(Sumber : Doc pribadi)
Hay Fiction holic,
di edisi wawancara penulis oleh kampung fiksi kali ini, KF punya kesempatan
mewawancarai Evi Sri Rejeki, penulis novel Cine US yang diterbitkan Noura Books
pertengahan tahun 2013 lalu. KF ketemu dan mengobrol banyak dengan cewek mungil
yang berulang tahun di bulan 17 Juli ini.
Salah satunya adalah tentang bagaimana menghadapi kritikan. Yuk simak
perbincangan KF dan Evi.
“Selamat siang, Evi! Apa kabarnya hari ini?” sapa KF saat
bertemu dengan Evi di sebuah restaurant di sebuah mall di Bandung. Perempuan
bertubuh mungil itu tersenyum ceria.
“Kabar aku selalu baik,” ujarnya dengan logat Sunda yang
khas.
“Ngomong-ngomong selamat yah novelnya sudah terbit dan
semoga laku di pasaran.”
“Amin.... Terima kasih banyak, KF.”
“Evi sendiri
tertarik dengan dunia menulis sejak kapan, sih?”
“Aku sejak kecil memang suka banget baca buku. Waktu SD
Papa langganan majalah bobo buatku dan Eva, kembaranku. Sejak saat itu aku dan
Eva suka membaca cerita-cerita di majalah bobo. Aku juga suka nonton film. Awal
menulis awalnya karena ga puas dengan ending film atau cerita yang dianggap
menggantung. Jadi sehabis nonton film yang menggangtung aku suka nulis versiku
sendiri. Sejak saat itu jadi suka menulis.”
“Kapan Evi mulai bertekad untuk serius menulis?”
“Ketertarikanku menulis adalah saat aku selesai membaca Gone With The Wind, novel karya Margaret Mitchell
yang menceritakan perjalanan hidup seorang perempuan bernama Scarlet Ohara.
Membaca novel itu mampu membuatku mengubah cara berpikir kemudian aku bertekad
ingin membuat novel seperti itu. Ingin membuat novel yang paling tidak mengubah
kehidupan seseorang dan kalau bisa mengubah peradaban. Sejak saat itu aku mulai
belajar untuk menulis.”
“Nah, di novel Evi berjudul CineUs ini, KF tertarik untuk membahas salah
satu adegan dimana Lena si tokoh utama yang filmnya dikritik oleh Rizki. Cerita
dong bagaimana pertama kali Evi dikritik?”
“Pengalaman pertama kali dikritik terjadi beberapa tahun lalu saat masih
kuliah. Awal mulanya aku memang ga langsung menulis novel tetapi banyak menulis
puisi. Saat kuliah aku ikut suatu perkumpulan penulis dimana setiap pertemuan
salah satu karya anggota perkumpulan akan dibahas. Saat itu aku membacakan
karyaku dan ternyata hampir semua temanku mengkritik bahwa puisiku kurang jelas
dan sebagian isinya dicoret. Waktu itu aku sakit hati sekali, sampai mau mati
rasanya dan tak ingin menulis lagi. Aku merasa teman-temanku itu jahat banget,
aku kan sudah setengah mati bikin puisi itu dan mereka sama sekali tidak
memberi pujian. Sampai kemudian aku ketemu temanku seorang pelukis, dia bilang
bahwa dia pernah melukis dan menunjukkan lukisan itu pada seorang temannya,
temanya itu tidak merespon. ‘Sebuah karya dihargai jika ada orang lain yang mengomentari
karya itu. Itu berarti mereka membaca karya itu. Pujian atau kritikan bahkan
cemoohan tak masalah hal itu menujukkan orang tersebut telah berbaik hati
menyediakan energi untuk membicarakan karyamu.’ Kata-kata itulah yang membuat
aku sadar bahwa kalau mau jadi penulis yang hebat harus menerima kritikan
dengan lapang dada.”
“Setelah CineUs diterbitkan apakah ada kritikan? Bagaimana Evi menghadapi
kritikan itu?”
“Pada hakekatnya ktritikan itu selalu membuat hati panas, tetapi justru
kritikan itu membuat hati menjadi panas karena kritikan itu benar. Yang
mengkritik CineUs cukup banyak, tapi aku ga langsung membaca kritikan itu, aku
diamin sehari lalu kemudian berusaha untuk membaca dengan lapang dada setiap
kritikan yang masuk, belajar dari kritikan yang membangun, dan mengabaikan kritikan
yang tak membangun.
“Kritikan membangun dan tidak membangun itu seperti apa, sih?”
“Kritikan membangun itu adalah kritikan yang menyampaikan hal yang kurang
dan harus diperbaiki, misalnya di CineUs ada beberapa yang bilang kalau bagian
awalnya agak membosankan sebaiknya langsung ke pokok masalahnya. Kalau kritik
seperti itu aku rasa masuk akal. Nah, kritikan yang tidak membangun seperti
misalnya ada beberapa yang bilang CineUs itu novel yang jelek. Udah gitu aja
tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. Kritikan seperti ini yang kurasa
diabaikan saja, karena sama sekali tidak membawa dampak apa-apa. Sebagai
penulis kita harus percaya bahwa karya kita bagus tetapi kita tak boleh merasa
karya kita sempurna. Apabila ada yang menemukan kekurangan, terima itu sebagai
jalan menuju karya yang lebih baik. Kalau ada yang hanya mencemooh, tak usah
berkecil hati, kalau sudah diterbitkan oleh penerbit mayor karya kamu sudah
cukup OK.”
“Jadi menurut Evi apakah kritik itu perlu?”
“Perlu banget. Sebelum CineUs aku juga bikin novel Indie berjudul
Marshmallow, isinya kacau, banyak Typo, logika ceritanya juga asal. Banyak yang
memberi kritikan di buku itu dan semua yang membangun aku simpan dan bertekad
dalam hati akan membuat novel yang lebih baik dari itu. Saat proses pembuatan CineUs,
aku memilih beberapa orang untuk jadi first reader beberapa di antara mereka
adalah benar-benar anak SMA. Saat baca first draft mereka bilang, bahasa CineUs
terlalu berat untuk remaja. Aku terima kritikan itu dan mengubah first draft
sehingga menjadi CineUs yang bahasanya lebih ringan dan dapat diterima remaja. So,
kritikan yang membangunitu perlu untuk perubahan. Sekali lagi kritikan yang
membangun, yah.”
“Ada ga cara Evi untuk mendapat masukan atau kritikan membangun selain
first reader tadi?”
“Saah satu caraku adalah mengadakan lomba review. Aku meminta teman blogger
lainnya untuk mereview CineUs dan menyampaikan apa-apa saja yang kurang dari
novel itu. Dengan begitu aku bisa dapat banyak masukan berarti agar novelku
berikutnya lebih baik lagi.”
“Ok terima kasih Evi sudah banyak cerita soal menerima kritikan. Sekarang
Evi sedang sibuk nulis apa lagi nih setelah CineUs?”
“Aku sedang menulis lanjutan CineUs dan beberapa novel baru.”
“Wah keren, KF dan FictionHolic tunggu novel terbarunya yah. Semoga bisa
sukses dehh. Nah, Sebelum wawancara ini selesai, apa pesan Evi untuk para
penulis pemula agar karya mereka menjadi lebih cetar membahana?”
“Membacalah buku yang bagus, menulislah setiap hari, dan paling penting
terimalah setiap kritikan membangun yang dapat membuat karya kita lebih baik.
END- AA
memang bener, tak sedikit org menyampaikan kritik tapi ga kasih solusi. waktu karya eva dimuat di majalah HAI, ada juga pembaca yg ngomentarin di blog penulis bahwa karya gitu kok bs dimuat. tapi pembaca itu ga kasih argumen seperti apa karya yg menurut dia layak dimuat. Nah kan, kecenderungan sperti ini banyak.
ReplyDeleteJadi inget tulisan pak doddi mawardi penulis dosen komunikasi UI tentang mengejek buku. Tak jarang orang meledek isi buku saat ke toko buku. Dibilang rendah mutu, isi cetek, dll. Kalo gini mah aku juga bisa bikin, kata si pengejek. Beberapa tahun kemudian, si pengejek tsb ditanya," Sudah bikin buku berapa?" "Belum ada, hehe.." jawabnya sambil cengengesan. Hahaha..
saran dan kritik memang sangat di butuhkan
ReplyDeletehebatlah sudah bisa merilis buku novel
ReplyDeleteSaluttt untuk para penulis yg sudah berkarya....
ReplyDeleteMelakukan memang tdk semudah mengatakan...