Membaca hasil wawancara Kampung Fiksi dengan Christian Simamora, saya seperti diajak aerobik non-stop sampai kalimat terakhir. Entah berapa kali saya menarik nafas dan menahannya karena terbawa oleh sebuah hasrat yang seolah menarik saya masuk ke dalam topik yang sedang dibahasnya. Ini tidak berlebihan. Saya benar-benar bisa merasakan passion yang sedang dibagi oleh penulis kelahiran Jakarta, 9 Juni 1983 ini.
Untuk yang belum mengenal Christian Simamora, karena satu dan lain hal, mungkin Shit Happens, Boylicious dan Macarin Anjing will ring a bell. Itu adalah beberapa judul novel yang ditulis oleh Christian dan pada masanya menghiasi rak-rak buku laris di toko buku seluruh Indonesia. Masih belum ngeh juga? Try this; Pillow Talk! Boleh dibilang, novel ini adalah masterpiece dari Christian. Novel ini bahkan berhak mendapat title Book of The Year 2010 dari GagasMedia. Kalau masih belum ngeh juga, mungkin sudah waktunya kamu main-main ke toko buku, karena menemukan buku-buku karya penulis muda ini mudah sekali. Hampir semua karyanya terletak manis di rak bagian depan. Bulan Maret ini Christian meluncurkan novel ke-8 berjudul Good Fight. Menurut beberapa resensi, novel ini sepertinya akan menggeser kedudukan Pillow Talk yang booming itu. Uh, jadi nggak sabar, mau beli. :)
Kampung Fiksi beruntung berhasil "menangkap" Christian di Facebook dan mengajaknya untuk berbagi tentang dunia menulis fiksi yang sudah digelutinya selama beberapa tahun ini. Saya kagum akan besarnya keinginan berbagi dari Christian yang tersirat dari caranya menjawab pertanyaan-pertanyaan via e-mail dari Kampung Fiksi. Bayangkan, dari daftar pertanyaan yang lumayan panjang, Christian menjawabnya dengan cepat dan lengkap dengan penjelasan yang lebih panjang lagi. Luar biasa.
Dan, ini adalah hasil wawancara Kampung Fiksi dengan Christian Simamora. Siap-siap tahan nafas, ya!
Sejak usia berapa Christian mulai menulis?
Suka menulis sih sejak kecil, ‘terbakar’ hobi Mama yang setiap tahunnya membuat puisinya sendiri untuk dibacakan saat acara gereja. Tapi baru mulai menulis novel saat tahun terakhir di bangku kuliah. Around 22 years old, I guess.
Apa yang membuat kamu memutuskan untuk terjun ke dunia kepenulisan
sampai hari ini?
sampai hari ini?
Motif pertama, karena skripsi bermasalah waktu itu dan harus punya kesibukan alternatif supaya bisa tetap waras, hehe. Tapi setelah itu, aku menulis karena ternyata adiktif banget. Naskah kesekian selesai, sudah panas ingin cepat-cepat membuat plot untuk naskah baru. :)
Siapa penulis idola kamu? Apa yang membuat mereka layak kamu jadikan idola?
Aku selalu sebutin nama mereka bertiga dalam buku maupun wawancara. My writing muse: Johanna Lindsey, Candace Bushnell, dan Meg Cabot. Johanna Lindsey karena kemampuannya menulis novel dengan latar belakang dan setting apa pun. Penjara pun bisa jadi tempat yang romantis kalau Johanna yang menuliskan ceritanya. Candace Bushnell membuka mata aku soal tema-tema urban tapi tetap terasa membumi. Aku pernah mencoba membandingkan dengan novelis bergenre sama—say, Penny Vincenzi atau Lauren Weisberger—tetap saja ujung-ujungnya hanya tulisan Candace yang bikin aku jatuh cinta. Sedangkan Meg Cabot, karena dia menginspirasi aku untuk menulis dengan tema sederhana. Dulu, aku mengira roman itu harus ditulis dengan gaya sensasional—tambahkan plot dendam keluarga, penyakit, sengketa harta, dan lain-lain—yang aku temukan di karya penulis-penulis lokal terkenal di masa itu. Tapi setelah membaca novel Meg Cabot, The Princess Diaries, aku sadar kalau romance bisa ditulis dengan tema sederhana. Nggak perlu bumbu-bumbu sub konflik yang ribet.
Ada nggak gaya menulis penulis terkenal yang mempengaruhi gaya menulis kamu?
Berhubung sekarang sudah novel kedelapan, kayaknya nggak lucu sampai sekarang masih ‘terinspirasi’ gaya tulisan orang lain. Tapi harus aku akui, taste tulisan aku yang sekarang memang dipengaruhi oleh hal-hal yang aku sukai selama ini. I’m a sucker for romantic comedy. Jadi, film, novel, bahkan lagu, memiliki pengaruh kuat dengan rasa tulisanku selama ini.
Untuk setiap novel kamu, tahapan yang pasti selalu kamu lalui itu apa aja, sih? Kalau ada perbedaan proses di tiap novel, menurut kamu novel yang mana yang "eugh" banget prosesnya? Maksudnya, yang bener-bener bikin kamu kelimpungan...:)
Simpelnya: tema besar -> riset -> plotting -> mulai menulis.
Mungkin nggak sampai ‘eugh’, tapi challenging: Shit Happens. Novel yang aku tulis berdua dengan Mbak Windy. Kenapa challenging? Karena aku udah menulis beberapa buku sebelum proyek Shit Happens ini. Sudah punya ritual menulis sendiri, gaya menulis sendiri, dsb. Nah, saat menulis tandem kan semua itu verboden banget. Tantangan menulis tandem adalah kesadaran untuk menulis bersama dan menciptakan aura seolah-olah itu tulisan satu orang. Jadi ya, aku si penulis yang biasa egois ini harus BANYAK menyesuaikan diri dengan partner menulisku itu. Ada berantem-berantemnya tentu. Tapi di situ letak serunya. Saat draft Shit Happens selesai di-print, kami berpelukan bareng dan menangis terharu. Lebay memang, tapi justru itu yang bikin Shit Happens berkesan buatku.
Gaya menulis kamu kan cenderung ringan, mengalir dan ceplas-ceplos di beberapa novel kamu seperti Pillow Talk dll, apa kamu pernah mencoba menulis dengan gaya lain?
Untuk menjawab ini, lihat aja Taylor Momsen. Waktu aktif season-season awal Gossip Girl, Taylor dikenal sebagai tipe all-American-Girl—sweet dan feminin. Tapi setelah menjadi vokalis Pretty Reckless, Taylor mengubah abis-abisan citranya sebagai cewek nakal dengan dandanan goth yang seksi.
Gaya menulis ibaratnya seperti si Taylor Momsen. Mengubah gaya menulis otomatis mengubah lingkaran pertemanan, opini publik, dan lain-lain. Aku harus mulai dari awal, meyakinkan ke pembaca kalau gaya menulis yang baru ini memang lebih baik. Dan itu belum termasuk kemungkinan ternyata gaya ini gagal membuat pembaca terkesan.
Jadi, seperti yang seharusnya stylist-nya Taylor bilang ke kliennya itu, “Stop playing with your look, Girl. Stick to one style that defines you, then try to look better everyday”, aku sih merasa nggak perlu lah mengubah gaya menulis. Menulis lebih baik aja dengan signature writing style-ku, sambil tetap menantang diri untuk mencoba tema-tema baru.
Sudah ada 8 novel kamu yang terbit, dari yang 8 itu, ada nggak yang paling istimewa? Kenapa?
Pillow Talk. Karena setelah menulis novel itu aku memutuskan untuk serius di genre mainstream romance. So, adieu teenage novel. :’)
Cerita dong, bagaimana perjuangan kamu saat menulis dan menerbitkan novel Jangan Bilang Siapa-siapa, novel pertama kamu?
Novel itu sebenarnya bisa dibilang proyek balas dendam.
Balas dendam karena naskahku sebelumnya ditolak oleh si ibu editor. Aku terpukul banget waktu itu—yah, sindrom penulis baru. Si editor bilang, plotnya datar dan nggak Indonesia (naskah yang ditolak itu, judulnya Loving Days, memang ceritanya ber-setting Jepang dan tokohnya orang sana semua). Setelah seminggu nggak menyentuh komputer sama sekali. Di hari kedelapan, aku memberanikan diri buat menulis lagi, tapi kali ini dengan kemarahan besar. “Ibu pengen novel rasa Indonesia, aku kasih novel Indonesia!” Novel dendam itu aku tulis selama satu minggu (swear to God) dan, yep, beberapa bulan kemudian diputuskan terbit oleh editor yang sama.
P.S. You still can smell the anger in the book. Haha!
Booster menulis kamu yang paling ampuh itu apa?
Lagu bagus dan istirahat yang cukup. Kalau kepala penuh dan emosi lagi nggak terkendali, biasanya aku memilih buat meninggalkan tulisanku dan tidur. Sejauh ini, yang seperti ini selalu manjur buatku.
Btw, sempat ngintip livetweet kamu dengan GagasMedia beberapa hari yang lalu, katanya kamu mengharamkan menulis fiksi dari pengalaman pribadi, kenapa?
Raditya Dika bisa menulis banyak buku berdasarkan dari kesehariannya, buku yang kemudian dikenal dengan genre personal literature. Tapi aku menulis fiksi, yang seperti teman-teman tahu juga, sangat bergantung pada konflik. Udah gitu, nulisnya romance lagi. Seumur hidup, berapa kali sih aku bakal ngalamin cinta segitiga? Berapa kali sih aku bakal terjebak di lift dengan seseorang yang kemudian jadi pacar? Dan aku juga nggak pengen berhenti menulis hanya karena nggak ada pengalaman menarik terjadi lagi dalam hidup aku.
Selain itu, aku berkaca pada penulis yang aku kenal selama bekerja. Penulis yang novelnya berdasarkan kisah nyata biasanya punya kecenderungan sulit diedit. Satu, logika penulisnya kadang-kadang harus ‘berantem’ dengan logika dia sebagai tokoh di cerita itu. Jadi, ugh, kalau diminta mengubah bagian tertentu dalam novelnya yang dianggap kurang logis, si penulis tambeng banget bilang nggak mau diubah. “Memang kejadiannya begitu!” atau “Aku ngerasainnya kayak gitu, Bang.”
I don’t want to be that kind of writer. Saat menulis, editor dalam diriku harus di-non aktifkan. Jadi, saat novel selesai, aku yakin pasti akan ada kesalahan-kesalahan yang selalu aku ingatkan jangan dilakukan ke penulis-penulis yang naskahnya aku edit.
Kalau fiksi kamu bukan berasal dari pengalaman pribadi, lantas sumber inspirasinya dari mana? Dan apa saran kamu untuk mengembangkan ide hingga bisa diolah menjadi sebuah novel utuh?
Aku selalu membayangkan naskah yang sedang kukerjakan itu adalah debutku. Sebisa mungkin aku nggak menggampangkan proses menulisku hanya karena ini novel kesekian. Jadi aku riset, banyak membaca buku (biasanya non fiksi) dan majalah.
Apa suka dukanya menjadi editor? Lalu, pengalaman sebagai editor mempengaruhi kamu sebagai novelis tidak? Dalam hal apa?
Suka: I can read a lot. Dan aku selalu bisa belajar sesuatu yang baru dari naskah-naskah yang pernah diedit. Duka: kalau berurusan dengan penulis yang minderan. Lebih parah lagi kalau baru dapat catatan dari editor, langsung menyerah dan merasa tidak berbakat menulis. Hadoh! Kerjaan dobel deh, sebagai editor plus motivator. :)
Hanya karena menulis lah, aku bisa ngotot bilang writer’s block itu bullshit. Yang ada hanya malas dan senang menunda-nuda pekerjaan. Jadi kalau ada penulis yang ‘nakal’, telat mengirimkan revisi misalnya, daripada bertanya, ‘Jadi kapan bisa selesainya?’ aku milih bertanya, ‘Masalahnya di mana? Bukannya waktu itu, catatan revisi yang dikasih itu masuk kategori revisi minor semua? Nggak sampai mengubah plot kan, bla, bla, bla....’ Eh, itu malah jadi editor judes ya. Hahahaha...!
Sebagai editor, bagaimana kamu memilah antara naskah yang bagus dengan yang tidak? Apa kamu memberi catatan khusus bagi naskah yang ditolak?
Yang ini hanya contoh dari sekian banyak tipe penyaringan yang aku dan teman-teman editor lainnya lakukan: Kalau sedang rajin, aku mendata setiap konflik dan sub konflik ceritanya dalam satu atau dua halaman notesku. Memastikan konsistensi penulis dengan konfliknya. Soalnya ada tipe naskah yang punya ending palsu. Maksudnya, di awal pembaca disajikan cerita tentang konflik cinta yang nggak direstui orangtua. Nah ya, ternyata—entah karena si penulis mulai capek atau memang clueless tentang cara membuat ending naskahnya sendiri—novelnya ditutup dengan peristiwa dramatis: sakit/kecelakaan/ke luar negeri, dan sebagainya. Ada juga tipe deus ex machina; tiba-tiba muncul tokoh atau situasi tertentu yang langsung membereskan masalah. Masih banyak sih jenis kasus naskah yang kemudian diputuskan untuk dikembalikan. Bisa pegel nih nanti ngetiknya. :)
Ada 13 poin penilaian yang bisa dilihat di surat pengembalian naskah. Biasanya disertakan bersama naskah itu. Jadi, penulis bisa melihat kekurangan tulisannya di mana aja.
Nasehat atau kata-kata bijak terbaik apa yang menjadi acuanmu saat kamu masih menjadi penulis pemula yang terus menguatkan kamu sehingga berhasil menjadi penulis mapan sekarang ini?
‘Kalau kamu menulis naskah kamu dengan niat baik, pembaca kamu bakal merasakan hal yang sama juga.’ (nasihat dari salah satu guru menulisku)
Dan ini memang benar banget. Aku jenis orang yang ilfil banget sama kecenderungan dongeng zaman dulu yang ‘maksa’ harus ada nilai-nilai moral yang harus disertakan dalam ceritanya. Pembaca sekarang mah pintar-pintar, nggak perlu digurui. Dan lagi, kalau mereka memang butuh belajar, pembaca akan memilih membeli buku non fiksi aja.
Jadi, sebagai penulis, aku harus memberi apa yang mereka mau. Aku menghibur mereka dengan tulisanku—dan kalau mereka bisa memetik pelajaran dari situ, itu bonus buatku. That’s all.
Apakah kamu mempunyai target dalam satu tahun harus menghasilkan
satu novel misalnya?
satu novel misalnya?
Di dunia ideal di kepalaku sih iya, minimal satu per tahun. Tapi, kenyataannya jarang dipenuhi, hehe.
Kamu kan ikut Nanowrimo, apa manfaat Nanowrimo bagi kamu, adakah novel yg berhasil diselesaikan melalui ikut event tersebut?
Mungkin ini kedengarannya bullshit banget, tapi aku merindukan masa-masa waktu pertama kali jadi penulis novel. Masih ada yang mau jadi teman diskusi, bertukar ide yang kadang absurd dan tolol. Kalau sekarang? Beuh. :(
Makanya, aku butuh Nanowrimo. Aku butuh merasa seperti penulis nobody yang pertama kali menulis. Aku butuh merasa bodoh jadi bisa belajar lebih banyak. Aku butuh tolol-tololan dengan sesama penulis, jadi ada pemicu buat ide bagus untuk novel baru. Di Nanowrimo, aku bisa mendapatkan itu semua. Plus, aku juga punya kesempatan berkenalan dengan sesama penulis yang berasal dari luar negeri. Fun banget dah pokoknya.
Apa pendapatmu tentang penerbitan indie sekarang ini dan bagaimana dunia tulis-menulis ke depannya nanti sehubungan dengan semakin terbukanya kesempatan untuk menerbitkan buku secara mandiri?
I’m not against it. Bahkan aku selalu kagum dengan penulis yang bernyali besar menerbitkan naskahnya sendiri. Tapi, yang aku sayangkan, nggak sedikit penulis yang mengira persoalan buku itu hanya di bagian menerbitkannya saja. Kalau memutuskan untuk menerbitkan naskah sendiri, kamu harus menyiapkan juga elemen lain yang ada di penerbit:
1) Editor. Minimal, critique group lah. Soalnya, bagus/nggaknya naskah itu bukan hanya karena bersih typo, tapi juga logika bercerita, konsistensi karakter, dan sebagainya.
2) Tim produksi yang profesional. Cover itu satu elemen penting yang menentukan nasib novel di pasaran. Pastikan dikerjakan orang yang berpengalaman. Layout dalam juga.
3) Jalur distribusi dan penyebaran produk. Semakin besar investasi kamu di bagian ini, semakin luas penyebaran buku kamu di Indonesia.
4) Rencana promosi yang jelas. Apalagi kalau kamu penulis baru.
5) Modal ekstra untuk reprint/cetak ulang. Nggak sekali-dua kali aku mendengar cerita tentang buku bagus yang akhirnya tenggelam di pasaran hanya karena si penerbit indie kekurangan biaya untuk mencetak ulang buku tersebut.
Satu pertanyaan penting tentang promosi buku setelah terbit, ada tips and triknya nggak?
Di zaman sekarang, semua penulis wajib punya akun Facebook dan Twitter. Manfaatkan dengan baik dan sebisa mungkin menjalin hubungan yang sehat dengan pembaca. Aktif di komunitas menulis juga ada baiknya. Nggak harus karena butuh promo buku, tapi juga untuk memperluas pergaulan di industri ini. Dan pikirkan rencana buku berikutnya—ini tips wajib buat penulis pemula. Ibarat artis figuran, kamu gampang terlupakan. Jadi karyamu harus sering-sering muncul di toko buku sampai target pembaca kamu aware sama kamu.
Tentang e-book, menurut kamu nih, khusus di Indonesia ya, prospek e-book bagaimana?
Potensial, tapi menurut aku pribadi, baru benar-benar happening tiga-empat tahun ke depan. Membaca e-book butuh effort lebih sih. Harus punya tablet atau produk sejenis Kindle. Kalau nggak punya, minimal PC/laptop deh. Effort lebih berkorelasi dengan extra cost.
Jadi, sementara ini, orang-orang masih lebih nyaman membaca dengan gaya tradisional: dengan buku di kedua tangan. :)
Good Fight, novel terbaru Christian Simamora, diterbitkan oleh GagasMedia. Buru deh buruuu..... :) |
Demikian hasil wawancara Kampung Fiksi dengan penulis muda berbakat ini. Hello? Masih nafas, kan? Hihihihihi... Mudah-mudahan kalian tertular semangat dan hasrat Christian yang menggebu-gebu itu dan membuatnya sebagai modal untuk berkarya, ya!
-WK-
-WK-