Sreeettt…. Sreeettt…. Sreeettt….
Perempuan itu terus menata susunan kertas yang ada di hadapannya.
Pk 07.30 WIB
Mereka duduk berhadapan di meja bundar di sebuah coffee shop.
Sluuurrrppp.
Perempuan itu mengangkat cangkir cappuccino hangatnya.
Huuffhhh...
Mencoba menghela nafas, merapikan blazer hitamnya. Menatap pria beralis tebal yang dari tadi mengucapkan kalimat yang sama sejak sepuluh menit yang lalu.
“Baiklah, apa maumu sekarang? Bukankah semuanya sudah jelas? Sejak dua malam yang lalu dan sejak semalam yang lalu.”
“Mau aku? Aku hanya inginkan kamu….” Kedua mata mereka saling berhadapan, tapi nampaknya ada yang kemudian berganti arah.
Sreeettt…. Sreeettt…. Sreeettt….
Perempuan itu kembali menghadapkan arah pandangnya pada tumpukkan kertas dan memberikan sedikit goresan pulpen pada beberapa lembar kertas.
“Hei! Bisa, gak sih, kamu lepas dari kerjaanmu sejenak?!” Akhirnya sang pria memakai nada tinggi untuk menghentikan pusat perhatian perempuannya yang berlari pada tumpukan kertas.
“Kamu buta, ya?” Perempuan itu menantang dengan sepasang mata coklatnya.
“Maksud kamu?”
“Kamu bilang kalau kamu cuma menginginkan aku. Kamu hanya mengingkan aku tanpa embel-embel kehidupanku.”
“….”
“Yang kamu lihat hanya aku. Yang ada di pikiran kamu hanya ada aku, bukan kehidupan aku seluruhnya dan bukan apa yang ada di sekitarku. Aku ternyata sudah menghalangi pandanganmu, aku sudah membutakanmu. Itu salahku.”
“Aku buta? Nggak…. Aku masih bisa lihat kamu… dan itu yang aku mau.”
Perempuan itu tertawa kecil sambil melihat jam tangan mungilnya. Entahlah, apakah pria itu tahu bahwa lima belas menit lagi perempuan itu harus segera pergi karena ada meeting proyek event besar.
“Yang kamu lihat di depan memang hanya ada aku. Coba kamu menoleh sedikit, di samping kiri aku ada teman-teman kantorku, di samping kananku ada teman-teman SMA ku yang sering ngajak reuni setiap pertengahan tahun, di belakangku ada keluargaku, di samping yang lain ada teman-teman LSM-ku…”
“Lalu aku ada di mana?”
“Kamu?”
Sluuurrrppp….
Perempuan itu menghabiskan minumannya hingga nampak jelas dasar cangkir putih itu. Membuka lipatan tisu yang ada di meja dan perlahan menyeka noda coklat tanpa merusak lukisan lipstick merahnya.
“Kamu ada di sini…,” katanya sambil meletakkan tangan kanannya di sebelah dada kirinya sambil tersenyum.
“….” Pria yang dua tahun lebih tua darinya itu tertawa meremehkan. Seolah-olah tidak percaya.
“Bullshit!” Singkat dan jelas kalimat itu menunjukkan ketidakpercayaan sang pria atas senyuman perempuannya. Tidak berpikir bahwa senyuman itu adalah senyuman tulus, apa adanya.
“Hei! Maksudmu?”
“Jelas, aku iri dengan mereka yang ada di sekitarmu. Kamu bisa bergerak bebas dengan mereka. Sedangkan aku? Aku hanya berada di dalam ruangan sempit, di dalam dirimu…. Terkungkung dalam jantung hatimu.”
“Wahai priaku, kamu salah besar. Justru karena kamu berada di dalam jantungku, maka kemanapun aku pergi, kamu akan selalu ada di dalam diriku. Meskipun aku bergerak bebas menyapa mereka yang ada di sekitarku, kamu akan tetap tinggal di dalam diriku. Bukan terkungkung, tapi kamu akan tinggal dengan nyaman di sini. Empat bilik jantungku ini milik kamu. Ruang tamu kamu, ruang tidur kamu, kamar mandi kamu dan ruang kerja kamu. Jantung ini, sama dengan apartemen mungilmu yang ada di dalam diriku. Aku bernyawa karena kamu. Karna nyawaku ini pula, maka aku bisa menyapa mereka yang ada di sekitarku..”
“Bahasamu terlalu sastra, wahai perempuanku. Terlalu berkonotasi. Terlalu banyak personifikasi dan metafora. Bahkan, hiperbola.”
“OK. Aku gak punya banyak waktu untuk berdebat. Aku harus kembali berlari menyapa salah satu dari mereka.” Perempuan itu terburu-buru memasukkan tumpukan kertas ke dalam map besarnya. Beranjak berdiri dari kursi.
“There’s always no time for me, wahai Vredenia Lingga….” Kalimat pria itu sempat menghentikan gerak tangan Lingga yang merapikan kursi. Lingga terdiam sejenak, meski dia sudah cukup sering mendengar kalimat itu dari prianya selama 3 tahun ini. Sama seperti mengingat nama sendiri, kalimat tersebut sudah ia hapal sampai ke intonasi pengucapannya.
“Don’t you know? I always think about you, but unfortunately, you don’t, wahai Erik Pratama….”
***
Dddrrrttt…. Dddrrrttt….
Handphone yang ia genggam tiba-tiba bergetar di sela-sela mendengarkan presentasi klien.
Sebuah sms masuk.
“OK, Vredenia Lingga.
This is the end of our story.
I can’t stand your time coz I haven’t got your time for 3 years.
Sekarang aku kemasi barang-barangku dan pergi dari apartemen mungilmu.
Sorry, I don’t call you coz I know you can’t answer my phone. Take care.”
***
Sumber gambar: www.tarbiyah-dzatiyah.blogspot.com
Kontributor Tamu:
Cecilia Gandes
Saya memiliki kesenangan dalam menulis setelah saya memiliki kesenangan dalam membaca. Saya bukan penulis handal, saya hanya mengeksplorasi kesenangan menulis ini di berbagai media, e-book, webblog, catatan di jejaring sosial, dan media hidup lainnya. Kini buku bukanlah menjadi media satu-satunya untuk membuktikan suatu karya. Terimakasih untuk kampungfiksi yang telah menambah ruang alternatif saya untuk menulis.
Silahkan kunjungi ruang saya yang lain di http://www.dipewein.wordpress. com
Salam menulis! :)
Silahkan kunjungi ruang saya yang lain di http://www.dipewein.wordpress.
Salam menulis! :)
well, it's kinda sad story then...hiks...koq harus pisah sih...
ReplyDeletewah,kok pisah.hiks.salam kenal,klu ada waktu maen2 ya keblog ane
ReplyDelete@eka lianawati
ReplyDeletehehe.. iya, mungkin itu bagian "happy ending" yang sebenarnya.. :p
Trims sudah menikmatinya..
@i-one
salam kenal juga.. sipp, ane bakal mampir, gan! :)
benar juga, perpisahan justru itu jalan terbaik dan bahkan bisa berbahagia....
ReplyDeletesuka sama kalimat ini :
ReplyDeleteWahai priaku, kamu salah besar. Justru karena kamu berada di dalam jantungku, maka kemanapun aku pergi, kamu akan selalu ada di dalam diriku.
keren nih cerpen.. :)
"Percayalah, Empat Bilik Jantung Ini Milikmu" gak ada t4 tuk orang lain donk? Mantap deh d^^b
ReplyDelete