Ilustrasi: Azam Raharjo |
Iroh mengendap-endap lewat pintu samping dan pelan-pelan membuka daun jendela kamar pavilyun yang setengah tertutup.
“Sssssttttt….” Lehernya dijulurkan ke dalam jendela sambil tangan kirinya menyibak gorden hijau lumut. “Non.” Iroh berbisik. Berulang-ulang.
“Iroh! Ngapain kamu di situ? Pakai bisik-bisik segala!” Gadis remaja yang dipanggil itu menyingkap lebar-lebar tirai jendela dan melotot ke arah Iroh. “Ada apa? Berisik!”
“Ada cowok, Non. Cowok macho!” Iroh masih berbisik-bisik sambil menyeringai. Dua jempol tangannya diacungkan ke atas. Dadanya dibusungkan.
“Haaahh…! Gitu aja!”
“Bener, Non! Lihat sendiri. Di depan. Lagi ngobrol sama Eyang.” Iroh menyeringai.
Gadis itu, Dea, cucu Eyang yang oleh Iroh dipanggil Non, jadi penasaran. Kaki-kakinya yang kurus panjang menggapai-gapai sendal yang nyungsep di bawah kolong dipan. Kemudian ia melangkah menyeret sendalnya ke depan, menimbulkan suara berisik.
“Deaaa…!” terdengar protes Eyang dari teras depan. Perempuan yang masih tampak cantik dalam usia enampuluhan itu paling tidak suka mendengar suara sendal yang diseret di dalam rumahnya.
“Oh, ada tamu,” suara Dea dibuat semanis-manisnya begitu matanya menangkap sosok laki-laki yang tengah ditemui neneknya di teras. “Cari siapa, Mas?” Dea melenggotkan badannya mencoba menarik perhatian laki-laki yang berdiri kokoh tinggi itu. Jangan-jangan ini cowok yang mau kos di rumah tetangga. Lumayan juga punya tetangga kayak gini eloknya. Bisa cuci mata tiap hari. Dea senyum-senyum sendiri.
“Ini Priyo.” Eyang menyebut nama si laki-laki yang hanya menunduk diam dipandangi begitu rupa oleh Dea. “Mulai minggu depan dia nggantikan Tarman.” Tambah Eyang sambil mengajak Priyo menuju garasi.
Ada dua hal yang membuat Dea melongo. Pertama, nama lelaki ganteng itu menurutnya kurang trendy. Kedua, anak SMA itu tahu kalau Tarman, supir Eyang, mulai minggu depan mau keluar. Tapi dia sama sekali tidak menyangka kalau penggantinya ternyata mirip-mirip Enrique Iglesias. Siapa nyana. Olala…
***
Sambil menenteng telpon di tangan kanan sementara tangan kirinya memegang sapu, Iroh mencari-cari Eyang. Dea tampak sibuk dengan ritual paginya sambil bersiul-siul kesenangan hanya karena ini hari pertama Priyo mengantarnya ke sekolah.
“Non, ada telpon dari Nyonya. Eyang mana, Non?” Tanya Iroh, agak heran melihat nonanya itu bungah. Biasanya kalau pagi Dea mbesengut karena berbagai alasan.
“Di luar. Lagi ngarah-arahin Priyo.”
Ah. Kebetulan, pikir Iroh, ada alasan lagi untuk memandangi si supir, yang baru mulai kerja sudah membuat heboh para perempuan sekampung. Tadi ketika Priyo sarapan di dapur Iroh sudah bercengkerama dengannya, namun perempuan mana sih yang mau berhenti menatap wajah gantengnya?
“Eyang…,” Iroh membuat suaranya terdengar semerdu-merdunya untuk sang perjaka, bukan demi majikannya. “Ada telpon dari Nyonya.” Iroh menyerahkan handset ke majikannya.
Setelah meminta Priyo membuka garasi, Eyang melangkah ke dalam rumah.
“Assalamu’alaikum. Runi, apa kabar, Nduk?” Eyang selalu memanggil tiga anak perempuannya dengan sebutan ‘Nduk’, dari kata Genduk, yang berarti anak gadis.
“Walaikumsalaam .” Seruni, anak mbarep Eyang, ibu Dea, menjawab dengan suara yang kaku. Pertanda marah.
“Tadi malam telpon ya? Ibu udah tidur. Pagi ini Dea….”
“Iya. Dea cerita kalau Ibu udah dapat supir baru. Kenapa mesti Priyo, Bu? Memangnya nggak ada orang lain, apa? Lagian juga ngapain anak itu mau jadi supir? Memangnya bapaknya udah bangkrut? Asal Ibu tahu ya, cara ini nggak akan berhasil, Bu. Kayak sinetron aja. Aku tetep nggak mau sama bapaknya. Cari supir lain aja.” Rentetan kata-kata jengkel Runi dilepaskan ke gendang telinga ibunya. Perempuan empat puluh satu tahun itu sudah lima tahun menjanda, penyakit jantung merenggut suami yang teramat disayang dan dipujanya. Sudah beberapa kali ibu dan dua adiknya mencoba mencarikan pengganti, namun Runi tak meladeni. Ia tidak mau Dea punya ayah tiri dan tak mengijinkan ada lelaki lain yang mendepak suaminya keluar dari ruang terindah di dalam hati dan jiwanya.
“Bukan begitu maksud Ibu, Runi.”
“Halah! Pokoknya kalau masih ada Priyo, aku nggak pulang ke rumah. Aku mau cari kontrakan aja. Aku masih dua minggu di sini. Cukup waktu buat minta tolong asistenku untuk nyari kontrakan.” Suara Runi semakin kaku dan mengancam walaupun dia berusaha keras agar tidak membentak ibunya.
Sang ibu tahu, kalau anaknya yang satu ini sudah berkata ‘pokoknya’, berarti dia tidak main-main dengan ucapannya.
“Runi…”
“Aku harus pergi. Ada meeting. Taksiku udah nunggu. ‘Kumsalam.” Runi menutup pembicaraan.
Wajah Eyang tampak gundah ketika melambai pada cucunya yang diantar Priyo berangkat sekolah.
“Runi…, Seruni, anakku, Nduk cah ayu…,” begitu rintih hati sang ibu yang menginginkan anak sulungnya yang masih muda itu tidak berkubang dalam kenangan akan suaminya. Walau indah, yang namanya kenangan adalah rangkaian kisah yang telah menjadi sejarah dan hanya pantas diceritakan. Tidak untuk dipujakan. Tidak untuk dikeloni setiap hari setiap malam.
Wah wah wah... seruuu... ahahahaa... saya juga kalo sudah bilang "pokoknya" naaahh brarti keras kepalanya nongol =))
ReplyDeleteKeren. saya suka sekali baca ini. kesan ketus/ngambek/jengkel begitu terasa dalam ucapan "kumsalam".
ReplyDeletesalam
heheheee, ini salah satu serial mbak endah yg aku suka :)
ReplyDeleteAsik sekali bacanya Mbak... gak pernah bosen ;-)
ReplyDeleteditunggu banget lanjutannya :D
ReplyDelete@All: makasih ya atas komentarnya :-D saya usahakan rutin seminggu sekali. Ini berawal dari keinginan bisa nulis cerita seperti "Emak + Otong" Winda (hehehehe... Nak Winda, dikau memberi inspirasi lho!). Cuma ya harus setting Jogja, gitu. Jadinya cerita ini. Kalo pada suka, akan saya teruskan. Baru selesai 4 episode :-)
ReplyDeleteheuheu...selalu ada kejutan dari mbak endah
ReplyDeleteHuaa.. bikin penasaran.. pengen tau lebih jauh tentang si Priyo, hahaha.. ntar kalo Priyo jadian ama Dea lalu ternyata si Seruni juga mulai falling ama bokapnya Priyo, huahahaha.. Lucu juga yaa kalo ortunya pada married, terus anak2nya pada married juga, boleh ngga tuh yaa? Khan ngga ada hubungan darah antara Priyo ama Dea jadi mustinya otree2 its yaa.. tapi apa kaga aneh yaa?
ReplyDelete@mba endah : ditunggu episode selanjutnya...
ReplyDeletekyanya nih blog harus ada votenya nih (maksa.com)
aku vote : bintang yg paling banyak hehehehe
Huaaaaaaaa,,,,,bagus mbak endah 4 perempuannya..ditunggu kisah selanjutnya........... :D
ReplyDeletesalam kenal,
Hm Zwan
@Hadi: terkezuth ya? hahahaha... @Indah+Mira: wah, kalau penasaran berarti ceritanya harus saya terusin nih :-) @Zwan: salam kenal juga. Makasih ya semuaaaa... :-)
ReplyDeleteseruu!!! suka aku cerita2 begini!!! keren, mbak..))
ReplyDeleteini sepertinya masih cerita mentah ya? sebab saya penasaran bagaimana awalnya tiba2 sudah baca yg spt ini..
ReplyDeletegak suka cerita yg setengah2 gini, langsung lanjut baca " Serial Empat PErempuan 2" ah, untung udah ada postingannya hehehe... :)
ReplyDeleteAwal yang ringan untuk suatu serial. Saya memang suka ikut menjelajah pemikiran Mbak Endah melalui tulisan-tulisannya. Seperti saya ada di sana, menyaksikan, sebagai orang ketiga.
ReplyDeleteKali ini ... rupanya agak terlambat ... saya baru tahu mengenai serial yang satu ini setelah belasan jilid terbit. Better late than never.
wah...ini tho episode pertamanya...okeyyy...lanjuttt
ReplyDelete