Apa yang disebut plot atau alur dalam sebuah cerita memang sulit dicari. Plot tersembunyi di balik jalan cerita. Dalam mengikuti jalan cerita itulah kita akhirnya dapat menemukan plotnya. Tetapi jalan cerita itu sendiri bukan plot. Sebuah plot bisa menelurkan beberapa jalan cerita. Jalan cerita hanyalah manifestasi, bentuk wadak, bentuk jasmaniah dari plot.
Sebuah
contoh klasik untuk menerangkan perbedaan antara plot dan jalan cerita adalah
sebagai berikut. Ada seorang raja yang sangat mencintai istrinya. Si istri
tiba-tiba wafat. Tak lama kemudian raja itu sendiri kemudian wafat pula. Ini
jalan cerita. Jalan cerita ini menjadi plot kalau ada keterangan tambahannya.
Misalnya: raja sangat menyayangi istrinya. Mereka bahagia. Suatu hari sang
permaisuri mendapat kecelakaan dan wafat. Jiwa raja tergoncang. Kebahagiaannya
hilang. Ia mengurung diri dan murung. Sebulan kemudian raja menunjukkan gejala
sakit lantaran tak mau makan karena sedihnya. Raja tak bisa dihibur oleh siapa
pun, juga oleh para arif bijaksana. Akhirnya raja merana tak dapat mengatasi
kesedihannya, dan ikut wafat pula…
Jelas
sekali cerita kedua lebih lengkap dan mudah dimengerti. Raja wafat karena
merana ditinggalkan istri yang mencintainya. Mana plotnya? Merana yang menyebabkan
kematiannya itulah sukma cerita, itulah plot.
Plot
dan jalan cerita tak bisa dipisahkan, hanya bisa dibedakan. Orang sering
mengacaukan kedua pengertian tersebut. Jalan cerita hanya memuat kejadian.
Tetapi sebuah kejadian tentu ada sebabnya, ada penggeraknya, ada alasannya. Ia
tak terlihat tetapi mendasari adanya kejadian. Inilah sebabnya plot sering
disebut sebagai segi rohaniah kejadian cerita.
Suatu
kejadian merupakan cerita kalau di dalamnya ada perkembangan kejadian. Dan
suatu kejadian akan berkembang kalau ada yang menyebabkan terjadinya
perkembangan tersebut. Dan penyebab itu adalah konflik. Intisari plot adalah konflik. Tak ada cerita kalau tak ada
konflik. Inilah sebabnya kerangka plot biasanya berbentuk demikian:
1.
Pengenalan
2.
Timbulnya
konflik
3.
Klimaks
4.
Pengakhiran.
Untuk contoh cerita di atas dapatlah kita menganalisis
plotnya sebagai berikut:
1.
Pengenalan: ada
raja yang sangat mencintai istrinya. Mereka saling mencintai dan amat bahagia.
Rakyat ikut bahagia.
2.
Timbulnya
konflik: pada suatu hari permaisuri itu jatuh dari kuda tunggangannya ketika
sepasang merpati ini sedang bercengkerama. Tak lama kemudian permaisuri
meninggal karena luka-lukanya yang fatal. Raja amat terpukul. Ia kehilangan
segalanya.
3.
Klimaks: raja
tak bisa mengatasi kesedihannya. Ia mengurung diri dan tak mau makan.
Kesehatannya sangat menurun. Lemas dan jatuh sakit. Dalam sakitnya terus
mengigau memanggil istrinya.
4.
Pengakhiran:
raja tak kuat mengatasi kehilangannya. Raja wafat karena merana.
Konflik
utama cerita itu berupa konflik batin dalam diri raja itu. Dengan adanya
konflik dalam diri raja itu maka timbul suspense
atau ketegangan yang berupa tanda tanya pembaca: bagaimana akhirnya ya? Dan
unsur ketegangan inilah yang menarik dan memaksa pembaca untuk mengikuti
seluruh kejadian. Dari susunan plot di atas jelaslah bahwa kekuatan sebuah
cerita terdapat pada bagaimana pengarang membawa pembacanya mengikuti timbulnya
konflik, memuncaknya konflik dan berakhirnya konflik.
Dalam
cerpen atau novel konflik digambarkan sebagai pertarungan antara tokoh utama
atau protagonis dengan antagonisnya. Faktor antagonis ini bisa
bermacam ragam dalam cerita. Bisa berbentuk manusia lain. Bisa berbentuk
dirinya sendiri (konflik batin). Bisa berbentuk binatang, alam, kaidah moral,
kaidah sosial, kepercayaan dan sebagainya.
Kunci
untuk mencari plot adalah menanyakan atau mencari konfliknya. Dan konflik baru
diketemukan kalau pembaca telah mengikuti seluruh cerita, yaitu aksi fisik yang
dipakai oleh pengarang untuk menyatakan plotnya.
Segi
yang menarik dari sebuah cerita memang plotnya. Ketegangan dalam mengikuti
sebuah cerita membawa hiburan kepada pembacanya. Rata-rata fiksi hiburan
menekankan pada unsur plot ini. Adanya jalan cerita yang berliku-liku dan penuh
suspense inilah yang dicari oleh
pembaca cerita hiburan. Fiksi hiburan kurang menggarap tema, perwatakan. Fiksi
hiburan kurang memerhatikan kedalaman. Ia hanya memedulikan cerita saja.
Sebaliknya
cerita-cerita modern tidak begitu banyak yang memerhatikan plot lagi. Inilah
sebabnya pembaca fiksi hiburan sering bosan membaca fiksi modern yang
berpretensi sastra. Melalui plot pengarang modern menganggap tak banyak yang
bisa dikemukakan lagi. banyak hal-hal yang sifatnya psikis atau abstrak yang
tak mungkin digambarkan melalui kejadian fisik konvensional lagi. Meskipun
demikian unsur plot tak mungkin dilenyapkan dalam sebuah bangunan cerita. Tetapi
plot bukan lagi dijadikan modal utama menulis cerita oleh para pengarang
modern. Ada pengarang yang lebih menyukai melukiskan watak manusia. Ada yang
hanya ingin menampilkan suasana kejiwaan tertentu yang sulit untuk dikatakan
secara wadak. Ada yang sarat dengan persoalan atau tema.
Cerita
pendek yang menekankan plot cerita sudah dianggap kuno dan sudah lama berlalu
bersama zamannya. Cerpen pengarang-pengarang kuno di dunia seperti Pushkin, Gogol, Edgar Alan Poe, Guy de Maupassant dan sebagainya
semuanya itu jago-jago cerpen plot. Bagi para pengarang modern cerpen yang
hanya menonjolkan unsur cerita saja sudah dianggap kuno dan ketinggalan zaman.
Tugas itu telah diambil oleh para penulis hiburan yang memang sering dianggap
kurang penting sumbangannya bagi kesusasteraan.[]
(Sumber Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen karya Jakob
Sumardjo)
makasih share yang sangat bermanfaat
ReplyDelete