Pembunuhan ABC, karangan Agatha Christie ini, sudah pernah saya baca, dulu sekali, entah berapa tahun yang lalu. Sepertinya waktu jaman SMP atau SMA, dan itu sudah sangat lama, sekitar 30 tahunan yang lalu. Tidak heran pada saat saya membaca ulang novel ini sekarang, saya sama sekali lupa siapa pembunuhnya, meskipun samar-samar saya tahu bahwa cerita ini tentang pembunuhan berantai.
MEMBAHAS POINT OF VIEW
Sebelum masuk ke dalam pembahasan tentang isi ceritanya, saya mau membahas sedikit tentang sudut pandang yang dipergunakan dengan sangat cerdik oleh Agatha Christie sebagai alat untuk mempertajam misteri dalam ceritanya. Penulis please take notes kalau sedang membaca novel semacam ini sebab banyak banget trick penulisan yang sebetulnya bisa dicuri dari sang ratu cerita detektif dan misteri ini.
Novel ini adalah salah satu novel penyelidikan yang dilakukan oleh Hercule Poirot, pria Belgia kecil, botak dan berkumis tebal. Poirot memiliki sel-sel abu-abu yang sangat cerdas di otaknya sehingga ia dapat menghubungkan titik-titik yang tidak kasat mata saat memecahkan sebuah misteri kejadian.
Karena Agatha Christie tidak ingin pembaca dapat langsung memahami cara pikir Poirot dan dapat menebak dengan lebih mudah misteri pembunuhan yang terjadi, maka dalam The ABC Murders ini, ada dua sudut pandang yang dipergunakan oleh penulis, yaitu sudut pandang orang pertama obyektif dan sudut pandang orang ketiga terbatas.
Sudut pandang orang pertama dilakukan melalui penuturan Kapten Hastings, sahabat baik Poirot yang acap mendampingi Poirot ketika memecahkan misteri-misteri kejahatan.
Apa peran POV1 Kapten Hastings? Ia bertugas untuk melaporkan kepada kita, para pembaca, apa saja yang terjadi dan dilihatnya secara langsung. Kapten Hastings tidak bisa mengetahui dengan pasti apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh Hercule Poirot. Ia hanya bisa menebak apa yang mungkin saja dipikirkan oleh Poirot atau oleh tokoh-tokoh yang lain, apabila mereka tidak mengucapkan atau memberitahu kepadanya secara langsung. Dengan demikian, Kapten Hastings dapat menjadi pengamat yang tidak dapat dipercaya (unreliable narrator), sebab bisa saja penulis memang secara sengaja memilihnya untuk mengatakan dan melihat hal-hal yang dapat menyesatkan kita, para pembaca.
Sudut pandang yang kedua adalah: Sudut pandang orang ketiga (POV 3).
Apa peran POV 3 ini? Agatha Christie mempergunakannya untuk menceritakan kepada kita kejadian-kejadian di belakang layar yang tidak dapat diceritakan oleh Kapten Hastings karena kejadiannya terjadi tanpa diketahui baik oleh Hercule Poirot maupun Kapten Hastings sendiri. Melalui sudut pandang orang ketiga ini, Agatha Christie, sekaligus mengajak kita bertemu langsung dengan pria yang memiliki kaitan erat dengan peristiwa pembunuhan yang sedang terjadi. Pria ini nampaknya bersalah, tapi benarkah ia memang bersalah?
Kedua sudut pandang yang dipilihkan Agatha Christie untuk kita ini, membuat kita merasa atau menduga bahwa kita lebih banyak tahu dibandingkan dengan Kapten Hastings maupun Hercule Poirot. Tetapi, kita hanya mengetahui kejadian-kejadian tanpa mengetahui dengan jelas hubungan-hubungan antara kejadian-kejadian yang satu dengan yang lain dan kita dibiarkan terus bertanya-tanya: Siapa kira-kira pelakunya dan benarkah dia yang melakukannya?
Pelajaran apa yang saya peroleh?
Melalui pemilihan sudut pandang dalam novel The A.B.C Murders ini, Agatha Christie mengajarkan kepada saya bahwa sudut pandang merupakan salah satu alat yang harus dikuasai dengan baik oleh seorang pengarang agar ia dapat mempergunakannya di dalam cerita untuk menyampaikan cerita dengan cara tertentu dan tujuan tertentu.
Dengan membiarkan Hastings yang bercerita, Agatha Christie telah secara baik hati mengikut-sertakan saya menyaksikan apa yang terjadi di dalam kelompok kecil Poirot yang sedang berusaha untuk menyelesaikan misteri pembunuhan-pembunuhan yang sedang terjadi. Tetapi, karena kunci pemecahan misteri ada pada Poirot seorang, bukan pada tokoh-tokoh yang lain, maka, hasil pengamatan Hastings tidak memberikan kepada saya akses yang cukup banyak untuk memahami apa yang dipikirkan Poirot.
Melalui sudut pandang orang ketiga, Agatha Christie memperluas pandangan saya, sehingga tidak hanya saya menyaksikan adu pendapat di pertemuan-pertemuan para polisi, saya juga dibawa mengikuti potongan-potongan kejadian dalam kehidupan Mr. A.B. Cust yang mencurigakan. Dengan demikian, walaupun pada titik tertentu, ingatan saya tentang siapa pembunuhnya sudah kembali, saya tetap masih tertarik untuk mengetahui kenapa dia melakukan pembunuhan dan bagaimana proses berpikir Poirot sehingga ia dapat tiba pada kesimpulan yang tepat. Selain itu, sangat menarik menyaksikan bagaimana Poirot membuka kedok masing-masing tokoh yang terlibat di dalamnya.
Ringkasan ceritanya sendiri adalah seperti ini:
Hercule Poirot menerima surat kaleng yang menantangnya untuk memecahkan misteri-misteri pembunuhan yang akan dilakukan oleh seseorang yang mengaku sebagai A.B.C.
Korban pertamanya adalah seorang perempuan tua, pemilik kedai kecil yang berjualan rokok dan koran/majalah. Perempuan tua ini dipukul kepalanya hingga pecah dan mati. Ia bernama Nyonya A.A. dan tinggal di Kota A. Sebuah peta A.B.C. ditinggalkan di tempat terjadinya kejahatan. Nyonya A.A. mempunyai seorang mantan suami yang pemabuk dan kalau saja tidak ada surat kaleng dari A.B.C. kepada Hercule Poirot, pastilah suami wanita itu yang akan menjadi tersangka utamanya.
Korban kedua adalah seorang gadis muda, yang bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran di Kota B. Gadis muda ini bernama BB. Ia mati dicekik dengan ikat pinggangnya sendiri. Sebuah peta A.B.C. ditinggalkan pada tempat terjadinya kejahatan.
Korban yang ketiga adalah seorang bangsawan di Kota C, bangsawan itu bernama Lord C.C. ia mati dengan kepala remuk saat sedang melakukan rutinitas jalan kakinya. Pada tempat terjadinya kejahatan, sebuah peta bermerek A.B.C. ditemukan kembali sebagai bukti bahwa ini adalah kejahatan yang secara sengaja dilakukan oleh A.B.C. untuk mengolok-olok Poirot.
Setelah pembunuhan ketiga ini, terbentuk kelompok kecil yang terdiri dari para keluarga dan ahli waris dari korban-korban pembunuhan yang ingin ikut berpartisipasi dalam memecahkan misteri pembunuhan itu. Lalu Hercule Poirot mendapat satu lagi surat kaleng dan pembunuhan terjadi di Kota D, tetapi kali ini yang terbunuh tidak memiliki inisial yang tepat seperti pembunuhan-pembunuhan sebelumnya. Apakah si pembunuh A.B.C. salah membunuh orang kali ini? Siapa sebetulnya pembunuh A.B.C. dan apa motivasi di balik pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya?
***
Memang jauh lebih seru kalau membaca novel itu sendiri dari awal hingga akhir dan mendapatkan kenikmatan menebak-nebak pembunuhnya yang khusus untuk The ABC Murders, menurut saya, tidak terlalu sulit menebak siapa pembunuhnya (mungkin juga karena saya sudah pernah membaca novel ini sebelumnya, sehingga sel-sel abu-abu otak saya masih merekam jejaknya), walaupun agak sulit bagi saya untuk menemukan jalan bagaimana Poirot dapat menjebaknya supaya mengaku.
Resolusinya Agatha Christie, saya ibaratkan seperti seekor kucing, yang setelah puas bermain-main (dengan kita sebagai pembacanya, menyesatkan kita ke sana ke sini tanpa kehilangan kegembiraan perburuan) lalu memutuskan sudah saatnya menyudutkan tikus buruannya, dan mengarahkan (kita) dan buruannya hingga ke pojokan sehingga tak bisa lagi lari kemana-mana. Itulah gambaran mental yang saya alami mendekati saat-saat akhir Poirot mulai memojokkan sang pembunuh dan ia berbalik menjadi korban kecerdikan Hercule Poirot (dan Agatha Christie).
Sudah pernah membaca novel ini juga? Silakan tulis pendapatmu di kolom komentar.
MEMBAHAS POINT OF VIEW
Sebelum masuk ke dalam pembahasan tentang isi ceritanya, saya mau membahas sedikit tentang sudut pandang yang dipergunakan dengan sangat cerdik oleh Agatha Christie sebagai alat untuk mempertajam misteri dalam ceritanya. Penulis please take notes kalau sedang membaca novel semacam ini sebab banyak banget trick penulisan yang sebetulnya bisa dicuri dari sang ratu cerita detektif dan misteri ini.
Novel ini adalah salah satu novel penyelidikan yang dilakukan oleh Hercule Poirot, pria Belgia kecil, botak dan berkumis tebal. Poirot memiliki sel-sel abu-abu yang sangat cerdas di otaknya sehingga ia dapat menghubungkan titik-titik yang tidak kasat mata saat memecahkan sebuah misteri kejadian.
Karena Agatha Christie tidak ingin pembaca dapat langsung memahami cara pikir Poirot dan dapat menebak dengan lebih mudah misteri pembunuhan yang terjadi, maka dalam The ABC Murders ini, ada dua sudut pandang yang dipergunakan oleh penulis, yaitu sudut pandang orang pertama obyektif dan sudut pandang orang ketiga terbatas.
Sudut pandang orang pertama dilakukan melalui penuturan Kapten Hastings, sahabat baik Poirot yang acap mendampingi Poirot ketika memecahkan misteri-misteri kejahatan.
Apa peran POV1 Kapten Hastings? Ia bertugas untuk melaporkan kepada kita, para pembaca, apa saja yang terjadi dan dilihatnya secara langsung. Kapten Hastings tidak bisa mengetahui dengan pasti apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh Hercule Poirot. Ia hanya bisa menebak apa yang mungkin saja dipikirkan oleh Poirot atau oleh tokoh-tokoh yang lain, apabila mereka tidak mengucapkan atau memberitahu kepadanya secara langsung. Dengan demikian, Kapten Hastings dapat menjadi pengamat yang tidak dapat dipercaya (unreliable narrator), sebab bisa saja penulis memang secara sengaja memilihnya untuk mengatakan dan melihat hal-hal yang dapat menyesatkan kita, para pembaca.
Sudut pandang yang kedua adalah: Sudut pandang orang ketiga (POV 3).
Apa peran POV 3 ini? Agatha Christie mempergunakannya untuk menceritakan kepada kita kejadian-kejadian di belakang layar yang tidak dapat diceritakan oleh Kapten Hastings karena kejadiannya terjadi tanpa diketahui baik oleh Hercule Poirot maupun Kapten Hastings sendiri. Melalui sudut pandang orang ketiga ini, Agatha Christie, sekaligus mengajak kita bertemu langsung dengan pria yang memiliki kaitan erat dengan peristiwa pembunuhan yang sedang terjadi. Pria ini nampaknya bersalah, tapi benarkah ia memang bersalah?
Kedua sudut pandang yang dipilihkan Agatha Christie untuk kita ini, membuat kita merasa atau menduga bahwa kita lebih banyak tahu dibandingkan dengan Kapten Hastings maupun Hercule Poirot. Tetapi, kita hanya mengetahui kejadian-kejadian tanpa mengetahui dengan jelas hubungan-hubungan antara kejadian-kejadian yang satu dengan yang lain dan kita dibiarkan terus bertanya-tanya: Siapa kira-kira pelakunya dan benarkah dia yang melakukannya?
Pelajaran apa yang saya peroleh?
Melalui pemilihan sudut pandang dalam novel The A.B.C Murders ini, Agatha Christie mengajarkan kepada saya bahwa sudut pandang merupakan salah satu alat yang harus dikuasai dengan baik oleh seorang pengarang agar ia dapat mempergunakannya di dalam cerita untuk menyampaikan cerita dengan cara tertentu dan tujuan tertentu.
Dengan membiarkan Hastings yang bercerita, Agatha Christie telah secara baik hati mengikut-sertakan saya menyaksikan apa yang terjadi di dalam kelompok kecil Poirot yang sedang berusaha untuk menyelesaikan misteri pembunuhan-pembunuhan yang sedang terjadi. Tetapi, karena kunci pemecahan misteri ada pada Poirot seorang, bukan pada tokoh-tokoh yang lain, maka, hasil pengamatan Hastings tidak memberikan kepada saya akses yang cukup banyak untuk memahami apa yang dipikirkan Poirot.
Melalui sudut pandang orang ketiga, Agatha Christie memperluas pandangan saya, sehingga tidak hanya saya menyaksikan adu pendapat di pertemuan-pertemuan para polisi, saya juga dibawa mengikuti potongan-potongan kejadian dalam kehidupan Mr. A.B. Cust yang mencurigakan. Dengan demikian, walaupun pada titik tertentu, ingatan saya tentang siapa pembunuhnya sudah kembali, saya tetap masih tertarik untuk mengetahui kenapa dia melakukan pembunuhan dan bagaimana proses berpikir Poirot sehingga ia dapat tiba pada kesimpulan yang tepat. Selain itu, sangat menarik menyaksikan bagaimana Poirot membuka kedok masing-masing tokoh yang terlibat di dalamnya.
Ringkasan ceritanya sendiri adalah seperti ini:
Hercule Poirot menerima surat kaleng yang menantangnya untuk memecahkan misteri-misteri pembunuhan yang akan dilakukan oleh seseorang yang mengaku sebagai A.B.C.
Korban pertamanya adalah seorang perempuan tua, pemilik kedai kecil yang berjualan rokok dan koran/majalah. Perempuan tua ini dipukul kepalanya hingga pecah dan mati. Ia bernama Nyonya A.A. dan tinggal di Kota A. Sebuah peta A.B.C. ditinggalkan di tempat terjadinya kejahatan. Nyonya A.A. mempunyai seorang mantan suami yang pemabuk dan kalau saja tidak ada surat kaleng dari A.B.C. kepada Hercule Poirot, pastilah suami wanita itu yang akan menjadi tersangka utamanya.
Korban kedua adalah seorang gadis muda, yang bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran di Kota B. Gadis muda ini bernama BB. Ia mati dicekik dengan ikat pinggangnya sendiri. Sebuah peta A.B.C. ditinggalkan pada tempat terjadinya kejahatan.
Korban yang ketiga adalah seorang bangsawan di Kota C, bangsawan itu bernama Lord C.C. ia mati dengan kepala remuk saat sedang melakukan rutinitas jalan kakinya. Pada tempat terjadinya kejahatan, sebuah peta bermerek A.B.C. ditemukan kembali sebagai bukti bahwa ini adalah kejahatan yang secara sengaja dilakukan oleh A.B.C. untuk mengolok-olok Poirot.
Setelah pembunuhan ketiga ini, terbentuk kelompok kecil yang terdiri dari para keluarga dan ahli waris dari korban-korban pembunuhan yang ingin ikut berpartisipasi dalam memecahkan misteri pembunuhan itu. Lalu Hercule Poirot mendapat satu lagi surat kaleng dan pembunuhan terjadi di Kota D, tetapi kali ini yang terbunuh tidak memiliki inisial yang tepat seperti pembunuhan-pembunuhan sebelumnya. Apakah si pembunuh A.B.C. salah membunuh orang kali ini? Siapa sebetulnya pembunuh A.B.C. dan apa motivasi di balik pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya?
***
Memang jauh lebih seru kalau membaca novel itu sendiri dari awal hingga akhir dan mendapatkan kenikmatan menebak-nebak pembunuhnya yang khusus untuk The ABC Murders, menurut saya, tidak terlalu sulit menebak siapa pembunuhnya (mungkin juga karena saya sudah pernah membaca novel ini sebelumnya, sehingga sel-sel abu-abu otak saya masih merekam jejaknya), walaupun agak sulit bagi saya untuk menemukan jalan bagaimana Poirot dapat menjebaknya supaya mengaku.
Resolusinya Agatha Christie, saya ibaratkan seperti seekor kucing, yang setelah puas bermain-main (dengan kita sebagai pembacanya, menyesatkan kita ke sana ke sini tanpa kehilangan kegembiraan perburuan) lalu memutuskan sudah saatnya menyudutkan tikus buruannya, dan mengarahkan (kita) dan buruannya hingga ke pojokan sehingga tak bisa lagi lari kemana-mana. Itulah gambaran mental yang saya alami mendekati saat-saat akhir Poirot mulai memojokkan sang pembunuh dan ia berbalik menjadi korban kecerdikan Hercule Poirot (dan Agatha Christie).
Sudah pernah membaca novel ini juga? Silakan tulis pendapatmu di kolom komentar.