Puisi-Puisi Annisa Rangkuti

Bukan (Pe)lacur


Lelaki malam pulang

Tapi dia bukan (pe)lacur, hanya petarung

Dihisapnya batangan tembakau

Asap dikepul-kepul berbentuk “O” berderet-deret

Makin lama makin kecil

Sekecil harapannya untuk kembali

Pulang ke nikmat peraduan bambu beralas lusuh tikar berbau

Diimajikannya perempuan itu

Perempuan itu juga bukan (pe)lacur, hanya pemulung

Kerjanya memulung cinta

Tapi tunggu…sekali lagi, dia bukan (pe)lacur


***


Cinta yang hampir usang berbalut benci

Pada sang lelaki

Meraba hatinya, cinta yang didapat

Meraba bibir, pipi dan tubuhnya, benci yang didapat

Lalu harus bagaimana lagi?

Lelaki itu petarung yang berselubung cundang

Takut pada hidupnya sendiri tapi pura-pura perkasa di depan perempuannya

Perempuan yang dinikahinya tanpa buku kecil bersampul merah dan hijau

Hanya selembar uang lima puluh ribu

Dengan juru nikah tua yang tak mampu lagi berjalan lurus


***


Keduanya adalah lelaki dan perempuan malam

Bertarung, memulung harapan

Untuk nyawa yang hendak disambung esok


Namun sekali lagi

Lelaki dan perempuan itu bukan (pe)lacur


***




Cinta yang Terdiam


Cinta dapat membuat hatimu demikian buta

Tak peduli sedalam apa sakit yang kau rasa

Selalu saja bias-bias bahagia dan menggetarkan

saat mereguk nikmatnya cinta hadir membasuh luka

Tak peduli apakah cinta itu

pada akhirnya akan menjadi milikmu atau tidak

speechless...the silent love (buzznet.com)

speechless…the silent love (buzznet.com)

Ia akan tetap hadir dalam relung-relung mimpimu

Bersembunyi dalam ruang hati yang terdalam

Menyinari langkah-langkah panjang hidupmu diam-diam

Hingga saatnya tiba baginya untuk hadir kembali dengan keajaiban

Anugerah dari Sang Maha Pemilik Cinta

(setelah Januari 2009)


***



Sajak Kosong


Sajak kita

Terabai di langit-langit rindu

Tak lekang…tak jua pupus

Haruskah terus merindu?

***

Setetes demi setetes aroma cinta

Gaungkan dengung indah mahakarya

Lagumu, laguku

Lagu kita

***

Tapi itu dulu, sayangku

Tak lagi ini waktu

Cinta, rindu…terbang

Ke batas awang-awang


Bukan lagi milik kita

Bukan lagi rindu kita

Sunyi kini

Segala meredup, memupus, terhapus

Tak lagi berbekas

***

“Mungkin ini petunjukNya,” katamu

“Mungkin ini anugerahNya,” kataku

***

Mungkin kita sedang bercengkerama

Dengan dusta…

Yang tersisip di celah-celah hati kita

Menolak nyata yang begitu saja terpapar

Tanpa mampu kita peluk bersama

***

* Semoga tak lagi pernah singgah

Manakala jiwa kosong

Bagaimanapun ini bukan kesejatian

Hanya angan-angan kosong

***

6 comments:

  1. Hai Nis..Tengkyu ya sudah berpartisiapsi...kirim lagi yah nanti..

    Hemm, puisi yg bermakna

    ReplyDelete
  2. Hei, ini keren sekali, Nisa. Puisi yang dihadirkan seperti monolog yang berpadu, saling mengait dan bercerita.

    Saya terutama suka yang pertama. Idenya keren!Saya jadi seperti membaca sebuah cerpen yang disajikan dengan kalimat-kalimat liris yang puitis dan ringkas.

    Kirim lagi dong... :)

    ReplyDelete
  3. bu dokter kalau berpuisi bikin mimin merinding ... :)
    interesting :)

    ReplyDelete
  4. hihihi...aku baru tauuuu kalo puisiku udah publiiisshh...hiks..maaf yaa baru bales komennyaa...

    @admin kampung fiksi: thanks yaa mbak admin..masih terus belajar bikin puisi.. ;-)

    @chalinopita: hehehe...makasih mbak sariii...tapi ini udah akhir juni.. :-(

    @Meli: hwaduh...dibilang keren ama penari kata Meli..makasih Meeelll... :-D ini sebenarnya ga diniatkan saling berkait, tapi emang rasanya jadi berkait ya? :-)

    @ggeldresma: hehehe...bacanya siang2 ato malem2? :-D makasih mbak Mimuutt.. :-)

    @Idea: semanis mbak Deasy ya? hehe...makasih mbak.. :-)

    ReplyDelete