“San,
ayo bangun. Sudah subuh.”
Mak
mengguncang-guncang tubuh Ikhsan. Bocah yang masih berselimut sarung itu lantas
menggeliat. Diusap matanya berkali-kali untuk lebih menyadarkannya dari alam
mimpi. Kini wajah Mak yang sudah basah oleh air wudhu itu, nampak lebih jelas.
“Ayo,
cepat wudhu! Nanti ketinggalan jama’ah,” ucap Mak seraya memakai mukenahnya
yang ada di belakang pintu kamar.
Mukenah
milik Mak polos tanpa motif, renda,
ataupun bordir. Sederhana sekali. Bahkan warnanya sudah nampak kekuningan
karena seringnya Mak pakai. Bayangkan saja, sehari dipakai sholat fardhu 5
kali, belum untuk sholat sunnah dan tadarusnya. Mukenah itu dicuci 3 hari
sekali. Dicuci setelah sholat subuh agar saat sholat dhuhur sudah kering dan
bisa dipakai lagi. Begitu seterusnya.
“Ikhsaaann....”
Panggilan
Mak dari luar kamar sontak membuyarkan lamunan Ikhsan untuk segera beranjak
dari tempatnya. Bergegas mengambil wudhu dan mengikuti Mak ke masjid.
***
“Mak,
mau punya mukenah baru nggak?” tanya Ikhsan saat melihat Mak mencuci
mukenahnya, rutinitas tiga
hariannya itu.
Mak
menarik ujung bibirnya. Menatap lekat wajah polos Ikhsan yang duduk di
depannya.
“Memangnya
kenapa, San? Ikhsan mau beliin Mak mukenah?” tanya Mak lembut.
Bocah kelas
6 SD itu mengangguk.
“Aku
mau Mak jadi lebih kaya dengan mukenah baru nanti,” sahut Ikhsan semangat.
Mak
terkekeh. Beberapa hari lalu Ikhsan memang bertanya pada Mak, mengapa Mak sangat sayang sama
mukenah satu-satunya itu. Bila ada lubang sedikit, pasti Mak langsung
menambalnya. Begitu juga bila ada noda sedikit, pasti Mak langsung
membersihkannya. Rupanya jawaban Mak itu sepertinya masih membekas di ingatan
Ikhsan. Ketika itu, Mak menjawab bahwa melalui mukenah itulah Mak merasa kaya.
Bukan kaya secara materi pastinya, karena apalah arti kekayaan bagi buruh cuci
seperti Mak. Melainkan kaya secara batiniyah. Semakin sering Mak memakai
mukenahnya, Mak merasa batinnya lebih damai dan dekat sama Tuhan. Biarlah Mak
tak punya apa-apa di dunia ini, tapi Mak tidak mau nanti di akhirat juga tidak
punya apa-apa. Mak mau jadi orang yang kaya di mata Tuhan.
“Terserah
Ikhsan saja,” jawab Mak singkat.
Ia tak
yakin putra semata wayangnya itu mampu membeli mukenah baru. Jangankan membeli
mukenah, membeli lauk untuk besok saja terkadang harus berhutang dulu ke warung
Bu Siti. Setelah menerima pembayaran cucian, barulah Mak melunasi
hutang-hutangnya.
***
Tanpa
sepengetahuan Mak, Ikhsan mulai mencari uang untuk mendapatkan mukenah
incarannya yang sudah ia lihat di pasar. Mukenah putih dengan bordir bunga di tepinya.
Kainnya halus dan mudah menyerap keringat. Mak pasti akan lebih betah
memakainya. Untuk harganya Ikhsan sedikit menelan ludah saat melihatnya yaitu Rp.
150.000. Angka yang mungkin kecil bagi sebagian orang. Tapi bagi Ikhsan, dengan
harga mukenah sebesar itu baru bisa terbeli bila ia rela tak jajan sama sekali
selama 5 bulan.
“Mau ke
mana, San?” tanya Mak saat Ikhsan buru-buru pergi setelah pulang sekolah.
“Main,
Mak….” Ikhsan berbohong.
Terpaksa
ia bohong, karena bila jujur mengatakan kalau akan mencari sampah untuk dijual
ke pengepul, Mak pasti marah. Mak belum mengijinkannya bekerja seperti
anak-anak lain di kampungnya. Kata Mak, ia masih tanggung jawab Mak, jadi
biarlah Mak yang mencari uang.
Ikhsan
mencari sampah botol dan plastik di perkampungan yang agak jauh dari rumahnya.
Sepulang sekolah hingga menjelang maghrib, Ikhsan menyisir satu persatu bak
sampah dan memilah barang-barang apa saja yang sekiranya bisa dijual ke
pengepul. Bila sedang beruntung, ia bisa mendapat 2 kresek penuh. Namun bila
tidak, 1 kresek terkadang tidak sampai penuh. Sesekali Ikhsan berhenti untuk sekedar
beristirahat ataupun sholat Ashar di masjid terdekat. Dalam setiap do’anya,
terselip doa semoga Tuhan berkenan mengabulkan keinginannya untuk membelikan
mukenah untuk Mak.
Sudah
hampir seminggu Ikhsan menjadi pemulung cilik dadakan. Setiap hari sekitar 2-3
ribu rupiah bisa ia kantongi dari memulung. Tabungannya kini masih 20.000
rupiah, masih kurang banyak untuk membeli mukenah Mak. Ia harus kembali memutar
otak untuk mencari pekerjaan tambahan agar uangnya lebih cepat terkumpul.
***
Peluh
Ikhsan nampak membasahi pakaiannya. Bocah ceking itu berkali-kali mengusap
dahinya dengan punggung tangannya. Sekarung beras seberat 25 kg baru saja ada
di pundaknya. Ya, Ikhsan kini menjadi kuli panggul di pasar ketika hari Minggu.
Ia berbaur bersama orang-orang bertubuh kekar yang mampu mengangkat 3 karung
beras itu sekaligus. Upah di sini lumayan. Setiap karung yang berhasil diangkut
dihargai 1.000 rupiah. Jarak antara truk pengangkut beras dan tokonya pun tak
seberapa jauh. Ada sekitar 150 karung beras yang harus dipanggul. Truk
pengangkut beras ini tak setiap hari ada, biasanya seminggu atau dua minggu
sekali. Maka dari itu, Ikhsan tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Tak
dipedulikannya lagi, keringnya kerongkongan dan ramainya perut minta diisi. Ia
hanya fokus untuk memanggul beras itu sebanyak-banyaknya.
***
“Seratus
empat puluh, seratus lima puluh, seratus enam puluh, seratus tujuh puluh lima
ribu enam ratus rupiah! Yeeayy!!” pekik Ikhsan girang ketika menghitung uang
yang dikumpulkannya selama hampir 2 bulan itu.
Bayangan
mukenah baru untuk Mak begitu jelas menari-nari di angannya. Tak sabar rasanya
melihat Mak memakai mukenah itu besok. Tepat 1 Ramadhan. Bulan istimewa harus
disambut pula dengan pakaian yang terbaik.
Malam
hari itu juga, Ikhsan bergegas menuju pasar dan menjemput mukenah incarannya.
Tak lupa, seluruh uang tabungannya ia selipkan rapi di dompet milik ayahnya sebelum
beliau meninggal.
Mukenah
dengan bordir bunga itu masih nampak menghiasi manekin di depan toko. Wajah
manekin itu seolah berubah menjadi wajah Mak saat Ikhsan menatapnya. Diusapnya
lembut mukenah baru itu. Mata Ikhsan mengembun tatkala membayangkan senyum Mak di
sana
.
“Bang...
mukenahnya ini berapa?” Ikhsan menunjuk mukenah incarannya.
“170
ribu,” jawabnya singkat.
“Kok
naik, Bang? Bukannya kemarin 150 ribu?”
“Kemarin
kapan? Semuanya pada naik kalau mau puasa.”
Ikhsan mengangguk.
Tak masalah baginya, selama uangnya masih cukup. Ia juga mengerti karena memang
semua harga barang-barang kebutuhan akan naik ketika menjelang hari besar.
Setelah melakukan transaksi jual beli, kini kresek berwarna gold dengan isi mukenah cantik itu siap
ia bawa pulang.
Begitu
riang ia melangkah. Wajahnya berseri. Diayunkannya kresek itu hingga seperti
pantulan pada jarum jam. Saking larutnya ia dalam kebahagiaan, ia tak menyadari
sedari tadi ada motor yang mengendap di belakangnya. Sedetik kemudian,
tangannya tersentak oleh tarikan kasar seseorang yang ada di belakangnya.
“Brrrrmmmmm.......!!”
motor itu kemudian melaju kencang.
Ikhsan
terhuyung. Jantungnya berdegup kencang dan matanya memanas ketika menyadari motor
itu pergi membawa kresek yang ditentengnya tadi. Kresek gold berisi mukenah cantik tersebut lenyap. Seketika itu ia lunglai
dengan wajah pias dan tatapan kosong.
“Ya
Robb....,” desisnya.
Ikhsan
melangkah gontai. Air mata tak lagi terbendung ketika bayangan Mak dan mukenah
baru itu kembali muncul bergantian di kepalanya.
“Mengapa
harus aku? Mengapa harus mukenah Mak yang diambil? Bukankah itu juga agar Mak
bisa lebih dekat dengan-Mu? Tapi mengapa Kau biarkan pencuri itu mengambilnya?”
Berbagai pertanyaan kepada Tuhan hilir mudik berkecamuk di hatinya.
Tangis
Ikhsan meledak ketika melihat Mak yang sedang menyapu teras. Bocah itu lantas
sesenggukan di pundak Mak. Sedangkan Mak yang tak tahu apa-apa, kebingungan dan
cemas melihat keadaan Ikhsan.
“Kenapa,
San?”
“Mu-mukena
Mak d-dicuri,” jawab Ikhsan terbata. Bibirnya bergetar.
“Mukenah
Mak ada kok di dalam.”
Ikhsan
menggeleng.
“Mukenah b-baru buat Mak...,”
Kemudian Ikhsan menceritakan semua
detail kejadiannya. Dari proses ia mengumpulkan uang hingga pencuri itu
merenggut semua jerih payahnya.
Mak
kini mengerti. Wanita yang sudah mulai beruban itu lantas tersenyum pada
Ikhsan.
“Ikhsan tahu nggak, terkadang sesuatu yang kita anggap baik belum tentu
baik di mata Tuhan. Ikhsan pasti berharap kalau nanti Mak pakai mukenah baru,
Mak akan lebih taat ibadahnya, ya kan?”
Ikhsan mengangguk lemah. Ya, itu memang
tujuannya memberikan mukenah baru untuk Mak.
“San,
Tuhan pasti punya alasan mengapa saat ini Mak belum diijinkan punya mukenah
baru. Siapa tahu bila Mak punya mukenah baru, Mak malah jadi sombong, pamer ke
tetangga-tetangga. Jadi riya’ kalau ibadah karena ingin dipuji mukenahnya. Oleh
karena itu, Ikhsan harus ikhlas ya mukenah itu diambil. Jangan pernah
menyalahkan Tuhan atas keputusan yang telah Dia buat untuk kita,” tutur Emak
lembut.
“Tapi...
Mak jadi pakai mukenah lama itu lagi buat tarawih nanti,” ujar Ikhsan lirih.
“Tak
masalah bagi Mak. Asalkan Mak punya anak yang sholeh seperti Ikhsan,” ucap Mak
sembari mengecup kening buah hatinya itu.
Terawih
pertama di bulan Ramadhan ini memang Mak lalui tanpa mukenah baru seperti
harapan Ikhsan. Tapi dari kejadian itulah, kedua insan itu belajar bahwa nikmat
dan damainya Ramadhan tak bisa diraih hanya dengan memakai mukenah baru. Menjaga
hati untuk selalu bersyukur, ikhlas dan berprasangka baik kepada Tuhan jauh
lebih penting untuk menyambut Ramadhan hingga hari kemenangan nanti.
***