Empat Perempuan

Episode 16: Trendy Trent (1)

Sepasang mata sipit Dea membelalak. Ia baru mendengar suara Trent Martin, belum pernah melihat fotonya. Ia tahu mamanya menyimpan beberapa foto lelaki Australia itu. Namun ia selalu lupa mengintipnya.

“Wow! Keren!” Seru Dea menahan nafas. Matanya terpaku pada foto-foto di layar laptop ibunya. “Wow! Trendy!” lanjutnya masih dengan sepasang mata membelalak. “Kayaknya nggak pas buat Mama…” setengah berbisik Dea menoleh, mengamati ibunya.

“Maksudmu?” Ganti mata Runi yang membulat.

“Yaaa… Mama keren juga. Trendy juga. Cuma tetep biasa-biasa aja, nggak segitunya. Si Trent ini… bedaaa… Coba dia jalan di catwalk, nggak ada yang ngira kalau dia bukan model!”

“Si Trent… Si Trent…!” Protes Runi, “Nggak usah pakai ‘si’. Trent gitu aja. Dia 5 tahun lebih tua dari Mama.”

“Ih. Marah… kan Dea cuma becanda,” nada sesal keluar dari suaranya.

“Mama juga cuma becanda. Sini…” Runi meraih tubuh anaknya, memeluknya. “Jadi ikut ke bandara? Simpan laptopnya. Sisir rambutnya. Ikat tali sepatunya. Buka garasinya.”

Dea memandang ibunya tak percaya. Perempuan itu menyuruhnya mengerjakan empat hal sekaligus. Sambil gerundelan gadis itu masuk ke kamar. Ia ingin tampak keren di mata Trent. Kalau lelaki yang hampir setengah abad itu bisa bergaya, seharusnya aku mampu bersaing, pikirnya sambil berdandan. Gadis itu menatap bayangannya di dalam kaca lama-lama. Baru berhenti ketika suara klakson terdengar. Mama pasti sudah tak sabar dan jengkel karena ia lupa membuka garasi.

“Deaaa…” Eyang menegur cucunya. Hentakan kakinya saat berlari keluar rumah mengganggu konsentrasinya pada buku memoir Wild Swans. Perempuan bercucu lima itu heran mengapa kaki-kaki kurus Dea bisa menimbulkan suara bising, meskipun tampaknya semut pun tak akan mati bila terinjak tak sengaja.

“Maaf, Ma,” ucap Dea lembut begitu duduk di dalam mobil. Cepat ia kenakan seatbelt. “Ummm… Dea nggak mau nyaingin Mama. Ef-whai-ai…”

Runi berhenti memundurkan mobil. “Nyaingin? Maksudmu?”

Dea mengerjap-ngerjapkan mata.

“Oh! Wow!” Runi baru sadar kalau dandanan anak gadisnya itu agak berbeda dari biasa. Lipstik warna nude terpoles rapi di bibirnya. Bagian tengah poninya ditarik ke belakang, diberi jepit sewarna kausnya, membuatnya tampak lebih dewasa. Dan… apakah itu mascara di bulu matanya? Runi melepas kacamata hitamnya. “Wow!”

“Dea pengin kelihatan lebih dewasa.”

“Kamu kelihatan cantik.” Runi mengedipkan mata. “Trent pasti suka,” tambahnya menahan senyum. Menurut pengamatannya Dea lebih tertarik pada lelaki dewasa. Ia jarang bercerita tentang teman-teman cowok di sekolahnya, atau menunjukkan minat pada pemuda sebaya. Runi ingat Kar. Ya. Meski usia mereka hanya terpaut dua tahun, dan Runi belum pernah bertemu pemuda itu, ia membayangkan kalau penampilan Kar pasti sedewasa suaranya. Mungkin Dea merindukan sosok ayahnya. Tiba-tiba ada rasa dingin menjalari otot-otot dadanya. Runi menghela nafas panjang, memasukkan lebih banyak oksigen ke paru-paru, ingin menghangatkan jantungnya.

“Kamu tampak cantik,” sekali lagi Runi memuji anak gadisnya sebelum keluar ke jalan raya.

“Kata Eyang Trent itu orang Australi,” Dea memecah alunan suara Sting yang sore ini mendendangkan salah satu lagu favorit mereka, ‘Fragile’. “Namanya bagus, ya, Trent Martin.”

“Martin itu katanya salah satu patronim yang berasal dari jaman Latin kuno. Martius, Martinus, dari Mars, dewa perang Romawi dan sang penjaga pertanian,” jelas Runi. Keluarga Runi senang membahas asal usul serta makna nama-nama orang, terutama teman-teman dan kerabat mereka. Kebiasaan itu berawal dari ayah Runi. Ia konon jatuh cinta pada Sekar Jatiningsih karena nama gadis itu selain mempesona hati maknanya indah sekali. Dan ayah Runi benar. Ibunya telah menjadi satu-satunya bunga cinta yang tak pernah layu menghiasi jiwa kekasihnya, hingga akhir hayatnya.

“Mama udah lama kenal dia?”

“Yaaa…” Runi berpikir, “Sekitar 13 tahun. Cukup lama.”

“Mama suka sama dia?”

Runi menahan tawa mendengar pertanyaan polos anaknya. Kata ‘suka’ kurang tepat untuk melukiskan perasaan Runi pada Trent. Hubungan mereka istimewa. Awalnya hanya teman biasa. Lalu berkembang menjadi sesuatu yang lebih dekat dari sekedar sahabat semenjak Runi menjanda. Ada sesuatu yang mendekatkan mereka; semacam penderitaan. Pada dasarnya manusia lebih memerlukan kehadiran teman bila sedang menderita. Itu sebabnya orang merasa lega bila tahu ada orang lain yang juga menderita. Merasa senasib. Merasa tidak sendirian. Tapi manusia juga punya rasa iri dan dengki. Ia tak suka melihat manusia lain merasa senang. Itu juga salah satu alasan mengapa terselip rasa lega bila manusia mendengar kabar duka yang dialami sesamanya.

Namun hubungan Trent dan Runi tak diwarnai iri-dengki meskipun kedekatan mereka berawal dari penderitaan yang mereka alami.

“Ma?” Dea tak suka melihat wajah ibunya menegang.

“Trent itu lelaki yang baik. Dia meninggalkan pekerjaannya karena ada profesor senior yang membencinya. Akibatnya kontraknya sebagai dosen tidak diperpanjang. Lalu dia pindah ke Kuala Lumpur, bekerja di sebuah konsultan internasional,” Runi bercerita.

“Dia ke Jogja cuma mau nemuin Mama?”

“Bukan cuma itu. Dia datang dari Bali. Habis seminar. Dia punya sahabat lain di Jogja. Seniman instalasi. Akan pameran di LIP minggu depan. Trent pengin menghadiri pembukaannya.”

“Mama mau ikut? Dea ikut, ya?”

“Boleh.”

Bagi Dea lampu merah di pertigaan menuju bandara Adisucipto terasa jauh lebih lama dari biasanya. Telunjuk kirinya menyentuh pelan bulu matanya yang panjang dan melengkung ke atas, hampir menyentuh kelopak matanya. Meskipun matanya sipit, warisan papanya, bulu matanya lentik dan tebal. Bila dipoles mascara orang sering mengira ia memakai bulu mata palsu.

“Kamu cantik, Dea. Lebih cantik dari Mama,” ucap Runi sambil memarkir mobilnya. “Trent pasti ikut bangga kalau Mama punya anak secantik kamu.”

Dea tak menggubris Mama, sibuk memperbaiki jepitan rambutnya. Ia ingin Trent yang terlihat sangat trendy di foto itu terkesan oleh penampilannya. Ia menyesal tidak mengenakan wedges biru tosca hadian Tante Kana. Tadi ia ragu-ragu. Menurutnya sepatu itu tampak aneh di kaki kurusnya. Membuatnya seperti memakai sepatu roda yang hilang rodanya. Coba kalau kakinya lebih berisi, warna sepatu yang sedang in itu pasti matching dengan rok bawah yang dikenakannya.

Begitu mereka tiba di ruang tunggu kedatangan domestik, terdengar suara perempuan mengumumkan kedatangan pesawat dari Denpasar. Dea mempermainkan dua kakinya, memutar-mutarnya. Ia tak suka menunggu seperti itu. Apalagi yang ditunggu orang yang baginya istimewa. Lelaki yang ia yakini sebagai kekasih mamanya.

“Dea! Itu Trent. Sedang menunggu koper.” Runi menunjuk kerumunan orang yang sedang mengelilingi conveyor belt. Ia selalu jengkel bila mendarat atau menjemput orang di bandara Adisucipto. Hanya ada dua conveyor belt yang sangat pendek, tak muat untuk sekian banyak koper para penumpang. Apalagi di pagi hari saat ada 5 sampai 6 pesawat mendarat dalam waktu hanya 30 menit. Penumpang akan berdesakan di sana, berebut tempat paling depan agar mudah meraih kopernya.

“Itu. Yang baju biru muda.” Tubuh Trent tinggi dan gagah, membuatnya mudah ditemukan.
Mata Dea tak lepas lagi dari sosok itu. Mata itu mengerjap-ngerjap saat lelaki yang selalu disebut ibunya sebagai soulmate itu melangkah lebar menuju pintu gerbang. Runi melambaikan dua tangannya agar Trent mengenalinya. Ya. Ia melihat mereka. Senyumnya terkembang.

Runi menarik lengan Dea, menjauh dari para penjemput yang berjubel di depan pintu gerbang. “Kita tunggu di sana,” kata Runi, menunjuk tempat yang lebih lapang. Kepala Dea terus menoleh ke belakang, matanya mengawasi Trent, khawatir kalau lelaki itu tak melihat mereka.

Satu menit kemudian tubuh Runi melompat lalu mendarat di pelukan lelaki berbaju biru dan bercelana khaki itu. Mereka berdekapan. Lama. Tak ada ciuman seperti yang diperkirakan Dea.

G’day gorgeous!” sapanya, mengulurkan tangan, “You must be lovely Dahlia. A lovely name for a lovely girl.” Dari bibirnya meluncur serentetan pujian dengan aksen Australia yang kental. Disusul pelukan ringan dan usapan sayang di kepala Dea, membuat jepit rambutnya berantakan.

***

Catatan:
Ef-whai-ai: FYI 
LIP: Lembaga Indonesia Perancis




5 comments:

  1. Makasih banyak untuk cerita yg sangat menarik ini, Mbak Endah..
    Saya pasti akan setia menunggu kelanjutannya..
    Salam hangat untuk pria ausie ;)

    nisa..Makasih banyak untuk cerita yg sangat menarik ini, Mbak Endah..
    Saya pasti akan setia menunggu kelanjutannya..
    Salam hangat untuk pria ausie ;)

    nisa..

    ReplyDelete
  2. Setelah Priyo, si tukang antar galon ayang ganteng itu, sekarang saya naksir Trent.. :D

    ReplyDelete
  3. waduh demen nih byk pria2 berkeliaran...hehhe...titip satu ya mbak...trent boleh juga kayagnya...

    ReplyDelete
  4. Sama-sama, Nisa :-)
    @Meli: boleh aja Trent buat Meli. Kalo saya tetep pilih Osken :-)

    @Sari: ini cuma satu dari sekian yg berseliweran di antara empat perempuan :-)

    ReplyDelete
  5. Maniiiiisss.. salam untuk Trent ya Mbak :D

    ReplyDelete