Tembak Di Tempat 9

Bagian 9

Sejak kembali ke hotel karena gagal masuk Ban Luang, Rudi hanya duduk-duduk sambil merokok di teras restoran. Sudah hampir 2 jam. Antara satu sedotan rokok dengan lainnya diselingi satu tegukan bir, langsung dari botolnya. Matanya ia lepaskan, menyeberangi danau, melewati perbukitan.

Aku dan Tim sedang menyelesaikan administrasi dengan petugas hotel. Kami akan kembali ke Bangkok besok pagi, satu malam lebih cepat dari rencana, tak ada lagi yang harus kami lakukan di lapangan bila tak bisa masuk ke kamp pengungsi. Manager hotel hanya bisa mengembalikan 40% dari tarif kamar satu malam terakhir.

Kami bergabung dengan Rudi untuk makan siang. Ruang terbuka di depan teras restoran dinaungi rimbun pohonan, di sana-sini diletakkan kursi batu. Untuk duduk di situ orang harus masuk ke lobby dulu, menyeberangi restoran, lalu menuruni lima anak tangga.

Tim memesan club sandwich dan sebotol bir lokal. Rudi memilih nasi goreng vegetarian. Selera makanku hilang, hanya kupesan es teh lemon dan gloy bautchee, semacam kolak pisang yang kuahnya direbus sebentar agar warna santannya tetap putih.

“Kemana Tong Rang?” tanya Tim. Mata kami otomatis melihat danau, mencari-cari sosok perenang itu. “Ia kerap menghilang…” Tim menggerutu. “Aku harus bertemu Father Sap satu jam lagi,” ia melihat arloji di pergelangan tangan kanan. “Besok pagi kita kembali ke Bangkok sekitar pukul 8, jadi semua harus selesai malam ini…” Dahinya berkerut.

“Sebentar lagi pasti dia muncul…” ujar Rudi.

“Kita mulai saja, ya. Kunjungan ke kamp pengungsi kontribusinya hanya sekitar 10% untuk misi kita,” Tim mengawali rapat. “Karena gagal masuk ke sana, kita harus menemui beberapa orang di Bangkok untuk mendapatkan data sekunder. Father Sap juga sudah memberiku data sekunder terbaru, tapi kalau Naing Naing bisa memperoleh data primer, itu lebih baik.”

“Kalau kita bisa masuk ke kamp pasti lebih puas,” aku menyela sambil setengah melamun.

“Kepuasan itu hanya penting untuk diri kita sendiri, bukan untuk proyek,” Tim mendengus kecewa.

Ia memberiku tugas tambahan sehabis makan siang, mewawancara mandor bangunan yang mempekerjakan pengungsi sebagai kuli dan tukang. Seharusnya aku bicara dengan seseorang di kamp Ban Luang, koordinator pengungsi yang mendapat ijin bekerja di luar kamp. Rudi diminta mengambil foto kuli-kuli itu di proyek perluasan sebuah hotel, tak jauh dari hotel yang kami tempati.

Where’s that playboy?” Tim berdiri. “He didn’t answer my calls. I’ve to go now. Father Sap can’t wait. Rudi, if you see Tong Rang, please tell him to interview those construction workers. Five or six of them. If necessary, he can treat them supper.”

“Beres, Boss!”

“Mia, kamu diantar Mo. Aku mau naik motor saja…” Tim meninggalkan kami berdua, menuju front desk untuk menyewa sepeda motor.

“Kamu mau bareng aku atau…?”

“Aku jalan aja…” sahut Rudi.

** 

Matahari pukul empat sore malu-malu mengintip dari balik mendung tipis. Aku baru saja selesai mewawancarai mandor bangunan, berlari-lari kecil menghampiri kendaraan.

“Kita harus cepat, Madam Mia,” Mo tergesa membuka pintu mobil untukku, “Mister Tim baru saja telpon, ada yang sangat penting. Kita harus kembali ke Bangkok segera.”

Mo tidak diberi tahu ada kejadian apa. Aku menyesal mematikan ponselku, tapi itu sudah jadi kebiasaan, setiap mewawancarai orang ponsel kumatikan. Tim kutelpon tapi tidak diangkat. Rudi pun tak menjawab. Aku gelisah. Sepuluh menit menuju hotel terasa sangat lama.

Sebelum Mo selesai parkir aku sudah melompat keluar mobil. Kulihat Rudi berkecak pinggang tepat di ujung tangga batu, empat depa dari pintu samping lobby. Rambut sebahunya tersapu angin danau, menutupi separuh wajahnya.

“Miaaa!!!” Belum pernah kudengar ia berteriak selantang itu. Dalam beberapa detik aku sudah berada di depannya. “Kita kembali ke Bangkok sekarang! Yan Aung tertembak… Tong Rang hilang…” Bibir Rudi gemetar. Matanya membeliak.

“Apa?”

“Barang-barangmu sudah aku beresi…” berkata begitu Rudi menarikku ke lobby. Aku seakan mengawang. Kulihat Tim dan Naing Naing berbicara dengan manajer hotel, barang-barang kami bertumpuk di salah satu sofa, termasuk duffel bag merah bendera milik Tong Rang. Pikiran dan penglihatanku bersilangan. Semuanya berkelebat begitu cepat. Mo muncul dari belakangku, langsung membantu Rudi mengangkat barang untuk dimasukkan kendaraan. Kutarik lalu kubopong ransel besarku. Ransel yang kecil, tempat menyimpan laptop dan barang-barang penting, masih tersandang di punggung sejak aku keluar dari ruang si mandor.

“Mia…” Tim merangkulku dari belakang. “Terjadi pengeboman dan tembak menembak tak jauh dari Ban Luang. Di jalur yang akan kita lewati tadi.…”

“Nanti saja ceritanya… Nanti saja… Sekarang kita berangkat…” Naing Naing mendahului kami masuk ke mobil, duduk di kursi depan.

“Rileks, Mo… Jangan terlalu kencang…” kata Naing Naing. Mo mengurangi laju kendaraan. “Kita harus cepat, tapi tidak perlu ngebut…”

Aku terengah-engah karena gelisah. Lukaku terasa perih, pasti tergesek sesuatu akibat terburu-buru memasukkan barang-barang ke dalam bagasi. Baru ingat kalau hari ini seharusnya aku ke klinik untuk mengganti hidrokoloid.

“Apa yang terjadi? Dimana Tong Rang? Kenapa ditinggal?” suaraku mirip tangisan.

Tim menyodorkan air mineral untuk kuminum. “Rudi… Tolong berikan surat Tong Rang…” katanya menoleh ke jok belakang.

Rudi merogoh sesuatu dari saku tas kameranya yang masih tersilang di bahu. Lipatan kertas ia sodorkan padaku. Seorang kurir yang tidak tahu-menahu menyerahkan surat itu pada Naing Naing. Surat Tong Rang pendek saja, ditulis tangan, mengatakan kalau ia bersama sekelompok serdadu bayaran menyerang seorang kolonel dari Komando Operasi Militer 12 yang sedang berada di sekitar Ban Luang untuk melakukan inspeksi pasukan perbatasan. Dia berpesan agar kami tak perlu menunggu dan mencarinya; agar kami mengurus barang-barangnya. Bila selamat dia yang akan menemui kami.

Tanganku gemetar. Nafasku memburu. Tim pelan-pelan menarik kertas itu, menyerahkannya kembali ke Rudi.

“Kamu tahu soal ini?” Mataku menatap Tim: menuduh.

“Aku tahu dia merencanakan sesuatu. Tapi aku tidak menduga kalau…” Kepala Tim miring ke kanan, matanya menyimpan penyesalan.

“Kamu tahu sesuatu dan kamu tidak….”

“Dengar dulu….”

“Kenapa baru sekarang….”

“Hey!” Naing Naing berteriak, menengok ke belakang, dua tangannya memegang sandaran jok amat erat, buku-buku jarinya mengeras, kedua manik matanya bergerak-gerak liar. “Tidak ada gunanya ribut sekarang!”

“Aku tidak ribut! Aku ingin tahu apa yang terjadi!” Suaraku meninggi.

“Aku belum dapat kabar lagi. Yang pasti, menurut salah satu kontakku, Yan Aung mati tertembak. Nasib Tong Rang belum diketahui,” ia memandangku, “Surat itu jelas sekali. Tong Rang bukan urusan kita.”

“Aku tidak mengerti…”

“Sampai detik ini tidak ada yang mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Semua kontakku sedang berusaha cari informasi. Butuh waktu… Pasti ada alasan mengapa dia melakukan hal ini. Saat ini meninggalkan Sangkhlaburi adalah pilihan terbaik. Siapapun bisa menjadi apapun untuk pihak manapun… Sangat sulit dilacak…” Naing Naing berhenti, menoleh ke belakang lagi, tapi aku tak yakin matanya menatapku atau Tim. “Sekarang jangan berpikir apapun. Tunggu dulu. Tidak ada apapun yang akan terjadi padamu…”

“Ini bukan tentang aku. Ini soal Tong Rang… Dia teman kita…” Meskipun beberapa hari terakhir ini aku kesal padanya, aku tak mau ia celaka.

“Mia… Dia minta kita tidak menunggunya, tidak mencarinya,” tukas Tim.

“Kapan kejadiannya?” Kutarik nafas panjang, berusaha menahan diri.

“Sekitar tengah hari, waktu kita makan siang tadi,” jawab Tim.

“Jadi kamu sudah tahu waktu itu?”

“Saat itu belum. Father Sap yang memberi tahu. Dia menyuruhku segera kembali ke hotel begitu aku sampai di biara. Ia sudah dapat kabar ada tembak menembak di dekat Ban Luang, tapi ia tidak tahu detilnya. Kami tidak sempat bicara. Kita disuruh segera kembali ke Bangkok meskipun kita tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian itu. Di hotel Naing Naing sudah menunggu dengan surat Tong Rang itu. Aku telpon Rudi, memintanya segera kembali ke hotel. Kami berdua buru-buru mengemas semua barang, termasuk milikmu….”

Rudi diam saja. Kepalanya menyandar ke jendela, matanya menerawang ke atas, entah melihat apa, mungkin sepotong awan yang kesepian terapung-apung di angkasa. Seperti perasaanku saat ini, terapung-apung, bingung.

“Kenapa Naing Naing ikut kita sekarang?” pertanyaanku untuk Tim.

“Aku tidak mau ambil risiko. Banyak orang melihat Tong Rang bersama Yan Aung tiga hari ini. Para penjaga itu melihatku bersama kalian. Aku harus pergi dari sini, sampai semua jelas,” tukas Naing Naing tanpa menoleh.

“Tong Rang hampir membuat kita semua terbunuh,” rutukku, “Sekarang bisa-bisanya dia melakukan hal ini. Kamu juga… Bisa-bisanya kamu tahu sesuatu tapi diam saja,” aku geram, mataku menghunjam mata Tim. “Aku bukan kombatan, cuma sosiolog yang….”

“Mia, sudahlah.” Rudi menepuk-nepuk lembut punggungku dari belakang sebelum aku jadi histeris. Tim mengulurkan lengannya hendak memelukku. Aku beringsut menjauh, mepet ke jendela.

Take this, please. You need to rest.” Tim mengambil sesuatu dari saku tas pinggangnya, sebutir pil putih ia letakkan di telapak tangannya. “Kamu perlu tidur. Sesampainya di Bangkok kita langsung ke Bumrungrad, lukamu perlu dicek, hidrokoloidnya perlu diganti. Mungkin perlu perawatan khusus supaya tidak berbekas. Setelah itu kita baru bicarakan semuanya.”

Dengan kesal kutolak pil itu, aku tidak butuh obat tidur. Sejak kemarin Tim dan Rudi memang mengira aku perlu istirahat. Rudi menggulung sweaternya, mengaturnya sedemikian rupa di sandaran jok. “Letakkan kepalamu di sini…”

Aku mengikuti apa katanya. Dalam situasi seperti ini, pilihan terbaik adalah menenangkan diri. Baru kusadari sudah tiga hari aku tidak melakukan yoga. Punggung kusandarkan, mata kupejamkan, potongan-potongan fakta seputar Tong Rang kususun dalam kepalaku. Ia jarang duduk-duduk mengobrol bersama kami. Ia selalu tinggal di hotel terpisah, kecuali kali ini, karena semua hotel berfasilitas bagus sudah penuh. Kiranya aku tak banyak tahu siapa sebenarnya lelaki kelahiran Burma yang diadopsi pasangan Amerika itu.

***


0 Spots:

Post a Comment