Oleh: Nastiti Denny

Sabtu pagi, 22 Maret, pukul 10 mobil yang saya kendarai memasuki pelataran Taman Ismail Marzuki di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Gerbang gedung pertunjukan yang biasa disebut TIM ini kali ini berdandan tidak seperti biasa. Huruf-huruf raksasa yang disusun membentuk kata ASEAN menyambut seluruh pengunjung di pintu masuk. Merah menyala. 

Acara yang berlangsung selama tiga hari ini (21-23 Maret 2014) memang telah saya tunggu-tunggu kehadirannya. Sayangnya, begitu mendekati hari penyelenggaraan, saya mesti pasrah saat kesibukan lain yang tak mungkin ditinggalkan memberi saya waktu hanya sehari untuk mengikuti festival yang baru pertama kalinya diselenggarakan ini.

Tenda-tenda putih terlihat berjajar rapi di pelataran teater kecil tempat acara ini berlangsung. Tenda-tenda tersebut sebagian dipakai untuk berjualan buku oleh penerbit yang berpartisipasi seperti Gramedia, Plot Point, Bentang Pustaka, Buku Fixi, dan Koekoesan, sebagian lagi digunakan sebagai booth komunitas menulis dan penerbit mandiri, yaitu nulisbuku, katabergerak dan Indie Book Corner. 

Sesuai dengan jadwal yang telah didistribusikan terlebih dahulu melalui www.aseanliterary.com sesi pertama pada hari ke-2 adalah diskusi yang diberi judul Contemporary ASEAN Literature. Bertempat di gedung utama Teater Kecil, diskusi ini dimoderatori oleh Richard Oh (Indonesia) mendampingi tiga pembicara utama, yaitu: Manneke Budiman (Indonesia), Isa Kamari (Singapore) dan Andy Fuller (Australia). Wacana utama sesi ini, sebagaimana pertanyaan yang dilontarkan oleh moderator kepada masing-masing pembicara yaitu di manakah posisi dunia literasi negara-negara ASEAN saat ini? Berapa besar peluang penulis-penulisnya untuk ‘go international’? Karena ‘go international’, yang berarti diterjemahkan ke dalam bahasa dunia yaitu bahasa Inggris akan memperluas jangkauan literatur tersebut. Ide-ide yang semula hanya berputar di negaranya saja akan tersebar dan dibaca oleh lebih banyak masyarakat di dunia. Beragam pandangan kemudian terlontar dari pembicara utama. 
Kiri ke kanan: Richard Oh, Isa Kamari, Andy Fuller, Manneke Budiman

Pendapat Manneke Budiman dalam hal ini cukup menggelitik. Beliau mengatakan bahwa seorang penulis sebaiknya menulis tanpa pretensi. Tidak perlu memikirkan apakah karyanya akan pantas atau tidak pantas diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Hal ini diucapkan oleh Manneke menanggapi desakan moderator bahwa karya penulis Indonesia masih sangat sedikit yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing. “Translated or not, the most important is whether you are still a writer or not,” tandas Manneke. Selain itu Manneke juga mengungkapkan bahwa seorang yang serius meminati sebuah karya tulis, ia akan berusaha untuk memahami dalam bahasa aslinya. Sementara itu, Isa Kamari, yang beberapa karyanya telah diterjemahkan dari Bahasa Melayu kedalam Bahasa Inggris mengatakan bahwa tidaklah mudah sebuah karya diterjemahkan ke dalam bahasa yang bukan aslinya. Menanggapi pertanyaan tentang nilai rasa yang hilang karena penerjemahan, Isa Kamari mengakui dirinya menghadapi hal yang sama. “Translation somehow loosing the sense of nature, culture and the genuine,” ujarnya. Isa juga mengatakan pentingnya bersabar sambil terus belajar bila karyanya ingin diterjemahkan ke bahasa yang bukan aslinya.

Sesi yang dijadwalkan selesai pukul 12 ini ternyata kelar lebih awal. Saya memanfaatkan kesempatan ini untuk berkeliling ke tenda-tenda dimulai dari yang paling dekat pintu masuk Teater Kecil. Booth Plot Point dan Bentang Pustaka yang menempati tenda paling luas selain menjual buku juga memberi informasi tentang kursus menulis yang diadakan Plot Point mulai dari menulis cerpen hingga skenario film. Booth nulisbuku termasuk salah satu yang unik. Di tempat tersebut pengunjung diminta menuliskan rencana menulis dan membaca untuk setahun kedepan kemudian menempelkannya di sterofoam yang tersedia. Mereka menyediakan asturo berbagai warna dan pena yang dapat digunakan pengunjung. Saya merasa seperti diminta mencicipi makanan pemberi semangat di sana. Menyusuri tenda ke arah barat terlihat persiapan diskusi lain yang bertema Wiji Thukul: The Work and The Story. Ah, hampir saja saya lupa bahwa tema festival kali ini, Anthems for The Common People, dijiwai oleh puisi-puisi Wiji Thukul. Setelah memanfaatkan kesempatan 20% diskon buku-buku terbitan Gramedia, saya segera menempatkan diri di bawah tenda putih di mana diskusi tentang Wiji Thukul akan berlangsung.
Kiri ke kanan: Joko Pinurbo, Mumu Aloha, Fitri Nganti Wani, Khrisna Pabichara

Joko Pinurbo, penulis puisi peraih banyak penghargaan bersanding dengan Mumu Aloha (Managing Editor detikHOT) dan Fitri Nganti Wani, putri Wiji Thukul sebagai pengisi acara yang dimoderatori Khrisna Pabichara. Terlalu banyak hal menarik dari ketiga pembicara tersebut untuk dicatat. Saya berusaha sebisanya merekam kesan yang disampaikan tentang seorang Wiji Thukul yang fenomenal ini. Menurut Joko Pinurbo, diksi dalam puisi Thukul jauh dari kata-kata yang berhubungan dengan kemewahan. Kesederhanaan diksi tersebut menggambarkan bahwa isi puisinya melambangkan kehidupan masyarakat bawah. Pinurbo juga membandingkan puisi Thukul dengan puisi W.S. Rendra yang sama-sama gigih menyuarakan keadilan. Menurutnya, Rendra menggunakan diksi yang lebih ‘mewah’ ketimbang Thukul. Sementara itu, Mumu Aloha menyoroti bahwa Thukul justru “meluruskan” bahwa dirinya menulis puisi sama sekali bukan untuk membela rakyat. Ia menulis puisi karena percaya bahwa puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan orang kecil. Dan, orang kecil itu bukanlah siapa-siapa melainkan dirinya sendiri. Atau, dalam bahasa Wiji Thukul sendiri,”Orang tertindas semacam saya.” Dengan demikian, lewat puisi-puisi yang ditulisnya, Thukul bicara tentang dirinya sendiri; seorang buruh pelitur yang beristri tukang jahit, bapaknya tukang becak, mertuanya pedagang barang rongsokan, dan lingkungannya orang-orang melarat. Mereka semua masuk dalam “dunia” puisi Wiji Thukul, sehingga dengan membela diri sendiri ternyata puisi-puisinya juga menyuarakan hak-hak orang lain.

Fitri Nganti Wani, dalam kesempatan ini membacakan sebuah puisi yang ditulisnya sendiri tentang perjuangan ayahnya selama ini. Menurut Fitri, kesempatan yang hanya 8 tahun bertemu dengan sang ayah adalah sebuah momen di mana ia melihat seorang Wiji Thukul sebagai pendongeng sejati bagi anak-anaknya di luar kesibukannya di luar rumah sebagai seniman.
Fitri Nganti Wani membacakan puisi karyanya

Selesai makan siang, dengan perut penuh dan pelupuk mata yang mulai berat, saya ‘ngadem’ di ruang utama mendengarkan diskusi yang diberi tajuk Democracy, Human Rights and Literature. Sesi ini dimoderatori oleh Laura Schuurman (Jakarta-based writer and research analyst) yang cantik dengan suara merdu mendayu-dayu. Untungnya saya tidak sampai tertidur dibuatnya. Meski lembut, beliau berbicara dengan bahasa Inggris yang jelas dan tegas. Melihat peserta diskusi yang mencermati lembaran makalah di tangan, saya tenang-tenang saja tidak mencatat apapun selama diskusi. Sambil terkantuk-kantuk, saya memilih menanti makalah seperti yang dipegang peserta lain tersebut. Lama menanti makalah tak kunjung datang, saya menghampiri salah satu panitia untuk meminta satu eksemplar saja yang ternyata dijawab dengan permintaan maaf bahwa copy makalah sudah habis. Meski kecewa saya tetap mengantuk. Maksud saya, tetap berdiri di samping Mbak panitia yang akhirnya mampu membaca keinginan saya untuk tetap memiliki makalah tersebut. Akhirnya, ia menanyakan alamat email saya dan berjanji mengirim softcopynya. Saya mengucapkan terima kasih, kembali ke tempat duduk agar dikira khusyuk mendengarkan padahal sibuk mencari teman ngobrol.

Teriknya matahari siang itu melelehkan kantuk saya seketika saat kembali berada di luar gedung. Di bawah tenda putih tempat diskusi Wiji Thukul pagi tadi, saya mencari tempat duduk paling strategis (baca: paling adem) untuk mengikuti bincang-bincang dengan tiga orang penulis yang masing-masing berasal dari Sulawesi Tengah (Erni Aladjai), Aceh (Arafat Nur) dan Papua (Aprilia Wayar). Mereka mengisi sebuah sesi yang berjudul Writers in the Area of Conflict. Ketiga pembicara tersebut saling memaparkan keadaan di daerahnya masing-masing. Aprilia Wayar, yang saat ini bekerja sebagai jurnalis di Papua dengan lantang dan tegas menyatakan bahwa begitu banyak berita simpang siur tentang kondisi Papua sampai saat ini. Ia terpanggil untuk menulis novel tentang Papua sebagai wujud tanggung jawabnya menyebarkan kebenaran akan apa yang sesungguhnya terjadi berlarut-larut di daerah tersebut. Ia juga menyerukan untuk jangan mudah percaya pada pemberitaan media yang mendiskreditkan masyarakat asli Papua. Novel Aprila yang telah terbit berjudul Mawar Hitam Tanpa Akar dan Dua Perempuan.
Arafat Nur, Aprilia Wayar, Arman Dhani (Moderator)
 
Arafat Nur bercerita tentang kondisi Aceh sebagaimana tercantum dalam novel terbarunya
Sementara Arafat Nur yang baru saja meluncurkan novel terbarunya (Burung Terbang di Kelam Malam) menceritakan betapa minimnya pembaca novel di daerahnya. Sekian puluh tahun menjadi wilayah konflik, rakyat Aceh jauh lebih akrab dengan pistol dan senapan ketimbang buku. Arafat juga meluruskan pendapat bahwa rakyat Aceh tidak membenci orang Jawa. Mereka membenci pemerintahan yang korup. Pembicara terakhir adalah Erni Aladjai yang novelnya (Kei) meraih pemenang unggulan Lomba Novel DKJ 2012. Erni melihat bahwa masyarakat Sulawesi Tengah adalah masyarakat yang cinta damai. Tetapi, belakangan mereka sangat mudah tersulut pertengkaran yang berakhir pada kerusuhan. Banyak adat istiadat yang menurutnya jika dipelihara sesungguhnya dapat menyatukan masyarakat di sana.

Pukul 16.30, setelah kurang lebih satu jam terpanggang matahari yang kian terik di bawah tenda, saya kembali ke gedung Teater Kecil untuk mengikuti seminar tentang dunia literatur anak dimana tiga penulis produktif Indonesia: Arswendo Atmowiloto, Clara Ng dan Icha Rahmanti telah memulainya sekitar 30 menit sebelum kedatangan saya. Better late than never. Sesi ini adalah salah satu yang paling saya nanti. Tak apa kebagian sesi tanya jawabnya sebab justru bagian ini biasanya lebih menarik dan tidak membosankan. 
Icha Rahmanti menjawab pertanyaan peserta

Bertema A Quest for Identity, Clara Ng menanggapi pertanyaan tentang apa yang terpenting dalam menulis cerita anak dengan mengatakan bahwa yang penting dalam buku anak adalah buku tersebut mampu memberi identitas pada anak. Membesarkan fakta ke keadaan asing yang berbeda yang membuat akhirnya kita berada di sana dan memahami perbedaan. Menghilangkan batas. Menjadikan anak berkembang akalnya. Diskusi makin hangat ketika seorang menanyakan bagaimana pendapat para pembicara terhadap maraknya buku yang diterbitkan oleh sebuah penerbit besar yang ditulis oleh anak-anak yang sayangnya menurut penanya mutunya jauh dari standar mutu bacaan anak-anak. Beragam pendapat bermunculan. Icha Rahmanti berpendapat bahwa katakan hal tersebut saat ini baru menjadi tren, tentu membutuhkan cukup waktu untuk akhirnya menjadi karya yang bermutu. Icha mengatakan bahwa saat ia mulai menulis genre chicklit, banyak orang memandang sebelah mata pada genre tersebut. Namun, seiring waktu, tulisan Icha ternyata mampu menjadi pelopor genre chicklit yang ‘berbeda’ dan disukai. Sementara itu, Clara Ng menanggapi hal ini dengan lebih melihat perkembangan jiwa sang anak yang menjadi penulis buku yang karyanya dijual di toko dan kemudian mendapat royalti dari penjualan tersebut. Menurut Clara, anak-anak memiliki kreativitas tanpa batas. Ketika anak-anak menulis, pada dasarnya mereka hanya ingin diapresiasi oleh teman dan lingkungannya. Ketika industri turut campur, anak dapat kehilangan kemampuan berkreasinya yang tanpa batas tersebut karena pengaruh uang. Pada pertanyaan lain yang berkaitan dengan membangkitkan semangat anak sekolah dasar untuk menulis, Arswendo menyarankan tema yang aktual (dekat dengan dunia anak). Sangat tidak disarankan bagi anak-anak untuk menonton tayangan sinetron yang lebih banyak menceritakan kesukaan pada materi dan jauh dari kenyataan yang ada. 

Usai seminar tentang Children Literature, langit mulai gelap. Panggung untuk Art & Performance yang dijadwalkan dimulai sekitar pukul 7 dipersiapkan. Sayang saya harus segera pulang. Sambil menyetir, beberapa kalimat yang dilontarkan selama diskusi yang saya ikuti seharian ini melintas bergantian di kepala. Terkadang sebuah kalimat dari puisi Wiji Thukul, terkadang gurauan satir para penulis dari daerah konflik, ada juga kata-kata penuh semangat dari para penulis senior negri ini yang tak lelah menyuntikkan semangat untuk terus berkarya.

Jakarta, 27 Maret 2014



Judul Buku Paquita dan Pangeran Bianglala
Pengarang: Citra Rizcha Maya
Penerbit : Qanita
Tahun Terbit : 2013



Halo ‪Fictionholics! 

Sudah lama kayanya kita tak bertemu di Rabview Kampung Fiksi. Maklum lagi sibuk ini itu. Apalagi habis ulang tahun Kampung Fiksi ketiga yang acaranya banyak banget *alasan.... Baiklah tanpa berbasa-basi yuk simak Rabview pertama di tahun 2014.

Buku yang akan direview kali ini berjudul Paquita dan Pangeran Bianglala, sebuah novel romance karya Citra Rizcha Maya. Citra sendiri adalah guru SMA yang mencintai dunia tulis menulis dan novel ini merupakan novel keduanya setelah 2012 lalu mengeluarkan novel perdana berjudul Confession of A Silly Drama Queen. Sama seperti di novel pertama yang kedua tokohnya remaja SMA, novel kali ini Citra juga mengangkat tokoh remaja SMA sebagai karakter utama novelnya.

Novel ini dimulai dengan Paquita kecil yang bertemu dengan seorang laki-laki tampan di hari ulang tahunnya yang ke 9 tahun. Saat itu Paquita sendirian karena sang Mama yang sangat sibuk semenjak kematian papanya. Paquita dan laki-laki tampan itu menghabiskan hari ulang tahun Paquita di atas bianglala yang besar di sebuah taman hiburan hingga kemudian si laki-laki tampan memberikan dia sebuah cincin yang kebesaran di jarinya. Laki-laki itu berjanji mereka akan bertemu di masa depan nanti. Paquita tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik dan terus mengharapkan pangeran bianglalanya. 

Sahabatnya Tarra suka meledek hal tersebut dan merasa apa yang dialami Paquita hanyalah mimpi. Kemudian hal tak terduga terjadi, ayah Tarra dan mama Paquita bertunangan dan akan menikah. Paquita tak terima hal tersebut dan memutuskan untuk pergi ke rumah Opanya di kota lain. Di sanalah dia bertemu dengan Danar, seorang pria yang usil, penganggu, tapi cakep.

Dengan jumlah 140 halaman, kita akan membaca novel ini dalam waktu singkat. Karakter setiap tokoh juga diolah dengan baik apalagi point of view yang digunakan adalah orang pertama tunggal sudutnya Paquita, jadi kita bisa memahami perasaan Paquita. Hanya saja ada beberapa hal yang digaris bawah yaitu gaya bahasa Paquita yang berumur 9 tahun yang sedikit terlalu dewasa. Mungkin karena Paquita adalah anak yang mandiri dan sering melakukan apa-apa sendiri tanpa bantuan mamanya, tapi tetap saja gaya bahasa 9 tahun Paquita sedikit menganggu saya. Namun tenang saja, semakin kita membaca novel ini semakin kita akan tertarik dan akan menemukan ending tak terduga di akhir cerita.

Secara keseluruhan penokohan novel ini cukup baik. Pembaca dapat mengetahui perubahan sifat Paquita dari awal novel sampai akhir novel. Paquita yang awalnya menyalahkan Mamanya karena akan menikah pelan-pelan mulai memaafkan. POV yang digunakan adalah orang pertama tunggal diceritakan Paquita jadi pembaca merasa dekat dengan Paquita. Namun demikian penggambaran tokoh Danar cukup pas meski diceritakan Paquita, sifat Danar yang suka usil dan terkesan mengganggu di awal pelan-pelan berubah menjadi menyenagkan.

Bagaimana kisah Paquita selanjutnya? Apakah dia akan bertemu dengan pangeran bianglala lagi? Yukk, baca novelnya!

Diulas oleh Ajen Angelina
Halo, Fictionholic!

Akhirnya, tanggal 10 Maret 2014 datang juga. Hari yang sudah ditunggu-tunggu dengan debar-debar seperti pada kencan pertama. Yep, hari pengumuman pemenang Lomba Ultah Kampung Fiksi ke-3, bekerjasama dengan Smartfren, Mizan, Bentang Pustaka, Stiletto Book dan Loveable.




Sebelumnya, Kampung Fiksi ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada para peserta lomba yang sudah sedemikian niatnya mengikuti lomba. Ada yang bahkan sampai mengirim 3 tulisan untuk 3 tema. Tulisan kalian, ucapan-ucapan selamat ulang tahun, saran-saran, kritik-kritik, cerita-cerita sampai dengan gambar-gambar yang heboh asli kami membuat terharu dan bahagia. Ke depannya Kampung Fiksi akan lebih giat lagi berbenah dan pastinya, belajar dan berbagi dalam menulis fiksi bersama para fictionholic.

Daripada kepanjangan, yuk intip daftar pemenang di bawah ini.

Tema 1

Juara 1: Desi Namora

Juara 2: Rodame MN

Juara 3: Rizka

Juara 4: Mardiana Fatwaningrum


Tema 2

Juara 1: Rizka

Juara 2: Pungky Prayitno

Juara 3: Desi Namora

Juara 4: Leyla Imtichanah


Tema 3

Juara 1: Ephy

Juara 2: M. Arif Rizaldy

Juara 3: Lilis Wahyoeni

Juara 4: Leylahana Imtichanah


Yang paling cepat mengirim tulisan
Yang paling rajin mendapat komen di blog (sampai dengan 28 Feb 2014)

Tema 1:
Fandy Achmad Romadhon

Tema 2:
Desi Namora

Tema 3:
Reni Judhanto


Peserta yang paling rajin sharing info lomba ini ke Twitter dengan hashtag #Ultahke3KampungFiksi
Fenita Penot

SELAMAT kepada para pemenang. Yang belum menang, jangan kapok ikutan lomba-lomba keren dari Kampung Fiksi yang akan datang.




Catatan:
1. Para pemenang diharapkan mengirim email konfirmasi berikut dengan alamat lengkap untuk pengiriman hadiah ke Kampung Fiksi, selambat-lambatnya tanggal 25 Maret 2014.
2. Keputusan juri adalah mutlak dan tidak dapat diganngu gugat.
Halo, Fictionholics!

Adakah Fictionholics yang sedang mencari smartphone android kece yang layarnya lebar dan tampilan jernih demi kelancarannya menulis dan ngeblog? Smartfren tahu banget nih yang kamu cari. Smartfren baru saja launching New Smartfren Andromax V yang diberi tagline Big, Smart and Stylish! Weh, yakin deh, ini pegangan matching banget buat penulis dan blogger kayak teman-teman. Yuk, kenalan dulu lebih jauh sama si cantik New Smartfren Andromax V ini biar makin jatuh cinta.



Nggak salah deh si New Smartfren Andromax V ini disebut Big. Layarnya lebar dengan diagonal 5 inchi makin memberikan kenyaman pada mata untuk menggunakan smartphone berbasis Android Jelly Bean 4.2 ini. Jangan khawatir tampilan gambar buram atau tidak jernih karena New Smartfren Andromax V ini beresolusi tinggi, 1280 x 720 pixel! HD, lho! Jangankan cuma buat baca-baca, buat main game dan nonton video pun pasti puas banget!

Urusan ngambil foto juga nggak usah khawatir. Kamera belakangnya 8 MP, dan kamera depan 2 MP. Wohoho! Makin narsis aja kalau megang gadget satu ini kayanya, ya! Kamera belakangnya dilengkapi dengan Auto Focus dan LED Flash juga. Selain itu dilengkapi dengan aplikasi yang bisa mengambil gambar hingga 99 frame secara berurutan.

Kamu juga masih pengen simpan nomor GSM-mu? Bisa dong, kan New Smartfren Andromax V ini Dual On Active. Nomor Smartfren (CDMA) dan nomor GSM kamu bisa aktif secara bersamaan. Kurang apa coba?

Mau browsing dan download banyak bahan buat riset tulisan? Don't worry juga karena New Smartfren Andromax V ini dilengkapi dengan teknologi EVDO Rev.A dengan kecepatan download internet sampai 3,1 Mbps. Nonton Youtube gak bakalan nunggu muter-muter dulu ini, sih!

Mau pakai koneksi internet rame-rame dengan teman? Tinggal share wifi kamu lewat hotspot tethering dari New Smartfren Andromax V ini. Inget lho, kan udah pakai teknologi EVDO Rev.A. Internetan makin lancar, bisa rame-rame pula!

Yang pasti, selain layar lebarnya yang asik dan nyaman, New Smartfren Andromax V ini juga lengkap dengan teknologi pintar yang makin memudahkan kita dan juga cantik banget tampilannya. Nggak salah dikasih tagline Big, Smart and Stylish! Info lengkapnya bisa dilihat di sini.
Ijul dan Nastiti Denny dalam Book Talk peluncuran novel (Bukan) Salah Waktu


Pada tanggal 23 Februari 2014, diadakan acara Book Talk (Bukan) Salah Waktu bersama Nastiti Denny, sang penulisnya oleh pihak penerbit Bentang Pustaka. Acara ini diadakan di Emax Kafe, Kemang, dengan pembawa acara Ijul dari GoodReads Indonesia (@fiksimetropop). 

Acara dimulai pukul tiga sore, dibuka dengan ucapan selamat datang di Emax Cafe oleh Yudi dari pihak Emax Cafe, lalu dilanjutkan dengan sesi singkat dan menarik tentang iBook, sebuah ebook khusus untuk para pengguna produk Apple. Dilajutkan dengan acara utamanya, yaitu bincang-bincang dengan penulis.

Pada sesi bincang-bincang dengan Nastiti Denny, Ijul menanyakan proses menulis yang dijalani olehnya selama menyusun (Bukan) Salah Waktu. Ternyata, novel ini draft awalnya dibuat saat Nastiti mengikuti J50K-2012. Setahun kemudian, ketika ada lomba Wanita dalam Cerita yang diselenggarakan Bentang Pustaka, (Bukan) Salah Waktu yang saat itu diberi judul Rumah Untuk Dua Hati, diikut sertakan, dan menjadi salah satu pemenangnya.

Tapi, bukan draft awal itu yang langsung menjadi sebuah buku utuh di tangan para pembaca. (Bukan) Salah Waktu sudah mengalami proses self-editing yang cukup panjang sebelum akhirnya diterbitkan. Oleh editornya, draft novel yang sampai ke mejanya dikatakan sudah rapi, sehingga lebih mudah dan cepat proses editing dari pihak penerbit. Judul (Bukan) Salah Waktu sendiri adalah pilihan penerbit dari sekian judul alternatif yang diajukan oleh Nastiti Denny, judul ini berasal dari Momo DM (@momo_dm). Saat ditanya, mengapa pembaca harus membeli dan membaca (Bukan) Salah Waktu, menurut Nastiti karena novel ini menyajikan realita pernikahan dan bahwa tidak semua masalah harus diselesaikan dengan bercerai.

Demikian liputan singkat peluncuran buku (Bukan) Salah Waktu, selamat untuk admin Kampung Fiksi, Nastiti Denny untuk novel perdananya, semoga akan lebih banyak lagi novel-novelnya yang diterbitkan pada waktu-waktu ke depan.

Sekarang, yuk kita nikmati saja (Bukan) Salah Waktu dalam gambar-gambar:

Sang Penulis dan banner (Bukan) Salah Waktu yang sayangnya tidak terlihat di panggung
Nastiti Denny dengan salah satu editor Bentang Pustaka

Nastiti Denny dan salah satu editor Bentang Pustaka

Nastiti Denny dan Sang MC, Ijul

Buku ini bertanda-tangan langsung dari penulisnya lhooo... ^_^
Penampakan makan-makan
Sebelum mulai, snack dulu :)
Yudi dari pihak Emax Cafe
Sesi penjelasan tentang iBook dari Apple
Sesi tanya-jawab tentang iBook
Foto bareng! Lihat ke kanan, klik!
Bareng sang proofreader dan editor Bentang Pustaka




Dear #fictionholic terima kasih sudah ikut berpartisipasi dalam lomba blog ulang tahun ke tiga Kampung Fiksi berikut adalah daftar peserta blog berdasarkan abjad. Apabila nama kamu tidak ada di daftar berarti tidak mengikuti syarat atau pengiriman posting blog ke email lewat dari tanggal 28 Febuari 2014 pukul 24.00. Tunggu pengumuman yang menang tanggal 10 Maret 2014, yah!

Tema 1
1.     Abdur Rosyid, @rosyid_kopputih
2.     Aditya Willy Santika, @KRIWILLYSME
3.     Alfi Syahrin Ricardo @Alfi_postman
4.     Dian Mariani, @dianmariani
5.     Desi Namora R, @namora desi
6.     Efi Fitriyyah, @Efi_Thea
7.     Erlinda Sukmasari Wasito, @lindaersu
8.     Euis Sri Nurhasanah, @EuisSriNur
9.     Fandhy Achmad Romadhon, @vandy_ar
10.  Fania Handiyani, @funnieyayaya
11.  Fenita Penot, Akun twitter: @fenotta
12.  Laras Kezia, @etkezia
13.  Lusiana @lusitris
14.  Ilham, @ilhamliterature
15.  Ipeh Alena, @ipehalena
16.  Jalaluddin Ibnu Muslich, @JIMs_ch
17.  Lisa Sentani, @lisasent
18.  Lidya Fitrian, @fitrian
20.  M. Nuzulul Arifin, @nuzululpunya
21.  Mardiana Fatwaningrum @__fatwaningrum http://www.avife.com/scriptorium/kampung-fiksi-kampung-favoritku/