Tembak Di Tempat 10

Bagian 10 

Rangon, 8 Agustus 1988. 

Jerit-pekik histeria massa mengoyak-moyak langit kota Rangon, mengguncang singgasana pemerintahan Jenderal Ne Win. Ratusan ribu orang itu menuntut restorasi pemerintahan yang demokratis. Thaung Myat, anak lelaki 8 tahun, meraung-raung di sisi tubuh ayahnya yang bersimbah darah. Pinggang guru matematika di sebuah SMA itu tertembus pelor. Untung tiga orang muridnya segera menolong, membopongnya menuju Rumah Sakit Umum Rangon. Diiringi teriakan-teriakan lantang para demonstran, kaki-kaki kecil Thaung Myat mengekor langkah lebar mereka.

Thaung Myat tak tahu sudah berapa lama dirinya terisak-isak di dekat tubuh ayahnya yang tergolek di atas ranjang rumah sakit. Punggungnya berjingkat ketika sepasang lengan memeluknya dari belakang. Lengan ibunya. Isakan Thaung Myat berubah tangisan. Sang ibu menurunkan adiknya dari gendongan.

“Kamu anak pemberani, Thaung…” bisiknya, “shhh… shhh… berhenti menangis… lihat adikmu tidak menangis…” tangan ibunya mengelus rambut tipis adik perempuannya, “kamu sudah besar, bisa menolong ayahmu…” Perempuan berlongyi ungu itu merentangkan dua lengannya, meraup dua anaknya ke dalam pelukan.

Begitu anak lelakinya berhenti menangis, ia berdiri, mengelus wajah pucat sang suami yang masih tertidur. Selimut berbercak darah di sana-sini menutupi tubuh kurus lelaki itu hingga ke dada. Pelan-pelan selimut ia singkapkan, melihat balutan dari pinggang hingga ke perutnya. Ia bersyukur suaminya selamat dari tembakan. Matanya berpindah-pindah dari suaminya, dua anaknya, dan puluhan pasien lain di bangsal itu.

Nasib baik ayah Thaung Myat hanya berlangsung tak lebih dari dua malam. Pada 10 Agustus, di saat matahari sedang garang membakar kulit para demonstran yang menyemut di seluruh penjuru kota Rangon, sekelompok serdadu menyerbu rumah sakit itu. Sejumlah dokter dan perawat terbunuh sebelum sempat menyelamatkan pasien. Sang guru beserta istri dan anak perempuannya mati tertembak tanpa sempat berteriak. Saat itu sepasang tangan kokoh berkulit gelap milik pemuda keturunan India menarik tubuh kurus Thaung Myat. Anak lelaki itu selamat.

Sang penyelamat, mahasiswa Universitas Rangon keturunan India bernama Sunil Rangan, membawa Thaung Myat ke rumah yang ia sewa bersama tiga mahasiswa lain. Ia memutuskan merawat Thaung Myat, berbagi dipan dan makanan.

Sunil tak gentar akan apapun meski beberapa temannya terbunuh dalam rangkaian aksi protes. Pada 17 Maret 1988, ia juga berhasil lolos dari maut saat 40-an mahasiswa dijejalkan ke dalam sebuah van oleh polisi; sementara tiga temannya mati kehabisan oksigen.

Bila Sunil senggang, Thaung Myat belajar bersamanya: matematika, sejarah dan bahasa Inggris. Tak seperti ayahnya, Thaung Myat lebih suka ilmu sejarah. Sunil rajin mencari buku-buku sejarah untuk dibaca bersama anak asuhnya itu.

Di pertengahan 1989, bersama organisasi-organisasi gerakan mahasiswa pro demokrasi, Sunil membantu partai National League for Democracy berkampanye, bersiap menghadapi pemilu yang dijanjikan pada Mei 1990. Selepas Aung San Suu Kyi dikenai tahanan rumah, Sunil makin sering menitipkan Thaung Myat pada teman-temannya. Ia harus pergi ke pelosok-pelosok.

Di sebuah pagi berhujan, di bulan September, lelaki berambut ikal bertubuh gagah itu mengajak Thaung Myat ke Pagoda Sule, di pusat kota Rangon, menghadiri rapat para aktivis dari berbagai organisasi. Menjelang tengah hari hujan kembali mengguyur kota. Sunil keluar dari gerbang pagoda namun Thaung Myat tak terlihat bersamanya. Anak lelaki itu ia titipkan pada sahabat ayahnya, pengurus masjid jami Bengali Sunni yang terletak berseberangan dengan pagoda.

Sahabat ayah Sunil menamai anak lelaki itu Thaung Rangan, untuk membedakan dari anak lelaki bernama sama yang dipercayakan padanya oleh orang lain. Thaung Myat tak keberatan. Ia menganggap Sunil pahlawan.

Beberapa bulan kemudian, selepas pelaksanaan pemilu yang hasilnya dicurangi oleh junta militer, seorang jurnalis Amerika bernama Arianne Sanders menginjakkan kakinya di Rangon. Tiga minggu berikutnya sang suami, Larry, menyusulnya. Tidak jelas bagaimana prosesnya dan siapa saja yang membantu, suami istri itu terbang pulang ke negerinya dengan membawa anak lelaki berusia 10 tahun. Si anak lalu dikenal orang sebagai Thaung Rangan Sanders.

Setelah menjalani home schooling selama setahun Thaung Rangan Sanders terdaftar sebagai murid resmi di sebuah sekolah dasar di kota Baltimore. Di sana ia hidup bahagia bersama orang tua angkat yang menyayanginya.

** 

“Dia anak yang cerdas dan berkemauan keras. Selama setahun berikutnya ia terus menjalani home shooling di malam hari, untuk mengejar ketinggalannya,” Arianne mengakhiri cerita. Matanya menyorot lembut ke lantai parket, seolah melihat sosok Tong Rang kecil bermain-main di situ.

Aku, Tim, dan Rudi duduk diam sejak sejam lalu, khusyuk menyimak penuturan Arianne. Bersama suaminya, Larry, ia datang ke Bangkok dari Singapur, untuk mencari tahu nasib anak angkatnya. Tim menelponnya dalam perjalanan kami kembali ke Bangkok dari Sangkhlaburi; juga seseorang yang disuruh Tong Rang untuk menghubungi mereka bila ia celaka.

Mereka tinggal di rumah teman selama berada di Bangkok. Arianne mengajak kami bergabung di situ. Kulihat ada banyak kamar di rumah besar dan mewah ini. Namun Tim menolak tawaran itu dengan halus.

Tim memutuskan dua hari ini kami libur. Banyak hal harus kami urus sehubungan dengan Tong Rang. Tadi pagi berita pengeboman itu muncul di Bangkok Post, namun tidak ada informasi mengenai pelaku. Dikabarkan seorang kolonel dan 3 serdadu Burma tertembak mati dan beberapa korban lain terluka. Bagi khalayak, peristiwa itu hanya satu dari puluhan insiden yang kerap meletus di perbatasan.

Luka di tanganku sudah mendapat perawatan terbaik. Aku cuma bisa berharap luka yang cukup dalam ini tidak menyisakan bekas. Aku belum mempelajari rincian asuransi yang selalu menyertai kepergianku ke lapangan, namun Tim meyakinkan kalau aku bisa minta perawatan lanjutan untuk menghilangkan bekas luka.

“Kira-kira apa yang dilakukan Tong Rang di sana?” pertanyaan Tim memecah senyap.

Arianne menarik nafas panjang, menghembuskannya pelan-pelan, menggeleng dua kali. “I wish I knew,” bisiknya. “Setiap kali pergi ke Burma dan Thailand dia selalu menitipkan dokumen pada pengacara Larry. Berpesan untuk menyerahkan dokumen itu pada kami, kalau terjadi sesuatu padanya. Jadi dia pasti sudah merencanakan semuanya sejak lama. Kamu tahu, dia tidak hanya bekerja di proyekmu…” Ia menatap Tim.

“Ya. Aku tahu,” Tim mengangguk. “Aku tahu ia merencanakan sesuatu, tapi sama sekali tidak menduga kalau ia akan menyerang militer Burma. Apa dia punya kegiatan lain yang tidak biasa?”

“Selain rajin ke gym dan renang?” Arianne tergelak pelan, “dia aktif sebagai relawan di sebuah LSM bernama White Tiger. Sudah belasan tahun, sejak SMP. Cabangnya juga ada di Singapur dan Bangkok. Lembaga itu mengurusi pendidikan. Tapi kami sudah menghubungi banyak orang. White Tiger punya misi tersembunyi….” Arianne menatap kami satu persatu.

Mantan jurnalis majalah berita internasional ternama itu pasti punya banyak kontak penting di berbagai negara, termasuk orang-orang yang bergerak di balik layar atau di bawah tanah. Sejak pindah ke Singapur, 10 tahun lalu, perempuan berambut merah sebahu itu memutuskan menjadi penulis freelance, sambil membantu bisnis suaminya di bidang jual-beli barang-barang seni.

Bagiku situasi Tong Rang ini amat rumpil. Jangan-jangan perilaku bocahnya, dandanan menyoloknya, dan komentar-komentar serampangannya itu kedok semata. Namun Tong Rang yang kukenal selama 5 tahun ini lembut hati, bukan orang yang licik apalagi keji.

“Saya membawa fotokopi dokumen itu,” Arianne mengeluarkan sampul coklat dari tas.

“Untuk saya?” Tim memandang sampul coklat itu. Arianne mengangguk. “Apa dokumen ini classified?” tanya Tim, menerima amplop itu.

“Hanya cerita seputar rencananya. Tidak ada nama-nama orang atau lembaga. Itu hanya untuk kalian bertiga. Sehabis dibaca harus dimusnahkan. Dalam amplop aslinya, ada surat khusus untuk kami, menyebutkan satu nama. Larry sedang bersama orang itu. Ia berpesan agar kami tak perlu ke kedutaan kalau tidak dihubungi dulu.”

Kami pamitan. Arianne mengantar kami hingga ke halaman.

“Kalau ada kabar, kalian akan kami hubungi,” ia memeluk kami satu persatu. Air menggenangi mata birunya.

** 

Suatu kebetulan konyol terjadi. Kami bertiga muncul di lobby hotel memakai baju kembaran: jeans dan t-shirt putih dipadu sneakers. Untuk pertama kalinya sejak kembali dari perbatasan kami bisa tertawa terbahak-bahak, membuat tetamu hotel menoleh dan mengamati.

“Saya mau ganti,” ucap Rudi dan Tim berbarengan, siap balik kanan.

“Nggak usah! Biar saja!” cegahku, “kita seperti kakak-adik lain ibu lain ayah.” Tawa kami bertambah keras.

Kami keluar hotel masih dengan sisa tawa, menyeberang jalan menuju restoran India. Seharian kami tidak sempat makan. Malam ini kami sepakat makan bersama untuk mengendurkan ketegangan. Rudi memesan menu untuk bertiga: satu piring besar nasi biryani, dua porsi capati, dua porsi ayam tandoori, satu palak paneer dan satu kari sayuran. Untuk minumannya aku memilih mango lassi, Tim dan Rudi sama-sama memesan bir impor yang botolnya terlihat mewah.

“Dari situsnya, White Tiger itu kelompok anti kekerasan. Lingkup kerjanya internasional. Fokusnya pendidikan. Beasiswa. Konseling. Pelatihan. Semua untuk membantu anak-anak Burma yang baru dipindahkan ke negara-negara ketiga.” Rudi membuka percakapan tentang White Tiger, lembaga tempat Tong Rang menjadi relawan sejak berusia 13 tahun.

Sore tadi kami sama-sama membaca dokumen yang diberikan Arianne. Tong Rang sama sekali tidak menyebut White Tiger dalam dokumen yang ia tulis tangan itu. Tim memintaku mencari informasi online seputar insiden yang melibatkan Tong Rang. Ia bersama Rudi mencari informasi tentang White Tiger. Ia yakin tindakan Tong Rang berkaitan dengan lembaga itu.

“Kantor pusat White Tiger di Zurich. Cabangnya ada di hampir seluruh kota besar dunia, termasuk di Baltimore. Di Indonesia ada di Medan. Mereka menerima dana dari banyak pihak, khususnya orang-orang sukses dan kaya asal Burma yang bermukim di negara lain. Aku menghubungi seseorang di Zurich. Dugaanku benar. Arianne dan Larry pasti juga sudah tahu…” Tim menatap kami bergantian, “White Tiger punya sayap gerakan bawah tanah yang terorganisir namun sulit dibuktikan keberadaannya. Mereka memakai sistem sel, seperti gerakan teroris. Target mereka oknum-oknum militer Burma yang telah membantai keluarga mereka. Balas dendam. Mereka biasa menyewa serdadu bayaran. Pencentusnya seorang bilioner asal Burma yang tinggal di Hong Kong.”

Aku ternganga. Mango lassi yang sudah tersaji tak kusentuh. Rasa takut membuat punggungku membeku. Tak pernah kubayangkan peristiwa semacam ini akan kualami dalam pekerjaanku. Aku cuma perempuan muda yang tak suka duduk di belakang meja, yang berambisi keliling dunia sambil bekerja. Mendatangi tempat-tempat yang dulu hanya kulihat di peta dan bertemu orang yang bercakap dengan bahasa berbeda.

“Aku yakin Tong Rang itu sleeper. Pekerjaannya sering membawanya ke Asia Tenggara, sangat tepat sebagai cover. Lalu ia punya misi sendiri, membunuh orang yang menghabisi orang tua dan adiknya.”

“Masuk akal,” tukas Rudi. “Pasti dia tidak sendiri. Pasti ada orang lain yang ingin balas dendam pada orang yang sama.”

“Apa kita dalam bahaya?” tanyaku.

“I am not sure. We’ve to be careful. Father Sap has called me, said someone's watching our back to keep us safe.”

“Siapa?” aku dan Rudi bersamaan.

“Kita tidak perlu tahu siapa mereka.”

Makanan disajikan. Aroma wangi nasi membelai hidung kami. Tim menepis tangan Rudi yang tak sabar menyambar. Kami makan sambil mengenang kebiasaan Tong Rang. Kesukaannya pada warna-warna menyala. Kecerobohannya yang sering membuat orang jengkel.

“Apa akibatnya untuk proyek kita?” tanyaku.

“Entahlah. Aku akan pasif. Kalau tidak ada yang menghubungi untuk urusan ini aku tidak akan bicara. Direktur sudah kuberi tahu. Ruth Green sedang terbang kemari.” Orang yang disebut Tim adalah Wakil Direktur yang membawahi wilayah Asia Tenggara.

Malam makin tua. Di luar, celoteh wisatawan dalam berbagai bahasa makin ramai.

“Malam ini aku yang bayar, ya?” Rudi memanggil pelayan.

“Bukannya ini giliranku?” tanyaku.

“Ini giliran Rudi,” ujar Tim, “saya perlu membeli sesuatu di 7-11. Ada yang mau titip?” Tim memandangku. Aku menggeleng.

“Naing Naing akan ke hotel sebentar lagi. Ada yang mau ikut menemui?”

Aku kembali menggeleng. Aku ingin segera tidur dan bangun pagi-pagi untuk menelpon Ibu. Sudah tiga hari aku tidak mendengar suaranya. Selain itu semua hal yang masuk ke otakku 24 jam terakhir belum sepenuhnya tercerna.

“Boleh,” jawab Rudi, “aku mau nunggu di situ." Rudi mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celana, menunjuk sidewalk café yang dipenuhi pelanggan, di samping restoran.

Tim mengucap selamat malam sebelum melangkah pergi. Rudi melambaikan tangan. Aku menyeberang jalan, kembali ke hotel, merangkai-rangkai cerita yang akan kusampaikan Ibu esok pagi. Aku tak ingin memberi tahu peristiwa yang kami hadapi di sini.

*** 

3 comments:

  1. Saya ngin belajar menulis dan bercerita, Sepertinya saya sudah berada ditempat yang benar neh. Izin belajar ya pak...

    ReplyDelete
  2. @Muara Fatan: belum, masih panjang :-) ditayangkan tiap Jumat. Terima kasih sdh mengikuti kisah ini :-)
    @Suratniaga: silakan, dengan senang hati. Di blog ini ada 8 orang yg semua perempuan :-) itu fotonya ada di pojok atas kanan :-)

    ReplyDelete