"Pi, bangun." Tubuh laki-laki itu diguncang. Ia membuka mata dengan malas dan nampak agak terkejut.
"Jam berapa sekarang?" Gumamnya sambil beranjak dari posisi berbaring.
"Sudah jam enam. Air hangat sudah saya siapkan. Handuk saya gantung di pintu kamar mandi. Hari ini pakai safari yang biru saja ya?"
Laki-laki itu menggaruk kepalanya, rambutnya sudah begitu tipis sehingga dengan mudah ujung jemarinya menyentuh kulit kepalanya. Berminyak. Ya, sudah saatnya keramas. Ah, semakin lanjut usia, tubuh semakin mudah terasa kotor, gumamnya dalam hati, sekaligus begitu mudah juga merasa lelah dan gerakan menjadi lebih lambat.
"Pi, ayo cepat mandi. Nanti terlambat lho." Suara isterinya terdengar sudah agak tak sabar.
"Iya, iya... Rohku rasanya masih belum menyatu dengan tubuhku ini, lho. Rasanya aku... kok malas pergi ya hari ini..."
"Apa?!?"
"Emm... enggak. Aku hanya bercanda, Mi. Bercanda dengan diriku sendiri, memikirkan betapa enaknya teman-teman yang lain menimati masa pen..."
"Jangan sebut kata itu! Umurmu baru 60 tahun, masih muda! Cepatlah mandi. Narto sudah menunggu di bawah. Mobil sudah dicuci dan mesinnya sedang dipanaskan. Bubur ayam sudah siap untuk sarapan. Tugas Papi cuma satu, harus tetap semangat!"
Laki-laki itu menatap perempuan yang sudah menjadi isterinya selama hampir empat puluh tahun itu dan tersenyum lemah. Ia menghela nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan-lahan sekali, betapa ayu dan rapinya isterinya. Sebuah keadaan yang dipertahankan oleh perempuan ini sejak awal pernikahan mereka. Selalu bangun lebih pagi, mandi, berdandan agar sedap dipandang oleh suami, wangi, begitu sempurna. Hampir selalu sempurna, pikir laki-laki itu. Tidak tega rasanya mengingatkan perempuan rupawan, efisien dan selalu penuh semangat ini bahwa sudah tiga bulan mereka masuk masa purnabhakti.
Diangkatnya pantat dari kasur yang hangat, isterinya tersenyum. Aih senyum itu, masih saja sanggup membuat hatinya berbunga-bunga, ingin sekali ia meraih dan memeluk isterinya, sekedar menikmati pagi tanpa tugas apa-apa, apalagi tugas yang hanya diada-adakan saja. Tetapi, tak ada waktu untuk itu, isterinya sudah keluar kamar, dan ia harus menyusun jadwal tugas hari ini, kemana dia akan menitipkan dirinya dari pukul delapan pagi hingga pukul lima sore nanti?
***
"Pergi lagi? Lebih cepat dari aku berangkat kerja. Papi kemana sih, Mi?" Tanya Fadjar, si bungsu, satu-satunya anak yang masih tinggal dengan mereka.
"Ke kantor."
"Lho...?"
"Kenapa? Setiap pagi kan Papi memang harus ke kantor. Pergi jam tujuh pagi dan pulang jam lima sore. Itu wajib. Papimu itu masih muda, kalau hanya diam saja di rumah bisa cepat pikun."
"Tapi kan..., Papi sudah pensiun, Mi."
"Mereka masih memerlukan, Papi. Percaya deh sama Mami. Kemarin Mami telpon ke departemen menanyakan bagaimana performa Pak Sadikin, pengganti Papi. Ternyata? Para staf semuanya mengeluh sama Mami. Mereka bilang memang berbeda cara kerja Papi dengan cara penggantinya yang sekarang ini bekerja. Mami, bilang apa! Seharusnya departemen mempertimbangkan perpanjangan masa bhakti Papi, sebab cuma Papi yang bisa melakukan pekerjaan tersebut dengan sempurna. Bagaimana tidak? Empat puluh tahun pengabdian, tentu saja kita jauh lebih tahu apa yang kita lakukan dibandingkan anak kemarin sore seperti Sadikin itu. Kalau dia cerdas, dia seharusnya sowan ke sini. Seharusnya dia minta petunjuk Papi, minta diajari."
"Iya, Mi." Fadjar menahan diri dari memutar anak matanya mendengar penjelasan Mami yang panjang lebar luas dan dalam itu, sebab hal itu sudah menjadi makanannya selama berbulan-bulan sejak Papi pensiun. "Papi memang hebat. Tapi, sekarang ini Papi kemana?"
Mami mengangkat bahu dengan ringan, "Terserah. Yang penting Mami tahunya dari jam tujuh sampai jam lima sore, Papi bekerja. Papi, ke kantor. Titik." Mami membuka lembar majalah wanita langganannya, lalu menghirup teh hangat manis. Bagi perempuan rupawan itu, tidak ada yang harus berubah.
***
"Malik! Masih ingat aku?"
Laki-laki itu mendapatkan kejutan pada pukul sepuluh pagi, di sebuah toko donat tempat ia memutuskan untuk nongkrong sejak jam delapan pagi sekeluarnya dari rumah. Ia sedang memikirkan tujuan berikutnya hingga pukul lima sore, ketika sebuah tepukan ringan itu mampir di pundaknya.
"Karmila ya?" Katanya agak ragu.
"Ah... syukurlah, kamu masih ingat!" Renyah sekali tawa perempuan itu. Matanya masih mata yang sama. Bening. Hanya nampak jauh lebih dewasa. Dan garis-garis halus di wajah itu membuatnya semakin menarik sebab mengukuhkan kematangan yang memesona di mata lelaki itu. Mereka berdua sudah sama-sama berubah, tetapi tetap saling mengenali. Ah, pertambahan usia rupanya bersepakat dengan perempuan dihadapannya ini, sebab ia menjadi lebih cantik dari masa gadisnya dahulu.
"Mau ke kantor? Masih bertugas aktif ya?
"Sebenarnya sih... tidak." Maka mengalir dengan lancar kisah dari bibir Malik. Selama tiga bulan setelah serah terima jabatan dan ia resmi memasuki masa pensiun, isterinya mengharuskannya keluar rumah setiap pukul tujuh pagi dan baru boleh kembali pulang pada pukul lima sore.
Karmila tertawa kecil, "Isteri yang unik." Itu saja yang dikatakannya.
"Namanya, Astini."
"Seleramu memang selalu unik."
Malik tertawa lepas. Entah apa sebabnya, ia merasa senang. "Termasuk kamu kan? Kamu juga unik, bahkan mungkin yang paliiing unik diantara yang terunik."
"Tidak disangsikan lagi!" Karmila terbahak juga.
Hmm, Karmila selalu segar dan menggelitik, ia ingat mereka dulu selalu melemparkan lelucon-lelucon, saling mengganggu, saling mengisengi, sehingga akhirnya mereka memutuskan bahwa hubungan mereka lebih nyaman sebagai dua sahabat daripada dua kekasih. Mereka secara sadar memutuskan untuk menurunkan tingkat kekasih menjadi tingkat sahabat, lalu waktu, situasi dan entah apa, memisahkan mereka sama sekali.
"Apakah kamu sudah punya rencana untuk hari ini?" Karmila menatap Malik dengan serius.
"Sejujurnya? Tidak. Tetapi untuk Astini, aku ke kantor."
"Bagus. Bagaimana kalau ikut denganku saja? Mari kita jadikan hari-harimu lebih hidup. Mau?"
***
"Pi..."
"Iya, aku sudah bangun. Air panasnya sudah siap?"
"Nah, begitu dong. Semangat! Mami suka sekali kalau Papi bersemangat seperti ini."
"Iya nih, aku memang merasa bersemangat dan kembali muda."
"Baguslah!" Astini tersenyum senang, ia merasa aman dan menang, perubahan tidak bisa menyentuh mereka. Yaps dia sudah memutuskan bahwa, tidak ada yang berubah, segala sesuatu pada tempatnya.
***
Malik, satu-satunya laki-laki bersafari abu-abu dengan celemek putih yang kantung-kantungnya diisi dengan kuas-kuas dan beberapa tube cat minyak, nampak asyik menggoreskan kuasnya pada kanvas dihadapannya. Dari jauh Karmila tersenyum melihatnya. Hmm.. segala sesuatu berubah, pikir Karmila, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan art class untuk orang dewasa di mana ia menjadi pengajarnya. Bertemu dengan mantan cinta pertama adalah sebuah kejutan yang menyenangkan, membantunya mengisi sebagian waktunya dan merajut kembali persahabatan yang pernah terputus adalah bonus manis kehidupan. Itu saja.
17 Comments
Heheheheheheee... di Jogja ada beberapa kelas melukis yg diadakan unt orang2 yg 'ingin mengisi waktu luang dgn kegiatan bermanfaat'. Saya pernah diajak gabung di salah satunya, tp yg ikut malah anak saya :-D
ReplyDeleteihik ...... jatuh cinta lagi :)
ReplyDeleteAsik bacanya ...
Bersahabat memang lebih indah .. heheh (sori, yang tadi keburu kepencet :D ) .. Bukan G+ sih :D
ReplyDeleteSebab akibat yg menyenangkan. LoL.
ReplyDeleteIni perspektif lain dari G. Tengil. Sukaaa bisa bacanya kembali setelah terhapus di K.
mbak Endah buka kelas melukis, dong. atau kelas menulis dg Mac Book Pro ada ndak?
ReplyDelete:ppp
hehehe..maniss bu bonusnya...kalo ada kelas melukis yg isinya mantan2, sy juga mau belajar...hehhe..kalo ini sih ganjen alias masih ngarep...ahhahaha
ReplyDeletecerita yang unik. Salam kenal, Mbak!
ReplyDeleteHoho, asyik banget mbak Endah, iya di sini juga ada sih, tapi biasanya yang pengajar melukisnya datang ke rumah gitu, dan biasanya kelompok ibu-ibu 9-12 orang.
ReplyDeleteSaya pengen ikutan. Perlu banget kayaknya. Sebab berguna untuk bikin-bikin ilustrasi sendiri, hahaha. Seneng sih kalo bisa pegang kendali atas "mimpi-mimpi" personal. :p
Deasy, hahahaha, sesuatu banget tuh G+ yak. Betul banget, kadang persahabatan bisa terasa lebih "pas". :)
ReplyDeleteMD, wkwkwkwk.... "tengil" itu kayaknya "trademark" seseorang, *sapa ya? pura-pura polos*
ReplyDeleteSari, hahaha... *ngakak gw* Serius loe mau kelas-kelas yang dipenuhi para mantan? Bukannya ntar pusing sendiri? Wkwkwkwk... iya kalo putusnya baik2 kalo yg jambak2an (eugh.. kayaknya ini bagian "the other group" itu, hihi), refot.
ReplyDeleteHai Surya, thanks sudah berkunjung, salam hangat selalu. :)
ReplyDeleteow, ow, hati-hatiiii....hahahahaa...
ReplyDeletepapaku abis pensiun, kerja lagi di koperasi khusus utk pensiunan TELKOM....sempet dicoba 3 bulan gk ngapa2in, katanya, "Papa udah 30 tahun kerja, skrg waktunya papa santai dong!"...dan ternyata cuma 3 bulan tahannya...hehehehe...
Hahaha, Winda, bokap loe kan ga dipaksa ngantor walopun ga jelas kemana?
ReplyDeleteG, sebetulnya kamu lebih tengil, cuma suka ndak nyadar. Dan tulisan ini adalah buktinya. Lebih dari cukup. Titik. :p
ReplyDeleteMD, jyahaha... "tuduhan" itu "sesuatu" banget. Ok, mari kita cukupkan :)))
ReplyDeleteHarusnya si "Papi" sedia kaus yg khusus dipakainya waktu melukis... gak perlu dibawa pulang, biar istrinya gak tahu... Kan bisa titip ke Karmila.... hehehe
ReplyDelete#ikutansemangatnipubuAstini