Siapa yang tidak kenal Rinta? Sudah pintar, cantik, punya karir yang
bagus, kaya pula. Penampilan dan pembawaanya selalu menghipnotis siapa saja
untuk mendecak kagum. Sosok yang sempurna, ramah, baik hati dan tidak sombong. Tidak
sombong? Entahlah. Yang sering kudengar adalah ia selalu berbiacara mengenai
dirinya, keakuannya yang penuh bla bla bla dan serba blab la bla.
Sebagai teman dekat, bahkan untuk
iripun aku tidak mampu. Dengan segala kelebihannya, maka keadaan kami seperti
langit dan bumi. Jauh dari mirip. Dia punya segala hal yang digilai tiap orang.
Sedangkan aku, sebelah matapun tidak ada yang melirik. Kalau sampai saat ini kami
masih berteman, itu hanya karena masa lalu saja.
Aku selalu menjadi tumpahan
kekesalan dan kemarahannya. Aku tahu pasti, ini semua untuk pelampiasan agar di
depan orang banyak, dia tetap terlihat sebagai sosok yang ramah dan baik hati.
Mungkin sudah nasibku menjadi tumpahan segala isi hatinya. Dan aku hanya bisa
berdiam diri. Memendam semua perasaannya itu.
Seperti saat ini. Aku hanya diam.
Dia tumpahkan semua emosinya secara membabi buta padaku. Dia bertengkar hebat
dengan tunangannya, Ardha, seorang lelaki yang easy-going. Dia ramah dan
penyayang., walau terkesan slebor dan suka seenaknya. Entah kenapa, menurutku
ada sesuatu yang tidak sinkron dalam hubungan mereka.
Rinta merasa selama ini dia sudah
begitu mencintai dan mengasihi Ardha, memperlakukannya dengan penuh kasih dan sayang.
Namun, Ardha belum menunjukkan kesungguhannya untuk berkomitmen. Menurut Rinta
begitu, namun yang kulihat justru sebaliknya. Ardha berada pada posisi terinjak
tak berkutik. Sikapnya yang seenaknya menutupi rasa tertekannya. Dan sikap
seenaknya inilah yang membuat Rinta kecewa. Merasa tidak dihargai.
Tapi, bukan mau membela Ardha,
aku seperti menangkap simbol pemberontakan atas perlakuan Rinta padanya. Ingin menunjukkan bahwa Rinta
bukanlah seperti tampilannya yang welas asih. Aku mulai bersimpati dengan
keadaanya. Jangan bilang aku jatuh hati pada Ardha, bukan. Hanya simpati dan
rasa kasihan.
Dan entah mengapa, tiap kali
melihat mereka bertengkar, hanya satu yang kupikirkan sebagai jalan terbaik. Namun
aku tidak ingin hal itu terjadi.
Akhirnya saat itupun terjadi. Pertengkaran hebat di telepon.
Aku hanya diam menyaksikan semua itu. Hal yang kuinginkan namun tak kuharapkan
akhirnya terjadi.
“Semua telah berakhir!”
Ditulis dengan huruf besar-besar, di halamanku
yang terakhir dan penghabisan. Riwayatku pun berakhir. Tinggal menanti lembar
demi lembarku dimusnahkan. Aku menatap kelangit-langit kamar Rinta. Dari dalam laci yang terbuka, aku mengucapkan
selamat tinggal. Untuk segala kenangan yang ada.
-Diary-
Oooh nasibmu diary... :)) Jadi ingat tumpukan2 diary sendiri :))
ReplyDeletePersonifikasi....selalu suka tulisan macam gini....
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSuka pemaparanya..
ReplyDeletehmm.. Gugur satu tumbuh 2000 :)
Tulisan Deasy selalu memunculkan kejutan manis di ending-nya. Dan yang ini, saya suka! :)
ReplyDeleteEnding yang tidak terduga, hahaha..
ReplyDeleteOhh, Diaryy.. semoga aja kamu ngga berakhir dalam lumatan bara api yaa :(
*Rintaa.. diary-nya dikirim ke gua aja sinii*
Wah, endingnya mengejutkan. Jadi ingat kisah si suratkabar yg dipakai alas tidur gelandangan itu :-)
ReplyDeleteThank you semuaaaaaaa :)
ReplyDelete