Bagian 10 

Rangon, 8 Agustus 1988. 

Jerit-pekik histeria massa mengoyak-moyak langit kota Rangon, mengguncang singgasana pemerintahan Jenderal Ne Win. Ratusan ribu orang itu menuntut restorasi pemerintahan yang demokratis. Thaung Myat, anak lelaki 8 tahun, meraung-raung di sisi tubuh ayahnya yang bersimbah darah. Pinggang guru matematika di sebuah SMA itu tertembus pelor. Untung tiga orang muridnya segera menolong, membopongnya menuju Rumah Sakit Umum Rangon. Diiringi teriakan-teriakan lantang para demonstran, kaki-kaki kecil Thaung Myat mengekor langkah lebar mereka.

Thaung Myat tak tahu sudah berapa lama dirinya terisak-isak di dekat tubuh ayahnya yang tergolek di atas ranjang rumah sakit. Punggungnya berjingkat ketika sepasang lengan memeluknya dari belakang. Lengan ibunya. Isakan Thaung Myat berubah tangisan. Sang ibu menurunkan adiknya dari gendongan.

“Kamu anak pemberani, Thaung…” bisiknya, “shhh… shhh… berhenti menangis… lihat adikmu tidak menangis…” tangan ibunya mengelus rambut tipis adik perempuannya, “kamu sudah besar, bisa menolong ayahmu…” Perempuan berlongyi ungu itu merentangkan dua lengannya, meraup dua anaknya ke dalam pelukan.




Kamis Tips Nulis kali ini agak narsis sedikit nih… #DJTwitKF @RiaTumimomor ingin mengulas tentang bukunya sendiri yang sempat diterbitkan dalam bentuk ebook via Evolitera dan secara Indie lewat Nulis Buku. Tapi sekarang buku itu sedang gue tarik karena akan di revisi lagi. Soalnya nih, menurut masukan yang sangat berguna dari Miss G; cerita disana lebih banyak sebagai pembuka alias belum selesai.

But, anyway…kita tinggalkan masalah selesai belum selesainya cerita itu. Sekarang mari kita membahas proses menulis cerita dari Cuplikan Kisah Si Jomblo (CKSJ) ini.
Bagian 9

Sejak kembali ke hotel karena gagal masuk Ban Luang, Rudi hanya duduk-duduk sambil merokok di teras restoran. Sudah hampir 2 jam. Antara satu sedotan rokok dengan lainnya diselingi satu tegukan bir, langsung dari botolnya. Matanya ia lepaskan, menyeberangi danau, melewati perbukitan.

Aku dan Tim sedang menyelesaikan administrasi dengan petugas hotel. Kami akan kembali ke Bangkok besok pagi, satu malam lebih cepat dari rencana, tak ada lagi yang harus kami lakukan di lapangan bila tak bisa masuk ke kamp pengungsi. Manager hotel hanya bisa mengembalikan 40% dari tarif kamar satu malam terakhir.

Kami bergabung dengan Rudi untuk makan siang. Ruang terbuka di depan teras restoran dinaungi rimbun pohonan, di sana-sini diletakkan kursi batu. Untuk duduk di situ orang harus masuk ke lobby dulu, menyeberangi restoran, lalu menuruni lima anak tangga.

Tim memesan club sandwich dan sebotol bir lokal. Rudi memilih nasi goreng vegetarian. Selera makanku hilang, hanya kupesan es teh lemon dan gloy bautchee, semacam kolak pisang yang kuahnya direbus sebentar agar warna santannya tetap putih.

Foto diambil dari koleksi pribadi: Ria Tumimomor
Setting Dalam Novel

Sahabat Kampung Fiksi, tips menulis di hari Kamis ini masih melanjutkan tentang setting. Mbak Endah Raharjo menyusun tips setting dalam novel untuk sahabat KF jadi yuk kita simak.

Buku The Lord of the Rings edisi pertama yang terbit pada Juli 1954 disertai lembaran peta besar ~ dicetak dua warna merah dan hitam ~ yang dilipat-lipat dan dilampirkan di bagian belakang buku. Peta itu menunjukkan wilayah bagian barat Middle-earth, Rohan, Gondor, Mordor, dan sebagian wilayah Shire, tempat bermukim para Hobbits. Dalam edisi selanjutnya (milik saya edisi 1994, Three-volume Boxed Set dari Houghton Mifflin, New York) supaya lebih praktis peta-petanya dibuat selebar halaman buku, hanya dicetak hitam saja.
Bagian 8

Awan nimbostratus terbentang di atas perbukitan. Tanpa melihat jam, sulit menengarai apakah matahari telah lingsir atau masih bertahta di cakrawala. Dari jendela kulihat dua balita tengah berlarian bersama ayah mereka di atas rumput yang basah oleh gerimis. Rudi sedang berburu foto untuk keperluannya sendiri. Tong Rang entah dimana, sejak berpisah di rumah panggung aku belum melihatnya.

Aku keluar kamar. Di teras restoran, yang kursi-kursinya ditata menghadap danau, kulihat Tim duduk sendirian. Ia melambai ketika melihatku menapaki tangga untuk bergabung dengannya.

“Draft proposal. Baru 80%,” kuangsurkan sebatang flashdisk.

“Terima kasih.” Benda mungil itu ia taruh ke dalam kantung peralatannya. “Duduk.” Kepalanya bergerak ke kursi di samping kanannya. “Kamu kelihatan kacau… Kopi? Teh?” Tim mengangkat tangannya, memanggil pelayan. Kupesan secangkir coklat panas.

Foto diambil dari koleksi pribadi Ria Tumimomor

Kamis Tips Nulis kemarin menghadirkan tips nulis dari salah satu bungloners yang beken dengan sebutan Emak Gaul alias : Winda Krisnadefa

Topiknya sendiri adalah mengenai setting sebagai berikut ini.

Dalam cerita fiksi, ada beberapa unsur penting yg hrs diperhatikan: tema, plot, setting dan karakter. Ke4 unsur ini jika penulis lihai meramunya akan menjadi satu kesatuan yg akhirnya menguatkan cerita dr berbagai sudut.
Sayangnya, kebanyakan penulis terlalu byk berkonsentrasi di plot dan karakter, sehingga setting (waktu dan tempat) kdg terabaikan. Pdhl kalau seeting kuat, cerita akan makin menarik dan banyak sekali celah utk memperdalam konflik dalam cerita. Sbg contoh, novel sejarah Parijs Van Java, Remy Silado yg kental sekali penggambaran setting tempat dan waktunya. Sehingga kisahnya sendiri menjadi lebih kuat krn pembaca bisa ikut merasakan berada di tempat dan waktu kejadian diceritakan.Laskar Pelangi, Andrea Hirata, juga kuat dlm penggambaran setting tempat. 
Walaupun menurut saya pribadi utk setting waktu tidak terlalu mendalam diceritakan. Menurut Remy Silado, utk bisa mendapatkan gambaran kuat akan setting, terutama setting tempat, riset langsung adalah yg plg ideal utk dilakukan penulis. Tapi kan itu makan waktu dan biaya? Apalagi kalau kita ingin menulis ttg cerita di luar negeri,
yg boro2 bisa ke sana, ngebayanginnya aja susah. Tips utk mendapat feel yg kuat utk setting tempat tanpa hrs datang langsung ke lokasi adalah melihat foto dan membaca detil seputar area tsb. Bagaimana iklim di sana, apa kebiasaan masy di sana, jam berapa matahari terbit di daerah itu, bagaimana kondisi ekonomi masy sekitar dsb. Kalau kita menulis cerita fantasi yg setting tempatnya tdk ada di dunia nyata, maka kemampuan mengeksplorasi imajinasi adalah yg paling penting. Bayangkan dgn sungguh2, kalau perlu gambarkan seperti apa istana para peri di negeri mereka. Apakah bersinar terang atau redup? Apakah mengeluarkan aroma strawberry atau plum?
Membuat setting cerita erat kaitannya dgn riset dan data. Walaupun cerita fiksi (non fantasi) kita tdk bisa seenaknya menggambarkan sebuah desa di daerah tropis tiba2 saja hujan salju, misalnya. Kecuali kalau ada unsur misteri/mistik di dalamnya, mungkin saja. Penggambaran tempat dan waktu, terutama di tempat2 yg memang ada di dunia nyata,
jgn sampai mengabaikan akal sehat. Untuk mempertajam kelihaian memainkan setting cerita perbanyak membaca novel yg agak berat dan panjang karena dibanding cerpen, novel lebih byk memuat kemunculan setting tempat dan waktu. Untuk berlatih lihat atau ingat2 satu lokasi/waktu tertentu, lalu free writing ttg deskripsi lokasi/waktu tsb. Semua ini bukan teori baku sih, saya buat berdasarkan pengalaman menulis banyak naskah panjang. Semoga bermanfaat.
Di sebuah kompleks biara, kira-kira 10 kilometer dari Sangkhlaburi ke arah Three Pagodas Pass. 

Tim asyik berbincang dengan Father Sap. Lelaki keturunan Mon berusia 70 tahun itu terlihat bersih dan berwibawa dalam balutan kain katun kasar warna safron. Kulit wajah dan pundak sang bhiksu menyerupai tembaga, berkilau tertimpa matahari pukul 10 pagi. Mereka duduk di kursi batu, berhadap-hadapan, dinaungi pohonan ekaliptus, di halaman belakang kompleks biara. Gesekan daunan terhembus angin, menyenandungkan orchestra alam.

Father Sap adalah salah satu bhiksu senior di biara khusus untuk kaum Mon. Ia sangat disegani dan dikenal luas oleh tokoh-tokoh agama, pemerintah, pegiat LSM hingga wakil-wakil UNHCR, UNICEF dan Peacebuilding Commission. Ia jarang ketinggalam dalam setiap usaha penyelamatan pengungsi dan upaya-upaya perdamaian di kawasan perbatasan Thailand bagian barat.

Setelah keduanya puas mengenang almarhum Aung Tin, Tim menyampaikan tujuan khususnya kali ini. Father Sap sudah mengenal Tim sejak bapak satu anak itu masih kanak-kanak, sewaktu pertama kali dibawa ibunya berkelana di Timur Jauh. Tim dan jaringan kerjanya sudah membantu memindahkan puluhan pengungsi ke negara ketiga.