah 30 alasan yang umumnya dikemukakan oleh mereka yang sudah dan ingin jadi penulis. Jika alasan-alasanmu ternyata adalah kombinasi dari beberapa alasan yang tercantum di sini, atau bahkan semuanya sekaligus, boleh-boleh saja. Yang penting, kamu harus jujur untuk mengakuinya.

Mengapa kejujuran itu untuk mengakuinya penting? Sebab, alasan-alasan ini dapat dijadikan motivasi dan menentukan tujuanmu. Misalnya, bila tujuan menulis adalah untuk memperoleh uang yang sebanyak-banyaknya, mulailah menulis tulisan yang komersil. Bila tujuan menulis adalah untuk katarsis, maka menulis diary atau memoir bisa jadi media yang tepat.

Temukan alasanmu, maka kamu akan menemukan tujuanmu!

Berikut 30 alasan yang umumnya dikemukakan:

1. Mengekspresikan diri.
2. Uang.
3. Mengembangkan bakat.
4. Membantu pembaca untuk berkembang.
5. Menyebarkan ilmu, pengetahuan, atau kebijaksanaan.
6. Memperoleh kepuasan.
7. Menggerakkan orang lain.
8. Mengkomunikasikan ide-ide, dorongan emosional, pengalaman, obsesi dan kepedulian kepada orang lain.
9. Agar terhubungkan dengan orang lain.
10. Untuk memahami diri sendiri dengan lebih baik.
11. Menguji ide-ide.
12. Mengeksplorasi tema atau subyek tertentu.
13. Menguji diri sendiri.
14. Bersenang-senang.
15, Memberikan kepuasan dan hiburan bagi orang lain.
16. Katarsis bagi gejolak perasaan.
17. Agar tetap waras.
18. Untuk membujuk orang lain agar sepakat dengan pemikiran Anda.
19. Membangun reputasi, otoritas atau keahlian dalam bidang tertentu.
20. Membangun karir atau reputasi sebagai penulis.
21. Pengisi waktu yang menyenangkan.
22. Menciptakan karya seni yang bagus dan mengagumkan.
23. Menciptakan cerita yang selalu ingin Anda baca.
24. Agar meninggalkan jejak di dunia.
25. Untuk mempengaruhi pikiran orang lain berkenaan dengan isu atau topik tertentu.
26. Agar dikagumi, mendapatkan pengakuan dan rasa hormat.
27. Untuk melarikan diri dari kehidupan sehari-hari dan membantu orang lain melakukan hal yang sama.
28. Mengungkapkan kebenaran.
29. Untuk menciptakan sesuatu yang memiliki arti dan dipersembahkan untuk orang-orang terdekat.
30. Untuk membuktikan kepada diri sendiri dan orang lain bahwa Anda memiliki kemampuan untuk menjadi penulis.

Ada lagi? Silahkan ditambahkan.


 
Foto koleksi pribadi

Oleh: Nastiti Denny
 
Tak lama lagi ajang apresiasi karya sastra yang diberi nama Kusala Literary Award (dahulu Khatulistiwa Literary Award) digelar. Sejumlah karya telah dipilih untuk menduduki 10 besar. Salah satunya adalah kumpulan cerpen berjudul Anak-Anak Masa Lalu karya Damhuri Muhammad.

Konsisten di jalur cerita pendek, Damhuri tak mengejar jumlah cerita yang ditulis dalam setahun untuk dimuat di surat kabar ataupun media yang lain, mengingat meningkatnya jumlah media yang memuat karya fiksi saat ini. Pun tak berniat hengkang dari kegemarannya mengangkat kisah-kisah dari tanah kelahirannya, Sumatera Barat. Tak hanya sarat dengan adat setempat, Damhuri terus mengangkat dan memercayai legenda dan mitos yang oleh sebagian orang telah dilupakan begitu saja. Bisa jadi, inilah yang kemudian membuat karyanya menjadi istimewa. Meski dalam waktu bersamaan, hal itu pulalah yang membuat dirinya merasa ‘ndeso’.

Dalam sebuah kesempatan, usai membaca Anak-Anak Masa Lalu, saya menjumpainya untuk mendengar langsung pendapatnya mengenai segala hal yang berhubungan dengan kisah-kisah yang ditulisnya dalam kumpulan cerpen tersebut. 

Berikut petikannya:

Apa yang memotivasi pengumpulan cerpen dalam Anak-Anak Masa Lalu untuk dibukukan? Karena seperti diketahui, semua cerpen dalam buku tersebut sudah pernah dimuat di surat kabar.

Cerpen koran hanya dibaca dalam sekali duduk, dan barangkali juga, dalam sekali hentakan napas . Setelah itu, koran akan tergeletak sebagai sampah kering yang siap dijemput oleh tukang loak. Setiap pengarang tentulah punya harapan pada karya-karya yang terdokumentasi secara aman, langgeng, dengan usia kearsipan yang panjang. Selain itu, karya dalam bentuk buku akan menjadi artefak kekaryaan yang lebih kokoh ketimbang sekadar kliping-kliping halaman surat kabar.


Beberapa cerpen seperti Tembiluk, Bayang-Bayang Tujuh dan Orang-Orang Larenjang berkisah tentang legenda. Apa arti penting legenda untuk seorang Damhuri Muhammad?

Saya tidak tahu apakah tokoh-tokoh imajiner dalam tiga cerpen itu telah menjadi legenda atau masih sekadar buah bibir yang terus diulang-ulang. Yang pasti, karakter-karakter unik itu selalu menjadi bagian dari kegemaran di masa kanak-kanak saya. Saya mengolahnya, memutarbalikkan logikanya, mendistorsi berbagai ketakjuban terhadap mereka, atau melahirkannya kembali sebagai tokoh-tokoh baru yang sama sekali terlepas dari persepsi orang-orang di masa dahulu.  


Adakah penulis yang mempengaruhi gaya menulis Damhuri Muhammad?

Saya menyukai gaya bercerita  Naguib Mahfouz (sastrawan Mesir pemenang Nobel sastra 1988), karena kebetulan saya berlatar belakang keilmuan Sastra Arab.  Saya juga menyukai karya-karya Leo Tolstoy, Edgar Allan Poe, John Steinbeck, Kafka, Borges, dan lain-lain. Saya pun menggemari eksperimentasi teknik bercerita cerpenis Soni Karseno, terutama cerpen Sentimentalisme Calon Mayat. Juga mengagumi gaya menulis Pramoedya Ananta Toer, terutama dalam Tetralogi Bumi manusia. Tapi yang berpengaruh pada semangat kepengarangan saya adalah cerita-cerita lisan tanpa nama pengarang yang saya dengar dari orang-orang dekat di masa kanak-kanak. Cerita-cerita tentang orang-orang kebal senjata, tentang centeng pasar ikan yang tak terkalahkan. Cerita-cerita gelap tentang perempuan yang bisa mendukuni banyak laki-laki, dan lain-lain. Kelisanan itu tak pernah menguap dari kenangan saya.     


Cerpen Reuni Dua Sejoli berkisah tentang masa lalu yang berbeda dengan cerpen yang lain. Cerpen lain berlatar daerah dan legenda sementara yang ini lebih banyak menceritakan perasaan lelaki dan perempuan yang tak terhubung secara langsung dengan adat. Meski terkesan ‘menyesatkan’ menurut saya sebagai cerpen pembuka karena tema masa lalu yang dibawa kumpulan cerpen ini kemudian menjadi berbeda dengan Reuni Dua Sejoli, cerpen ini memancing keingintahuan tersendiri. Apa latar belakang penulisan cerpen ini, dan mengapa dianggap sesuai untuk disatukan dengan cerpen yang lain?

Payung tematik dari kumcer Anak-anak Masa Lalu adalah masa lalu itu sendiri. Reuni Dua Sejoli juga berangkat dari kasih tak sampai di masa silam. Saya tetap berangkat dari alam kultural Minangkabau meski dari segi ungkapan prosaik barangkali terkesan agak modern dan urban. Di sana, bisa punya anak itu adalah simbol, dan sekaligus perkakas kekuasaan. Tidak punya anak adalah aib, dan karena itu bisa menjadi dalil guna mengabsahkan ketersingkiran, bahkan ketertindasan pihak-pihak tertentu, terutama kaum perempuan. Kemandulan adalah ketakmujuran masa silam yang tidak akan pernah dapat diselamatkan hingga akhir hayat sekalipun. Di sini, waktu di masa lalu, adalah juga waktu di masa kini, dan situasinya tetap terhina, tersingkir, dan tercibir.  


Dalam Dua Rahasia, Dua Kematian, Ambai-Ambai dan Orang-Orang Larenjang, mitos ditegakkan sebagai sesuatu yang seolah mewakili kebenaran absolut. Yang bila dilanggar, akan menuai bala. Apa yg sebenarnya ingin disampaikan melalui 3 cerpen tersebut?

Saya tidak mungkin menjadi mufassir dari karya saya sendiri. Sebaiknya biarkan saja pembaca menikmati dan menyikapinya sesuai dengan persepsi masing-masing. Perihal mitos yang dimaksud, kebetulan saya berlatar belakang filsafat.  Bagi saya, mitos tidak sungguh-sungguh runtuh oleh kedigdayaan “logos” dalam tradisi filsafat modern. Dalam kenyataannya, mitos tetap menyala di mana-mana. Banyak orang, bahkan manusia-manusia urban sekalipun, masih hidup dalam mitos. Seorang Ph.D  jebolan universitas luar negeri  masih gemar mengoleksi keris.  Seorang politisi tidak bisa sungguh-sungguh mengabaikan kontribusi dukun dalam pemenangan Pilkada. Apakah saya sedang membela atau bahkan berpihak? Yang pasti, saya masih melihat kejernihan dalam mitos, dan saya nyaman berada di dalamnya.       


Semoga tidak keliru, Anak-Anak Masa Lalu adalah kumpulan cerpen pertama yang memuat kisah masa kecil Damhuri Muhammad (di bagian epilog). Adakah alasan khusus?

Menulis cerita, bagi saya, adalah menapaktilasi kembali keriangan masa kanak-kanak yang hilang, atau bahkan sengaja dilenyapkan oleh despotisme regim keluarga besar dalam tatanan masyarakat komunal. Setiap keluarga berupaya membangun imperium-imperium kecil dengan pencapaian-pencapaian material tertentu. Ingin tampak cemerlang dan terpandang dari permukaan, padahal banyak kebusukan dan kebobrokan yang sengaja ditutup rapat-rapat. Ada unit-unit lemah dan tak berdaya yang disadari atau tak, telah dimanfaatkan dan bila perlu dikorbankan. Kita berteriak antikorupsi hanya untuk orang-orang di luar lingkungan keluarga. Kalau anak-cucu kita sendiri yang melakukannya, kita akan sembunyikan itu sebagai aib yang tak perlu diungkapkan, karena akan mendistorsi wibawa imperium keluarga besar. Saya berada dalam pusaran ertos kebasa-basian, kemunafikan, bahkan “kejahatan” yang digunakan sebagai dalil guna melindungi kejumawaan sebuah regim keluarga besar. Saya berdiri di pihak yang menolak hipokrasi.


Kisah-kisah berlatar budaya daerah sudah biasa dan banyak diangkat oleh penulis lain. Yang mana menurut saya justru memiliki keunikan tersendiri. Tidak ‘ndeso’ sama sekali seperti diungkap di bagian epilog. Cerpen-cerpen semacam ini bukannya yang banyak dicari surat kabar untuk rubrik fiksinya? Mengapa merasa ‘ndeso’?

Saya nyaman berdiri di pinggiran. Mengarahkan “pukulan” dari pinggiran adalah cara bertarung yang tak terduga. Pinggiran adalah medan kesenyapan yang selalu menjadi ancaman bagi orang-orang yang sedang membangun panggung kegirangan dalam gelanggang keramaian.   


Adakah cerpen dalam Anak-Anak Masa Lalu yang memiliki kisah tersendiri dalam penulisannya? Misal : ditulis dalam jangka waktu yang lama, atau risetnya sulit, dan lain sebagainya.

Hampir semua cerita saya digarap dalam waktu yang lama. Dalam setahun paling banyak saya hanya bisa punya tiga cerpen. Saya menghindari iklim fabrikasi cerpen yang sedang melanda banyak pengarang muda di Indonesia. Saya tidak mengejar jumlah publikasi. Lebih baik satu, tetapi dapat “menganggu” pikiran banyak orang, ketimbang melimpah-ruah, tetapi murah.


Tokoh-tokoh dalam cerita, apakah murni diciptakan untuk cerita tersebut atau exist di kehidupan Damhuri Muhammad?

Tak ada tokoh imajiner yang datang dari ruang kosong. Silsilahnya pasti ada. Sidik-jarinya bisa dilacak. Baik dalam lingkungan keseharian saya, maupun dalam ruang-ruang sosial di luar subjek pengarang.


Mengapa memilih menekuni cerpen dibanding bentuk prosa yg lain?

Cerpen memang pendek, tapi selalu terasa tak kunjung selesai dituliskan. Saya menyukai gagasan-gagasan padat,  lugas, dan tegas. Dalam tubuh cerpen tak ada kulit. Semuanya isi. Semuanya substansi. Sejauh ini cerpen masih memberikan banyak tantangan bagi saya. Tapi bukan tidak mungkin, kelak saya akan menulis novel. 


Apakah dalam menulis cerpen kerap melakukan tulis ulang (rewriting)?

Bukan tulis-ulang, tapi kerja editing-nya. Setelah kelar satu cerpen, saya menyuntingnya berulang-ulang hingga tidak ada lagi yang terasa ganjil. Saya tidak gampang puas, dan karena itu penyuntingannya bisa sangat lama. Cerpen yang berhasil saya tulis tahun ini boleh jadi saya siarkan tahun depan, atau mungkin tidak saya siarkan sama sekali. Lama, pokoknya.


Apakah menjadi penulis adalah cita-cita Damhuri Muhammad sejak kecil? Kalau tidak, cita-citanya dulu apa?

Sejak SD saya bercita-cita hendak menjadi ustadz atau mubaligh. Sejak duduk di bangku Madrasah Tsawiyah Negeri (MTsN) saya sudah tampil di mimbar-mimbar pengajian. Semasa di Madrasah Aliyah Negeri (MAN)  saya sudah tampil sebagai khatib Jumat dan khatib shalat Ied. Lumayan kondang nama saja sebagai mubaligh muda, setidaknya di wilayah kabupaten saya. Tapi lama-lama saya jenuh, dan saya merasa tidak mungkin mencari nafkah dari sekadar tampil dari mimbar ke mimbar sebagai penceramah. Tidak akan nyaman membiayai hidup dengan honorarium sebagai penceramah. Saya putar haluan ke dunia buku, dunia membaca, terutama dunia cerita dan bacaan-bacaan filsafat. Dunia membaca inilah yang kemudian mengantarkan saya pada dunia menulis.


Dua kali menjadi juri Khatulistiwa Literary Award, apa harapannya terhadap dunia literasi tanah air? Khususnya fiksi literasi.

Saya membayangkan dunia sastra ini meluas. Tidak hanya dibaca oleh orang yang itu-itu saja. Gerakan literasi tidak cukup dengan memproduksi bacaan saja, tapi juga mendorong dan menggerakkan banyak orang untuk bersenang membaca.  250 juta penduduk Indonesia, tapi tiras cetak buku sastra hanya 1000 eksemplar.  Itupun berdebu di rak toko buku selama bertahun-tahun. Toko buku bahkan sudah menolak display buku puisi. Bagi saya, lebih baik mengupayakan karya sastra itu dibaca dan diapresiasi oleh bangsa sendiri, ketimbang kasak-kasuk menerjemahkannya ke dalam bahasa asing,  agar sastra Indonesia menjadi warga sastra dunia. Untuk apa mendunia dengan segala macam perolehan piala, bila bangsa sendiri dibiarkan terpuruk dalam buta huruf? ‎


Biodata

Foto koleksi Damhuri Muhammad
Damhuri Muhammad, lahir di Payakumbuh (Sumbar), pada 1974. Alumnus Pascasarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2001). Bermukim di Depok (Jawa Barat). Ia menulis cerpen, esai seni, kritik buku, artikel budaya, di sejumlah media nasional. Karya fiksinya yang sudah terbit: Laras (2005), Lidah Sembilu (2006), Juru Masak (2009), Anak-anak Masa Lalu (2015). Cerpennya Ratap Gadis Suayan, Bigau, Orang-orang Larenjang, dan Lelaki Ragi dan Perempuan Santan, terpilih dalam buku cerpen pilihan Kompas, pada tahun pemilihan yang berbeda-beda. Buku esainya; Darah-daging Sastra Indonesia (2010). Dua cerpennya Juru Masak dan Banun terpilih sebagai materi kajian cerpen dalam buku Pelajaran Bahasa Indonesia (ekspresi diri dan akademik) Kelas XI  (SMA, SMK, MA, MAK), semester 1 (Kurikulum 2013). Pada 2008 dan 2013 ia menjadi Ketua Tim Juri Khatulistiwa Literary Award (KLA). Maret 2014 dan 2015 ia didaulat sebagai Steering Board (Dewan Pengarah)  Asean Literary Festival (ALF) yang dihadiri oleh perwakilan 26 negara, dan Indonesia sebagai tuan rumahnya. Sehari-hari ia berkhidmat sebagai editor sastra, harian Media Indonesia, Jakarta. Ia bisa dihubungi di akun twitter;  @damhurimuhammad