Fiksi vs. Non-Fiksi: Dinamika, Isu, dan Masa Depan yang Semakin Kompleks



Hai semua! Kali ini mari kita bahas tentang fiksi dan non-fiksi. Ini baru pembahasan awal, di artikel ini saya sertakan pertanyaan-pertanyaan yang akan saya bahas di artikel-artikel berikutnya. Sekarang, yuk kita mulai saja pembahasannya. 

Di dunia literatur, fiksi dan non-fiksi sering dianggap sebagai dua dunia yang berlawanan—fiksi dikatakan sebagai sebuah karya yang lahir dari imajinasi penciptanya, sedangkan non-fiksi selalu diwajibkan untuk berpijak pada fakta.

Tapi, apakah benar ya, sesederhana itu? Apakah fiksi memang selalu murni hasil imajinasi penciptanya dan apakah karya yang diklaim sebagai karya non-fiksi adalah murni berdasarkan fakta saja tanpa bias dari pembuatnya? Realitanya, batas antara keduanya sering kali kabur.

Fiksi bisa saja terinspirasi dari kenyataan, sementara non-fiksi yang enak dibaca biasanya pasti menggunakan teknik bercerita ala fiksi untuk membuat fakta-fakta di dalamnya jadi lebih menarik dan mudah dipahami oleh pembacanya. 

Kini, di tengah arus digital, media sosial, dan kecerdasan buatan (AI), diskusi tentang relevansi, etika, hingga masa depan kedua genre ini jadi semakin menarik perhatian, terutama bagi generasi milenial dan Gen Z. 

Perdebatan Masa Lampau: Kebebasan dan Otentisitas

Di masa-masa yang lalu perdebatan yang biasanya terjadi adalah tentang kebebasan dan otensitas suatu karya. Karena di masa lalu gate keeper sangat berperan dalam menentukan mana yang boleh sampai atau tidak sampai kepada masyarakat umum maka sensor dan manipulasi fakta dapat terjadi dengan sangat mudah dan kuasa mutlak ada di tangan para pemegang keputusan.

1. Sensor dalam Fiksi: Mencabut Kebebasan Imajinasi

Jika diibaratkan penulis fiksi adalah arsitek dari dunia imajinasi, maka baik dalam bentuk penyuntingan berlebihan, larangan distribusi, maupun pembatasan konten, telah secara langsung merebut kebebasan penulisnya untuk membangun dunia imajinasinya.

Seorang arsitek dunia imajinasi harus diberikan kebebasan untuk menciptakan karakter, konflik, dan realitas alternatif yang memungkinkan pembacanya melihat dunia dari sudut pandang yang baru. Sensor yang berlebihan membatasi kemampuan penulis untuk mengeksplorasi tema-tema tertentu yang biasanya dianggap kontroversial, subversif, atau tidak sesuai dengan norma-norma yang ada. Akibatnya, bisa saja karya-karya yang muncul ke permukaan adalah karya-karya yang terasa dangkal, medioker, ia kehilangan elemen-elemen kejutan, dan tidak mampu menantang status quo. Fiksi kehilangan daya dobraknya.

Selain itu, sensor juga membatasi ruang eksplorasi pembaca. Banyak pembaca fiksi yang mencari pengalaman yang melampaui batas realitas mereka sehari-hari. Pembaca-pembaca semacam ini ingin merasakan emosi, memahami perspektif yang berbeda dan bahkan berkonfrontasi dengan ide-ide yang tidak nyaman. Ketika sebuah karya yang dapat memberikan hal-hal tersebut disensor maka para pembaca kehilangan akses terhadap wawasan yang lebih mendalam dan memperkaya pemahaman mereka tentang dunia.

Selain itu, fiksi seringkali menjadi cermin masyarakat. Ada pepatah yang mengatakan, fiksi meniru realita. Karena fiksi bisa menghadirkan kritik sosial yang subtil maupun terang-terangan. Fiksi bisa menghadirkan sindiran halus hingga sarkasme bahkan kecaman keras secara terang-terangan. Nah, sensor menghentikan diskusi yang mungkin terjadi sebelum diskusi itu bisa dimulai. Akibatnya, masyarakat dirampas kesempatannya untuk melakukan refleksi dan memperdebatkan isu-isu sosial yang penting. Hal ini bisa menciptakan kebuntuan intelektual karena ide-ide yang berlawanan dibungkam sebelum berkembang atau diuji di ruang publik.

Hal ini jelas menunjukkan dominasi kekuasaan tertentu, apakah itu dari pemerintah yang represif, institusi yang dominan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh atau kelompok sosial tertentu yang memaksakan agenda dan kepercayaan mereka menjadi norma yang harus dianut oleh semua orang. Kondisi semacam ini menciptakan realitas yang sempit dan homogen karena membungkam keberagaman suara yang sebetulnya dapat menjadi kekayaan dalam sebuah karya.

Padahal, fiksi seharusnya adalah sebuah ruang yang aman untuk melakukan percobaan-percobaan. Di dalam bangunan arsitek fiksi seharusnya baik penulis maupun pembacanya dapat bereskperimen dengan ide-ide tanpa konsekuensi langsung di dunia nyata. Sensor merupakan ancaman yang merusak zona aman ini, karena penulis menjadi ragu untuk berkarya dengan jujur atau menjadi takut untuk melakukan eksplorasi. Akibatnya, pembaca tidak memperoleh bacaan-bacaan yang menantang.

Dulu, novel 1984 karya George Orwell yang menggambarkan totalitarianisme dengan tajam sempat dilarang di banyak negara. Di Indonesia, novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer pernah dianggap subversif karena menggugah kesadaran anti-kolonialisme.

Pertanyaan yang bisa kita diskusikan adalah: Sampai sejauh mana negara atau otoritas bisa mengontrol apa yang boleh dibaca masyarakat? Apakah sensor adalah alat pelindung atau senjata politik?

2. Manipulasi Fakta dalam Non-Fiksi

Non-fiksi, yang seharusnya berdasarkan fakta, juga punya masa lalu penuh manipulasi, fakta yang seharusnya jadi bintang utamanya dalam kenyataannya seringkali dipermainkan untuk tujuan tertentu. Sejarah kolonial sering ditulis dari sudut pandang penjajah, mengabaikan pengalaman masyarakat terjajah. Memoar tokoh terkenal kadang dilebih-lebihkan untuk membangun mitos. Demikianlah fakta-fakta yang sakral itu dimanipulasi dengan sangat lihai sehingga batas antara fakta dan fiksi menjadi buram. 

Apa saja wajah-wajah manipulasi fakta yang bisa dilakukan? 

Pilah-pilih fakta untuk disajikan, sehingga hanya fakta-fakta yang mendukung narasi tertentu yang ditampilkan sementara yang dapat merusak sudut pandnag sengaja diabaikan atau disembunyikan. Dengan begitu, pembaca memang memperoleh informasi yang berdasarkan fakta, tetapi bukan informasi yang utuh.

Fakta seringkali membutuhkan konteks. Tanpa konteks, pembaca bisa salah memahami apa yang sebenarnya terjadi, sehingga melenceng jauh dari kenyataan. Ketika konteks dipotong dari sebuah fakta maka dapat terjadi kesalahpahaman yang sangat besar bahkan berdampak merusak.

Fakta juga bisa dibingkai ulang ketika disajikan kepada pembaca tergantung pada agenda penulisnya. Misalnya saja, ketika terjadi sebuah demonstrasi, media bisa membingkai (dalam keseharian kita lebih sering mendengar istilah 'framing') aksi tersebut sebagai "protes damai" atau "kerusuhan" tergantung pada agenda editorial mereka.

Ketika kita memahami hal-hal ini, kita bisa lebih hati-hati dan kritis dalam melihat fakta-fakta yang disajikan disekeliling kita sehingga kita bisa mencerna dengan lebih baik, dan mencari tahu sendiri ketika insting kita mengatakan ada fakta-fakta yang disembunyikan atau penasaran apakah fakta tersebut telah sesuai konteks.

Yang bikin penasaran juga tentu saja adalah, kenapa sih fakta-fakta yang konon sakral itu rentan dimanipulasi? 

Alasannya bisa macam-macam atau gabungan dari segala macam tersebut.

Alasan politis biasanya yang paling jelas. Non-fiksi seringkali dipakai sebagai alat propaganda untuk memperkuat atau mengokohkan ideologi tertentu. Bisa juga demi cuan, karena kontroversi dan drama selalu laku untuk dijual, maka manipulasi fakta dalam show-show gosip seleb misalnya, bisa membuat berita itu menjadi lebih menarik dan lebih laris. Karena fakta bisa jadi sangat membosankan atau terlampau sulit untuk dipahami oleh awam, maka ia diberi bumbu dramatis yang dianggap sebagai hal yang wajar untuk menghidupkan sebuah narasi.

Apa dong dampak dari praktek-praktek jelek manipulasi data? 

Pastinya, pembaca bisa menjadi skeptis karena kepercayaan yang ambyar ketika manipulasi itu terbongkar. Reputasi dan kredibilitas penulis dan media bisa runtuh begitu saja. Tapi hal itu tidak sebanding dengan dampak yang jauh lebih besar lagi yaitu penyesatan opini publik akibat narasi palsu. Sejarah pun bisa dipermainkan karena generasi yang tidak mengalami secara langsung menerima pemahaman yang tidak tepat tentang peristiwa-peristiwa penting atau tokoh-tokoh besar.

Kasus-kasus kontroversial yang pernah terjadi yaitu, buku memoar A Million Little Pieces oleh James Frey yang ternyata detil-detilnya lebih banyak fiksi daripada fakta. Pengingkaran tentang holocaust juga sengaja ditulis untuk mengaburkan fakta sejarah. Di Indonesia, usaha-usaha pengaburan sejarah juga banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu.

Jika penulis fiksi adalah arsitek yang membangun sebuah cerita, maka penulis non-fiksi adalah detektif pencari kebenaran. Ia harus menggali fakta, mencari bukti, dan menghubungkan berbagai potongan informasi untuk mengungkapkan kebenaran. Penulis non-fiksi harus memastikan detail yang disajikannya memiliki dasar yang kuat dan bisa dipertanggungjawaban. Sebagai detektif pencari kebenaran seharusnya memiliki jiwa yang tidak koruptif sehingga dapat memantulkan kenyataan sebagaimana adanya, memberikan gambaran yang jelas, tanpa distorsi. Tentu saja tetap disertai kemampuan membentuk cerita yang tidak hanya informatif tetapi juga memikat pembaca.

Pertanyaan yang bisa kita jadikan diskusi adalah: Apakah non-fiksi harus netral? Atau bisakah perspektif pribadi penulis diterima sebagai bagian dari narasi?

Dinamika Masa Kini: Teknologi, Media Digital, dan Krisis Kepercayaan

Sekarang, apa sih dinamika masa kini yang sedang dihadapi oleh anak-anak jaman now, selain warisan masalah masa lalu yang tidak bisa kita pungkiri sebenarnya sampai kini pun masih terjadi juga? 

Generasi masa kini menghadapi tantangan baru: dari algoritma media sosial hingga AI yang mengaburkan batas antara fakta dan fiksi. 

Bisa dikatakan bahwa generasi ini adalah generasi algoritma. Karena di hari-hari ini, kita hidup di dunia di mana setiap scroll membawa kita lebih dalam ke labirin informasi. Tapi nih, apakah yang kita lihat itu semuanya benar-benar real? ATAU hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma untuk membuat kita terjebak lebih lama di dalamnya?

1. Karya Generative AI: Kreasi atau Plagiasi?

AI seperti ChatGPT atau MidJourney telah menciptakan karya yang menakjubkan, tapi kontroversial.

Dalam fiksi, AI menghasilkan cerita kompleks, menimbulkan pertanyaan soal orisinalitas.

Dalam non-fiksi, AI dapat memproduksi artikel berbasis data yang kadang misleading karena kurangnya intuisi manusia.

Apakah kita siap menerima AI sebagai "penulis" sah? Bagaimana aturan hak cipta diterapkan?

2. Fake News dan Disinformasi: Ancaman Nyata Non-Fiksi

Di era post-truth, non-fiksi menghadapi ujian berat. Buku, artikel, bahkan dokumenter sering menjadi alat penyebaran teori konspirasi atau propaganda.

Tantangan: Bagaimana membedakan antara laporan jurnalisme investigasi yang kredibel dan narasi palsu yang terlihat "ilmiah"?

3. Representasi dalam Fiksi: Imajinasi vs. Autentisitas

Isu representasi semakin ramai.

Seorang penulis laki-laki menulis tentang pengalaman perempuan atau penulis kulit putih menulis kisah minoritas sering dianggap kurang autentik.

Apakah penulis harus berbatas pada pengalaman pribadinya, ataukah imajinasi adalah hak semua orang?

 Masa Depan: Dunia Hybrid dan Tantangan Baru

1. Literasi di Era Konten Instan

Di tengah maraknya konten video pendek seperti TikTok, minat membaca buku terancam menurun. Apakah literatur bisa bertahan dalam format yang sesuai dengan generasi muda?

2. Deepfake: Manipulasi Fakta dan Imajinasi

Teknologi deepfake bisa menciptakan "kenyataan palsu" yang sulit dibedakan dari fakta asli. Jika fiksi dan non-fiksi sama-sama dimanipulasi, bagaimana kita menjaga kepercayaan terhadap literatur?

3. Genre Baru: Autofiksi dan Eksperimen Narasi

Genre seperti autofiksi—campuran autobiografi dan fiksi—semakin populer. Apakah kita siap dengan dunia di mana fakta dan imajinasi bukan lagi kategori terpisah, melainkan spektrum?

 Pro-Kontra Kontemporer dalam Fiksi dan Non-Fiksi

Fiksi: Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab

1. Pro: Fiksi memungkinkan kritik sosial dengan cara yang menggugah dan imajinatif.

2. Kontra: Representasi yang salah bisa memperkuat stereotip atau melukai kelompok tertentu.

Non-Fiksi: Fakta vs. Narasi Pribadi

1. Pro: Non-fiksi membantu masyarakat memahami dunia dengan data yang dapat diverifikasi.

2. Kontra: Perspektif subjektif sering kali menimbulkan bias yang sulit dihindari.

Menggali Potensi Baru

1. Fiksi Berbasis Realita Alternatif:

Bagaimana jika sejarah ditulis ulang? Misalnya, skenario "Apa yang terjadi jika Revolusi Industri dimulai di Asia?"

2. Non-Fiksi Kreatif: Menyajikan fakta dalam bentuk narasi yang interaktif dan imersif, seperti kombinasi buku dan augmented reality (AR).

3. Kolaborasi AI dan Penulis: Penulis manusia bekerja sama dengan AI untuk menghasilkan karya dengan kedalaman emosional sekaligus keakuratan data.

Pertanyaan untuk Generasi Masa Kini

1. Apakah menambahkan elemen fiksi dalam non-fiksi adalah pelanggaran etika?

2. Bagaimana literatur bertahan di tengah dominasi konten visual?

3. Apakah teknologi seperti AI dan deepfake membawa lebih banyak manfaat atau kerugian bagi literatur?

4.Haruskah karya fiksi selalu punya tanggung jawab sosial, atau boleh sepenuhnya bebas?

 Kesimpulan:

Fiksi dan non-fiksi adalah wajah dari kebutuhan manusia untuk memahami dunia sekaligus melampauinya. Di masa depan, keduanya akan terus saling memengaruhi dan menginspirasi.

Tantangannya adalah menjaga keseimbangan: antara fakta dan imajinasi, otentisitas dan kreativitas, kebebasan dan tanggung jawab. 

Dunia literatur tidak hanya soal cerita, tapi juga soal bagaimana kita menavigasi realitas yang semakin kompleks.

Bagaimana menurutmu? Tinggalkan komentar dan opinimu di kolom komentar ya, mari kita berdiskusi. 


Post a Comment

6 Comments

  1. Non-fiksi berdasarkan kejadian (yang seharusnya) nyata, berupa catatan peristiwa, dokumentasi. Sering orang mempertanyakan apakah dokumentasi atau catatan peristiwa itu sungguh terjadi atau hanya fiksi semata?
    Sementara fiksi adalah hasil karya yang bisa jadi terinspirasi dari kejadian nyata, misalnya novel2 yang ceritanya konspirasi dalam kerajaan di negara tertentu...
    Jd saling terkait ya antara fiksi dan non fiksi ...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener banget, dalam usaha gw untuk menulis drama political thriller ini, gw juga ternyata harus banyak2 baca2 yg non-fiksi untuk membangun fiksi yang masuk akal. Yaiyalah, sbb kita kan hidup di dunia yang berdasarkan fakta2 dari peristiwa2 ya, cuma perspektif masing2 org bisa beda2 aja trhdp suatu peristiwa tergantung dari sisi mana dia mau memandangnya.

      Delete
  2. aku biasanya ga terlalu suka baca non fiksi :D.. tapi sekarang ini non fiksi banyak yg ditulis dengan gaya bercerita dan jadinya malah asyik dibaca.. salah satu yg aku suka cerita2 mba Trinity traveler dalam bukunya naked traveler. sukaaa banget.. sejak itu aku suka baca non fiksi yg dibungkus seperti cerita.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betuuuul, itu kuncinya di storytelling, jd memakai teknik2 penceritaan yg dipakai penulis fiksi utk menceritakan pengalaman pribadi atau hal2 non-fiksi lainnya. Jadi ingat soal cerita kalo di pelajaran matematika.. tapi kadang malah jd susah 😅🤣 karena ada jebakan betmennya

      Delete
  3. Padahal fiksi dan non-fiksi jika dipadukan dalam satu cerita asal alurnya menarik bisa bagus. Contohnya novel Gadis Kretek, kisah di dalamnya fiksi tapi ada gerakan G30S PKI dalam ceritanya itu kisah nyata.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar sekali, karena novel Gadis Kretek besutan Ratih Kumala itu adalah fiksi sejarah. Ini genre fiksi yang paling seru sih, karena menyeimbangkan antara fakta2 sejarah dan elemen2 cerita fiksi, atau cerita fiksi dengan sentuhan sejarah di dalamnya.

      Delete