Tembak Di Tempat 8

Bagian 8

Awan nimbostratus terbentang di atas perbukitan. Tanpa melihat jam, sulit menengarai apakah matahari telah lingsir atau masih bertahta di cakrawala. Dari jendela kulihat dua balita tengah berlarian bersama ayah mereka di atas rumput yang basah oleh gerimis. Rudi sedang berburu foto untuk keperluannya sendiri. Tong Rang entah dimana, sejak berpisah di rumah panggung aku belum melihatnya.

Aku keluar kamar. Di teras restoran, yang kursi-kursinya ditata menghadap danau, kulihat Tim duduk sendirian. Ia melambai ketika melihatku menapaki tangga untuk bergabung dengannya.

“Draft proposal. Baru 80%,” kuangsurkan sebatang flashdisk.

“Terima kasih.” Benda mungil itu ia taruh ke dalam kantung peralatannya. “Duduk.” Kepalanya bergerak ke kursi di samping kanannya. “Kamu kelihatan kacau… Kopi? Teh?” Tim mengangkat tangannya, memanggil pelayan. Kupesan secangkir coklat panas.

“Aku merasa frustrasi. Apa sih sebenarnya yang kulakukan di sini?” Kuedarkan pandangan, menatap pokok-pokok hujan menyelimuti punggung perbukitan. “Aku dibayar banyak untuk pekerjaan ini, dengan semua fasilitasnya. Ke sana-sini mewawancara orang. Nulis laporan. Hasilnya cuma sebendel dokumen, belum tentu ada yang baca. Mengapa uang yang kuterima tidak diberikan pada mereka saja?” aku terengah, menahan emosi. Kuceritakan penderitaan May dan Lin.

Tim melepas kacamatanya. Ia pasti tidak menyangka aku akan mengigau seperti itu. Ini bukan kali pertama aku ke lapangan, mendengarkan cerita korban kekerasan. “Gaji yang kuterima mungkin bisa untuk membangun ruangan kecil untuk belajar. Biaya hotel dan perjalananku mungkin bisa untuk membeli buku dan alat-alat tulis. Supaya mereka bisa sekolah tanpa harus bertaruh nyawa,” aku berhenti. Coklat yang baru diantar pelayan kuseruput panas-panas. Lidahku jadi kebas.

Tim memindahkan silangan kakinya. “Ada beberapa hal. Pertama. Yang kamu rasakan saat ini juga sering aku rasakan. Sehabis ke lapangan aku sesekali frustrasi dan bertanya pada diri sendiri, mengapa aku melakukan hal ini? Lalu kujawab sendiri. Ada atau tidak ada pekerjaan ini, kekejian manusia atas sesamanya tidak berhenti, ketidakadilan tetap terjadi, di Afrika, di Amerika, di Timur Tengah, di Sidoarjo dengan lumpurnya itu. Dimana-mana. Hasil kerja kita dibaca banyak orang, kamu pasti tahu itu, lalu ada yang mengulurkan tangan, memberi bantuan.” Tim berhenti sebentar. “Kedua. Ada atau tidak ada kamu, atau Tong Rang, atau Rudi, misi ini tetap jalan. Tidakkah lebih baik aku melibatkan kamu, orang yang tidak korup, yang mau bersusah payah, yang disiplin, yang murah hati, daripada aku mengajak orang lain yang tidak memiliki kualitasmu itu?” Tim mencondongkan badannya ke depan, berusaha mencari mataku. “Jangan menghukum dirimu sendiri karena tidak mampu memperbaiki kesalahan yang tidak kamu lakukan. Sama-sama bekerja dan mendapat gaji, aku memilih pekerjaan ini daripada lainnya. Manfaatnya ganda. Kita bekerja sambil menolong orang-orang yang tidak mampu menolong diri mereka sendiri. Tak usahlah bicara tentang perdamaian dunia, cukup pada kelompok yang tadi kamu temui. Tanpa kamu, sore ini May dan Lin tidak mendapat buku. Tanpa kamu, proposal ini tidak akan ada. Saat ini dunia mereka gelap dan buntu, proposal ini semacam sinar, memberi harapan akan ada jalan keluar. Proposal ini juga bukti masih ada orang yang peduli pada penderitaan mereka. Punya harapan dan ada orang yang peduli; dua hal itu bisa membantu mereka bertahan. Kupikir kamu tahu itu… Kenapa baru sekarang kamu merasa begini?”

“Aku tidak tahu…” gumamku. Terbayang lagi wajah May dan Lin dan pipi-pipi mereka yang berbalur thanaka.

“Kamu ingat Jennie?” Ia menyebut nama gadis kecil yang dua tahun lalu kami tolong keluar dari kamp Ban Mae, yang saat ini berusia 8 tahun dan tinggal di Sydney bersama orang tua angkatnya. “Kamu sudah membantunya meraih kembali hidupnya. Kamu masih merasa pekerjaanmu sia-sia?”

Kami sama-sama melihat ke atas. Langit menghitam. Hari berganti malam. Tebalnya mendung menyembunyikan kerlap-kerlip bintang.

“Tak ada manusia normal yang mampu membiasakan diri terhadap penderitaan dan ketidakadilan,” wajah Tim sangat serius. “Ia hanya bisa menahan atau melupakan atau mengalihkan. Kamu tidak sendiri…”

** 

Pukul 6 pagi. Suasana guesthouse masih sepi. Sesekali terdengar ocehan burung, kepaknya mendesir menyirap kabut. Tubuhku masih terbalut selimut, tangan kananku meraba-raba meja kecil di samping tempat tidur, menggerapai kotak mungil berlapis beludru hitam yang semalam kutaruh di situ. Kubuka dan kupungut isinya, sebentuk cincin kawin, di bagian dalam terukir sebuah nama: Timothy Rosenberg.

“Untuk jaga-jaga kalau terjadi sesuatu. Kita masuk ke kamp sebagai suami istri.” Kuingat kata-kata Tim tadi malam.

“Pakai sajalah,” sokong Rudi, “paspornya bisa melindungi paspor hijaumu,” lanjutnya bercanda. Siapapun tahu, sebagai warga negara Amerika keamanan Tim lebih terjamin.

“Ini ide siapa?” tanyaku, “pasti kamu, ya!” Tong Rang kutuduh. Sejak keluar dari rumah panggung sampai saat makan malam ia tidak kelihatan. Bisa jadi ia pergi ke Kanchanaburi demi membeli cincin.

Please, Mia. Just put it on,” rayu Tang Rong, “no need to know who bought it.”

Kalau situasinya sedang aman pasti hal semacam ini tak diperlukan, pikirku, menyematkan cincin ke jari manisku sebelum keluar kamar untuk sarapan.

“Sudah siap semua?” Tim mengawasi kami satu persatu. Untuk kesekian kali dia menjeling ke arah jari manis kiriku, di situ melingkar cincin yang bentuknya sama dengan cincin di jari manis kirinya.

SUV terlihat mengkilap. Mo mencuci bersih kendaraan meskipun nanti hanya akan kotor oleh debu dan lumpur. Jalan yang akan kami lalui tidak beraspal dan tersembunyi di balik kelebatan belukar. Dari luar, lewat jendela-jendelanya yang terbuka, interiornya terlihat bersih sekali. Aroma rempah-rempah menguar.

“Untuk membuat Mister dan Madam senang,” Mo membungkukkan badan kecilnya, “itu aroma terapi… agar jiwa raga kita bisa rileks hari ini…” supir itu tergelak.

“Apa kami tampak tegang?” Tong Rang menohok pelan punggung Mo sebelum masuk ke mobil.

Kami berlima meninggalkan hotel sambil saling ledek satu sama lain. Masing-masing merasa perlu mencairkan ketegangan. Rudi duduk di depan. Tim duduk di jok tengah, di sebelahku. Ia menyebutkan beberapa insiden yang beberapa minggu terakhir terjadi sporadis di wilayah Three Pagodas Pass dan sekitarnya, banyak orang terbunuh dan terluka, belum ada klaim siapa pelakunya. Aku, Rudi, dan Tong Rang mendengarkan saja, Mo sesekali menimpali.

Begitu melewati batas kota Sangkhlaburi, di kanan-kiri jalan terlihat aneka jenis tanaman perkebunan: ekaliptus, karet, dan jati. Di sela-sela pohonan itu banyak rumah-rumah panggung beratap rumbia, lebih mirip gubug. Di halamannya terpasang antenna parabola, tidak sedikit yang terparkir satu atau dua kendaraan four-wheel drive.

Ban Luang adalah kamp pengungsi yang dibangun pemerintah Thailand pada 1994, tapi UNHCR baru mengakui dan melindungi penghuninya mulai tahun 2004. Tercatat ada lebih dari 8.000 pengungsi tinggal di kamp itu.

Rudi memandang ke kiri, ke hutan jati berselang-seling hutan karet dan tanaman keras lain. Aku memilih larut dalam alunan musik Tchaikovsky. Sesekali terdengar Tong Rang di jok belakang membalik-balik halaman dokumen yang sejak sarapan tadi tak juga selesai ia baca. Tim berbincang dengan Mo tentang berbagai penyelundupan. Sudah jadi rahasia umum kalau di sepanjang perbatasan, lewat sungai maupun daratan, biasa terjadi penyelendupan ganja dan morfin, kayu gelondongan dan barang-barang elektronik, tak ketinggalan anak-anak dan perempuan muda.

“Itu Naing Naing!” Seru Mo. Laju kendaraan melambat untuk menepi dan berhenti. Jurnalis yang diketahui orang bekerja sebagai relawan Angel’s Hand itu duduk di atas tebangan pokok jati. Ia punya banyak kontak, termasuk di kalangan militer di berbagai tingkatan. Tim dan Rudi turun, menyambut lelaki bertubuh kurus, berambut cepak, dan bermata juling itu. Kudengar mata julingnya jadi semacam hoki, orang yang tidak kenal jadi meremehkan, membuatnya seakan tak kasat mata.

“Hello semua!” Naing Naing duduk di jok depan, menyalami kami satu persatu. Rudi pindah ke jok belakang bersama Tong Rang. Mobil melaju kembali.

“Ada kemungkinan kita tidak bisa masuk ke kamp. Ada beberapa pos tambahan di jalur ini, juga di beberapa titik lainnya. Beberapa minggu ini situasi mustahil diprediksi. Pagi tadi kontak saya mengatakan kalau….” Kalimat Naing Naing terputus, kurang dari 100 meter di depan terlihat ada barikade. “Ini dia…!” Naing Naing berseru. Ia menghela nafas panjang lalu membuangnya kuat-kuat sambil mengumpat.

Mo menepikan kendaraan, berhenti sekitar tujuh mater dari orang yang berdiri paling depan. Mesin mobil dibiarkan hidup. Naing Naing turun, meminta kami tetap di dalam kendaraan. Ada sembilan orang berpakaian militer berjaga, semua memegang senapan otomatis, tiga orang maju beberapa langkah bersamaan dengan Naing Naing mendekati mereka.

Tong Rang minta Mo membuka semua kaca jendela sehingga dia bisa mendengarkan percakapan mereka.

“Jangan macam-macam!” hardik Tim dengan suara rendah.

“Aku cuma ingin tahu apa yang mereka bicarakan,” katanya. Wajah Rudi menegang, menyiapkan kamera video supermini berbentuk bolpoin yang ia selipkan di saku rompinya. Rudi beringsut ke jendela kanan. Sedikit gemetar tangannya mengarahkan lubang kamera ke depan. Naing Naing memberi isyarat agar kami keluar dari mobil. Mo berkata kalau kami akan baik-baik saja.

“Mia, stay behind me. You’re my wife now. Tong Rang, documents, please. No camera. Tong Rang!!!” Tim membentak Tong Rang yang akan menenteng kamera digitalnya. Kami berlima melangkah pelan mendekati barikade. Sekali lagi Rudi memperbaiki posisi kamera video di saku bajunya. “I promise I will take you home safely,” bisik Tim ke telingaku sebelum merangkul pundakku.

Semua mata penjaga menatapku. Mereka pasti mengira aku perempuan Thai atau Burma, karena sosok dan wajahku tak beda dengan mereka. Naing Naing memperkenalkan kami satu-satu, memberi penjelasan cukup lama ketika sampai giliranku. Tong Rang bermaksud ikut bicara. Salah satu penjaga membentaknya sambil menghantamkan popor senjata ke tanah. Tim memperketat pelukannya di pundakku. Rudi membuang pandang. Mo berusaha tampak tenang.

“Passports!” Salah satu penjaga berteriak. “Documents!” tambahnya, mengacungkan telunjuknya pada Tim.

Naing Naing telah menjelaskan bahwa Tim adalah ketua rombongan. Tong Rang menyerahkan tas warna biru yang dicangklongnya ke tangan Tim.

“Should I?” Tim memandang Naing Naing.

“Yeaaah! You!” Salah satu penjaga mengacungkan senapannya.

Aku tak setakut dua hari lalu, mungkin karena sejak tadi aku berdoa di dalam hati dan sadar sedang menuju lokasi berbahaya. Namun tetap saja otot-otot tubuhku menegang dan detak jantungku mengencang.

Hati-hati Tim membuka tas, mengeluarkan dokumen dan maju beberapa langkah, menyerahkan map warna merah pada mereka. Foto kopi paspor kami dan surat tugas ada di sana.

Mereka memberi isyarat agar aku mendekat, bergabung dengan Tim dan Naing Naing.

“Sudah bilang kalau Mia istriku?” tanya Tim pada Naing Naing.

“Sudah.”

“Diam!” bentak si penjaga yang tadi menghantamkan popor senjata. Matanya siap menerkam.

“Wife?” tanya petugas yang kurus, matanya berpindah-pindah dari fotokopi paspor ke wajahku. Mukanya penuh debu seperti belum mandi seminggu, bibirnya legam, menyeringai mempertontonkan giginya yang merah oleh getah pinang. Ia melirik ke arah jari manis kami berganti-ganti.

“Yes.” Jawabku, diikuti anggukan oleh Tim.

“Indonesia?” tanyanya lagi.

“Yes.” Aku sudah siap menjawab bila dia menanyakan mengapa aku bekerja dalam satu tim dengan suamiku. Tapi pertanyaan itu tidak terlontar, dia pasti tidak mencermati surat tugas kami.

“America?” Tanyanya pada Tim, menarik foto kopi paspor dari map merah, melambai-lambaikan kertas itu sambil menyeringai lebar. “Why Indonesia? You have BaywatchBig boobs… hahahaaa…!!!” Ia terbahak, mulutnya terbuka, bau nafasnya menyembur, seperti ada bangkai cicak tergencet di antara giginya.

Bagai menghalau anjing kurap ia menyuruh kami berdua mundur. Berturut-turut mereka menyuruh Rudi dan Tong Rang maju dengan acungan senjata, menanyakan beberapa hal dengan bahasa Inggris seadanya. Tiga orang berpakaian hijau-hijau seperti tentara itu lalu diskusi sebentar dengan enam temannya. Bisa kurasakan beberapa pasang mata penjaga itu menelanjangiku. Mereka lalu memanggil Naing Naing. Dokumen itu diserahkan padanya.

Naing Naing meminta kami kembali masuk ke dalam kendaraan sementara ia berbincang sekitar 10 menit dengan beberapa penjaga, dua di antaranya terus mengawasi kami yang duduk diam di dalam mobil. Jantungku terus bertalu-talu sampai telingaku pekak dan panas.

Mereka melarang kami masuk ke kamp pengungsi karena alasan yang tidak jelas. Surat-surat kami lengkap dan semua sudah diatur sejak lama. Mo memutar kendaraan. Meskipun kecewa, aku bernafas lega.

“Saya bisa membawa salah satu dari kalian dengan sepeda motor nanti malam. Risiko ditanggung sendiri. Bagaimana?” Naing Naing menoleh ke belakang.

“Jangan. Kita tidak harus melakukan ini. Misi kita tidak terganggu. Kita masih bisa memakai sumber sekunder,” Tim menolak. “Apa saya bisa memintamu mengcover sebagian keperluan kita?”

“Tentu saja. Kalau sendirian saya pasti bisa.”

Semua diam sepanjang perjalanan kembali ke hotel.

“Saya turun di pasar,” pinta Naing Naing, “ada yang mau ngopi?” ia menengok ke belakang. Aku ragu-ragu matanya menatapku atau Tim.

“Terima kasih. Kali ini tidak,” jawab Tim, mengeluarkan amplop coklat dari ranselnya. “Ini beberapa informasi yang kami perlukan. Tidak banyak. Kalau kamu kesulitan, lupakan saja.” Amplop ia ulurkan.

Mo menghentikan mobil di samping pasar, tak jauh dari satu-satunya ATM di kota kecil itu. Aku dan Tim turun untuk menyalami Naing Naing. Ia berharap lukaku segera sembuh. Ia dikenal suka membantu siapa saja yang menjalankan misi kemanusiaan untuk para korban konflik di perbatasan. Sejak Tim menghubunginya dua bulan lalu – dari Washington D.C. – ia bilang tidak menginginkan imbalan selain persahabatan.

“Saya akan memerlukanmu, suatu saat nanti. Percayalah.” Mata julingnya ikut tersenyum bersama bibirnya. Amplop coklat itu ia selipkan ke dalam kausnya. “Dua-tiga hari lagi saya akan ke Bangkok membawa laporan yang kalian minta. Okay?” ia melambai, lalu menghilang di dalam pasar.

Tim pindah duduk di depan, meminta Mo menjalankan kendaraan. “Kita harus rapat setelah makan siang.”

***

0 Spots:

Post a Comment