Obituari Jalang #5



Seseorang berinisial SP mengajukan diri untuk menemaniku. Hahaha…laki-laki bodoh! (walaupun dia tidak mengakui kalau dirinya laki-laki. Mungkin dia banci…)
Hari kedua perjalananku. Setelah semalam aku naik bis keluar kota pengap itu, sekarang aku sudah menghadap lautan. Bersiap menaiki sebuah kapal penyeberangan. Kenapa aku memilih jalan yang sulit seperti ini? Padahal naik pesawat aku mampu. Hey, aku sudah mencicipi kesulitan yang lebih parah dari ini. Jadi kuanggap perjalanan ini adalah kenikmatan. Tak ada lagi yang sulit setelah apa yang sudah aku alami selama ini.
Semalam aku sempatkan mampir ke warnet di dekat terminal itu. Terkejut ternyata ada yang menanggapi tulisanku. Untuk apa? Hai, SP! Kalau kamu membaca ini, aku masih tidak bisa menahan geli karena kamu begitu bodoh membuang-buang waktumu untuk membaca blog-ku ini.

Aku menuju barat. Kurang jelas apa? Aku mengejar matahari terbenam. Begitu sederhananya. Untuk apa mengetahui di mana sebenarnya matahari terbenam. Bukankah jawabannya hanya satu? Barat. Ya sudah!
SP, karena kamu sudah membawa-bawa Tuhan ke sini, mari aku beritahu sesuatu padamu. Hanya ada satu ke-Maha-an Tuhan yang aku kagumi selama ini. Dia sungguh Maha Lucu. Harus aku akui itu.
Semalam aku duduk di sebelah seorang lelaki gemuk berbau tengik. Awalnya dia tertidur pulas. Setengah perjalan kemudian dia terbangun dan menatapku dengan penuh nafsu. Heran. Tidak boleh ya, perempuan cantik naik bis tengah malam buta memakai tank-top dan celana jeans ketat? Apa aku harus berpeluh susah memakai jaketku, sedangkan bis itu begitu pengapnya?
Lima belas menit menjelang sampai di pelabuhan ini dia mulai memegang dan mengelus-elus ‘senjata’ andalannya. Tahu kan apa maksudku? Tongkat letoy yang mendadak akan mengacung hanya karena mencium aroma perempuan itu? Hahaha…Kasihan aku padanya. Begitu sulitnyakah mencari kepuasan? Apa kabar istrinya? Frigid? Sedang haid? Masih nifas? Atau istrinya memang menolak untuk bersetubuh dengannya?
Mengingat aku akan menemui matiku sebentar lagi, aku memutuskan untuk menjadi perempuan dermawan dengan memberikan sedikit keahlianku. Tidak susah membuatnya melenguh tertahan di kursi belakang bis itu. Semua orang sedang terlelap. Lampu bis seperti tak berniat memberikan pijar. Hanya keahlian tangan kecil yang sudah aku kuasai sejak aku mengenal laki-laki. Ayahku sendiri yang mengajarinya. Mengarahkankan tanganku ke tempat-tempat yang harus aku sentuh dan tekan dengan berirama agar memberikan kenikmatan untuknya. Ah, itu pelajaran dasar sekali.
Lucu sekali aku melihat mukanya yang memerah menahan gejolak yang hampir meledak itu. Aku tahu pasti dia nyaris berteriak saat dia hampir mendapat apa maunya itu. Tapi aku belum mau berhenti. Sebelum dia puas, lebih baik aku bermain-main dulu dengan si bodoh itu. Kuangkat tank-top hitamku. Gampang saja tangannya mengarah ke sana. Meremas, mencubit, meremas kembali. Aku tidak merasakan apa-apa selain muak. Kubiarkan saja dia bermain-main di sana. Sampai akhirnya matanya dengan memelas memandangku, memohon dan mengemis untuk menuntaskan pekerjaan tanganku yang tertunda itu. Aku tahu sekali, kepalanya pasti sudah hampir pecah menahan luapan di bagian bawah pinggangnya itu. Bis berhenti. Dan aku turun tanpa pamit.
Aku tahu dia berusaha mengejarku. Hahaha…Silahkan kejar. Aku hanya sepertiga ukuran perut buncitnya itu. Mudah saja bagiku menghilang dari hadapannya.
Kalian lihat kan? Tuhan memang Maha Lucu! Masih saja mempertemukan aku dengan orang-orang yang sama persis dengan orang-orang yang sedang aku tinggalkan.
SP, kuharap kamu puas karena pada akhirnya kubawa juga Tuhan ke sini!
oooOOOooo
Satrio duduk diam di depan laptop yang terbuka di hadapannya. Sesuatu sedang dinantinya. Matanya tak beranjak dari layar empat belas inci itu. Rumi mengamatinya dari dapur. Cucian piringnya sudah kelar sejak sepuluh menit yang lalu. Sepuluh menit juga lamanya ia memperhatikan tingkah suaminya itu.
Tidak biasa-biasanya Satrio membawa pekerjaannya pulang ke rumah. Apalagi ini hampir jam sebelas. Satrio selalu masuk kamar sebelum jam kukuk di atas kusen pintu dapur berbunyi sepuluh kali. Sepertinya ada sesuatu yang begitu penting yang tengah dinantinya.
Rumi ingat dua hari yang lalu Satrio pulang pagi. Jam dua pagi tepatnya. Tepat waktu sebelum ibu benar-benar akan anfal karena sesak nafas akibat mengkhawatirkan putra mahkotanya yang tak kunjung pulang.
Rumi ingat dua hari yang lalu Satrio tidak menjawab puluhan telpon darinya. Sia-sia dia menuruti permintaan ibu tiap lima menit sekali untuk menghubunginya. Tak ada satu pun yang dijawab oleh Satrio.
Dan Rumi ingat, sejak hari itu Satrio mulai tampak selalu terpaku di depan laptopnya itu. Seperti ada sesuatu yang ditunggu-tunggunya dengan gelisah.
Rumi bukan istri yang ingin tahu. Bukanlah berarti dia tak peduli pada suaminya. Hanya saja dia merasa tidak akan punya andil andainya pun dia tahu apa masalah pekerjaan yang kini tengah dihadapi Satrio.
Tak sadar diletakkannya piring yang baru dikeringkannya itu dengan sedikit keras. Bunyinya sempat membuat Satrio terhenyak dari lamunannya. Ditatapnya Rumi sedemikian rupa. Seolah mengatakan 'jangan ganggu aku'. Tatapan yang sudah biasa diterimanya selama ini.
''Aku mau mengantar ibu ke Rumah Sakit besok untuk periksa jalan, mas.''
Satrio menganggukkan kepalanya. Tidak menoleh, apalagi menjawab.
Rutin setiap bulan ibu harus ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatannya pada Dokter Purnomo. Dan selalunya Rumi yang mengantarnya. Dokter Purnomo hanya berpraktek di hari dan jam kerja. Jarang sekali Satrio bisa ikut mengantar ibu. Apalagi sejak mereka menikah. Semua urusan ibu sudah ditangani dengan baik oleh Rumi.
''Mas masih belum tidur? Aku masuk duluan, ya?''
Satrio kembali menganggukkan kepalanya. Tidak menoleh, apalagi menjawab. Sudah biasa seperti itu. Kalau tidak dia, ya istrinya yang akan masuk ke kamar terlebih dahulu. Tak pernah sekalipun mereka masuk ke dalam kamar itu bersama-sama dan bergandengan tangan dengan mesra.
Pemandangan romantis yang kerap dilihat Rumi dalam sinetron-sinetron yang ditontonnya selama ini tampaknya memang hanya rekayasa si penulis skenario sinetron itu. Tak pernah terjadi dalam kehidupan nyata. Tidak pernah terjadi dalam hidupnya.
Rumi menelan ludah getir. Seperti biasa. Kadang dia bertanya pada dirinya, sampai kapan bisa bertahan dalam keadaan seperti ini. Meragukan kemampuannya dalam menghadapi cobaan hidup. Namun dia selalu berhasil menepis keraguan itu dengan sebuah kekuatan yang sejak dulu bercokol dalam dirinya. Hidupnya yang selalu keras sejak kecil adalah sumber kekuatan itu. Rasanya tak ada yang bisa menandingi kekuatan hatinya untuk keluar dari segala kemelaratan yang kenyang sudah ditelannya selama ini.
Kadang Rumi bertanya pada dirinya, sampai kapan dia bisa bertahan hidup tanpa cinta? Sesulit apapun hidupnya dulu, cinta paman dan bibinya selalu siap hadir untuknya. Dan sampai disitu Rumi pun pasrah tak punya jawaban. Ya, sampai kapan dia bisa bertahan menanti cinta dari orang yang tidak mencintainya?
BERSAMBUNG

2 comments: