Seseorang bertanya pada saya: bagaimanakah cerpen yang baik itu? Pertanyaan ini sulit untuk dijawab. Seperti halnya orang bertanya bagaimana orang yang baik itu? Bagaimana makanan yang enak itu? Seseorang baik menurut cara hidup yang berbeda-beda satu sama lain. Begitu pula sebuah cerpen baik dan bernilai sastra karena memiliki kualitas yang berbeda-beda. Cerpen-cerpen Chekov yang baik berbeda dengan cerpen-cerpen O Henry yang baik. Cerpen-cerpen Danarto baik, tetapi berbeda dengan cerpen-cerpen Umar Kayam yang juga baik.
Apakah tidak ada ukuran yang umum? Ada tentu saja. Sebuah cerpen yang baik adalah cerpen yang merupakan suatu kesatuan bentuk, utuh, manunggal, tak ada bagian-bagian yang tak perlu, tetapi juga tak ada sesuatu yang terlalu banyak, semuanya pas, integral dan mengandung suatu arti. Cerpen harus memberikan gambaran sesuatu yang tajam. Inilah kelebihan bentuk cerpen dari novel. Kependekan dari bentuk cerpen harus mampu memberikan pukulan tajam pada pribadi pembaca. Cerpen yang ngelantur atau kabur tidak akan dikategorikan sebagai cerpen yang baik.
Ketajaman itu bisa saja terletak pada unsur cerita atau plotnya seperti misalnya pada cerpen-cerpen O Henry atau cerpen-cerpen Trisnoyuwono, di Indonesia. Bisa juga pada unsur suasana cerita seperti kebanyakan cerpen-cerpen Umar Kayam. Atau pada unsur watak, psikologi tokoh, seperti terlihat pada cerpen-cerpen Trisno Sumardjo, Aoh Kartahadimadja dan sebagainya. Atau pada unsur setting atau tempat dan waktu terjadinya cerita seperti kita kenal pada beberapa cerpen Yusak Ananda yang banyak bercerita tentang pedalaman Kalimantan, atau pada Wildan Yatim yang selalu menghadirkan kehidupan di pedesaan Sumatra Barat.
Masing-masing cerpen memiliki nilai-nilainya sendiri yang mengangkat mereka menjadi sebuah cerpen yang baik. Hanya pada Wildan nilai-nilai kebaikannya berbeda dengan Umar Kayam. Namun keduanya memiliki keutuhan bentuk. Antara bahan yang mau dikatakan dengan cara mengatakan klop, cocok dan pas. Dan ini baru bisa dicapai setelah orang menemukan gayanya sendiri. Gaya di sini bukan hanya terbatas bagaimana cara dia bercerita (seperti misalnya Firman Muntaco selalu dengan logat Betawi) tetapi juga pemilihan bahannya, pandangan-pandangannya. Ada sesuatu yang membuat ciptaannya menjadi milik khas dirinya. Setiap cerpen Wildan Yatim selalu kembali unsur-unsur gayanya: pemilihan kata-kata yang khas daerah Mandailing, tak terdapat pada kosa kata daerah lain, penggambaran segala sesuatunya yang berlarut-larut, perhatiannya yang selalu kembali pada problem sosial, terjadi di kalangan keluarga menengah bawah atau menengah atas dan sebagainya. Gaya yang “wildanis” memang milik dia, sesuai dengan kepribadiannya. Sehingga akan nampak mengagetkan kalau Wildan tiba-tiba bercerita seperti gaya O Henry atau Trisnoyuwono.
Namun ciri penting yang harus ada adalah tetap unsur kesatuan bentuk, meski bagaimanapun isinya. Segala macam gaya bisa kita terima asal bentuk cerpennya bisa dipertanggungjawabkan sebagai suatu karya. Bentuk harus dipilih, bisa longgar, bisa ketat, bisa bertele-tele bisa irama cepat, asal semua itu konsekwen dengan bentuk yang dipilihnya. Sebuah cerpen yang sebagian iramanya cepat, sebagian lagi lenggang kangkung, jelas akan merusak suasana kesatuan. Atau sebagian lagi bernada keras, kasar, tegas, sedang pada bagian yang lain sentimentil, serta halus akan merusak kesatuan pula. Dapatkan satu gaya dan berceritalah menurut gaya itu.
Biasanya penulis baru mau lekas-lekas dikenal dengan segala macam “eksperimen” yang aneh-aneh. Kalau boleh saya menganjurkan lebih baik tinggalkan dulu cara itu. Semuanya harus dimulai dari yang dasar. Kuasai dulu yang konvensional, yang lugu, yang biasa. Dari sana pribadi akan berkembang dengan sendirinya. Orang bisa tidak puas terhadap gaya yang ada selama ini dan dia bisa memulai suatu eksperimen. Sesuatu eksperimen terjadi kalau orang tidak puas terhadap apa yang ada. Harus ada yang diberontak. Dan untuk memberontak itu dia perlu tahu dulu apa yang sebenarnya tidak ia sukai,dan mau ke mana dengan eksperimennya. Cerpen-cerpen yang masuk bernada demikian memang ada, dan jelas tidak kuat dasar-dasarnya.
Seorang Sutardji tidak “ngawur” saja dalam membuat sajak-sajaknya yang lain dari yang lain. Dia tidak coba-coba asal jadi lantas kebetulan menemukan. Dia sudah menguasai bentuk-bentuk formal yang sedang berlaku. Dan dia tidak puas. Dan dia mencoba menembus cara baru. Pandangan-pandangan Sutardji terhadap situasi kesusasteraan pada zamannya cukup menunjukkan bahwa dia berwawasan dan tahu masalahnya.
Tapi apakah penting benar untuk selalu “baru”? Yang penting lagi adalah bahwa pengarang sanggup memberi sesuatu pada pembaca: entah itu pengetahuan, pengalaman, kegembiraan, pandangan, dalam wujud cerpennya. Yang lebih penting adalah mengisi kepribadian dengan pengalaman kehidupan dan pengetahuan teknis. Tidak setiap orang bisa mengetahui pengalaman golongan lain. Mengapa tidak mencari pengetahuan dan pengalaman rakyat kecil yang bisa dijangkau? Mengapa pengetahuan dan pandangan anda tentang mereka tidak ditulis dalam wujud cerita pendek, karena cerita pendek banyak dibaca. Saya kira itu lebih wajar dan berguna, daripada aneh-aneh ingin dikenal sebagai “pembaharu sastra Indonesia”.
(Sumber: Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen karya Jacob Sumardjo)
0 Spots:
Post a Comment