Seseorang bertanya pada saya: bagaimanakah cerpen yang baik itu? Pertanyaan ini sulit untuk dijawab. Seperti halnya orang bertanya bagaimana orang yang baik itu? Bagaimana makanan yang enak itu? Seseorang baik menurut cara hidup yang berbeda-beda satu sama lain. Begitu pula sebuah cerpen baik dan bernilai sastra karena memiliki kualitas yang berbeda-beda. Cerpen-cerpen Chekov yang baik berbeda dengan cerpen-cerpen O Henry yang baik. Cerpen-cerpen Danarto baik, tetapi berbeda dengan cerpen-cerpen Umar Kayam yang juga baik.

Apakah tidak ada ukuran yang umum? Ada tentu saja. Sebuah cerpen yang baik adalah cerpen yang merupakan suatu kesatuan bentuk, utuh, manunggal, tak ada bagian-bagian yang tak perlu, tetapi juga tak ada sesuatu yang terlalu banyak, semuanya pas, integral dan mengandung suatu arti. Cerpen harus memberikan gambaran sesuatu yang tajam. Inilah kelebihan bentuk cerpen dari novel. Kependekan dari bentuk cerpen harus mampu memberikan pukulan tajam pada pribadi pembaca. Cerpen yang ngelantur atau kabur tidak akan dikategorikan sebagai cerpen yang baik.

Ketajaman itu bisa saja terletak pada unsur cerita atau plotnya seperti misalnya pada cerpen-cerpen O Henry atau cerpen-cerpen Trisnoyuwono, di Indonesia. Bisa juga pada unsur suasana cerita seperti kebanyakan cerpen-cerpen Umar Kayam. Atau pada unsur watak, psikologi tokoh, seperti terlihat pada cerpen-cerpen Trisno Sumardjo, Aoh Kartahadimadja dan sebagainya. Atau pada unsur setting atau tempat dan waktu terjadinya cerita seperti kita kenal pada beberapa cerpen Yusak Ananda yang banyak bercerita tentang pedalaman Kalimantan, atau pada Wildan Yatim yang selalu menghadirkan kehidupan di pedesaan Sumatra Barat.

Masing-masing cerpen memiliki nilai-nilainya sendiri yang mengangkat mereka menjadi sebuah cerpen yang baik. Hanya pada Wildan nilai-nilai kebaikannya berbeda dengan Umar Kayam. Namun keduanya memiliki keutuhan bentuk. Antara bahan yang mau dikatakan dengan cara mengatakan klop, cocok dan pas. Dan ini baru bisa dicapai setelah orang menemukan gayanya sendiri. Gaya di sini bukan hanya terbatas bagaimana cara dia bercerita (seperti misalnya Firman Muntaco selalu dengan logat Betawi) tetapi juga pemilihan bahannya, pandangan-pandangannya. Ada sesuatu yang membuat ciptaannya menjadi milik khas dirinya. Setiap cerpen Wildan Yatim selalu kembali unsur-unsur gayanya: pemilihan kata-kata yang khas daerah Mandailing, tak terdapat pada kosa kata daerah lain, penggambaran segala sesuatunya yang berlarut-larut, perhatiannya yang selalu kembali pada problem sosial, terjadi di kalangan keluarga menengah bawah atau menengah atas dan sebagainya. Gaya yang “wildanis” memang milik dia, sesuai dengan kepribadiannya. Sehingga akan nampak mengagetkan kalau Wildan tiba-tiba bercerita seperti gaya O Henry atau Trisnoyuwono.

Namun ciri penting yang harus ada adalah tetap unsur kesatuan bentuk, meski bagaimanapun isinya. Segala macam gaya bisa kita terima asal bentuk cerpennya bisa dipertanggungjawabkan sebagai suatu karya. Bentuk harus dipilih, bisa longgar, bisa ketat, bisa bertele-tele bisa irama cepat, asal semua itu konsekwen dengan bentuk yang dipilihnya. Sebuah cerpen yang sebagian iramanya cepat, sebagian lagi lenggang kangkung, jelas akan merusak suasana kesatuan. Atau sebagian lagi bernada keras, kasar, tegas, sedang pada bagian yang lain sentimentil, serta halus akan merusak kesatuan pula. Dapatkan satu gaya dan berceritalah menurut gaya itu.

Biasanya penulis baru mau lekas-lekas dikenal dengan segala macam “eksperimen” yang aneh-aneh. Kalau boleh saya menganjurkan lebih baik tinggalkan dulu cara itu. Semuanya harus dimulai dari yang dasar. Kuasai dulu yang konvensional, yang lugu, yang biasa. Dari sana pribadi akan berkembang dengan sendirinya. Orang bisa tidak puas terhadap gaya yang ada selama ini dan dia bisa memulai suatu eksperimen. Sesuatu eksperimen terjadi kalau orang tidak puas terhadap apa yang ada. Harus ada yang diberontak. Dan untuk memberontak itu dia perlu tahu dulu apa yang sebenarnya tidak ia sukai,dan mau ke mana dengan eksperimennya. Cerpen-cerpen yang masuk bernada demikian memang ada, dan jelas tidak kuat dasar-dasarnya.

Seorang Sutardji tidak “ngawur” saja dalam membuat sajak-sajaknya yang lain dari yang lain. Dia tidak coba-coba asal jadi lantas kebetulan menemukan. Dia sudah menguasai bentuk-bentuk formal yang sedang berlaku. Dan dia tidak puas. Dan dia mencoba menembus cara baru. Pandangan-pandangan Sutardji terhadap situasi kesusasteraan pada zamannya cukup menunjukkan bahwa dia berwawasan dan tahu masalahnya.

Tapi apakah penting benar untuk selalu “baru”? Yang penting lagi adalah bahwa pengarang sanggup memberi sesuatu pada pembaca: entah itu pengetahuan, pengalaman, kegembiraan, pandangan, dalam wujud cerpennya. Yang lebih penting adalah mengisi kepribadian dengan pengalaman kehidupan dan pengetahuan teknis. Tidak setiap orang bisa mengetahui pengalaman golongan lain. Mengapa tidak mencari pengetahuan dan pengalaman rakyat kecil yang bisa dijangkau? Mengapa pengetahuan dan pandangan anda tentang mereka tidak ditulis dalam wujud cerita pendek, karena cerita pendek banyak dibaca. Saya kira itu lebih wajar dan berguna, daripada aneh-aneh ingin dikenal sebagai “pembaharu sastra Indonesia”.

(Sumber: Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen karya Jacob Sumardjo)
Judul Buku: Cine US
Penulis: Evi Sri Rejeki
Penerbit: Noora Books
ISBN: 978-602-7816-56-5
Jumlah halaman: 308 Halaman

Cine Us adalah buku tentang memperjuangkan impian, setidaknya itu kata pertama yang saya dapat ketika selesai membaca novel ini. Berkisah tentang Lena, remaja perempuan yang rela melakukan apa saja untuk membuat sebuah film pendek meskipun banyak tantangan yang dialaminya selama proses pembuatan film itu.

Kisah dimulai ketika akhirnya setelah sekian lama, Lena berhasil membuat klub film sekolah, bersama dua sahabat karibnya Dania dan Dion serta tujuh orang anak kelas X yang tertarik  bergabung di klub itu mereka mencoba membangkitkan klub film yang keberadaannya kurang didukung pihak sekolah.  Kesempatan untuk membuat klub mereka berjaya, muncul ketika Adit, matan pacar Lena yang menyebalkan menantang Lena ikut lomba di Festival Film Remaja. Lena bertekad mengalahkan Adit, dia melakukan semua usaha dan cara yang dia punya untuk mengejar impiannya termasuk membuat Rizki, pembuat web series kesukaan lena membantunya. Banyak rintangan yang didapat Lena selama meraih mimpiannya. Dari Romi anak kelas X yang sok tahu, data klub film yang dicuri, Adit dengan tingkahnya yang rese, hingga pecahnya klub film. Lena terus berjuang dan menghalalkan segala cara hingga akhirnya dia sadar bahwa satu hal yang tak kalah penting dari memperjuangkan impian adalah cinta dan persahabatan.

Menurut saya, Cine Us beda dari segelintir novel teenlith yang saya baca. Tema yang diangkat novel ini adalah, kehidupan remaja dan mengejar impian. Tema yang bagus mengingat terlalu banyak novel remaja yang bertemakan cinta-cintaan. Lewat tokoh Lena, penulis menggambarkan bagaimana tekad seorang remaja dalam memperjuangkan sesuatu yang dia cintai, sesuatu yang menjadi passionnya.

Setting novel ini banyak terjadi di sekolah,  hal-hal yang sangat SMA, seperti takut sama guru killer, lebih senang eskul daripada ikut pelajaran, bolos, sampai adanya geng-geng anak-anak populer. Penulis dengan porsi yang pas mampu menghadirkan suasana SMA di novel ini. Beberapa adegan novel juga bersetting di rumah para tokoh, dan tempat pelaksanaan Festival Film Remaja di Jakarta.

Penokohan di novel ini cukup bagus, Penulis sudah berusaha memberi karakter yang cukup untuk tokoh-tokohnya. Lena, digambarkan sebagai pribadi Korelis dan Sanguis. Keras kepala, dominan, dan akan melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Perkembangan karakter Lena juga tampak berubah dari bab ke bab. Dan bisa saya bilang karakter Lena sangat konsisten. Karakter Lena yang paling dominan di novel ini mengingat penceritaannya menggunakan POV orang pertama tunggal. Karakter seperti Rizki, Dania, Dion juga dieksplore dengan cukup baik. Dari semua tokoh di dalam novel ini saya lucunya tertarik pada tokoh Apeng, teman Rizki si warnet Zhapir. Meski singkat, penulis mampu memberikan kesan dalam pada karakter ini. Tokoh Rizki yang menjadi sentral pun tidak digarap sekuat Apeng. Sehingga menurut saya karakter Apeng lebih kuat dari semua karakter yang lain.

Alur yang digunakan adalah alur maju mundur meski penulis lebih banyak menggubakan alur maju. Kita bisa mengetahui secara runut dari saat Lena membentuk klub film, bertemu Rizki, membuat film untuk festival film, hingga akhirnya malam festival film remaja. Alur mundur terdapat di beberapa bagian terutama ketika Lena mengenang kejadian menyakitkan bersama Adit.

Secara umum Novel ini menarik, hanya ada beberapa hal yang cukup menganggu saya sebagai pembaca. Pembukann novel yang kurang ciamik, memang sih tidak dibuka dengan bangun pagi tetapi tetap saja saat membaca awalnya saya mengerutkan dahi, saya rasa awalnya itu tidak perlu langsung saja saat Lena bertemu Rizki. Kemunculan Marisa, dari majalah sekolah hanya ada di awal tidak dijelaskan lagi bagaimana hubungan majalah sekolah dan klub film. Padahal berita tentang “Klub film picisan” di majalah sekolah adalah salah satu faktor kuat yang mencetus Lena berusaha di kompetensi itu. Akan sangat menarik kalau penulis menceritakan hubungan kedua eskul itu. Perekrutan tujuah anak sepuluh kurang diceritakan dengan detail padahal itu menjadi adegan penting bangkitnya klub sekolah, proses pembuatan film pendek itu juga tidak diceritakan detail. Penulis hanya memberitahu proses pembuatan film seperti story board dan lain-lain, penulis tidak mencoba menunjukkan bagaimana proses itu dilakukan. Bisa jadi informasi juga buat remaja yang ingin buat film pendek. Saya sendiri adalah pembaca cepat jadi kurang memperhatikan detail kaya typo jadi yang selama saya membaca novel ini tidak terlihat adanya typo.

Novel ini juga diperuntukkan untuk remaja, sebagai bukan remaja lagi saya masih bisa bilang novel ini pas-pas aja dibaca, mungkin karena ceritanya tak melulu cinta tetapi juga ada konflik yang menarik. Beberapa adegan manis seperti di halaman 252 sampai 259 (baa sendiri aja yah) Intinya sangat layak dibaca remaja karena novel ini mempunya pesan bahwa selama masih remaja, perjuangkan apa yang kamu impikan, apa yang kamu cintai, dan tertu saja sahabat-sahabatmu.
Tiga dari lima bintang.
Kalau hari ini (20/11) kita membuka Google, di halaman depannya akan terlihat sebuah doodle, seorang anak bertopi merah meruncing sedang menunggangi seekor angsa putih. Kalau kita klik gambar itu kita akan memperoleh informasi bahwa Google sedang memperingati hari kelahiran seorang penulis swedia bernama Selma Lagerlof.

Siapakan Selma Lagerlof? 

Selma Lagerlof adalah penulis perempuan pertama yang mendapat penganugerahan Nobel Sastra pada tahun 1909. Seperti yang kita ketahui, Nobel Sastra dianggap sebagai penghargaan tertinggi dalam dunia penulisan, dan hadiah uang yang diterima oleh mereka yang diberi penghargaan ini juga sangat besar jumlahnya.

Lalu, karya yang mana yang memenangkan nobel? Karya yang dapat kita lihat pada doodle Google itu. Anak kecil yang menunggangi angsa putih itu adalah Nils Holgersson, tokoh utama dalam buku pemenang nobel berjudul The Wonderful Advantures of Nils.

Nils ini pada awalnya sangat suka menyiksa binatang-binatang di peternakan keluarganya. Pada suatu hari Nils menjerat tomte, yaitu mahluk mistis dalam legenda Swedia, penjaga rumah dan peternakan. Awalnya tomte membujuk Nils untuk membebaskannya, dan memberikan koin emas yang besar sekali. Nils menolak tawaran tomte, dan tomte mengutuknya sehingga ukuran tubuhnya mengecil. Akibatnya, Nils sekarang menjadi bulan-bulanan binatang-binatang peternakan yang sebelumnya sering disiksanya.

Saat itulah, sekelompok angsa liar yang sedang berimigrasi terbang di atas peternakan, dan seekor angsa kecil peternakan terbang bergabung dengan mereka. Nils berhasil menaiki angsa itu dan ikut bertualang bersama kelompok tersebut. Para angsa liar tentu saja tidak menyukai kehadiran mereka, sehingga mereka harus membuktikan bahwa mereka pantas bergabung dengan kelompok. Angsa kecil harus membuktikan ia bisa terbang sesuai dengan kelompok. Sedangkan Nils, pada perjalanan ini mengetahui bahwa apabila ia bisa membuktikan dirinya sudah berubah maka tomte akan mengembalikannya ke bentuk semula. 

Cerita The Wonderful Adventure of Nils ini, ditulis oleh Selma Lagerlof karena ia diberikan tugas oleh asosiasi guru untuk anak-anak, untuk menyusun sebuah buku pelajaran dan sejarah berdasarkan cerita rakyat Swedia. Dan dari sana, terciptalah karya yang luar biasa tersebut. 

Keren yah!

Kapan guru-guru Indonesia juga digerakkan dan diberi kesempatan (dan pelatihan mengarang yang tepat) untuk menjadi penulis cerita sejarah dan dongeng rakyat sehingga bisa menghasilkan kisah-kisah menarik untuk anak-anak seperti yang dilakukan oleh Selma Lagerlof?

Ada yang mau memulai gerakan ini?
Proyek Lain: 

Proyek #RewriteRemake2 
Judul Cerpen: Shadow. 
Sumbangan Tulisan: Agustin Sudjono

Silakan menulis RewriteRemake ala kalian di kolom komentar, dengan syarat-syarat sbb:

Kamu boleh,
1. Mengubah judulnya
2. Mengubah sudut pandang (pov) penceritaan.
3. Mengubah awal dan akhir.
4. Membuat sambungan cerita.
5. Memberikan kritik membangun, tetapi harus membuat contoh seperti apa cerita ini agar lebih baik menurut pandanganmu. 

Yuk berlatih!

Shadow
Oleh: Agustin Sudjono

Aku ketrima di perusahaan minyak, La!! Akhirnya berhenti jadi pengangguran, hahaha.

Demikian isi SMS Rida. Lala tersenyum getir. Kabar bahagia dari sahabatnya semasa kuliah itu sungguh menusuk hatinya.

Tuhan tak adil. Rida yang mahasiswa kupu-kupu alias Kuliah-Pulang setiap hari bisa diterima di perusahaan besar, sementara dirinya yang selalu punya IPK kepala tiga dan aktif di organisasi pers kampus, justru “terjebak” di sebuah gedung dengan banyak anak usia tujuh sampai tiga belas tahun menimba ilmu. 

Lala jelas sebal. Rida sudah pasti mendapat upah jutaan rupiah, sementara dirinya? Sejumlah Upah Minimum Rakyat (UMR) kota Surabaya saja tidak! 

Lala merasa ingin meneteskan air mata. Hatinya dongkol bukan main. Kenapa ia serta-merta menerima tawaran dari temannya untuk menggantikan temannya itu menjadi shadow teacher atau guru pendamping untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)? Kenapa dia tidak menerima saja tawaran dosennya bekerja di sebuah perusahaan konsultan bagian rekrutmen walaupun ia juga tak suka tapi setidaknya gajinya pasti lebih mahal dong dibandingkan di sekolah ini.

“Bu Lala!” panggil Akbar, murid paling lucu di kelas Lala. “Zidan ngompol, celananya basah. Bau!” lanjutnya. 

Lala sigap menghampiri Zidan, ABK yang ia pegang, tentunya dengan kejengkelan dua kali lipat. Sementara di luar kelas, teman-teman Akbar berteriak, “Kelas dua Dolphin masoook!!”. 

Belum selesai kejengkelanku pada Rida, kini aku mendapat “bonus”. Duh... aku merasa aku terjebak di sini. Rasanya sudah seperti baby sitter saja. Harusnya aku bisa bekerja lebih dari ini di kantoran. Duuhh... 



Beberapa penulis memulai dan mengembangkan cerpennya tanpa tujuan yang jelas. Akibatnya jalan cerita tersasar dan bertele-tele yang tidak perlu. Cerita pendek hanya mengemukakan suatu aspek saja secara tajam. Cerita pendek menjadi tajam dan jelas justru lantaran keterbatasan objeknya itu. Dalam sebuah cerpen tak mungkin bercerita tentang watak yang lengkap. Yang bisa kita kemukakan hanyalah aspek watak: keserakahannya, keberaniannya, kepolosannya dan sebagainya. Padahal dalam kenyataan watak bisa berubah dan berbagai macam aspek. Hal demikian bisa dikembangkan dalam novel, tetapi tidak dalam cerita pendek.
Inilah sebabnya segala adegan dalam cerpen harus terpilih secara ketat sehingga memfokus betul pada sasaran yang hendak dicapai. Lantas bagaimana bisa menyeleksi adegan? Sesuatu menjadi jelas dan kuat kalau jelas pula tujuannya. Harus ada yang akan dikatakan. Dan jangan menulis sambil mencari apa yang akan dikatakan. Pegangan pokok dalam menulis adalah: apa yang hendak saya kemukakan dengan cerpen ini? Cerpen saya ini ingin membuktikan apa? Kalau tujuan sudah jelas maka semua pikiran dan imajinasi selama menulis bisa diarahkan ke sana. Tujuan adalah pegangan untuk mengembangkan imajinasi dan tanggapan kehidupan. Selama penulis belum yakin benar akan apa yang hendak digarapnya, selama itu pula ia menulis tanpa pegangan yang berarti ngawur tak menentu.
Ada tiga hal yang patut diperhatikan dalam menentukan arah penulisan cerpen, yakni: tentang apa, dasar kepercayaan atau keyakinan hidup dan apa yang akan dibuktikannya.

Tentang apa
Inilah objek cerpen. Dalam hal ini kita bisa menulis tentang segala macam objek. Misalnya tentang kehidupan pelacur, kehidupan guru, kehidupan tukang bakso, penggali kubur dan sebagainya. Atau bercerita tentang peperangan, bencana, kecelakaan, percintaan, perkawinan dan sebagainya. Atau tentang pengkhianatan, kemuliaan, kesalehan, kejujuran, kesembronoan dan sebagainya. Pokoknya segala macam hal bisa kita bicarakan dalam cerita pendek. Objek itu bisa diambil dari pengalaman hidup sendiri, pengalaman hidup orang lain, berita-berita dalam koran dan sebagainya.

Dasar keyakinan
Setelah memilih suatu objek yang diketahuinya benar, lantas apakah sikap dasar penulis sendiri? Menulis sebenarnya juga mengemukakan pribadi sendiri. Dengan menulis pembaca bisa mengetahui bobot seseorang pengarang. Pengarang bisa disimak watak dan sikap hidupnya melalui novel-novel atau cerpen-cerpennya. Inilah sikap. Pengarang yang dewasa dan matang harus memiliki sikap hidup demikian. Sastra bukan hanya khayalan dan barang permainan belaka. Ia adalah juga ekspresi serius seseorang dalam menanggapi kehidupan ini. Di sinilah diperlukan dasar keyakinan seseorang dalam tulisan-tulisannya. Kalau seseorang mau menulis tentang pelacur, apa dasar keyakinan yang dibawanya? Apakah bahwa pelacuran itu suatu kebutuhan, suatu keperluan mutlak? Apakah pelacuran itu suatu kemalasan saja? Apakah pelacuran itu kenistaan dan dosa? Apakah pelacuran itu akibat kondisi sosial? Apakah pelacuran itu kebobrokan moral? Apakah pelacuran itu justru kepahlawanan? Keberanian dan sepi dari kemunafikan? Orang bisa mengambil sikap yang beragam tentang pelacuran. Dan pengarang yang mau menulis tentang dunia ini harus punya sikap dulu yang mendasarinya. Inilah sikap pengarang, kepribadian pengarang, gaya seorang pengarang. Pengarang yang kuat adalah pengarang yang selalu kembali pada gayanya. Artinya ia punya pegangan dalam melihat kehidupan ini. Ia punya penilaian sendiri terhadap hidup ini. Jadi jelas pengarang bukan tukang khayal melulu yang tak ada gunanya dalam kehidupan. Pengarang adalah pemikir serius kehidupan ini. Ia harus punya pendirian yang kuat, jelas dan mengakar! Bisa saja landasannya agama, moral, filsafat dan seterusnya. Tetapi harus punya pegangan hidup dalam menilai.

Apa yang hendak dibuktikannya?
Cerita pendek adalah seni, keterampilan menyajikan cerita. Ini soal teknis. Pengarang harus memiliki ketangkasan menulis, menyusun cerita yang menarik. Tetapi cerita yang menarik tadi untuk apa? Misalnya seseorang memilih objek kehidupan pelacur, dan berpegangan pada prinsip moral bahwa pelacuran itu dosa dan patut dihapuskan, lantas apa yang hendak dibuktikan dengan ceritanya? Di sini pengarang misalnya dapat berpegangan pada maksud menulis cerpennya yakni bahwa bagaimanapun menderitanya seseorang asal dia punya prinsip moral yang kuat tidak akan jatuh menjadi pelacur. Atau ingin membuktikan bahwa pelacur yang rajin sembahyang hanya membuktikan bahwa perbuatan atau pekerjaan itu tetap mengusik moralnya.
Itulah sekedar contoh buat memahami apa yang sebenarnya harus dipegang oleh pengarang sebelum menulis. Untuk lebih meyakinkan lagi perlu kiranya tiga hal tadi diformulasikan secara tertulis sebelum memulai mengetik cerpennya.

(Sumber: Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen karya Jacob Sumardjo)
   
Hello sobat KF sekalian. Minggu lalu kalian sudah membaca interview bareng Emil Amir yang mengangkat budaya lokal dalam cerpen-cerpennya. Nah, minggu ini kampungfiksi.com berkesempatan mewawancarai penulis muda berbakat asal Bandung. Namanya Odet Rahmawati. Odet ini sudah menerbitkan satu buah novel perdananya yang berjudul “Selamat Datang, Cinta.”

Yuk, disimak wawancara bareng Odet.

(photo: koleksi pribadi Odet Rahmawati)


1.        Sejak usia berapa Odet mulai menulis?

Ø  Sejak usia 21 tahun. Sebenarnya, saya baru belajar menulis pada akhir tahun 2011. Saya mulai rajin belajar menulis di blog dan mengikuti beberapa proyek menulis yang banyak diadakanmelalui jejaring social,Twitter.

2.        Apa yang membuat kamu memutuskan untuk terjun ke dunia kepenulisan sampai hari ini?

Ø  Yang pertama, dengan menulis saya bisa mewujudkan banyak hal yang terkadang belum sempat dan belum mampu saya lakukan di dalam dunia nyata. Mimpi-mimpi saya tidak menjadi sia-sia, bahkan bisa dinikmati oleh orang lain melalui sebuah cerita.

Yang kedua, sebab menulis itu bisa dilakukan di mana dan kapan saja. Jadi, saya merasa itu sebuah kegiatan yang sangat menyenangkan.


3.        Siapa penulis idola kamu? Apa yang membuat mereka layak kamu jadikan idola?

Ø  Windry Ramadhina dan Christian Simamora.
 Kenapa? Jelas mereka layak saya jadikan idola dan tempat untuk belajar lebih baik lagi dalam hal menulis. Tulisan mereka sangat manis, bagus, nakal dan sering membuat saya merasa jatuh cinta. Dari karya-karya mereka juga saya mendapatkan semangat untuk terus belajar memperbaiki diri.


4.        Ada nggak gaya menulis penulis terkenal yang mempengaruhi gaya menulis kamu?

Ø  Nggak ada kayaknya. Selama ini saya mengharuskan diri sendiri untuk banyak membaca dari buku siapa pun.

5.        Kamu pernah dong kena writing block.. kondisi dimana kamu males dan merasa ngga ada ide untuk menulis. Nah menurut kamu Booster menulis kamu yang paling ampuh itu apa? Bisa dibagi ngga tipsnya buat sobat KF semua…

Ø  Buat saya pribadi, writing block itu nggak datang dari alasan malas aja, sih. Tapi karena ada beban pikiran atau perasaan yang memang mampu mengacaukan isi kepala saya. Biasanya, untuk mengatasi hal tersebut saya berhenti menulis dulu. Lalu melakukan kegiatan lain. Misal dengan menonton film, mendengarkan musik, membaca pastinya. Biar isi kepala saya jadi lebih segar dan bisa mengembalikan keinginan untuk segera menyelesaikan tulisan saya.

Semangat menulis saya bisa datang dari apa saja. Dengan melihat semangat teman penulis lain yang produktif menulis, misalnya. Pasti ada pikiran, dia aja bisa? Kenapa saya nggak? Masa saya mau menyerah sampai di sini? Atau kata editor saya, bahwa penulis yang baik itu adalah penulis yang mau berproses. Mau terus belajar dan terus memperbaiki diri. Kalimat itu selalu membuat saya merasa semangat menulis. Semangat untuk segera menyelesaikan apa yang telah saya mulai. Bukan meninggalkan dan menyerah begitu saja.

Satu lagi, ngobrol sama temen pun bisa bikin saya semangat lagi. Mereka selalu membuat saya merasa percaya diri lagi.