Oleh: Nastiti Denny
Sabtu
pagi, 22 Maret, pukul 10 mobil yang saya kendarai memasuki pelataran Taman
Ismail Marzuki di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Gerbang gedung pertunjukan yang
biasa disebut TIM ini kali ini berdandan tidak seperti biasa. Huruf-huruf
raksasa yang disusun membentuk kata ASEAN menyambut seluruh pengunjung di pintu
masuk. Merah menyala.
Acara
yang berlangsung selama tiga hari ini (21-23 Maret 2014) memang telah saya
tunggu-tunggu kehadirannya. Sayangnya, begitu mendekati hari penyelenggaraan,
saya mesti pasrah saat kesibukan lain yang tak mungkin ditinggalkan memberi
saya waktu hanya sehari untuk mengikuti festival yang baru pertama kalinya
diselenggarakan ini.
Tenda-tenda
putih terlihat berjajar rapi di pelataran teater kecil tempat acara ini
berlangsung. Tenda-tenda tersebut sebagian dipakai untuk berjualan buku oleh
penerbit yang berpartisipasi seperti Gramedia, Plot Point, Bentang Pustaka,
Buku Fixi, dan Koekoesan, sebagian lagi digunakan sebagai booth komunitas
menulis dan penerbit mandiri, yaitu nulisbuku, katabergerak dan Indie Book
Corner.
Sesuai
dengan jadwal yang telah didistribusikan terlebih dahulu melalui www.aseanliterary.com sesi pertama pada
hari ke-2 adalah diskusi yang diberi judul Contemporary
ASEAN Literature. Bertempat di gedung utama Teater Kecil, diskusi ini
dimoderatori oleh Richard Oh (Indonesia) mendampingi tiga pembicara utama,
yaitu: Manneke Budiman (Indonesia), Isa Kamari (Singapore) dan Andy Fuller
(Australia). Wacana utama sesi ini, sebagaimana pertanyaan yang dilontarkan
oleh moderator kepada masing-masing pembicara yaitu di manakah posisi dunia
literasi negara-negara ASEAN saat ini? Berapa besar peluang penulis-penulisnya
untuk ‘go international’? Karena ‘go international’, yang berarti diterjemahkan
ke dalam bahasa dunia yaitu bahasa Inggris akan memperluas jangkauan literatur
tersebut. Ide-ide yang semula hanya berputar di negaranya saja akan tersebar
dan dibaca oleh lebih banyak masyarakat di dunia. Beragam pandangan kemudian
terlontar dari pembicara utama.
Kiri ke kanan: Richard Oh, Isa Kamari, Andy Fuller, Manneke Budiman |
Pendapat
Manneke Budiman dalam hal ini cukup menggelitik. Beliau mengatakan bahwa
seorang penulis sebaiknya menulis tanpa pretensi. Tidak perlu memikirkan apakah
karyanya akan pantas atau tidak pantas diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Hal ini diucapkan oleh Manneke menanggapi desakan moderator bahwa karya penulis
Indonesia masih sangat sedikit yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing. “Translated
or not, the most important is whether you are still a writer or not,” tandas
Manneke. Selain itu Manneke juga mengungkapkan bahwa seorang yang serius
meminati sebuah karya tulis, ia akan berusaha untuk memahami dalam bahasa
aslinya. Sementara itu, Isa Kamari, yang beberapa karyanya telah diterjemahkan
dari Bahasa Melayu kedalam Bahasa Inggris mengatakan bahwa tidaklah mudah
sebuah karya diterjemahkan ke dalam bahasa yang bukan aslinya. Menanggapi
pertanyaan tentang nilai rasa yang hilang karena penerjemahan, Isa Kamari
mengakui dirinya menghadapi hal yang sama. “Translation somehow loosing the
sense of nature, culture and the genuine,” ujarnya. Isa juga mengatakan
pentingnya bersabar sambil terus belajar bila karyanya ingin diterjemahkan ke
bahasa yang bukan aslinya.
Sesi
yang dijadwalkan selesai pukul 12 ini ternyata kelar lebih awal. Saya
memanfaatkan kesempatan ini untuk berkeliling ke tenda-tenda dimulai dari yang
paling dekat pintu masuk Teater Kecil. Booth Plot Point dan Bentang Pustaka
yang menempati tenda paling luas selain menjual buku juga memberi informasi
tentang kursus menulis yang diadakan Plot Point mulai dari menulis cerpen
hingga skenario film. Booth nulisbuku termasuk salah satu yang unik. Di tempat
tersebut pengunjung diminta menuliskan rencana menulis dan membaca untuk setahun
kedepan kemudian menempelkannya di sterofoam yang tersedia. Mereka menyediakan
asturo berbagai warna dan pena yang dapat digunakan pengunjung. Saya merasa
seperti diminta mencicipi makanan pemberi semangat di sana. Menyusuri tenda ke
arah barat terlihat persiapan diskusi lain yang bertema Wiji Thukul: The Work and The Story. Ah, hampir saja saya lupa
bahwa tema festival kali ini, Anthems
for The Common People, dijiwai oleh puisi-puisi Wiji Thukul. Setelah
memanfaatkan kesempatan 20% diskon buku-buku terbitan Gramedia, saya segera
menempatkan diri di bawah tenda putih di mana diskusi tentang Wiji Thukul akan
berlangsung.
Kiri ke kanan: Joko Pinurbo, Mumu Aloha, Fitri Nganti Wani, Khrisna Pabichara |
Joko
Pinurbo, penulis puisi peraih banyak penghargaan bersanding dengan Mumu Aloha
(Managing Editor detikHOT) dan Fitri Nganti Wani, putri Wiji Thukul sebagai
pengisi acara yang dimoderatori Khrisna Pabichara. Terlalu banyak hal menarik
dari ketiga pembicara tersebut untuk dicatat. Saya berusaha sebisanya merekam
kesan yang disampaikan tentang seorang Wiji Thukul yang fenomenal ini. Menurut Joko
Pinurbo, diksi dalam puisi Thukul jauh dari kata-kata yang berhubungan dengan
kemewahan. Kesederhanaan diksi tersebut menggambarkan bahwa isi puisinya
melambangkan kehidupan masyarakat bawah. Pinurbo juga membandingkan puisi Thukul
dengan puisi W.S. Rendra yang sama-sama gigih menyuarakan keadilan. Menurutnya,
Rendra menggunakan diksi yang lebih ‘mewah’ ketimbang Thukul. Sementara itu,
Mumu Aloha menyoroti bahwa Thukul justru “meluruskan” bahwa dirinya menulis
puisi sama sekali bukan untuk membela rakyat. Ia menulis puisi karena percaya
bahwa puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan orang kecil. Dan,
orang kecil itu bukanlah siapa-siapa melainkan dirinya sendiri. Atau, dalam
bahasa Wiji Thukul sendiri,”Orang tertindas semacam saya.” Dengan demikian,
lewat puisi-puisi yang ditulisnya, Thukul bicara tentang dirinya sendiri;
seorang buruh pelitur yang beristri tukang jahit, bapaknya tukang becak,
mertuanya pedagang barang rongsokan, dan lingkungannya orang-orang melarat.
Mereka semua masuk dalam “dunia” puisi Wiji Thukul, sehingga dengan membela
diri sendiri ternyata puisi-puisinya juga menyuarakan hak-hak orang lain.
Fitri
Nganti Wani, dalam kesempatan ini membacakan sebuah puisi yang ditulisnya
sendiri tentang perjuangan ayahnya selama ini. Menurut Fitri, kesempatan yang
hanya 8 tahun bertemu dengan sang ayah adalah sebuah momen di mana ia melihat
seorang Wiji Thukul sebagai pendongeng sejati bagi anak-anaknya di luar
kesibukannya di luar rumah sebagai seniman.
Fitri Nganti Wani membacakan puisi karyanya |
Selesai
makan siang, dengan perut penuh dan pelupuk mata yang mulai berat, saya
‘ngadem’ di ruang utama mendengarkan diskusi yang diberi tajuk Democracy, Human Rights and Literature.
Sesi ini dimoderatori oleh Laura Schuurman (Jakarta-based writer and research
analyst) yang cantik dengan suara merdu mendayu-dayu. Untungnya saya tidak
sampai tertidur dibuatnya. Meski lembut, beliau berbicara dengan bahasa Inggris
yang jelas dan tegas. Melihat peserta diskusi yang mencermati lembaran makalah
di tangan, saya tenang-tenang saja tidak mencatat apapun selama diskusi. Sambil
terkantuk-kantuk, saya memilih menanti makalah seperti yang dipegang peserta
lain tersebut. Lama menanti makalah tak kunjung datang, saya menghampiri salah
satu panitia untuk meminta satu eksemplar saja yang ternyata dijawab dengan
permintaan maaf bahwa copy makalah sudah habis. Meski kecewa saya tetap
mengantuk. Maksud saya, tetap berdiri di samping Mbak panitia yang akhirnya
mampu membaca keinginan saya untuk tetap memiliki makalah tersebut. Akhirnya,
ia menanyakan alamat email saya dan berjanji mengirim softcopynya. Saya
mengucapkan terima kasih, kembali ke tempat duduk agar dikira khusyuk
mendengarkan padahal sibuk mencari teman ngobrol.
Teriknya
matahari siang itu melelehkan kantuk saya seketika saat kembali berada di luar
gedung. Di bawah tenda putih tempat diskusi Wiji Thukul pagi tadi, saya mencari
tempat duduk paling strategis (baca: paling adem) untuk mengikuti
bincang-bincang dengan tiga orang penulis yang masing-masing berasal dari
Sulawesi Tengah (Erni Aladjai), Aceh (Arafat Nur) dan Papua (Aprilia Wayar).
Mereka mengisi sebuah sesi yang berjudul Writers
in the Area of Conflict. Ketiga pembicara tersebut saling memaparkan
keadaan di daerahnya masing-masing. Aprilia Wayar, yang saat ini bekerja
sebagai jurnalis di Papua dengan lantang dan tegas menyatakan bahwa begitu
banyak berita simpang siur tentang kondisi Papua sampai saat ini. Ia terpanggil
untuk menulis novel tentang Papua sebagai wujud tanggung jawabnya menyebarkan
kebenaran akan apa yang sesungguhnya terjadi berlarut-larut di daerah tersebut.
Ia juga menyerukan untuk jangan mudah percaya pada pemberitaan media yang
mendiskreditkan masyarakat asli Papua. Novel Aprila yang telah terbit berjudul
Mawar Hitam Tanpa Akar dan Dua Perempuan.
Arafat Nur, Aprilia Wayar, Arman Dhani (Moderator) |
Sementara
Arafat Nur yang baru saja meluncurkan novel terbarunya (Burung Terbang di Kelam
Malam) menceritakan betapa minimnya pembaca novel di daerahnya. Sekian puluh
tahun menjadi wilayah konflik, rakyat Aceh jauh lebih akrab dengan pistol dan
senapan ketimbang buku. Arafat juga meluruskan pendapat bahwa rakyat Aceh tidak
membenci orang Jawa. Mereka membenci pemerintahan yang korup. Pembicara
terakhir adalah Erni Aladjai yang novelnya (Kei) meraih pemenang unggulan Lomba
Novel DKJ 2012. Erni melihat bahwa masyarakat Sulawesi Tengah adalah masyarakat
yang cinta damai. Tetapi, belakangan mereka sangat mudah tersulut pertengkaran
yang berakhir pada kerusuhan. Banyak adat istiadat yang menurutnya jika
dipelihara sesungguhnya dapat menyatukan masyarakat di sana.
Pukul
16.30, setelah kurang lebih satu jam terpanggang matahari yang kian terik di
bawah tenda, saya kembali ke gedung Teater Kecil untuk mengikuti seminar
tentang dunia literatur anak dimana tiga penulis produktif Indonesia: Arswendo
Atmowiloto, Clara Ng dan Icha Rahmanti telah memulainya sekitar 30 menit
sebelum kedatangan saya. Better late than never. Sesi ini adalah salah satu
yang paling saya nanti. Tak apa kebagian sesi tanya jawabnya sebab justru
bagian ini biasanya lebih menarik dan tidak membosankan.
Icha Rahmanti menjawab pertanyaan peserta |
Bertema
A Quest for Identity, Clara Ng
menanggapi pertanyaan tentang apa yang terpenting dalam menulis cerita anak
dengan mengatakan bahwa yang penting dalam buku anak adalah buku tersebut mampu
memberi identitas pada anak. Membesarkan fakta ke keadaan asing yang berbeda
yang membuat akhirnya kita berada di sana dan memahami perbedaan. Menghilangkan
batas. Menjadikan anak berkembang akalnya. Diskusi makin hangat ketika seorang
menanyakan bagaimana pendapat para pembicara terhadap maraknya buku yang
diterbitkan oleh sebuah penerbit besar yang ditulis oleh anak-anak yang
sayangnya menurut penanya mutunya jauh dari standar mutu bacaan anak-anak.
Beragam pendapat bermunculan. Icha Rahmanti berpendapat bahwa katakan hal
tersebut saat ini baru menjadi tren, tentu membutuhkan cukup waktu untuk
akhirnya menjadi karya yang bermutu. Icha mengatakan bahwa saat ia mulai
menulis genre chicklit, banyak orang memandang sebelah mata pada genre
tersebut. Namun, seiring waktu, tulisan Icha ternyata mampu menjadi pelopor
genre chicklit yang ‘berbeda’ dan disukai. Sementara itu, Clara Ng menanggapi
hal ini dengan lebih melihat perkembangan jiwa sang anak yang menjadi penulis
buku yang karyanya dijual di toko dan kemudian mendapat royalti dari penjualan
tersebut. Menurut Clara, anak-anak memiliki kreativitas tanpa batas. Ketika
anak-anak menulis, pada dasarnya mereka hanya ingin diapresiasi oleh teman dan
lingkungannya. Ketika industri turut campur, anak dapat kehilangan kemampuan
berkreasinya yang tanpa batas tersebut karena pengaruh uang. Pada pertanyaan
lain yang berkaitan dengan membangkitkan semangat anak sekolah dasar untuk
menulis, Arswendo menyarankan tema yang aktual (dekat dengan dunia anak).
Sangat tidak disarankan bagi anak-anak untuk menonton tayangan sinetron yang
lebih banyak menceritakan kesukaan pada materi dan jauh dari kenyataan yang
ada.
Usai
seminar tentang Children Literature, langit mulai gelap. Panggung untuk Art
& Performance yang dijadwalkan dimulai sekitar pukul 7 dipersiapkan. Sayang
saya harus segera pulang. Sambil menyetir, beberapa kalimat yang dilontarkan
selama diskusi yang saya ikuti seharian ini melintas bergantian di kepala.
Terkadang sebuah kalimat dari puisi Wiji Thukul, terkadang gurauan satir para
penulis dari daerah konflik, ada juga kata-kata penuh semangat dari para
penulis senior negri ini yang tak lelah menyuntikkan semangat untuk terus
berkarya.