Perempuan Pengikat Pagi

Dalam senyap Malam merangkak menjauhi Bulan, mendekati Mentari bersamaan dengan gegas langkah seorang perempuan yang menyelinap di balik bayangan. Mata perempuan itu sendu menatap wajah gulita Sang Malam. Begitu takutnya perempuan itu pada terang hari hingga ia menangkapi pagi dan mengikatnya, lalu menyembunyikan mereka di dalam gua.

“Aku harus cepat.” Bisik perempuan itu sambil mendongak memandangi langit. Tangan kanannya menggenggam kantung dan seutas tali. Di sepanjang jalan terlihat lampu-lampu yang hening dalam keremangan. Kaki-kakinya kecil dan pucat, dengan cepat menapaki rerumputan, menerobos alang-alang dan menembus hutan.

“Ah. Aku tepat waktu.” Bibirnya membentuk senyuman yang menyimpan pilu. Dipandanginya batu besar di ujung hutan. Dengan sigap ia melompat dan secepat kilat tangan-tangan kurusnya menangkap kuncup-kuncup Pagi yang bersiap-siap hendak mekar.


“Jangaaaaan!” Teriak embun-embun berbarengan. “Jangan lagi kau tangkap Pagi.” Para embun memohon belas kasihan. “Kami ingin terbang bersama Mentari. Kami kedinginan di dedaunan yang mulai layu ini,” ucap Bening, sebutir embun yang membelai-belai kaki-kaki perempuan itu. “Lepaskanlah…,” pinta Bening sekali lagi.

Namun perempuan itu tak peduli. Tanpa sepotong kata terucap dari bibirnya yang terkatup rapat, perempuan itu lalu mengikat erat Sang Pagi.
“Satu lagi pagi berhasil kuikat kini,” desisnya sambil memasukkan sebatang pagi ke dalam kantung. Ia melangkah menuju gua untuk menyembunyikan batang pagi yang baru ditangkapnya, disatukan dengan ratusan pagi yang telah ia tangkap sebelumnya.

Perempuan itu tersenyum, Sang Mentari lagi-lagi gagal meniti hari. Hatinya senang karena ia bisa kembali tidur, meneruskan merajut mimpi dalam kepekatan dingin malam. Sendirian.

***

“Teman-teman, kita harus melakukan sesuatu.” Seekor burung hantu membuka pertemuan yang dihadiri para binatang malam ketika Malam masih teramat muda. “Kita harus cepat mendahului perempuan itu. Kita sudah kehilangan ratusan pagi,” tambahnya.
“Namun kaki-kakinya yang pucat itu bisa melangkah sangat cepat,” sergah seekor kelelawar.
“Ya. Ia berjalan bagai terbang. Lebih cepat dari elang,” sambut seekor ular.
“Kalau begitu kita harus berangkat sekarang, sebelum perempuan itu bangun. Kita akan menunggunya di batu besar di ujung hutan. Saat ia datang kita menyergapnya bersama-sama dan mengikat kakinya agar ia tak bisa melompat,” usul si burung hantu.
“Ya. Aku lelah sekali. Sudah lama aku tidak bisa tidur gara-gara pagi selalu diikat olehnya,” gerutu kelawar.
“Aku pun ingin segera menghuni tubuh baruku,” seekor ulat yang kegemukan ikut bicara. Sepasang mata bulatnya menerawang menembus malam membayangkan dirinya bisa segera menjadi kupu-kupu bila pagi-pagi yang diikat perempuan itu bisa terselamatkan. “Ini demi kebaikan perempuan itu juga, bukan?” lanjutnya.
“Ya, tentu saja. Kalau kita bisa menghentikannya menangkapi pagi, ia juga akan terselamatkan. Sang Hari akan membuat tubuhnya sehat dan segar. Kalian lihat bukan? Tubuhnya kian pucat, lemah dan kurus saja. Ia sudah terlalu lama tenggelam dalam kekelaman mimpinya,” papar seekor lipan yang merangkak keluar dari liangnya.
“Ayolah, kawan. Tunggu apalagi. Malam makin cepat berjalan, jangan sampai kita ketinggalan. Perempuan itu sebentar lagi bangun.” Burung hantu membuka sayapnya.

Serombongan binatang malam itu beriringan. Mereka merambah ilalang dan melewati hutan.
“Cepat! Cepat!” Teriak seekor serigala dari belakang. Nafasnya terengah tak beraturan. “Perempuan itu sudah bangun! Perempuan itu sedang menyiapkan kantung dan mengambil tali di gudang. Ia akan mendahului kita sebentar lagi.” Serigala melolong panjang sekali.

Para binatang malam itu belingsatan. Mereka khawatir sekali. Kini mereka berlari tunggang langgang agar tidak tersusul oleh Sang Perempuan.
“Wahai para binatang. Hati-hatilah kalian. Ia cepat dan lincah sekali.” Para embun memperingatkan mereka.
“Semoga kalian berhasil mencegahnya.” Sejuk, sebutir embun yang bergelayut di selembar daun mawar mendoakan mereka. “Aku ingin segera terbang bersama Mentari. Tidakkah engkau demikian, Bening?” Dalam gelap Sejuk mengerling pada temannya.
Bening hanya tersenyum tanpa suara, berusaha bersabar walau tubuhnya telah pegal karena sudah terlalu lama hanya rebahan di rerumputan.

***

Baju hitam Malam tampak semakin kelam. Para binatang telah meringkuk dalam-dalam di bawah batu besar tempat perempuan itu biasa melompat untuk menangkapi pagi.
“Ssssttt.... Dia datang. Dia datang,” bisik burung hantu sambil bersiap-siap menjerat kaki-kaki pucat si perempuan yang melangkah sangat cepat mendekati bongkahan batu besar.

“Akhirnya…,” perempuan itu mendesah lega karena ia sekali lagi tiba lebih dulu dari Malam. Sebelum melompat, pelan-pelan ia letakkan kantung di atas batu besar.

Tanpa disangka seekor ular menyambar tali dari genggamannya. Serentak para burung hantu kuat-kuat mengepakkan sayap mereka, merobohkan tubuhnya yang kurus. Lalu para kelelawar mengikat dua kaki perempuan itu dengan tali.

“Horeee…! Horeee…!” Para embun berteriak kegirangan. Mereka bertepuk tangan.

Sementara itu di langit terlihat Pagi tersenyum menggantikan Malam seiring dengan rona Mentari yang merekah menyambut hari. Sinarnya yang gemerlap menyeruak menembus gelapnya hutan. Seketika itu pula, ratusan kuncup-kuncup pagi yang tersekap di dalam gua terbebaskan dan bermekaran.

Kilau cahaya Pagi yang berhasil terbit itu membelai tubuh kurus Sang Perempuan yang menggeliat enggan. Ia picingkan sepasang matanya yang berhari-hari pudar, lalu menongak ke kiri dan ke kanan. “Oh…, pagi datang…, pagi datang….”
“Wahai para binatang malam, untuk apa Pagi kau bebaskan?” Tanya perempuan itu agak kesal.
“Kami membutuhkan pagi-pagi itu agar dunia bisa berputar, agar benih-benih tersemaikan, agar bunga-bunga mengembang,” sahut Si Ulat yang ikut-ikutan menggeliat. “Akupun ingin menjadi kupu-kupu, agar cantik sepertimu,” tukasnya dengan malu-malu.

“Ya, benar. Kamu harus meninggalkan mimpi-mimpi hitammu dan melihat indahnya warna-warni Siang. Percayalah, engkau akan menemukan kebahagiaan.”

Perempuan itu merenungkan kata-kata para binatang malam yang memandanginya lekat-lekat di antara cahaya Pagi yang mulai menerangi hutan. Pelan-pelan ia lepaskan tali yang melilit kedua kakinya. Kemudian kaki-kaki pucat itu ia gerak-gerakkan. Ia bangkit dibantu oleh sepasang tangannya yang bertumpu pada rerumputan. Malu-malu wajahnya ia tengadahkan. Berangsur-angsur tubuhnya terasa segar disusul oleh semburat merah muda pada sepasang pipinya yang kembali merasakan hangat Mentari.

Para binatang malam merasa lega dan mengucap syukur.
"Aku ingin pulang dan istirahat sepanjang hari,” kata seekor burung hantu. Ia terbang diikuti teman-temannya.
“Aku juga harus kembali ke dalam gua sebelum hari makin terang,” kelelawar berpamitan pada ular yang diam-diam menyelusup masuk hutan.
“Selamat istirahat, kawan-kawan,” ucap para embun penuh rasa terima kasih. “Pagi kembali datang. Kami akan terbang. Indah sekali pagi ini. Kami ingin menari.” Dengan riang embun-embun beterbangan menembus awan lalu hilang dari pandangan. Bebungaan bermekaran menebar wangi ke seluruh penjuru hutan.

12 comments:

  1. Ini dulu pernah diposting di kompasiana kan..? ya kan..? ya kan..? ya kan..? Waktu itu merapi hampir adem.

    ReplyDelete
  2. Mbak Endaahh.. ini ceritanya kereenn! Sukaa bacanyaa! And jadi membayangkan gimana yaa sosok Perempuan Pengikat Pagi itu? Terus kenapa dia begitu membenci Pagi? Ada apa dengan Malam? Ahh.. pasti dia pernah disakiti sedemikian dalamnya oleh sang Pagi!

    *sok tau mode is on, ahahaha :p*

    Sering2 bikin yang model gini yaa, Mbak Endah ;)

    ReplyDelete
  3. @Naim: bener, ini pernah ditayangkan di tempat lain. Lupa, kapan, kayaknya malah sebelum Merapi ya :-)

    @Indah: naaaaaahhh... Indah, G dan Meli sukanya yang seperti ini. Tapi saya justru kurang begitu 'enjoy' nulisnya wuahahahahahaaa... kapan2 aja ya. Rasanya lucu aja nulis cerita seperti ini, kalau baca kan beda ya. Waktu nulisnya itu lho... pengin ketawa-tawa

    @Mbak Ella Nina: makasih ya. Senang kalau ada yang suka :)

    ReplyDelete
  4. Iyyyy yang ini saya ingat bangetttt...Kerennn!!!

    ReplyDelete
  5. Oh lala .. Mbak Endah, ini indah sekali ;-)

    ReplyDelete
  6. Hhahahhaa... pembacanya semua ingat cerita ini, soalnya memang cerita ini sangat mengesankan, tapi penulisnya sendiri ga suka bikin kisah kayak gini. Saya ngakak abis2an baca para komentaor dan komentar penulisnya sendiri. Ini baru bener2 lucu, hahahaaaaaa...

    ReplyDelete
  7. gak suka bikin seperti ini tapi berkesan banget... Gimana kalau bikin cerita yang disukai ya? hehehehe

    ReplyDelete
  8. Hmmm... saya juga pengen jadi perempuan pengikat pagi, agar selalu bisa merajut mimpi tanpa henti. agar tak pernah kehilangan kerlip bintang gemintang dan bisa terus memandang rembulan malam.

    ReplyDelete
  9. tulisan bunda yang paling jingga suka. seperti G dengan tidak patahnya. kalau lagi bicara tentang bunda pikiran langsung ke Perempuan Pengikat Pagi... ada ketakutan ada trauma pada si perempuan. sembunyi dalam kepompong pagi yg dia pikir akan selalu sejuk... mungkinkah?? ga mungkin... tapi terlalu banyak yg melakukan ini, mungkin juga jingga salah satunya. benar2 sarat filosofi...

    bunda ini kereeeeeeeeeeeeeeeennnn... wkt pertama jingga baca ini di kompasiana, jingga cuma bisa komen kereeeeeeeeeeeeeeeennn...

    ReplyDelete
  10. Aku nggak fokus sama tema, cerita dan tokoh di sini. Bacanya mengalir, ikut semilir alur. Banyak kata yang mendayu-dayu membuat aku ikutan menari, kekiri kekanan, keatas kebawah.

    Seperti mendengar lagu, nggak ngerti liriknya tapi menikmati setiap nada yang menyuara. Harmoni ajaib, memesona.




    "Bebungaan bermekaran menebar wangi ke seluruh penjuru hutan", kalimat paling mantrups itu.


    Salam Sejahtera

    ReplyDelete