Tim asyik berbincang dengan Father Sap. Lelaki keturunan Mon berusia 70 tahun itu terlihat bersih dan berwibawa dalam balutan kain katun kasar warna safron. Kulit wajah dan pundak sang bhiksu menyerupai tembaga, berkilau tertimpa matahari pukul 10 pagi. Mereka duduk di kursi batu, berhadap-hadapan, dinaungi pohonan ekaliptus, di halaman belakang kompleks biara. Gesekan daunan terhembus angin, menyenandungkan orchestra alam.
Father Sap adalah salah satu bhiksu senior di biara khusus untuk kaum Mon. Ia sangat disegani dan dikenal luas oleh tokoh-tokoh agama, pemerintah, pegiat LSM hingga wakil-wakil UNHCR, UNICEF dan Peacebuilding Commission. Ia jarang ketinggalam dalam setiap usaha penyelamatan pengungsi dan upaya-upaya perdamaian di kawasan perbatasan Thailand bagian barat.
Setelah keduanya puas mengenang almarhum Aung Tin, Tim menyampaikan tujuan khususnya kali ini. Father Sap sudah mengenal Tim sejak bapak satu anak itu masih kanak-kanak, sewaktu pertama kali dibawa ibunya berkelana di Timur Jauh. Tim dan jaringan kerjanya sudah membantu memindahkan puluhan pengungsi ke negara ketiga.
Father Sap bercerita tentang situasi akhir-akhir ini. Menurutnya liputan media tidak semuanya akurat. Beberapa berita justru memicu timbulnya konflik baru. Father Sap paham bahwa media punya ideologi sendiri dan para pewartanya mau tak mau bekerja sambil mengusung ideologi itu.
“Yang membuat saya risau adalah jejaring sosial -- apapun itu artinya. Penggunanya kadang-kadang emosional, tanpa paham situasinya, tanpa pikir panjang mereka menulis berita atau memasang foto-foto yang disebarkan lintas negara, lalu menuai reaksi membabi-buta,” renung bhiksu bertubuh lampai itu. “Peranan internet besar dalam menyebarkan kebaikan ke seluruh penjuru dunia, namun keburukannya sulit dicegah. Itulah dunia fana… tak ada kebaikan yang tak dibayang-bayangi keburukan. Sayangnya keburukan sering menyilaukan mata, hingga kebaikan menjadi kabur.” Mata sipit Father Sap melihat ke tanah, mengikuti dedaun kering yang meliuk-liuk dipermainkan angin bulan Februari. Tim melepas kacamata, membersihkan lensanya dari serbuk-serbuk bunga yang disebarkan angin. Mata coklatnya menatap ke atas.
Father Sap menyerahkan sebendel dokumen terbungkus amplop putih tebal ukuran kuarto dengan dua garis merah selebar 1 cm di salah satu sudutnya. Tim menerimanya dengan hati-hati, memasukkannya ke dalam ransel. “Akan saya jaga dengan nyawa saya."
“Dan Tuhan akan menjaga nyawamu, anakku,” Father Sap mendongak, mengangkat dua tangannya. “Selain itu, jangan lupa, ada orang yang sudah menyiapkan semuanya. Kamu tinggal mengurus hal-hal kecil saja,” Father Sap tersenyum samar, menyebut nama seorang lelaki yang sudah sering didengar Tim. “Kapan kamu akan meluangkan waktu menemuinya? Ia sangat ingin mengenalmu,” tambah Father Sap.
“Kali ini akan saya luangkan waktu. Saya janji,” Tim menghela nafas sambil memejamkan mata, khawatir janjinya tak tertunaikan lagi.
“Insiden kemarin itu pasti ada alasannya. Saya tidak berani menduga-duga. Kalau kalian ke Ban Luang besok pagi, harap berhati-hati. Bila ada penjagaan ekstra atau muncul pos-pos tidak resmi, jangan memaksa masuk. Kalian bukan kombatan, kalian orang-orang yang bekerja untuk kemanusiaan, jadi kalian lebih bermanfaat bila tetap hidup,” Father Sap merangkul pundak Tim penuh kepedulian seorang ayah pada anaknya. "Berkali-kali saya kehilangan teman hanya karena mereka kurang waspada. Orang muda sering merasa serba mumpuni hingga bersikap sembrono; seperti kuda liar, berlari menerabas apa saja."
“Saya pamit, Father Sap. Terima kasih banyak. Semoga Tuhan memberkati kita semua.” Tim melihat seorang bhiksu muda mendugas mendekati mereka. Tim tahu Father Sap sibuk sekali. Mungkin sudah saatnya Father Sap melantunkan doa di dalam biara. “Begitu ada informasi yang lebih pasti, akan saya kabari.”
“Khap kun krap,” ucap Father Sap, “semoga Tuhan memberkatimu, keluargamu dan teman-temanmu.” Sang bhiksu memeluk tubuh Tim lalu berbalik menuju pintu belakang biara, sepangsa senyum menghias wajahnya.
Tanpa menoleh lagi Tim melintasi halaman belakang biara yang luas dan lindap. Angin menyibak rambut lurusnya ke belakang, mempertontonkan dahi yang lebar. Diantar kontaknya ia kembali ke hotel. Ia menduga di satu titik tertentu antara Three Pagodas Pass dan kamp Ban Luang akan ada transaksi narkoba atau negosiasi penyelundupan kayu. Ia mendengarkan Moonlight Sonata untuk meredam rasa gelisah. Dari cerita Father Sap, tampaknya misi mereka besok pagi menuju Ban Luang belum tentu terlaksana dengan lancar.
Tim tidak akan menceritakan hal itu pada anak buahnya. Selain tidak ingin mereka khawatir, ia juga tidak mau menyebar info yang belum pasti pada siapapun.
**
Di perbukitan, tak sampai 15 menit bermobil dari Sangkhlaburi menuju perbatasan Burma.
Kami menemukan rumah panggung tempat Tong Rang bertemu dengan perwakilan stateless people. Sepeda motor tua warna hijau milik Yan Aung terparkir di halaman. Suasana hening, sebelum dimatikan gerungan mesin SUV menembus belukar. Bagai kucing kami melompat keluar mobil, masuk ke halaman.
Yan Aung sudah berdiri menunggu di ujung tangga, bersandar di kusen pintu.
Ruang depan rumah panggung kayu itu gelap. Semua jendelanya tertutup. Suhu di dalam terasa jauh lebih sejuk dari suhu di luar rumah. Pasti karena aliran udara di bawah lantai bebas keluar masuk melewati kolongnya, mendinginkan ruang-ruang di atasnya. Satu persatu kami melewati pintu tanpa daun, masuk ke ruang tengah.
“Sawadee kha,” segera kubungkukkan badan, menyapa semua orang.
“Sawadee krap,” Rudi mengikuti.
Selain Yan Aung dan Tong Rang, di dalam ruangan ada tiga perempuan – semua mengenakan thanaka – dan enam laki-laki. Mereka duduk melingkar beralas tikar anyaman ilalang. Di depan masing-masing orang ada gelas air mineral. Salah satu yang tampak paling tua menyalami kami, mempersilakan kami duduk di tikar.
“Sabai dee mai ka?” kutanyakan kabar mereka dengan bahasa Thai. Mereka tertawa mendengar aksenku. Cara jitu untuk mencairkan suasana. “No Thai. Indonesia,” kusentuh dadaku dengan dua tangan, “Mia.”
Mereka mengangguk-angguk, beberapa mengucapkan namaku. Yan Aung memperkenalkan kami pada forum. Salah seorang perempuan yang memakai thanaka sampai ke dahi, hidung dan dagunya, melirikku, mengatakan sesuatu.
Yan Aung menerjemahkan, “katanya, apakah Anda punya buku untuk belajar bahasa Inggris? Kalau punya, apa boleh ia minta?”
“Ya. Saya punya. Di hotel. Akan saya kirim ke sini segara,” jawabanku langsung diterjemahkan oleh Yan Aung.
“Money?” Satu dari enam lelaki yang paling muda menyeletuk, mungkin itu satu dari sedikit kata bahasa Inggris yang ia tahu.
“Tidak ada uang… maaf,” aku menggeleng. Pemuda itu menunduk.
Rudi berbisik-bisik pada Yan Aung, minta ijin memotret. Tidak ada yang keberatan. Tanpa suara, Rudi beringsut, mengambil foto dari berbagai sudut.
Aku menyimak diskusi, sesekali mencatat hal-hal yang kuanggap penting. Semua wawancara dan interaksi langsung dengan pengungsi diserahkan pada Tong Rang. Ia ahli di bidang resolusi konflik dan berpengalaman menjadi mediator multipihak. Tugasku mewawancarai para pekerja lapangan atau pengurus LSM yang menangani pengungsi; lebih sederhana, tidak menguras tenaga serta emosi. Dari pengalaman teman-teman, juga dari laporan-laporan yang pernah kubaca, aku tahu perempuan korban konflik – atau kekerasan lainnya – cenderung malu atau takut bila ditanyai petugas lelaki. Idealnya, Tong Rang tidak bekerja sendiri, harus ditemani perempuan yang khusus mewawancara para perempuan.
“Mia, mereka ingin bicara denganmu.” Mata Tong Rang menunjuk dua remaja perempuan yang sejak tadi saling berbisik-bisik satu sama lain.
Kututup buku catatanku. “Aku… ummm… kamu tahu aku tidak bisa bahasa…”
“Yan Aung akan membantumu,” Tong Rang memandang Yan Aung.
“Ada ruangan lain?” Tong Rang bertanya pada salah satu lelaki yang duduk di situ, si pemilik rumah. Ia berdiri. Yan Aung, aku, dan dua remaja perempuan itu mengikutinya, masuk ke sebuah bilik kecil yang dibatasi korden lusuh dari ruang tengah. Di dalamnya ada peti teronggok di pojok, di dekatnya tergelar sebuah kasur tipis beralas tikar yang sama dengan tikar di ruang tengah.
Si pemilik rumah menggulung kasur tipis itu, menarik tikarnya agar lebih lega. Dua remaja itu duduk berdempetan. Wajah mereka berubah tegang. Yan Aung bersila sambil menunduk, air mukanya tenang. Menunggu. Kami – aku dan dua remaja itu – sedang saling menjajagi. Menimbang-nimbang, antara kuatir dan ingin berbicara secara terbuka. Aku takut mendahului, takut salah bicara, sementara dua remaja itu ragu-ragu, mungkin khawatir aku tak bisa dipercaya. Hal semacam ini bukan melulu soal bahasa. Manusia tidak hanya memakai kata-kata untuk menunjukan kemauannya, bahasa tubuh bisa lebih kuat menyampaikan pesan.
“Hello,” akhirnya aku bersuara, rendah tapi renyah. “Saya Mia,” kuletakkan tanganku ke dada. Dua remaja itu tersenyum. Aku lega. Yan Aung mengucapkan sesuatu.
“Lin Lin Aung,” ucap si gadis bercelana jeans dan berambut ekor kuda. “Lin,” ia mengangguk-angguk, minta dipanggil ‘Lin’ saja.
“Khin Yu May,” gadis satunya, yang mengenakan longyi, menyebut namanya. “May,” katanya, mendesakkan pundaknya ke pundak Lin.
Lin mengatakan sesuatu pada Yan Aung. “Mereka tidak mau direkam,” jelas Yan Aung.
“Tidak ada rekaman apapun. Tidak mencatat.” Kupindahkan ranselku dari pangkuan ke belakang punggungku.
Yan Aung menjelaskan sesuatu. May dan Lin mengangguk-angguk. May tampak lebih berani. “Mereka ingin menyampaikan sesuatu,” kata Yan Aung.
“Saya akan mendengarkan,” kurendahkan suaraku, hampir berbisik.
May dan Lin bicara pelan-pelan. Bergantian.
“Mereka dibawa lari keluar Burma oleh orang tua mereka sewaktu masih bayi, namun tidak punya dokumen sampai sekarang,” pelan suara Yan Aung. “Mereka tidak bisa sekolah. Ada orang yang minta uang dan imbalan seks bila mereka ingin punya dokumen dan sekolah. Mereka tidak mau mengalami nasib seperti kakak perempuan May yang diperkosa karena sekolah tanpa ijin,” suara Yan Aung sedikit bergetar. “Sama seperti dua gadis lainnya, teman mereka.”
Darahku mengalir lebih cepat ke kepala, membuat kulit mukaku terasa panas.
“Kakak perempuan May hamil, meninggal bersama bayinya yang belum sempat dilahirkan. Dua gadis lainnya sekarang hilang. Kemungkinan besar mereka dijual.” Yan Aung berhenti. May dan Lin juga berhenti. Suasana bilik hening hingga kami bisa mendengar nafas masing-masing.
“Selain mereka bertiga, apa ada lainnya yang dilukai?” Aku tak mampu mengucap kata diperkosa.
“Ada, tapi tidak mereka kenal secara pribadi.”
“Apa mereka tahu siapa pelakunya?” Terjadi pembicaraan antara Yan Aung dengan May dan Lin.
“Mereka tahu, tapi tidak berani menunjuk orang-orang itu.”
Orang-orang itu, pikirku, jadi ada banyak pelaku.
“Mereka tahu ada pelaku lain yang tidak mereka kenal. Mereka takut bicara soal itu. Kalau lapor petugas kamp belum tentu diperhatikan, bisa fatal bila salah orang. Mereka tidak mau hal ini diceritakan….”
“Saya berjanji tidak akan cerita….” Aku menelan ludah.
Yan Aung menyelinap keluar bilik, segera kembali dengan tiga gelas air putih. Setelah minum beberapa teguk, May bicara lagi. Kali ini wajahnya lebih santai.
“Mereka ingin dibantu agar bisa sekolah. Mereka minta buku-buku dan alat tulis.”
“Ya. Kalau buku pasti kami bantu,” tukasku cepat. Soal sekolah aku tak berkomentar. Aku tak mau menjanjikan sesuatu yang tak yakin bisa kupenuhi. “Mengapa mereka tidak ke Angel’s Hand?”
Yan Aung, Lin dan May berbincang lagi. “Sesekali mereka ke sana, tapi Angel’s Hand memprioritaskan yang punya dokumen.”
Aku ingat penjelasan Jessica. Dua remaja ini stateless. Untuk sedikit mengurangi kekecewaanku, kuminta Yan Aung nanti mengambil beberapa buku di hotel, untuk diberikan May dan Lin.
“Khap kun mark kha,” May mengucapkan banyak-banyak terima kasih, disusul oleh Lin. Mereka mengatupkan dua tangan ke dada.
“Maipenrai kha,” balasku, menangkupkan telapak tangan ke dada.
Yan Aung mengatakan tidak ada lagi yang ingin mereka sampaikan. Aku tercenung sejenak sebelum beranjak. Ingin kupeluk dua gadis remaja itu, namun aku bingung, ragu-ragu bila itu pantas. Sebagai gantinya kugenggam erat tangan mereka. Kami berpelukan lewat tatapan mata. Jantungku berdebar kencang. Saat seusia mereka, aku sibuk sekolah dan bersenang-senang. Aku tahu hidup memang bisa kejam; namun aku hanya sekedar tahu, sedangkan mereka mengalami kekejaman itu. Yang bisa kulakukan saat itu hanya mendengarkan cerita mereka. Serta merta aku merasa tak berdaya.
Kami keluar dari rumah panggung sekitar pukul 2 siang. Gerimis yang turun beberapa saat lalu kubiarkan membasahi rambut panjangku. Pemilik rumah, May dan dua orang lelaki melepas kami sampai di halaman. Tong Rang menolak kami ajak naik mobil, ia memilih membonceng motor Yan Aung, katanya ada beberapa hal yang harus ia kerjakan. Pelan-pelan mobil kami meninggalkan rumah panggung itu. Wajah May dan Lin sesekali menyembul di sela-sela semak belukar di kanan-kiri jalan.
***
nice posting friend...,
ReplyDeleteterima kasih udh kasih informasi.
salam kenal yaa, aku pian
komment n follow balik yaaa...
http://cumapian.blogspot.com/