Suara Dalam Helm
- By Winda Krisnadefa
- On September 27, 2011
- 3 comments
Pernahkah kamu merasa telah dikhianati oleh satu buah hari dalam hidupmu? Ya, aku mengatakan satu buah, kamu tidak salah dengar. Satu buah hari yang spesifik itu telah berkhianat padamu. Justru pada saat kamu sangat membutuhkan kesetiaannya, dan dia berpaling darimu.
Hari ini aku nobatkan menjadi hari pengkhianat dalam hidupku. Di saat harusnya aku bangun lebih awal untuk melaksanakan ujian akhir semesterku di kampus, dan dia berkhianat dengan membiarkan aku bangun terlambat. Di saat motor bututku harusnya bisa melesat kencang membantuku untuk sampai di kampus tepat waktu, dan dia berkhianat dengan batuk-batuk kambuhannya dan mogok di tengah jalan.
Hari ini adalah hari pengkhianat. Aku benciii sekali. Kesialan yang berawal dari bangun terlambat tadi pagi, seolah seperti efek kartu domino yang disusun dan kemudian dijatuhkan di ujung yang satu lalu merembet ke kartu-kartu berikutnya. Tanpa ampun aku dihantam kesialan demi kesialan sepanjang hari ini.
Besar sekali harapanku untuk dapat bertemu dengan siapa saja yang bisa membantuku keluar dari hari yang sial ini. Malaikat, ibu peri, pendekar ganteng, siapapun, tolong aku!
Duduk di depan bengkel motor kecil yang pengap dan berdebu dengan helm masih terpasang di kepalaku. Menunggu montir kurus dekil itu mengutak-atik motorku dan berharap semoga saja kesialanku berhenti di sini. Meratapi nasibku yang tidak pernah bagus.
Aku, mahasiswi semester lima, sebuah universitas swasta. Muka pas-pasan, prestasi kuliah biasa saja kalau tidak ingin dibilang buruk, keadaan ekonomi standard. Aku tidak pernah masuk dalam jejeran mahasiswi cantik yang populer di kampus. Tidak pernah ada gerombolan mahasiswa mengelilingiku dan berebut hendak mengantarku pulang atau mengajakku ke mall untuk nonton. Tak punya teman, selain Desi, sahabatku dari SMA dulu. Itu pun saat ini aku mulai merasa kalau Desi mulai menjauhiku.
Kami sedikit bersitegang minggu lalu. Dia berkeras mengajakku pergi bersama teman-teman sekelas kami ke puncak. Aku malas. Aku malas menghadapi keadaan nanti aku akan jadi kambing congek di antara mereka. Aku ini pendiam sekali. Dan aku pasti bingung setengah mati berada di tengah-tengah mereka yang bisa tertawa keras dan bercanda tanpa malu.
"Lama-lama begini, kamu jadi kuper tau!" Begitu ungkapan kekesalan Desi padaku saat aku menolak ajakannya.
"Hh, aku nggak kuper! Aku cuma beda aja sama kalian. Kalian semua seragam. Butuh pengakuan dari pergaulan!" kataku sinis.
"Sinis kayak begini nih yang bikin rasa percaya diri kamu makin menipis setiap hari," kata Desi lagi. Masih dengan gaya sok menilainya itu.
Sok tahu! Kalau aku tidak kenal dengannya dari kecil, mungkin sudah kutinggalkan dia sejak lama. Aku tidak butuh teman kalau nantinya dia hanya ada untuk menghakimiku. Aku sendiri heran kenapa dia mau berteman denganku.
Dan itu pernah kutanyakan padanya saat kami masih di SMA. Dia bilang, "Kamu itu baik sebenarnya, cuma aja kurang percaya diri. Dan kalau kamu mau sedikit ramah dan murah senyum, kamu pasti lebih cantik dan menarik."
Dan aku tidak mau membahasnya lagi setelah itu. Lagi-lagi itu. Ada apa memangnya kalau aku malas tersenyum dan basa-basi? Aku merasa baik-baik saja. Walaupun sering juga aku merasa iri dengan Desi atau teman-teman perempuan lain di kampus. Tapi aku malas mengikuti gaya mereka. Kalau tidak bisa menerimaku apa adanya seperti Desi, ya sudah! Aku tidak akan mati bahkan jika tak ada seorangpun yang mau menemaniku.
"Buka mata, buka telinga, buka hati dan mulailah bersahabat dengan dunia."
Aku terloncat dari dudukku. Siapa yang berkata-kata itu? Tidak ada siapa-siapa di sekitarku.
"Siapa itu?" tanyaku dengan suara rendah dan mata melirik ke kiri dan ke kanan dengan tegang.
Montir bengkel itu menatapku dengan aneh. Kujamin memang pasti aneh sekali melihat pemandangan seorang gadis memakai helm, duduk di bawah pohon dan berbicara sendiri.
"Aku di sini. Di kepalamu. Kamu tidak perlu berubah menjadi orang lain untuk bisa diterima oleh teman-temanmu. Kamu hanya perlu percaya pada dirimu sendiri dan sekitarmu. Percayalah tidak semua orang itu memandangmu sinis. Santai saja," kata suara itu lagi.
Perlahan tanganku memegang helm di kepalaku.
"Kamu..helm? Berbicara padaku?" tanyaku dengan bodoh.
Brak!
"Mbak! Mbak! Kenapa?"
Aku terbangun dan tersadar. Aku berusaha bangkit dari posisiku. Telentang di depan bengkel motor itu, sendirian, tanpa teman dan masih memakai helm.
"Ada apa?" tanyaku linglung.
"Mbak, ketiban nangka dari atas tuh! Untung pake helm. Tapi lumayan juga nangkanya gede, mbak! Mbak langsung pingsan tadi. Tuh nangkanya," kata si montir sambil menunjuk ke arah sebuah nangka matang yang sudah pecah di hadapanku.
Ya Tuhan, sempurna hariku! Aku menjerit dalam hati. Ini tidak bisa diteruskan. Aku butuh teman. Aku harus ceritakan tentang hari ini pada seseorang. Desi yang pasti. Atau mungkin beberapa teman baru mungkin akan terhibur mendengar kisahku hari ini.
Aku hanya tak ingin sendiri. Untung aku tidak mati tertimpa nangka. Dan untung helm itu masih kupakai. Teringat sesuatu, kuraba helm di kepalaku sekali lagi.
"Hey...kamu masih di situ?" tanyaku dengan penasaran.
"Mbak, ngomong sama siapa?" Montir itu menatapku dengan aneh, lagi.
(Image from www.airchair.com)
Tags:
#FictionholicSociety,
cerpen,
Drama,
Winda Krisnadefa
keren !!
ReplyDeletewakakakakkaka.. asli ngakak baca tulisan ini di siang-siang seperti ini. lucu, ringan, segar, dan lagi-lagi, berhasil menyisipkan satu pesan sederhana.
ReplyDeleteYou did it again, Winda! :)
Hihihihi.. ini kereeeeeeen
ReplyDelete