Leila Salikha Chudori, demikian nama lengkap salah satu penulis senior Indonesia yang lebih dikenal orang dengan Leila S. Chudori. Ia memulai karirnya sebagai penulis sejak berusia 11 tahun. Bagi yang dulu rajin langganan majalah Hai, si Kuncung dan Kawanku pasti inget pernah membaca hasil karya Leila di sana. Semakin dewasa, hasil karya Leila mulai beredar di majalah Sastra Horison dan Matra.
Wanita kelahiran 12 Desember 1962 yang sekarang bekerja sebagai Redaktur Senior Tempo ini, meluncurkan karya fiksi terbarunya: 9 dari Nadira pada tahun 2009 yang lalu. Asal tahu saja, karya terbarunya ini menjadi pilihan utama para dewan juri hingga menghantar karya ini memperoleh penghargaan sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional. Menarik untuk disimak, komentar Leila S. Chudori mengenai hal ini, "Penghargaan apapun dari berbagai institusi, seperti juga resensi maupun kritik, adalah efek terhadap sebuah buku yang sudah selesai dan sudah diterbitkan. Proses yang asyik sebetulnya adalah saat menulis."
Nampaknya menulis memang merupakan cinta pertama dan utama bagi Leila S. Chudori, sedangkan penghargaan yang diberikan oleh pihak lain (baik itu dari penikmat karya tulisnya maupun dari berbagai institusi) merupakan semacam "icing of the cake" baginya.
Selain menulis cerpen, Leila juga sering menulis resensi di majalah Tempo. Tidak hanya itu, ia juga menulis skenario Dunia Tanpa Koma yang dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo. Dari berbagai resensi yang dihasilkannya, jelas terlihat kecintaan Leila pada budaya pop.
Bagiaman Leila S. Chudori menciptakan mood untuk menulis, apakah ia memerlukan musik, duduk di tengah-tengah keramaian sebuah cafe, misalnya? Ternyata, ia terkadang membutuhkan sunyi dan keterpencilan untuk menulis, namun ada saat di mana ia membutuhkan bunyi, dan musik jenis apapun yang mengena di hatinya dapat menjadi temannya dalam menulis.
Ingi tahu perjalanan Leila S. Chudori dalam bentara kepenulisan tanah air? Yuk simak wawancara melalui eMail antara Leila S, Chudori dan Kampung Fiksi.
Sejak usia berapa mulai menulis dan mengapa mencintai pekerjaan ini?
Cerpen pertama saya dimuat di majalah anak-anak si Kuncung ketika saya berusia 11 tahun, kelas V SD berjudul Pesan Sebatang Pohon Pisang.
Selanjutnya saya kemudian menulis cerita pendek dan cerita bersambung di Kawanku, Hai (ketika formatnya masih sebagai majalah remaja yang berisi cerita pendek dan komik), Gadis. Setelah saya kuliah, saya mulai menulis cerita pendek di majalah sastra Horison, harian Kompas Minggu, Sinar Harapan, majalah Zaman.
Mana yang lebih disukai, menulis fiksi, resensi, skenario atau sebagai jurnalis?
Menulis resensi dan berita adalah bagian dari tugas saya sebagai wartawan. Sedangkan menulis fiksi dan skenario adalah bagian dari keinginan. Kedua-duanya memiliki kegairahan dan kenikmatannya.
Mengapa tertarik menulis skenario? Apakah ada bedanya dengan menulis novel atau cerpen? Lebih menantang yang mana?
Setiap proses menulis tentu memiliki tantangannya. Menurut saya, baik cerita pendek, novel maupun skenario mengandung tingkat kesulitan yang berbeda. Saya pernah mengatakan, tantangan cerita pendek adalah, dalam ruangan yang sempit kita harus menyiapkan ledakan yang dahsyat. Sedangkan novel dan skenario tantangannya adalah kita harus memiliki nafas yang panjang untuk membangun sebuah dunia; untuk mampu menarik pembaca nyempung masuk ke dalamnya dan seolah menjadi bagian dari dunia rekaan itu. Untuk novel dan juga film dibutukan riset yang serius dan mendalam, membentuk bangunan plot yang rapid an teliti dan harus ada temukan kata,ekspresi dan bahasa yang baru (jika mungkin).
Apakah pengalaman-pengalaman pribadi atau pengalaman pribadi dari orang-orang dekat mempengaruhi kisah-kisah yang ditulis? Kalau iya, berapa persen realitanya dan berapa persen kira-kira fiksinya?
Semua penulis, secara langsung atau tak langsung pasti menulis sebagian kecil pengalaman pribadi atau orang lain yang kemudian dikawinkan dengan rekaan dan plot fiktif. Jika tidak, namanya bukan fiksi, tetapi memoir.
Saya rasa, tak mungkin kita menghitung prosentasi realita dan fiksi dalam sebuah bangunan fiksi yang sudah tercipta.
Tentang penggunaan metafora dalam fiksi, adakah kiat-kiat tertentu agar tetap indah tetapi mampu dimengerti pembaca?
Salah satu hal yang penting dalam menulis fiksi (cerpen, novel dan tentu saja puisi) adalah kemampuan penulis menaklukkan bahasa. Metafora hanyalah salah satu cara. Ada banyak majas yang kita kenal.
Kemampuan menaklukkan bahasa ini tak berarti harus berpretensi untuk berpuisi atau selalu menghubungkan suasana dengan alam. Banyak sekali cara berekspresi dengan menggunakan metafora yang jitu; yang bisa mewakili karakter tokoh sekaligus mewakili (melibatkan) pembaca.
Bahasa adalah salah satu alat yang mengantar pembaca memasuki dunia alternatif yang kita ciptakan. Karena itu, ide sedahsyat apapun, jika disampaikan dengan buruk atau dengan datar, niscaya karya itu tak akan bercahaya. Sebaliknya sebuah ide yang sederhana akan meledak jika disampaikan dengan tepat, baik dan cerdas.
Saya tak bisa menyajikan kiat yang tepat, karena saya yakin setiap penulis memiliki kebiasaannya masing-masing. Yang jelas, semua penulis yang baik akan menyarankan bahwa Anda harus jujur pada saat menulis. Pada saat anda tak jujur, maka karya Anda akan terasa pretensius. Itu akan terlihat dari bahasa dan penyajian.
Apakah melakukan riset dalam menulis fiksi itu penting? Hal-hal apa yang perlu dicatat dan yang tidak boleh diabaikan? (@gibic, Ginanjar Seladipura)
Riset sangat penting untuk pembangunan karakter dan setting, terutama jika anda menulis cerita (cerpen/novel/skenario) realis, anda akan dituntut untuk mendekati realita. Sebuah cerita realis menuntut believeability; apakah seluruh bangunan cerita beserta suasana/karakter yang anda bangun itu meyakinkan pembaca.
Seberapa pentingkah musik dalam proses menulis Anda? Pernahkah menulis sesuatu karena terinspirasi oleh musik atau lirik lagu?
Kadang-kadang saya membutuhkan sunyi (hingga harus menulis di tempat yang agak terpencil), tapi sering juga saya membutuhkan musik dan bunyi.
Apa kekuatan lagu Thom Yorke dan Everybody Loves Irene sehingga berhasil menggerakkan Anda dalam menulis?
Bukan hanya Thom Yorke dan ERI, tetapi musik yang berhasil menggerakkan hati dan pikiran saya pasti saya gunakan untuk teman saya menulis. Dari yang klasik (betul-betul klasik seperti Ravel dan Bartok), yang klasik modern seperti Erik Satie hingga musik di jaman yang lebih baru sepertiThe Beatles di masa awal mereka. Hal-hal yang lazim dimiliki angkatan saya, Genesis, Queen, U2, hingga semua kaset pop dan rock Indonesia di tahun 1970-an dan 1980-an dulu juga saya dengarkan. Jaman sekarang, saya memilih secara serabutan (mungkin orang menyebutnya indie-music, saya tak terlalu peduli dengan genre-nya; apa yang mengena di hati, saya ambil).
Dari buku yang telah diterbitkan, mana yang paling memuaskan dan yang tidak memuaskan. Dan mengapa?
Kalau saya sudah puas, saya pasti akan berhenti menulis.
Bisa ceritakan proses kreatif di “Malam terakhir” dan “9 dari Nadira”?
“Malam Terakhir” –adalah karya yang terbit tahun 1989 diterbitkan pertamakali oleh Penerbit Pustaka Grafiti. Itu adalah cerpen-cerpen lepas yang ditulis dari tahun 1986 hingga 1989 (di masa saya kuliah hingga sebelum saya masuk Tempo. Saya bergabung dengan Tempo Juni 1989). Pemuatan variatif di harian Kompas Minggu, majalah sastra Horison , majalah Matra, Horison, Suara Pembaruan Minggu, Amanah (sebuah majalah yang dulu dipimpin sastrawan Ahmad Tohari).
Saya rasa itu adalah sebuah periode saat saya masih sangat muda dan masih berbuih-buih oleh protes atas konvensi masyarakat (Indonesia) yang sangat mendikte kehidupan pribadi. Negara dan masyarakat sehari-hari sangat mengatur hidup pribadi kita hingga saya merasa masih sangat gamang ketika pulang ke Jakarta seusai enam tahun menempuh pendidikan di Kanada.
Sedangkan 9 dari Nadira, prosesnya bisa dibaca di Kata Pengantar buku tersebut (cetakan kedua). Dua cerpen Nadira sebelumnya sudah dimuat di majalah matra yaitu “Melukis Langit” dan “Nina dan Nadira”.
Setelah itu, saya bekerja di Tempo dan berkeluarga, saya tak menulis selama 20 tahun. Adalah anak saya dan juga beberapa rekan saya yang mendorong saya menulis lagi (seperti yang tercantum dalam kata pengantar dan ucapan terimakasih pada buku “9 dari Nadira”).
Mana yang lebih disukai “Malam Terakhir atau “9 dari Nadira”-(@qibic- Ginanjar Seladipura)
Keduanya anak saya.
Siapakah penulis favorit Mbak Leila di Indonesia, khususnya perempuan, dan mengapa? Adakah catatan penting dalam penulisannya yang perlu kita ketahui?
N.H Dini
Jujur, orisinil dan dia menulis sendiri tanpa dibantu siapapun. Dia mandiri dalam membangun karyanya tanpa harus disertai sebuah entourage. Dahsyat.
Untuk penulis perempuan asing: banyak sekali.
Saya menyukai karya Virginia Woolf, Susan Sontag, Sylvia Plath, Anne Sexton, Simone de Beauvoir. Yang lebih kontemporer saya menyukai Zadie Smith
Apakah pernah terbesit di benak, tulisan ini akan laku keras?
Tidak.
Jika kita mulai memikirkan efek, kita mulai tidak jujur
.
Apa arti sebuah penghargaan sastra seperti yang diberikan Badan Bahasa tahun ini?
Merasa dihargai dan berterimakasih. Tetapi penghargaan apapun dari berbagai institusi, seperti juga resensi maupun kritik, adalah efek terhadap sebuah buku yang sudah selesai dan sudah diterbitkan. Proses yang asyik sebetulnya adalah saat menulis.
Adakah kesempatan bagi para penulis blogger di Indonesia mendapatkan penghargaan?
Siapapun bisa mempunyai kesempatan untuk mendapatkan penghargaan. Setiap institusi yang memberikan penghargaan tentu mempunyai kriterianya masing-masing yang tak bisa kita ganggu gugat. Penulis sebaiknya menulis sesuai keinginan hatinya, bukan sesuai keinginan orang lain (dalam hal ini: panitia, juri atau siapapun pihak pemberi penghargaan). Penulisan harus bermula dari keinginan yang jujur; bukan karena imbalan penghargaan atau finansial.
Dari pantauan Mbak, bagaimana hasil tulisan para blogger? Ada pesan dan tips buat mereka?
Saya bukan pemerhati blogger yang sangat teliti. Artinya, saya baru sekali dua kali saja membaca blog orang. Blog adalah sebuah fenomena baru ; sebuah revolusi dahsyat yang kemudian telah melahirkan banyak penulis masa kini. Menurut saya, blog sudah ikut “mendidik” masyarakat Indonesia untuk berekspresi dan secara tak langsung membuat blogger tertantang untuk mencari bahasa dan kalimat yang bagus (karena mereka tahu tulisannya bisa dibaca siapa saja).
Saya banyak menemui rekan-rekan yang hanya bersemangat menulis pada awal pembentukan blog saja; lalu meninggalkan blog begitu saja. Sikap ini tak akan membantu membangun kemampuan penulisan kita.
Saran saya yang lain, meski internet sudah menyajikan kemungkinan yang luar biasa luas untuk riset, saya tetap menekankan agar para blogger tetap rajin membaca buku. Dengan adanya smart phone dan Ipad, maka saya semakin jarang melihat orang yang duduk membaca (mudah-mudahan itu hanya observasi sekilas yang tak berarti apa-apa). Untuk saya, buku –selain bakat dan kerja keras--adalah jiwa terpenting dalam membangun rangka kemampuan menulis.
Terima kasih Mbak Leila.
***
Hasil dari interview itu membuat kami dari Tim Kampung Fiksi menyadari bahwa menulis memang harus tulus tanpa didasarkan kepentingan lain. Yaitu tidak menulis dengan berharap bahwa tulisan ini akan menjadi best seller. Dan tidak berlandaskan keinginan orang lain (entah yang memberikan penghargaan atau semacamnya). Kita sebagai penulis harus menulis dari dalam hati dan bukan karena menginginkan imbalan.
Tidak salah Leila S. Chudori masih bertahan hingga sekarang karena beliau adalan penulis yang mempunyai prinsip. Menulislah dari hati!
Penyusun Wawancara dan Artikel: Ria Tumimomor & Sari Novita. Editor: G.