Hai #fictionholic semua selamat hari Sabtu Kampung Fiksi punya kegiatan baru dengan nama #writingprojectFF yang akan hadir setiap bulan dan berlangsung selama 2 minggu. KF akan kasih sebuah prompt nulis di page dan tugas #fictionholic adalah melanjutkan prompt itu ke dalam bentuk flash fiction. Semua FF akan dimuat di web kampung fiksi dan FF terbaik akan mendapat sebuah novel dari KF. Untuk #writingprojectFF pertama ini FF terbaik akan mendapatkan novel "Canting" karya Arswendo.
Nah, promptnya adalah:
Kau dan dua orang sahabatmu sejak SMA mengadakan acara kumpul-kumpul di puncak karena salah seseorang dari temanmu akan segera menikah. Lalu salah seorang temanmu mengungkapkan rahasia yg mengubah hidup kalian bertiga. Apa rahasianya? Tugasmu menentukan.
Syarat FF
1. Maksimal 500 kata minimal 100kata
2. Menggunakan POV orang pertama tunggal alias aku sebagai pencerita.
3. FF ditunggu sampai tanggal 26 Desember dan tulis di kolom komentar ini atau di page facebook kampung fiksi
4. Pengumuman FF terbaik tgl 31 Desember.
Selamat menulis
Kebanyakan
cerpen kita memaparkan kejadian dan bukan manusianya sebagai pribadi. Apa yang
mendorong orang menulis adalah mula-mula kerangka kejadian yang membentuk suatu
pola plot tertentu, baru kemudian diisi dengan tokoh-tokohnya. Dan tokoh-tokoh
yang dituturkannya kebanyakan bersifat “umum” bukan pribadi yang unik, bukan
orang dengan perwatakan yang khas yang menempuh hidupnya di dunia ini.
Tokoh
dalam fiksi kita kebanyakan “man in the
street”, yakni bagaimana cara umumnya orang merasa, berpikir dan berbuat.
Maka tak heran kalau perasaan tokoh cerpen atau jalan pemikirannya adalah
perasaan dan jalan pemikiran pengarangnya sendiri sebagai orang awam. Ambillah
sepuluh cerpen Indonesia, maka cara para tokohnya menghadapi persoalan yang
dihadapinya sebagai konflik hampir sama saja yakni menurut pemikiran “umumnya”.
Inilah
sebabnya dari segi karakter cerpen Indonesia kurang menonjol. Tetapi cerpen
Indonesia kaya dengan kejadian yang aneka ragam. Setting cerpen terjadi di hampir setiap daerah Indonesia dengan
ragam adatnya yang banyak itu. Yang dipentingkan dalam cerpen adalah “sesuatu
telah terjadi”. Jadi cerpen dengan penekanan plot. Cerita muncul dari plot itu
saja. Padahal cerita bisa muncul dari sebuah watak. Temukan sebuah watak yang
agak lain dari gambaran umumnya, dan pilihlah konflik tertentu, maka akan
terjadilah berbagai macam cerita. Juga cerpen bisa muncul dari segi setting-nya. Pilihlah suatu daerah yang
lain dari yang lain, dan letakkan seorang tokoh di atasnya maka akan terbentuk
berbagai cerita. Kehidupan rimba, kehidupan padang sabana di Timor, kehidupan
di pantai laut Selatan, kehidupan penyelam mutiara akan sanggup memberikan
begitu banyak konflik dengan tokoh spesifik atau tidak.
Jelas
bahwa unsur “cerita” bisa dibentuk tanpa menemukan plot lebih dahulu. Cerita
bisa terbentuk oleh desakan tema, desakan karakter dan desakan setting-nya. Apa yang perlu dicatat oleh
seorang pemula dalam catatan kepengarangannya tidak harus sejumlah plot
(mula-mula begini, lantas begitu dan akhirnya demikian) tetapi juga sejumlah
watak yang spesifik dan aneh. Juga bisa persoalan-persoalan yang baru (tema).
Penggambaran
tukang becak misalnya jangan hanya terbatas pada “pengetahuan umum” tukang
becak yang awam saja, tetapi menyelami sampai ke inti hakikatnya sebagai
penarik becak yang membedakan dengan pekerjaan lain. Dan masing-masing tukang
becak tidak harus merupakan gambaran yang “biasa” saja seperti kita lihat
sehari-hari, tetapi pilihlah yang berkarakter. Entah itu dalam bidang
kejujuran, keberanian, kebijaksanaan atau keluhuran budi. Gambaran yang
beginilah yang menarik. Gambaran yang awam saja sudah sangat membosankan.
Tukang becak yang bijak, misalnya, cukup mengesankan. Atau guru yang kejam
justru mengesankan daripada cerita guru yang rapih, alim, bijaksana dan
sebagainya. Problem manusialah yang penting. Kalau ada guru kejam, nah inilah
baru masalah. Kalau ada guru alim, memang sudah jamak. Tetapi guru atau pendeta
yang di luar ukuran umum itulah yang menjadi masalah. Dan karenanya menjadi
cerita yang menarik.
Cerpen
kita umumnya menggambarkan seorang pendeta alim dan bijak, guru seorang sopan
dan penuh tutur, seorang ibu penuh perasaan dan sebagainya. Bahkan cara
menggambarkan reaksi pun hampir sama dan awam. Kalau orang tersinggung dalam
cerpen dia akan marah-marah seperti umumnya orang marah. Padahal banyak cara
atau manifestasi orang marah. Marah tidak hanya berkata keras dan kasar. Ada
orang marah dengan cara yang sangat lain: berdiam diri dan kepala batu. Nah
inilah baru karakter yang menarik buat sebuah cerpen.
Lepaskan
penggambaran tokoh secara awam dan umum. Manusia “umum” dan kebanyakan kurang
menarik, tidak membuat cerita. Manusia yang unik dengan berbagai segi wataknya itulah
yang menarik dan akan mengesankan. Setelah kita melihat sekian banyak film
cerita maka yang kita ingat lama bukan ceritanya, tetapi karakter-karakternya,
cara para bintang membawakan peranan wataknya. Ciptakan karakter, maka
terciptalah cerita.
(Sumber
Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen karya Jakob Sumardjo)
(Sumber : Doc pribadi)
Hay Fiction holic, di edisi wawancara penulis oleh kampung fiksi kali ini, KF punya kesempatan mewawancarai Evi Sri Rejeki, penulis novel Cine US yang diterbitkan Noura Books pertengahan tahun 2013 lalu. KF ketemu dan mengobrol banyak dengan cewek mungil yang berulang tahun di bulan 17 Juli ini. Salah satunya adalah tentang bagaimana menghadapi kritikan. Yuk simak perbincangan KF dan Evi.
“Selamat siang, Evi! Apa kabarnya hari ini?” sapa KF saat bertemu dengan Evi di sebuah restaurant di sebuah mall di Bandung. Perempuan bertubuh mungil itu tersenyum ceria.
“Kabar aku selalu baik,” ujarnya dengan logat Sunda yang khas.
“Ngomong-ngomong selamat yah novelnya sudah terbit dan semoga laku di pasaran.”
“Amin.... Terima kasih banyak, KF.”
“Evi sendiri tertarik dengan dunia menulis sejak kapan, sih?”
“Aku sejak kecil memang suka banget baca buku. Waktu SD Papa langganan majalah bobo buatku dan Eva, kembaranku. Sejak saat itu aku dan Eva suka membaca cerita-cerita di majalah bobo. Aku juga suka nonton film. Awal menulis awalnya karena ga puas dengan ending film atau cerita yang dianggap menggantung. Jadi sehabis nonton film yang menggangtung aku suka nulis versiku sendiri. Sejak saat itu jadi suka menulis.”
“Kapan Evi mulai bertekad untuk serius menulis?”
“Ketertarikanku menulis adalah saat aku selesai membaca Gone With The Wind, novel karya Margaret Mitchell yang menceritakan perjalanan hidup seorang perempuan bernama Scarlet Ohara. Membaca novel itu mampu membuatku mengubah cara berpikir kemudian aku bertekad ingin membuat novel seperti itu. Ingin membuat novel yang paling tidak mengubah kehidupan seseorang dan kalau bisa mengubah peradaban. Sejak saat itu aku mulai belajar untuk menulis.”
“Nah, di novel Evi berjudul CineUs ini, KF tertarik untuk membahas salah satu adegan dimana Lena si tokoh utama yang filmnya dikritik oleh Rizki. Cerita dong bagaimana pertama kali Evi dikritik?”
“Pengalaman pertama kali dikritik terjadi beberapa tahun lalu saat masih kuliah. Awal mulanya aku memang ga langsung menulis novel tetapi banyak menulis puisi. Saat kuliah aku ikut suatu perkumpulan penulis dimana setiap pertemuan salah satu karya anggota perkumpulan akan dibahas. Saat itu aku membacakan karyaku dan ternyata hampir semua temanku mengkritik bahwa puisiku kurang jelas dan sebagian isinya dicoret. Waktu itu aku sakit hati sekali, sampai mau mati rasanya dan tak ingin menulis lagi. Aku merasa teman-temanku itu jahat banget, aku kan sudah setengah mati bikin puisi itu dan mereka sama sekali tidak memberi pujian. Sampai kemudian aku ketemu temanku seorang pelukis, dia bilang bahwa dia pernah melukis dan menunjukkan lukisan itu pada seorang temannya, temanya itu tidak merespon. ‘Sebuah karya dihargai jika ada orang lain yang mengomentari karya itu. Itu berarti mereka membaca karya itu. Pujian atau kritikan bahkan cemoohan tak masalah hal itu menujukkan orang tersebut telah berbaik hati menyediakan energi untuk membicarakan karyamu.’ Kata-kata itulah yang membuat aku sadar bahwa kalau mau jadi penulis yang hebat harus menerima kritikan dengan lapang dada.”
“Setelah CineUs diterbitkan apakah ada kritikan? Bagaimana Evi menghadapi kritikan itu?”
“Pada hakekatnya ktritikan itu selalu membuat hati panas, tetapi justru kritikan itu membuat hati menjadi panas karena kritikan itu benar. Yang mengkritik CineUs cukup banyak, tapi aku ga langsung membaca kritikan itu, aku diamin sehari lalu kemudian berusaha untuk membaca dengan lapang dada setiap kritikan yang masuk, belajar dari kritikan yang membangun, dan mengabaikan kritikan yang tak membangun.
“Kritikan membangun dan tidak membangun itu seperti apa, sih?”
“Kritikan membangun itu adalah kritikan yang menyampaikan hal yang kurang dan harus diperbaiki, misalnya di CineUs ada beberapa yang bilang kalau bagian awalnya agak membosankan sebaiknya langsung ke pokok masalahnya. Kalau kritik seperti itu aku rasa masuk akal. Nah, kritikan yang tidak membangun seperti misalnya ada beberapa yang bilang CineUs itu novel yang jelek. Udah gitu aja tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. Kritikan seperti ini yang kurasa diabaikan saja, karena sama sekali tidak membawa dampak apa-apa. Sebagai penulis kita harus percaya bahwa karya kita bagus tetapi kita tak boleh merasa karya kita sempurna. Apabila ada yang menemukan kekurangan, terima itu sebagai jalan menuju karya yang lebih baik. Kalau ada yang hanya mencemooh, tak usah berkecil hati, kalau sudah diterbitkan oleh penerbit mayor karya kamu sudah cukup OK.”
“Jadi menurut Evi apakah kritik itu perlu?”
“Perlu banget. Sebelum CineUs aku juga bikin novel Indie berjudul Marshmallow, isinya kacau, banyak Typo, logika ceritanya juga asal. Banyak yang memberi kritikan di buku itu dan semua yang membangun aku simpan dan bertekad dalam hati akan membuat novel yang lebih baik dari itu. Saat proses pembuatan CineUs, aku memilih beberapa orang untuk jadi first reader beberapa di antara mereka adalah benar-benar anak SMA. Saat baca first draft mereka bilang, bahasa CineUs terlalu berat untuk remaja. Aku terima kritikan itu dan mengubah first draft sehingga menjadi CineUs yang bahasanya lebih ringan dan dapat diterima remaja. So, kritikan yang membangunitu perlu untuk perubahan. Sekali lagi kritikan yang membangun, yah.”
“Ada ga cara Evi untuk mendapat masukan atau kritikan membangun selain first reader tadi?”
“Saah satu caraku adalah mengadakan lomba review. Aku meminta teman blogger lainnya untuk mereview CineUs dan menyampaikan apa-apa saja yang kurang dari novel itu. Dengan begitu aku bisa dapat banyak masukan berarti agar novelku berikutnya lebih baik lagi.”
“Ok terima kasih Evi sudah banyak cerita soal menerima kritikan. Sekarang Evi sedang sibuk nulis apa lagi nih setelah CineUs?”
“Aku sedang menulis lanjutan CineUs dan beberapa novel baru.”
“Wah keren, KF dan FictionHolic tunggu novel terbarunya yah. Semoga bisa sukses dehh. Nah, Sebelum wawancara ini selesai, apa pesan Evi untuk para penulis pemula agar karya mereka menjadi lebih cetar membahana?”
“Membacalah buku yang bagus, menulislah setiap hari, dan paling penting terimalah setiap kritikan membangun yang dapat membuat karya kita lebih baik.
END- AA
Apa yang disebut plot atau alur dalam sebuah cerita memang sulit dicari. Plot tersembunyi di balik jalan cerita. Dalam mengikuti jalan cerita itulah kita akhirnya dapat menemukan plotnya. Tetapi jalan cerita itu sendiri bukan plot. Sebuah plot bisa menelurkan beberapa jalan cerita. Jalan cerita hanyalah manifestasi, bentuk wadak, bentuk jasmaniah dari plot.
Sebuah
contoh klasik untuk menerangkan perbedaan antara plot dan jalan cerita adalah
sebagai berikut. Ada seorang raja yang sangat mencintai istrinya. Si istri
tiba-tiba wafat. Tak lama kemudian raja itu sendiri kemudian wafat pula. Ini
jalan cerita. Jalan cerita ini menjadi plot kalau ada keterangan tambahannya.
Misalnya: raja sangat menyayangi istrinya. Mereka bahagia. Suatu hari sang
permaisuri mendapat kecelakaan dan wafat. Jiwa raja tergoncang. Kebahagiaannya
hilang. Ia mengurung diri dan murung. Sebulan kemudian raja menunjukkan gejala
sakit lantaran tak mau makan karena sedihnya. Raja tak bisa dihibur oleh siapa
pun, juga oleh para arif bijaksana. Akhirnya raja merana tak dapat mengatasi
kesedihannya, dan ikut wafat pula…
Jelas
sekali cerita kedua lebih lengkap dan mudah dimengerti. Raja wafat karena
merana ditinggalkan istri yang mencintainya. Mana plotnya? Merana yang menyebabkan
kematiannya itulah sukma cerita, itulah plot.
Plot
dan jalan cerita tak bisa dipisahkan, hanya bisa dibedakan. Orang sering
mengacaukan kedua pengertian tersebut. Jalan cerita hanya memuat kejadian.
Tetapi sebuah kejadian tentu ada sebabnya, ada penggeraknya, ada alasannya. Ia
tak terlihat tetapi mendasari adanya kejadian. Inilah sebabnya plot sering
disebut sebagai segi rohaniah kejadian cerita.
Suatu
kejadian merupakan cerita kalau di dalamnya ada perkembangan kejadian. Dan
suatu kejadian akan berkembang kalau ada yang menyebabkan terjadinya
perkembangan tersebut. Dan penyebab itu adalah konflik. Intisari plot adalah konflik. Tak ada cerita kalau tak ada
konflik. Inilah sebabnya kerangka plot biasanya berbentuk demikian:
1.
Pengenalan
2.
Timbulnya
konflik
3.
Klimaks
4.
Pengakhiran.
Untuk contoh cerita di atas dapatlah kita menganalisis
plotnya sebagai berikut:
1.
Pengenalan: ada
raja yang sangat mencintai istrinya. Mereka saling mencintai dan amat bahagia.
Rakyat ikut bahagia.
2.
Timbulnya
konflik: pada suatu hari permaisuri itu jatuh dari kuda tunggangannya ketika
sepasang merpati ini sedang bercengkerama. Tak lama kemudian permaisuri
meninggal karena luka-lukanya yang fatal. Raja amat terpukul. Ia kehilangan
segalanya.
3.
Klimaks: raja
tak bisa mengatasi kesedihannya. Ia mengurung diri dan tak mau makan.
Kesehatannya sangat menurun. Lemas dan jatuh sakit. Dalam sakitnya terus
mengigau memanggil istrinya.
4.
Pengakhiran:
raja tak kuat mengatasi kehilangannya. Raja wafat karena merana.
Konflik
utama cerita itu berupa konflik batin dalam diri raja itu. Dengan adanya
konflik dalam diri raja itu maka timbul suspense
atau ketegangan yang berupa tanda tanya pembaca: bagaimana akhirnya ya? Dan
unsur ketegangan inilah yang menarik dan memaksa pembaca untuk mengikuti
seluruh kejadian. Dari susunan plot di atas jelaslah bahwa kekuatan sebuah
cerita terdapat pada bagaimana pengarang membawa pembacanya mengikuti timbulnya
konflik, memuncaknya konflik dan berakhirnya konflik.
Dalam
cerpen atau novel konflik digambarkan sebagai pertarungan antara tokoh utama
atau protagonis dengan antagonisnya. Faktor antagonis ini bisa
bermacam ragam dalam cerita. Bisa berbentuk manusia lain. Bisa berbentuk
dirinya sendiri (konflik batin). Bisa berbentuk binatang, alam, kaidah moral,
kaidah sosial, kepercayaan dan sebagainya.
Kunci
untuk mencari plot adalah menanyakan atau mencari konfliknya. Dan konflik baru
diketemukan kalau pembaca telah mengikuti seluruh cerita, yaitu aksi fisik yang
dipakai oleh pengarang untuk menyatakan plotnya.
Segi
yang menarik dari sebuah cerita memang plotnya. Ketegangan dalam mengikuti
sebuah cerita membawa hiburan kepada pembacanya. Rata-rata fiksi hiburan
menekankan pada unsur plot ini. Adanya jalan cerita yang berliku-liku dan penuh
suspense inilah yang dicari oleh
pembaca cerita hiburan. Fiksi hiburan kurang menggarap tema, perwatakan. Fiksi
hiburan kurang memerhatikan kedalaman. Ia hanya memedulikan cerita saja.
Sebaliknya
cerita-cerita modern tidak begitu banyak yang memerhatikan plot lagi. Inilah
sebabnya pembaca fiksi hiburan sering bosan membaca fiksi modern yang
berpretensi sastra. Melalui plot pengarang modern menganggap tak banyak yang
bisa dikemukakan lagi. banyak hal-hal yang sifatnya psikis atau abstrak yang
tak mungkin digambarkan melalui kejadian fisik konvensional lagi. Meskipun
demikian unsur plot tak mungkin dilenyapkan dalam sebuah bangunan cerita. Tetapi
plot bukan lagi dijadikan modal utama menulis cerita oleh para pengarang
modern. Ada pengarang yang lebih menyukai melukiskan watak manusia. Ada yang
hanya ingin menampilkan suasana kejiwaan tertentu yang sulit untuk dikatakan
secara wadak. Ada yang sarat dengan persoalan atau tema.
Cerita
pendek yang menekankan plot cerita sudah dianggap kuno dan sudah lama berlalu
bersama zamannya. Cerpen pengarang-pengarang kuno di dunia seperti Pushkin, Gogol, Edgar Alan Poe, Guy de Maupassant dan sebagainya
semuanya itu jago-jago cerpen plot. Bagi para pengarang modern cerpen yang
hanya menonjolkan unsur cerita saja sudah dianggap kuno dan ketinggalan zaman.
Tugas itu telah diambil oleh para penulis hiburan yang memang sering dianggap
kurang penting sumbangannya bagi kesusasteraan.[]
(Sumber Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen karya Jakob
Sumardjo)
Pelukis-pelukis yang besar seperti Rusli dan Nashar selalu hemat dengan garis. Mereka tidak mengobral garis begitu saja. garis hanya dicoretkan seminim mungkin, tetapi setepat mungkin sehingga kandungan isi dan maknanya melebihi garis itu sendiri. pelukis yang mashur cukup menorehkan garis-garis pokok, namun mampu membangkitkan emosi dan rangsangan bagi penontonnya. Berbeda dengan mereka yang baru belajar menggambar. Untuk satu arti saja bahkan satu informasi saja mereka berkali-kali mencoret-coret dengan begitu banyak garis.
Begitu
pula penulis-penulis besar hemat dengan hamburan-hamburan kata-kata. Kalimat-kalimat
mereka ringkas namun jelas, bening dan kaya makna. Kalimat-kalimat yang mereka
ciptakan untuk menggambarkan pengalaman hidup tokoh-tokohnya begitu kokoh dan
tegas. Kalimat-kalimat sastra harus mempunyai kekuatan. Ia harus mampu
melukiskan informasi secara tepat dan kaya. Saya kutipkan sebuah cerpen Putu
Wijaya yang terkenal dengan pilihan-pilihan katanya yang tepat serta berisi.
“Kota kami yang mencangking di lereng bukit, pada
mulanya adalah sebuah masyarakat yang damai. Angin pagi yang menembus kabut,
menggoyangkan beringin tua di tengah kota lalu menepuk pipi wanita-wanita
pedagang sayur yang mengalir dari pinggiran kota”.
(Beringin,
Horison Agust. 77)
Dan
satu lagi kutipan pendek dari cerpen John Steinbeck:
“Kira-kira lima belas mil di bawah Monterey, terhampar
ladang keluarga Torres beberapa bahu tanah menurun di atas karang yang curam
terjun ke bawah ke batu-batu karang yang kehitam-hitaman, tempat ombak samudra
putih memecah”.
(Lari, terj. Mochtar Lubis)
Jelas
terlihat bahwa dengan dua dan satu kalimat saja para pengarang ini mampu
memberikan gambaran yang jelas dan indah pada kita. Kesalahan para pemula ialah
terlalu obral dengan kalimat. Hanya sebuah informasi kecil bahkan perlu ditulis
bertubi-tubi dalam susunan kalimat yang berbelit. Hal ini memberi kesan bahwa
penulisnya tidak punya konsep yang utuh tentang apa yang hendak dikatakannya. Suatu
pokok pengertian saja kadang diulang-ulang dalam alinea-alinea di bawahnya,
seolah penulis tidak yakin bahwa pembacanya telah memahami maksudnya. Dan akibatnya
akan memberikan kebosanan serta kemuakan lantaran pembaca merasa diperbodoh
penulis.
Sebelum
menulis hendaknya tersedia konsep yang jelas: apa sebenarnya yang hendak
disampaikan kepada pembaca. Penemuan apa yang kiranya penting buat diketahui
pembaca. Ide yang bagus, pikiran yang baru, permasalahan yang urgen, informasi
pengetahuan yang baru, adalah beberapa konsep yang mungkin hendak disampaikan. Dan
pengarang cerpen hendak menyampaikan semua itu dalam bentuk cerita. Bagaimanapun bagusnya ide kalau
pengarang tidak mampu menyusunnya dalam sebuah cerita, tidak akan menjadikan
sebuah cerpen berhasil. Cerita adalah sesuatu yang mengalami perkembangan. Harus
ada perubahan yang terjadi dalam cerita. Cerpen yang berputar-putar tanpa
beranjak dari keadaan semula bukanlah cerpen, mungkin hanya sebuah esei belaka.
Sebab dalam esei tak diperlukan adanya perubahan, perkembangan dari mula sampai
akhir. Dalam sebuah cerpen harus ada perbedaan dari yang awal sampai akhir.
Kalau
konsep itu telah ada dan siap tersusun dalam cerita maka mulailah menulis. Apa yang
sudah jelas di kepala dengan sendirinya akan menuntun penulis untuk
menggambarkan jalan ceritanya. Dan makin kaya pengalaman serta pengetahuan
penulis tentang apa yang ditulisnya akan memudahkan memuntahkan kalimat-kalimat
yang diperlukan. Kalimat-kalimat yang amat diperlukan saja hendaknya yang
ditulis. Untuk seorang pemula mungkin baik untuk menulis sebanyak mungkin,
berkali-kali, dan setelah itu periksa kalau ada pengulangan-pengulangan yang
kurang perlu. Mungkin saja ada sepuluh kalimat yang ternyata tak ada artinya
karena sudah dituliskan dalam satu kalimat sebelumnya. Pokoknya bangunkanlah
kalimat-kalimat yang kuat, berisi dan kaya akan imajinasi. Di mana
keindahannya? Justru pada kekuatan kalimat itu. Hanya yang benar yang indah. Tak
ada timbul keindahan dari kepura-puraan, kepalsuan. Kalimat-kalimat palsu
hendaknya dicoret sebanyak mungkin.
Pikiran
yang jernih akan menghasilkan kalimat-kalimat yang tepat dan kuat. Orang tak
perlu takut hanya menulis cerpen yang pendek. Lebih baik cerpen pendek tapi
kuat, kukuh, daripada cerpen panjang yang bertele-tele dan membosankan. Keindahan
terletak dalam kebenaran, keluguan, bukan pada pamer dan sikap sok. Tulislah secara wajar, biasa namun
jujur. Jangan terlalu banyak pretensi.
(Sumber: Catatan
Kecil tentang Menulis Cerpen karya Jacob Sumardjo)