Oleh: Nastiti Denny
Tak
lama lagi ajang apresiasi karya sastra yang diberi nama Kusala Literary Award
(dahulu Khatulistiwa Literary Award) digelar. Sejumlah karya telah dipilih
untuk menduduki 10 besar. Salah satunya adalah kumpulan cerpen berjudul
Anak-Anak Masa Lalu karya Damhuri Muhammad.
Konsisten
di jalur cerita pendek, Damhuri tak mengejar jumlah cerita yang ditulis dalam
setahun untuk dimuat di surat kabar ataupun media yang lain, mengingat
meningkatnya jumlah media yang memuat karya fiksi saat ini. Pun tak berniat
hengkang dari kegemarannya mengangkat kisah-kisah dari tanah kelahirannya,
Sumatera Barat. Tak hanya sarat dengan adat setempat, Damhuri terus mengangkat
dan memercayai legenda dan mitos yang oleh sebagian orang telah dilupakan
begitu saja. Bisa jadi, inilah yang kemudian membuat karyanya menjadi istimewa.
Meski dalam waktu bersamaan, hal itu pulalah yang membuat dirinya merasa ‘ndeso’.
Dalam
sebuah kesempatan, usai membaca Anak-Anak Masa Lalu, saya menjumpainya untuk mendengar
langsung pendapatnya mengenai segala hal yang berhubungan dengan kisah-kisah
yang ditulisnya dalam kumpulan cerpen tersebut.
Berikut
petikannya:
Cerpen koran hanya dibaca dalam
sekali duduk, dan barangkali juga, dalam sekali hentakan napas . Setelah itu,
koran akan tergeletak sebagai sampah kering yang siap dijemput oleh tukang
loak. Setiap pengarang tentulah punya harapan pada karya-karya yang
terdokumentasi secara aman, langgeng, dengan usia kearsipan yang panjang.
Selain itu, karya dalam bentuk buku akan menjadi artefak kekaryaan yang lebih
kokoh ketimbang sekadar kliping-kliping halaman surat kabar.
Beberapa
cerpen seperti Tembiluk, Bayang-Bayang Tujuh dan Orang-Orang Larenjang berkisah
tentang legenda. Apa arti penting legenda untuk seorang Damhuri Muhammad?
Saya tidak tahu apakah tokoh-tokoh
imajiner dalam tiga cerpen itu telah menjadi legenda atau masih sekadar buah
bibir yang terus diulang-ulang. Yang pasti, karakter-karakter unik itu selalu
menjadi bagian dari kegemaran di masa kanak-kanak saya. Saya mengolahnya, memutarbalikkan
logikanya, mendistorsi berbagai ketakjuban terhadap mereka, atau melahirkannya
kembali sebagai tokoh-tokoh baru yang sama sekali terlepas dari persepsi
orang-orang di masa dahulu.
Adakah
penulis yang mempengaruhi gaya menulis Damhuri Muhammad?
Saya menyukai gaya bercerita Naguib Mahfouz (sastrawan Mesir pemenang Nobel
sastra 1988), karena kebetulan saya berlatar belakang keilmuan Sastra
Arab. Saya juga menyukai karya-karya Leo
Tolstoy, Edgar Allan Poe, John Steinbeck, Kafka, Borges, dan lain-lain. Saya
pun menggemari eksperimentasi teknik bercerita cerpenis Soni Karseno, terutama
cerpen Sentimentalisme Calon Mayat.
Juga mengagumi gaya menulis Pramoedya Ananta Toer, terutama dalam Tetralogi Bumi manusia. Tapi yang
berpengaruh pada semangat kepengarangan saya adalah cerita-cerita lisan tanpa
nama pengarang yang saya dengar dari orang-orang dekat di masa kanak-kanak.
Cerita-cerita tentang orang-orang kebal senjata, tentang centeng pasar ikan
yang tak terkalahkan. Cerita-cerita gelap tentang perempuan yang bisa mendukuni
banyak laki-laki, dan lain-lain. Kelisanan itu tak pernah menguap dari kenangan
saya.
Cerpen
Reuni Dua Sejoli berkisah tentang masa lalu yang berbeda dengan cerpen yang
lain. Cerpen lain berlatar daerah dan legenda sementara yang ini lebih banyak
menceritakan perasaan lelaki dan perempuan yang tak terhubung secara langsung
dengan adat. Meski terkesan ‘menyesatkan’ menurut saya sebagai cerpen pembuka
karena tema masa lalu yang dibawa kumpulan cerpen ini kemudian menjadi berbeda
dengan Reuni Dua Sejoli, cerpen ini memancing keingintahuan tersendiri. Apa
latar belakang penulisan cerpen ini, dan mengapa dianggap sesuai untuk
disatukan dengan cerpen yang lain?
Payung tematik dari kumcer
Anak-anak Masa Lalu adalah masa lalu itu sendiri. Reuni Dua Sejoli juga berangkat dari kasih tak sampai di masa
silam. Saya tetap berangkat dari alam kultural Minangkabau meski dari segi
ungkapan prosaik barangkali terkesan agak modern dan urban. Di sana, bisa punya
anak itu adalah simbol, dan sekaligus perkakas kekuasaan. Tidak punya anak
adalah aib, dan karena itu bisa menjadi dalil guna mengabsahkan ketersingkiran,
bahkan ketertindasan pihak-pihak tertentu, terutama kaum perempuan. Kemandulan adalah
ketakmujuran masa silam yang tidak akan pernah dapat diselamatkan hingga akhir
hayat sekalipun. Di sini, waktu di masa lalu, adalah juga waktu di masa kini,
dan situasinya tetap terhina, tersingkir, dan tercibir.
Dalam Dua Rahasia, Dua Kematian,
Ambai-Ambai dan Orang-Orang Larenjang, mitos ditegakkan sebagai sesuatu yang
seolah mewakili kebenaran absolut. Yang bila dilanggar, akan menuai bala. Apa
yg sebenarnya ingin disampaikan melalui 3 cerpen tersebut?
Saya tidak mungkin menjadi mufassir
dari karya saya sendiri. Sebaiknya biarkan saja pembaca menikmati dan
menyikapinya sesuai dengan persepsi masing-masing. Perihal mitos yang dimaksud,
kebetulan saya berlatar belakang filsafat. Bagi saya, mitos tidak
sungguh-sungguh runtuh oleh kedigdayaan “logos” dalam tradisi filsafat modern.
Dalam kenyataannya, mitos tetap menyala di mana-mana. Banyak orang, bahkan
manusia-manusia urban sekalipun, masih hidup dalam mitos. Seorang Ph.D
jebolan universitas luar negeri masih gemar mengoleksi keris.
Seorang politisi tidak bisa sungguh-sungguh mengabaikan kontribusi dukun
dalam pemenangan Pilkada. Apakah saya sedang membela atau bahkan berpihak? Yang
pasti, saya masih melihat kejernihan dalam mitos, dan saya nyaman berada di
dalamnya.
Semoga
tidak keliru, Anak-Anak Masa Lalu adalah kumpulan cerpen pertama yang memuat
kisah masa kecil Damhuri Muhammad (di bagian epilog). Adakah alasan khusus?
Menulis
cerita, bagi saya, adalah menapaktilasi kembali keriangan masa kanak-kanak yang
hilang, atau bahkan sengaja dilenyapkan oleh despotisme regim keluarga besar
dalam tatanan masyarakat komunal. Setiap keluarga berupaya membangun
imperium-imperium kecil dengan pencapaian-pencapaian material tertentu. Ingin
tampak cemerlang dan terpandang dari permukaan, padahal banyak kebusukan dan
kebobrokan yang sengaja ditutup rapat-rapat. Ada unit-unit lemah dan tak
berdaya yang disadari atau tak, telah dimanfaatkan dan bila perlu dikorbankan.
Kita berteriak antikorupsi hanya untuk orang-orang di luar lingkungan keluarga.
Kalau anak-cucu kita sendiri yang melakukannya, kita akan sembunyikan itu
sebagai aib yang tak perlu diungkapkan, karena akan mendistorsi wibawa imperium
keluarga besar. Saya berada dalam pusaran ertos kebasa-basian, kemunafikan,
bahkan “kejahatan” yang digunakan sebagai dalil guna melindungi kejumawaan
sebuah regim keluarga besar. Saya berdiri di pihak yang menolak hipokrasi.
Kisah-kisah
berlatar budaya daerah sudah biasa dan banyak diangkat oleh penulis lain. Yang
mana menurut saya justru memiliki keunikan tersendiri. Tidak ‘ndeso’ sama
sekali seperti diungkap di bagian epilog. Cerpen-cerpen semacam ini bukannya
yang banyak dicari surat kabar untuk rubrik fiksinya? Mengapa merasa ‘ndeso’?
Saya nyaman berdiri di pinggiran.
Mengarahkan “pukulan” dari pinggiran adalah cara bertarung yang tak terduga.
Pinggiran adalah medan kesenyapan yang selalu menjadi ancaman bagi orang-orang
yang sedang membangun panggung kegirangan dalam gelanggang keramaian.
Adakah
cerpen dalam Anak-Anak Masa Lalu yang memiliki kisah tersendiri dalam
penulisannya? Misal : ditulis dalam jangka waktu yang lama, atau risetnya
sulit, dan lain sebagainya.
Hampir semua cerita saya digarap
dalam waktu yang lama. Dalam setahun paling banyak saya hanya bisa punya tiga
cerpen. Saya menghindari iklim fabrikasi cerpen yang sedang melanda banyak pengarang
muda di Indonesia. Saya tidak mengejar jumlah publikasi. Lebih baik satu,
tetapi dapat “menganggu” pikiran banyak orang, ketimbang melimpah-ruah, tetapi
murah.
Tokoh-tokoh
dalam cerita, apakah murni diciptakan untuk cerita tersebut atau exist di
kehidupan Damhuri Muhammad?
Tak ada tokoh imajiner yang
datang dari ruang kosong. Silsilahnya pasti ada. Sidik-jarinya bisa dilacak.
Baik dalam lingkungan keseharian saya, maupun dalam ruang-ruang sosial di luar
subjek pengarang.
Mengapa memilih menekuni cerpen dibanding
bentuk prosa yg lain?
Cerpen memang pendek, tapi selalu
terasa tak kunjung selesai dituliskan. Saya menyukai gagasan-gagasan padat,
lugas, dan tegas. Dalam tubuh cerpen tak ada kulit. Semuanya isi.
Semuanya substansi. Sejauh ini cerpen masih memberikan banyak tantangan bagi
saya. Tapi bukan tidak mungkin, kelak saya akan menulis novel.
Apakah
dalam menulis cerpen kerap melakukan tulis ulang (rewriting)?
Bukan tulis-ulang, tapi kerja editing-nya. Setelah kelar satu cerpen,
saya menyuntingnya berulang-ulang hingga tidak ada lagi yang terasa ganjil.
Saya tidak gampang puas, dan karena itu penyuntingannya bisa sangat lama.
Cerpen yang berhasil saya tulis tahun ini boleh jadi saya siarkan tahun depan,
atau mungkin tidak saya siarkan sama sekali. Lama, pokoknya.
Apakah
menjadi penulis adalah cita-cita Damhuri Muhammad sejak kecil? Kalau tidak,
cita-citanya dulu apa?
Sejak SD saya bercita-cita hendak
menjadi ustadz atau mubaligh. Sejak duduk di bangku Madrasah Tsawiyah Negeri
(MTsN) saya sudah tampil di mimbar-mimbar pengajian. Semasa di Madrasah Aliyah
Negeri (MAN) saya sudah tampil sebagai
khatib Jumat dan khatib shalat Ied. Lumayan kondang nama saja sebagai mubaligh
muda, setidaknya di wilayah kabupaten saya. Tapi lama-lama saya jenuh, dan saya
merasa tidak mungkin mencari nafkah dari sekadar tampil dari mimbar ke mimbar
sebagai penceramah. Tidak akan nyaman membiayai hidup dengan honorarium sebagai
penceramah. Saya putar haluan ke dunia buku, dunia membaca, terutama dunia cerita
dan bacaan-bacaan filsafat. Dunia membaca inilah yang kemudian mengantarkan
saya pada dunia menulis.
Dua kali menjadi juri Khatulistiwa
Literary Award, apa harapannya terhadap dunia literasi tanah air? Khususnya
fiksi literasi.
Saya membayangkan dunia sastra ini
meluas. Tidak hanya dibaca oleh orang yang itu-itu saja. Gerakan literasi tidak
cukup dengan memproduksi bacaan saja, tapi juga mendorong dan menggerakkan
banyak orang untuk bersenang membaca. 250 juta penduduk Indonesia, tapi
tiras cetak buku sastra hanya 1000 eksemplar. Itupun berdebu di rak toko
buku selama bertahun-tahun. Toko buku bahkan sudah menolak display buku puisi. Bagi saya, lebih baik mengupayakan karya sastra
itu dibaca dan diapresiasi oleh bangsa sendiri, ketimbang kasak-kasuk
menerjemahkannya ke dalam bahasa asing, agar sastra Indonesia menjadi
warga sastra dunia. Untuk apa mendunia dengan segala macam perolehan piala,
bila bangsa sendiri dibiarkan terpuruk dalam buta huruf?
Biodata
Foto koleksi Damhuri Muhammad |
Damhuri
Muhammad, lahir di Payakumbuh (Sumbar), pada 1974. Alumnus Pascasarjana
Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2001). Bermukim di Depok (Jawa
Barat). Ia menulis cerpen, esai seni, kritik buku, artikel budaya, di sejumlah media
nasional. Karya fiksinya yang sudah terbit: Laras (2005), Lidah Sembilu
(2006), Juru Masak (2009), Anak-anak Masa Lalu (2015). Cerpennya Ratap Gadis Suayan, Bigau, Orang-orang Larenjang,
dan Lelaki Ragi dan Perempuan Santan,
terpilih dalam buku cerpen pilihan Kompas,
pada tahun pemilihan yang berbeda-beda. Buku esainya; Darah-daging Sastra Indonesia (2010). Dua cerpennya Juru
Masak dan Banun terpilih
sebagai materi kajian cerpen dalam buku Pelajaran
Bahasa Indonesia (ekspresi diri dan akademik) Kelas XI (SMA, SMK, MA, MAK), semester 1 (Kurikulum
2013). Pada 2008 dan 2013 ia menjadi Ketua Tim Juri Khatulistiwa Literary Award
(KLA). Maret 2014 dan 2015 ia didaulat sebagai Steering Board (Dewan Pengarah)
Asean Literary Festival (ALF) yang dihadiri oleh perwakilan 26 negara,
dan Indonesia sebagai tuan rumahnya. Sehari-hari ia berkhidmat sebagai editor
sastra, harian Media Indonesia,
Jakarta. Ia bisa dihubungi di akun twitter;
@damhurimuhammad