Membaca hasil wawancara Kampung Fiksi dengan Christian Simamora, saya seperti diajak aerobik non-stop sampai kalimat terakhir. Entah berapa kali saya menarik nafas dan menahannya karena terbawa oleh sebuah hasrat yang seolah menarik saya masuk ke dalam topik yang sedang dibahasnya. Ini tidak berlebihan. Saya benar-benar bisa merasakan passion yang sedang dibagi oleh penulis kelahiran Jakarta, 9 Juni 1983 ini. 
Christian Simamora, the man with the passion. You can see from his smile. :)

Untuk yang belum mengenal Christian Simamora, karena satu dan lain hal, mungkin Shit Happens, Boylicious dan Macarin Anjing will ring a bell. Itu adalah beberapa judul novel yang ditulis oleh Christian dan pada masanya menghiasi rak-rak buku laris di toko buku seluruh Indonesia. Masih belum ngeh juga? Try this; Pillow Talk! Boleh dibilang, novel ini adalah masterpiece dari Christian. Novel ini bahkan berhak mendapat title Book of The Year 2010 dari GagasMedia. Kalau masih belum ngeh juga, mungkin sudah waktunya kamu main-main ke toko buku, karena menemukan buku-buku karya penulis muda ini mudah sekali. Hampir semua karyanya terletak manis di rak bagian depan. Bulan Maret ini Christian meluncurkan novel ke-8 berjudul Good Fight. Menurut beberapa resensi, novel ini sepertinya akan menggeser kedudukan Pillow Talk yang  booming itu. Uh, jadi nggak sabar, mau beli. :)
Novel Pillow Talk Christian yang keren itu. Siapa yang belum baca? :)

Kampung Fiksi beruntung berhasil "menangkap" Christian di Facebook dan mengajaknya untuk berbagi tentang dunia menulis fiksi yang sudah digelutinya selama beberapa tahun ini. Saya kagum akan besarnya keinginan berbagi dari Christian yang tersirat dari caranya menjawab pertanyaan-pertanyaan via e-mail dari Kampung Fiksi. Bayangkan, dari daftar pertanyaan yang lumayan panjang, Christian menjawabnya dengan cepat dan lengkap dengan penjelasan yang lebih panjang lagi. Luar biasa. 

Dan, ini adalah hasil wawancara Kampung Fiksi dengan Christian Simamora. Siap-siap tahan nafas, ya!


Sejak usia berapa Christian mulai menulis?
Suka menulis sih sejak kecil, ‘terbakar’ hobi Mama yang setiap tahunnya membuat puisinya sendiri untuk dibacakan saat acara gereja. Tapi baru mulai menulis novel saat tahun terakhir di bangku kuliah. Around 22 years old, I guess.

Apa yang membuat kamu memutuskan untuk terjun ke dunia kepenulisan
sampai hari ini?
Motif pertama, karena skripsi bermasalah waktu itu dan harus punya kesibukan alternatif supaya bisa tetap waras, hehe. Tapi setelah itu, aku menulis karena ternyata adiktif banget. Naskah kesekian selesai, sudah panas ingin cepat-cepat membuat plot untuk naskah baru. :)

Siapa penulis idola kamu? Apa yang membuat mereka layak kamu jadikan idola?
Aku selalu sebutin nama mereka bertiga dalam buku maupun wawancara. My writing muse: Johanna Lindsey, Candace Bushnell, dan Meg Cabot. Johanna Lindsey karena kemampuannya menulis novel dengan latar belakang dan setting apa pun. Penjara pun bisa jadi tempat yang romantis kalau Johanna yang menuliskan ceritanya. Candace Bushnell membuka mata aku soal tema-tema urban tapi tetap terasa membumi. Aku pernah mencoba membandingkan dengan novelis bergenre sama—say, Penny Vincenzi atau Lauren Weisberger—tetap saja ujung-ujungnya hanya tulisan Candace yang bikin aku jatuh cinta. Sedangkan Meg Cabot, karena dia menginspirasi aku untuk menulis dengan tema sederhana. Dulu, aku mengira roman itu harus ditulis dengan gaya sensasional—tambahkan plot dendam keluarga, penyakit, sengketa harta, dan lain-lain—yang aku temukan di karya penulis-penulis lokal terkenal di masa itu. Tapi setelah membaca novel Meg Cabot, The Princess Diaries, aku sadar kalau romance bisa ditulis dengan tema sederhana. Nggak perlu bumbu-bumbu sub konflik yang ribet.

Ada nggak gaya menulis penulis terkenal yang mempengaruhi gaya menulis kamu?
Berhubung sekarang sudah novel kedelapan, kayaknya nggak lucu sampai sekarang masih ‘terinspirasi’ gaya tulisan orang lain. Tapi harus aku akui, taste tulisan aku yang sekarang memang dipengaruhi oleh hal-hal yang aku sukai selama ini. I’m a sucker for romantic comedy. Jadi, film, novel, bahkan lagu, memiliki pengaruh kuat dengan rasa tulisanku selama ini.

Untuk setiap novel kamu, tahapan yang pasti selalu kamu lalui itu apa aja, sih? Kalau ada perbedaan proses di tiap novel, menurut kamu novel yang mana yang "eugh" banget prosesnya? Maksudnya, yang bener-bener bikin kamu kelimpungan...:)
Simpelnya: tema besar -> riset -> plotting -> mulai menulis.
Mungkin nggak sampai ‘eugh’, tapi challenging: Shit Happens. Novel yang aku tulis berdua dengan Mbak Windy. Kenapa challenging? Karena aku udah menulis beberapa buku sebelum proyek Shit Happens ini. Sudah punya ritual menulis sendiri, gaya menulis sendiri, dsb. Nah, saat menulis tandem kan semua itu verboden banget. Tantangan menulis tandem adalah kesadaran untuk menulis bersama dan menciptakan aura seolah-olah itu tulisan satu orang. Jadi ya, aku si penulis yang biasa egois ini harus BANYAK menyesuaikan diri dengan partner menulisku itu. Ada berantem-berantemnya tentu. Tapi di situ letak serunya. Saat draft Shit Happens selesai di-print, kami berpelukan bareng dan menangis terharu. Lebay memang, tapi justru itu yang bikin Shit Happens berkesan buatku.

Gaya menulis kamu kan cenderung ringan, mengalir dan ceplas-ceplos di beberapa novel kamu seperti Pillow Talk dll, apa kamu pernah mencoba menulis dengan gaya lain?
Untuk menjawab ini, lihat aja Taylor Momsen. Waktu aktif season-season awal Gossip Girl, Taylor dikenal sebagai tipe all-American-Girl—sweet dan feminin. Tapi setelah menjadi vokalis Pretty Reckless, Taylor mengubah abis-abisan citranya sebagai cewek nakal dengan dandanan goth yang seksi.
Gaya menulis ibaratnya seperti si Taylor Momsen. Mengubah gaya menulis otomatis mengubah lingkaran pertemanan, opini publik, dan lain-lain. Aku harus mulai dari awal, meyakinkan ke pembaca kalau gaya menulis yang baru ini memang lebih baik. Dan itu belum termasuk kemungkinan ternyata gaya ini gagal membuat pembaca terkesan.
Jadi, seperti yang seharusnya stylist-nya Taylor bilang ke kliennya itu, “Stop playing with your look, Girl. Stick to one style that defines you, then try to look better everyday”, aku sih merasa nggak perlu lah mengubah gaya menulis. Menulis lebih baik aja dengan signature writing style-ku, sambil tetap menantang diri untuk mencoba tema-tema baru.

Sudah ada 8 novel kamu yang terbit, dari yang 8 itu, ada nggak yang paling istimewa? Kenapa?
Pillow Talk. Karena setelah menulis novel itu aku memutuskan untuk serius di genre mainstream romance. So, adieu teenage novel. :’)

Cerita dong, bagaimana perjuangan kamu saat menulis dan menerbitkan novel Jangan Bilang Siapa-siapa, novel pertama kamu?
Novel itu sebenarnya bisa dibilang proyek balas dendam.
Balas dendam karena naskahku sebelumnya ditolak oleh si ibu editor. Aku terpukul banget waktu itu—yah, sindrom penulis baru. Si editor bilang, plotnya datar dan nggak Indonesia (naskah yang ditolak itu, judulnya Loving Days, memang ceritanya ber-setting Jepang dan tokohnya orang sana semua). Setelah seminggu nggak menyentuh komputer sama sekali. Di hari kedelapan, aku memberanikan diri buat menulis lagi, tapi kali ini dengan kemarahan besar. “Ibu pengen novel rasa Indonesia, aku kasih novel Indonesia!” Novel dendam itu aku tulis selama satu minggu (swear to God) dan, yep, beberapa bulan kemudian diputuskan terbit oleh editor yang sama.

P.S. You still can smell the anger in the book. Haha!

Booster menulis kamu yang paling ampuh itu apa?
Lagu bagus dan istirahat yang cukup. Kalau kepala penuh dan emosi lagi nggak terkendali, biasanya aku memilih buat meninggalkan tulisanku dan tidur. Sejauh ini, yang seperti ini selalu manjur buatku.

Btw, sempat ngintip livetweet kamu dengan GagasMedia beberapa hari yang lalu, katanya kamu mengharamkan menulis fiksi dari pengalaman pribadi, kenapa?
Raditya Dika bisa menulis banyak buku berdasarkan dari kesehariannya, buku yang kemudian dikenal dengan genre personal literature. Tapi aku menulis fiksi, yang seperti teman-teman tahu juga, sangat bergantung pada konflik. Udah gitu, nulisnya romance lagi. Seumur hidup, berapa kali sih aku bakal ngalamin cinta segitiga? Berapa kali sih aku bakal terjebak di lift dengan seseorang yang kemudian jadi pacar? Dan aku juga nggak pengen berhenti menulis hanya karena nggak ada pengalaman menarik terjadi lagi dalam hidup aku.
Selain itu, aku berkaca pada penulis yang aku kenal selama bekerja. Penulis yang novelnya berdasarkan kisah nyata biasanya punya kecenderungan sulit diedit. Satu, logika penulisnya kadang-kadang harus ‘berantem’ dengan logika dia sebagai tokoh di cerita itu. Jadi, ugh, kalau diminta mengubah bagian tertentu dalam novelnya yang dianggap kurang logis, si penulis tambeng banget bilang nggak mau diubah. “Memang kejadiannya begitu!” atau “Aku ngerasainnya kayak gitu, Bang.”
I don’t want to be that kind of writer. Saat menulis, editor dalam diriku harus di-non aktifkan. Jadi, saat novel selesai, aku yakin pasti akan ada kesalahan-kesalahan yang selalu aku ingatkan jangan dilakukan ke penulis-penulis yang naskahnya aku edit.

Kalau fiksi kamu bukan berasal dari pengalaman pribadi, lantas sumber inspirasinya dari mana? Dan apa saran kamu untuk mengembangkan ide hingga bisa diolah menjadi sebuah novel utuh?
Aku selalu membayangkan naskah yang sedang kukerjakan itu adalah debutku. Sebisa mungkin aku nggak menggampangkan proses menulisku hanya karena ini novel kesekian. Jadi aku riset, banyak membaca buku (biasanya non fiksi) dan majalah.

Apa suka dukanya menjadi editor? Lalu, pengalaman sebagai editor mempengaruhi kamu sebagai novelis tidak? Dalam hal apa?
Suka: I can read a lot. Dan aku selalu bisa belajar sesuatu yang baru dari naskah-naskah yang pernah diedit. Duka: kalau berurusan dengan penulis yang minderan. Lebih parah lagi kalau baru dapat catatan dari editor, langsung menyerah dan merasa tidak berbakat menulis. Hadoh! Kerjaan dobel deh, sebagai editor plus motivator. :)
Hanya karena menulis lah, aku bisa ngotot bilang writer’s block itu bullshit. Yang ada hanya malas dan senang menunda-nuda pekerjaan. Jadi kalau ada penulis yang ‘nakal’, telat mengirimkan revisi misalnya, daripada bertanya, ‘Jadi kapan bisa selesainya?’ aku milih bertanya, ‘Masalahnya di mana? Bukannya waktu itu, catatan revisi yang dikasih itu masuk kategori revisi minor semua? Nggak sampai mengubah plot kan, bla, bla, bla....’ Eh, itu malah jadi editor judes ya. Hahahaha...!

Sebagai editor, bagaimana kamu memilah antara naskah yang bagus dengan yang tidak? Apa kamu memberi catatan khusus bagi naskah yang ditolak?
Yang ini hanya contoh dari sekian banyak tipe penyaringan yang aku dan teman-teman editor lainnya lakukan: Kalau sedang rajin, aku mendata setiap konflik dan sub konflik ceritanya dalam satu atau dua halaman notesku. Memastikan konsistensi penulis dengan konfliknya. Soalnya ada tipe naskah yang punya ending palsu. Maksudnya, di awal pembaca disajikan cerita tentang konflik cinta yang nggak direstui orangtua. Nah ya, ternyata—entah karena si penulis mulai capek atau memang clueless tentang cara membuat ending naskahnya sendiri—novelnya ditutup dengan peristiwa dramatis: sakit/kecelakaan/ke luar negeri, dan sebagainya. Ada juga tipe deus ex machina; tiba-tiba muncul tokoh atau situasi tertentu yang langsung membereskan masalah. Masih banyak sih jenis kasus naskah yang kemudian diputuskan untuk dikembalikan. Bisa pegel nih nanti ngetiknya. :)
Ada 13 poin penilaian yang bisa dilihat di surat pengembalian naskah. Biasanya disertakan bersama naskah itu. Jadi, penulis bisa melihat kekurangan tulisannya di mana aja.

Nasehat atau kata-kata bijak terbaik apa yang menjadi acuanmu saat kamu masih menjadi penulis pemula yang terus menguatkan kamu sehingga berhasil menjadi penulis mapan sekarang ini?
Kalau kamu menulis naskah kamu dengan niat baik, pembaca kamu bakal merasakan hal yang sama juga.’ (nasihat dari salah satu guru menulisku)
Dan ini memang benar banget. Aku jenis orang yang ilfil banget sama kecenderungan dongeng zaman dulu yang ‘maksa’ harus ada nilai-nilai moral yang harus disertakan dalam ceritanya. Pembaca sekarang mah pintar-pintar, nggak perlu digurui. Dan lagi, kalau mereka memang butuh belajar, pembaca akan memilih membeli buku non fiksi aja.
Jadi, sebagai penulis, aku harus memberi apa yang mereka mau. Aku menghibur mereka dengan tulisanku—dan kalau mereka bisa memetik pelajaran dari situ, itu bonus buatku. That’s all.

Apakah kamu mempunyai target dalam satu tahun harus menghasilkan
satu novel misalnya?
Di dunia ideal di kepalaku sih iya, minimal satu per tahun. Tapi, kenyataannya jarang dipenuhi, hehe.

Kamu kan ikut Nanowrimo, apa manfaat Nanowrimo bagi kamu, adakah novel yg berhasil diselesaikan melalui ikut event tersebut?
Mungkin ini kedengarannya bullshit banget, tapi aku merindukan masa-masa waktu pertama kali jadi penulis novel. Masih ada yang mau jadi teman diskusi, bertukar ide yang kadang absurd dan tolol. Kalau sekarang? Beuh. :(
Makanya, aku butuh Nanowrimo. Aku butuh merasa seperti penulis nobody yang pertama kali menulis. Aku butuh merasa bodoh jadi bisa belajar lebih banyak. Aku butuh tolol-tololan dengan sesama penulis, jadi ada pemicu buat ide bagus untuk novel baru. Di Nanowrimo, aku bisa mendapatkan itu semua. Plus, aku juga punya kesempatan berkenalan dengan sesama penulis yang berasal dari luar negeri. Fun banget dah pokoknya.

Apa pendapatmu tentang penerbitan indie sekarang ini dan bagaimana dunia tulis-menulis ke depannya nanti sehubungan dengan semakin terbukanya kesempatan untuk menerbitkan buku secara mandiri?
I’m not against it. Bahkan aku selalu kagum dengan penulis yang bernyali besar menerbitkan naskahnya sendiri. Tapi, yang aku sayangkan, nggak sedikit penulis yang mengira persoalan buku itu hanya di bagian menerbitkannya saja. Kalau memutuskan untuk menerbitkan naskah sendiri, kamu harus menyiapkan juga elemen lain yang ada di penerbit:
1)      Editor. Minimal, critique group lah. Soalnya, bagus/nggaknya naskah itu bukan hanya karena bersih typo, tapi juga logika bercerita, konsistensi karakter, dan sebagainya.
2)      Tim produksi yang profesional. Cover itu satu elemen penting yang menentukan nasib novel di pasaran. Pastikan dikerjakan orang yang berpengalaman. Layout dalam juga.
3)      Jalur distribusi dan penyebaran produk. Semakin besar investasi kamu di bagian ini, semakin luas penyebaran buku kamu di Indonesia.
4)      Rencana promosi yang jelas. Apalagi kalau kamu penulis baru.
5)      Modal ekstra untuk reprint/cetak ulang. Nggak sekali-dua kali aku mendengar cerita tentang buku bagus yang akhirnya tenggelam di pasaran hanya karena si penerbit indie kekurangan biaya untuk mencetak ulang buku tersebut.

Satu pertanyaan penting tentang promosi buku setelah terbit, ada tips and triknya nggak?
Di zaman sekarang, semua penulis wajib punya akun Facebook dan Twitter. Manfaatkan dengan baik dan sebisa mungkin menjalin hubungan yang sehat dengan pembaca. Aktif di komunitas menulis juga ada baiknya. Nggak harus karena butuh promo buku, tapi juga untuk memperluas pergaulan di industri ini. Dan pikirkan rencana buku berikutnya—ini tips wajib buat penulis pemula. Ibarat artis figuran, kamu gampang terlupakan. Jadi karyamu harus sering-sering muncul di toko buku sampai target pembaca kamu aware sama kamu.

Tentang e-book, menurut kamu nih, khusus di Indonesia ya, prospek e-book bagaimana?
Potensial, tapi menurut aku pribadi, baru benar-benar happening tiga-empat tahun ke depan. Membaca e-book butuh effort lebih sih. Harus punya tablet atau produk sejenis Kindle. Kalau nggak punya, minimal PC/laptop deh. Effort lebih berkorelasi dengan extra cost.
Jadi, sementara ini, orang-orang masih lebih nyaman membaca dengan gaya tradisional: dengan buku di kedua tangan. :)

Good Fight, novel terbaru Christian Simamora, diterbitkan oleh GagasMedia. Buru deh buruuu..... :)
 

Demikian hasil wawancara Kampung Fiksi dengan penulis muda berbakat ini. Hello? Masih nafas, kan? Hihihihihi... Mudah-mudahan kalian tertular semangat dan hasrat Christian yang menggebu-gebu itu dan membuatnya sebagai modal untuk berkarya, ya! 

-WK-

Hai hai semuanya...

Setelah 29 hari di Februari berhujankan kata-kata indah dari #cecintaan, kami para penjaga di Kampung Fiksi dimabukkan dengan kurang lebih 200 cerita-cerita indah yang menggores hati. Dengan suka hati kami ungkapkan kegembiraan kami atas antusias kalian dalam partisipasinya di event #cecintaan ini. Namun dengan berat hati pula kami harus mengambil 29 yang terpilih. Sungguh sulit memang menentukan yang harus kami ambil diantara sekian banyak cerpen-cerpen terbaik. Namun pilihan tetap harus dijatuhkan. Dan... inilah 29 cerpen yang terpilih tersebut.
1.      Betis Indah sang Lelaki - Enno Indri
2.      Aku dan Galang - Wahyu Antari
3.      Cinta, Cerita dan Berita - April Tupai
4.      Tiga Gelas O – Maria Ch
5.      Including... You: Cinta Ungu Dungu di Cafe Daun - Sandra Palupi
6.      Devadasi - Enno Indri
7.      Nada dan Warna - Yunita Handayani
8.      Coklat Dari Rico  - Shatikah Fianti
9.      Pria Tak Sempurna  -  Andi Ukka
10.  Banta - Haya Nufus
11.  Trauma Cinta, Tragedi Hati - Citra Rizka
12.  I Miss You - Ayu Insafi
13.  Kirana - Sandra Olivia
14.  Mencintaimu - Dian Mariani
15.  Sister Morphin - Ayu Welirang
16.  Suami - Arini Giska Safitri
17.  Sebuah Awal - Suri Nathalia
18.  Kamu Memang Luar Biasa - Lelly Dwi Ambarini
19.  Cinta Tersembunyi - Nurul Fadilah
20.  Hujan Senja yang Berlalu - Rido Arbain
21.  Cokelat dan Cinta - Odet Rahmawati
22.  Ada Kamu dan Secangkir Caffé Latte - Ririn Tagalu
23.  Di Depan Meja Kopi  - Erlinda Sukmasari Wasito
24.  Pauline - Nastiti Denny
25.  Pulang - Surya Dewandari
26.  Cokelat Untuk Cinta - Fanny YS
27.  Jejak yang terhapuskan - Lina KS
28.  Love Like Killer - Adeliany Azfar
29.  Tidak Bergerak - Putri Widi Saraswati


Keputusan ini sudah bulat dan tidak dapat diganggu gugat.

Selamat buat kalian yang cerpennya terpilih. Terima kasih sebesar-besarnya buat kalian semua yang sudah mengirimkan cerpen-cerpen terbaiknya. Buat yang belum beruntung, jangan berkecil hati, tetap semangat dan nantikan event-event kami selanjutnya.

Salam Fiksi.






Setelah menunggu-nunggu akhirnya inilah buku-buku dari even bersama Nulis Buku untuk #tribute2Whitney

Buku dua The Greatest Love of All 



Buku pertama The Greatest Love of All




Buku-buku ini bisa dipesan langsung di Nulis Buku dan hasilnya untuk membantu kelangsungan kegiatan Taman Bacaan Mahanani di Kediri.
Selamat membaca dan terima kasih karena sudah membeli ya :)

Hai teman- teman, maaf menunggu lama untuk edisi The Greatest Love of All book 2 ini. Akhirnya kami telah selesai mengedit, menyusun dan akhirnya sukses uploading naskah tersebut ke Nulis Buku. Mohon maaf sekali lagi untuk keterlambatannya ya...

Dan tanpa menunda lebih lama lagi, maka inilah para penulis yang mengisi buku 2:



Sumber Foto
Royalty? Apa itu? Menurut kamus yang terinstal di laptop saya, royalty adalah: a sum of money paid to a patentee for the use of a patent or to an author or composer for each copy of a book sold or for each public performance of a work. Kira-kira terjemahan bebasnya berbunyi: sejumlah uang yang dibayarkan pada pemegang paten atau penulis atau komposer untuk tiap eksemplar buku yang terjual atau untuk tiap penampilan publik atas karyanya.

Hmmm… kalo buku karya kita laris manis sampai ribuan eksemplar, sudah pasti jumlah royalty yang akan kita terima juga banyak. Bisa untuk beli macam-macam, bukan cuma secangkir kopi, tapi bisa dapat semangkuk berlian.

Tapiii… Lho! Belum-belum kok udah tapi dengan triple ‘i’. Iya! Jangan dulu bermimpi. Mari kita belajar menghitung besarnya royalty.

Saya ambil saja dua contoh buku yang pernah dan sedang diterbitkan oleh Kampung Fiksi (KF).

Yang pertama Kumcer bertajuk ‘24 Senarai Kisah dari Kampung Fiksi’. Buku ini biaya produksinya Rp 33 ribu per eksemplar. Dijual seharga Rp 45 ribu. Jadi ada selisih harga Rp 12 ribu. Karena kumcer ini dijual langsung oleh KF, maka selisih harga itu semua masuk ke kas KF. Bila keuntungan sebesar Rp 12 ribu per buku itu diberikan pada semua penulis KF (8 orang), maka masing-masing kebagian sebesar Rp 12.000/8 = Rp 1.500 per buku. Jumlah itu bisa dianggap royalty.

Nah! Kalau buku cuma laku 100 eksemplar, penulis cuma dapat Rp 150.000. Kalau 1.000 eksemplar? Tinggal dikalikan saja. Tapi pastinya belum bisa untuk jalan-jalan ke Eropa, lhaaa… wong cuma Rp 1,5 juta. Padahal, untuk buku label indie seperti karya KF ini, untuk bisa laku 1.000 eksemplar itu beraaat… sekali! Butuh berbulan-bulan dengan promosi sana-sini.

Yang kedua, buku kumpulan cerpen bertajuk ‘The Greatest Love of All’ - yang masih hangat, sebab baru saja keluar dari percetakan. Buku ini berisi cerpen-cerpen yang terilhami oleh lagu-lagu yang dinyanyikan mendiang Whitney Houston. Buku ini (saya sebut Buku Whitney) merupakan kerja bareng antara KF, Nulisbuku dan para kontributor yang mengirimkan tulisan.

Karena dicetak lewat Nulisbuku, biaya produksi Buku Whitney ini mengikuti aturan Nulisbuku yang berlaku untuk semua buku yang dicetak dan diterbitkan di sana. Hitung-hitungannya kira-kira begini:

Harga jual minimal yg ditetapkan oleh Nulisbuku adalah Rp. 33.000.
Jumlah halaman buku minimal 100 (tdk termasuk cover buku), dengan base price (kertas HVS, harga percetakan per 100 halaman) Rp 17.500.
Jadi, bila tebal Buku Whitney 200 halaman, biaya cetaknya sebesar Rp 35,000. Kalau harga jualnya Rp 50.000, maka pendapatan bersihnya: Rp 50.000 – Rp 35.000 = Rp 15.000.

Nulisbuku mengambil 40% dari keuntungan bersih tersebut, yaitu Rp 6.000. Sisanya 60% adalah royalti pengarang/penulis, sebesar Rp 9.000.
Kalau jumlah penulisnya 10 orang (dalam satu buku), maka masing-masing penulis mendapat Rp 900. Kalau jumlah penulisnya 20 orang, masing-masing mendapat Rp 450.

Sekarang bisa dihitung sendiri. Kalau Buku Whitney ini laku sampai 100 eksemplar, akan ada total royalty Rp 9.000 x 100 = Rp 900.000. Jadi masing-masing penulis berhak atas Rp 900.000/20 = Rp 45.000.

Kalau laku 100 biji penulis cuma dapat royalty empat puluh lima ribu rupiah? Lho...? Kok cuma segitu? Ya… begitulah kalau kita menulis keroyokan dalam satu buku.

Khusus untuk Buku Whitney ini, royalty akan dihibahkan ke Taman Baca Mahanani. Semakin banyak terjual, maka semakin banyak pula dana yang diterima oleh TB Mahanani.

Selain Buku Whitney, KF juga menerbitkan buku kumcer bertema cecintaan. Buku ini rencananya juga akan diterbitkan lewat Nulisbuku. Tentu saja, urusan royalty bagi para peserta yang cerpennya lolos seleksi tidak beda dengan perhitungan di atas.

Dari hitung-hitungan ini, kita bisa tahu, royalty baru akan berarti kalau buku kita terjual ribuan eksemplar. Kalau baru laku di bawah 300 biji… yaaa… royaltinya cuma segitu-itu… belum cukup untuk beli laptop baru. Namun bila yang sedikit itu dihibahkan, pasti nilainya akan jauh lebih besar. Atau bila kita rajin menerbitkan buku, seperti petatah-petitih itu… yang sedikit pun suatu saat bisa membukit…

***

Dear pembaca blog tersayang,

Setelah berturut-turut even January 50K, lalu disusul dengan even Cecintaan serta Tribute to Whitney di bulan February...maka bulan Maret ini kami memutuskan untuk rehat. Selain akan menggunakan waktu di bulan Maret ini untuk menyusun naskah Tribute to Whitney. Juga kami akan melakukan seleksi untuk naskah-naskah yang mengikuti even Cecintaan. Maka untuk mengisi blog, kami berencana untuk mengadakan interview dengan para penulis.

Yang pertama mengisi blog Kampung Fiksi ini adalah penulis wanita cantik (ehm) bernama Arini Suryokusumo.

Arini lahir di Bogor tanggal 12 November 1969. Ia kuliah di Jurusan Sastra Inggris program D3 dan Kriminologi S1 Universitas Indonesia,lalu melanjutkan kuliahnya di bidang TV,Video, dan News Media di UCLA. Tulisan-tulisan Arini berupa cerpen dan novelet dimuat di berbagai majalah remaja seperti HAI dan Gadis sejak tahun 1988. Sejak tahun 1989, empat novel karyanya diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama.

Tanpa menunda lagi, yuk kita mulai aja interview dengan Arini :)





Hai semua,

Bulan Februari sudah lewat. Itu artinya kami sudah tidak menerima lagi naskah dengan tema #cecintaan. Bagi yang sudah mengirimkan naskahnya, kami ucapkan terima kasih banyak untuk partisipasinya. Kami sangat gembira melihat tingginya minat teman-teman dalam mengirimkan karya-karya terbaiknya. Kampung Fiksi kebanjiran cerpen-cerpen indah lho.

Seperti sudah disampaikan pada tulisan sebelumnya, bahwa naskah yang masuk akan melalui proses pemilihan. Nantinya akan dipilih 29 cerpen untuk dijadikan buku antologi.  Mohon sabar menunggu konfirmasi dari kami ya.

Mengenai royalti dari buku ini, kami akan bicarakan secara khusus dengan penulis yang nantinya terpilih tulisannya. Jadi, yang ini harap bersabar juga ya.

Sekali lagi terima kasih untuk semuanya.

Terima kasih dan selamat tinggal Februari dengan segala cintanya.

Selamat datang Maret dengan segala keceriaannya.