Tembak Di Tempat 1

Bagian 1


Ban Mae Camp, January 4, 2010 

Yth. Mr. Rosenberg 
di Washington, D.C. 

Selamat Tahun Baru 2010. Semoga keluarga Anda terberkati pada musim dingin yang menurut berita kali ini banyak membawa badai ke wilayah Pantai Timur Amerika. 

Dengan duka yang mendalam saya kabarkan bahwa salah satu anggota Badan Pengawas Komite Pengungsi Karen (KPK), Mr. Aung Tin Nyein, meninggal dunia pada 4 November 2009. Sebagai Sekretaris Komite saya ditugaskan oleh Ketua Komite untuk menyampaikan kabar duka ini kepada Anda. Menurut beliau Anda adalah salah satu sahabat terbaiknya yang tak henti-henti berjuang menolong para pengungsi. 

Selain kabar duka ini, saya mewakili KPK dan seluruh pengungsi yang kami naungi hendak mengabarkan bahwa kami baru saja menerima informasi yang tidak kalah menyedihkan. Lembaga-lembaga donor yang selama ini mendukung kami akan mengurangi bantuan mulai tahun 2010 karena banyaknya bencana alam di berbagai negara. Kami memahami situasi ini. Sebagai orang-orang terbuang, kami hanya bisa mengirim doa pada para korban. Andai kami mampu tentu kami akan bergegas membantu meringankan penderitaan mereka. 

Kondisi tersebut telah kami bahas dalam pertemuan tahunan KPK yang berlangsung dengan sukses dua minggu lalu. Kami berharap keputusan-keputusan itu cukup realistis untuk dilaksanakan dan dapat memuaskan semua pihak. 

Sehubungan dengan surat Anda yang kami terima beberapa hari lalu, yang mengabarkan bahwa Anda akan bertugas kembali di perbatasan Thai – Burma, bersama ini saya lampirkan Laporan Tahunan KPK serta Newsletter KPK edisi Desember 2009. Semoga laporan tersebut dapat membantu melancarkan tugas Anda. 

Kami sangat berharap agar muhibah Anda kali ini sukses serta memberi manfaat bagi kami para pengungsi, sebagaimana kunjungan Anda di tahun-tahun sebelumnya. 

Terimalah hormat kami, 
Naw Bwe Htwe 
Sekertaris KPK 

Sekali lagi Timothy Rosenberg membaca surat yang baru saja masuk ke inbox-nya. Lelaki itu bangkit dari kursi yang sudah 2 jam ia duduki, menghidupkan printer untuk mencetak surat elektronik itu beserta lampirannya. Jemari tangannya ia selipkan di sela-sela rambut lurusnya yang berwarna auburn, coklat kemerahan.

Kabar kematian Aung Tin Nyein sebenarnya telah ia terima dua minggu lalu dari salah satu temannya yang bermukim di Chiang Mai. Di antara rasa sedih karena kehilangan sahabat, ada sedikit beban terangkat dari hatinya. Penyakit paru-paru sudah lama menggerogoti tubuh lelaki Burma itu. Kalau bukan karena semangat membara untuk memberi kehidupan baru pada para pengungsi, tubuhnya pasti sudah menyerah pada penyakitnya bertahun-tahun lalu.

Tim mulai berteman dengan Aung Tin Nyein saat pertama menjejakkan kaki di kamp pengungsi Ban Mae, sebuah kamp di barat laut perbatasan Thai-Burma, kira-kira 7 jam bermobil dari Chiang Mai. Saat itu, awal 2005, Ban Mae merupakan salah satu dari sembilan kamp dengan jumlah pengungsi paling banyak. Sekitar 40 ribu pengungsi resmi tercatat memadati perkampungan seluas tak lebih dari 5 km2 itu; jumlah pengungsi tak tercatat kurang lebih sama. Sungguh bukan tempat untuk hidup layak sebagai manusia.

Menatap lembaran kertas satu persatu keluar dari printer di atas meja kayu oak peninggalan neneknya, terbayang lagi awal perjumpaannya dengan lelaki yang usianya terhenti pada angka 65 itu. Dalam balutan longyi coklat tua motif kotak-kotak kecil, dan sepotong kemeja coklat yang tiga nomer terlalu besar untuknya, lelaki itu menyalami Tim. Tubuh tingginya terlihat makin gagah berhadapan dengan tubuh Aung Tin Nyein yang pendek kerempeng. Kemeja putih bersih membalut tubuh Tim, dipadu celana katun kualitas terbaik yang masih menguarkan aroma softener. Kakinya terlindungi sepatu boot coklat. Saat berjabat tangan kulit keriput Aung Tin Nyein bersentuhan dengan kulit kecoklatan sehat cemerlang. Sebuah pemandangan yang kontras.

Bukannya Tim tidak tahu situasi di kamp pengungsi, bukan pula sedang menjalani pengalaman pertama terjun ke wilayah konflik. Ketika meninggalkan hotel, Tim tahu ia hendak bertemu dengan salah satu tokoh terhormat meskipun ia tinggal di kamp pengungsi. Pakaian bersih adalah salah satu cara untuk menunjukkan penghormatan itu.

“Maaf, Mr. Rosenberg, saya tidak sempat berganti pakaian. Anda tentu lebih senang kalau dapat melihat langsung kehidupan kami di sini,” ucap Aung Tin Nyein melepaskan genggaman tangannya, tanpa berniat menyindir. Mata kecilnya meneliti tiap inci tubuh lelaki Amerika itu.

“Saya merasa sangat terhormat bisa bertemu Anda,” Tim membungkukkan badannya, menekankan kata hormat yang diucapkannya.

“Mr Rosenberg...”

“Tim. Panggil saja Tim.”

“Baiklah. Tim. Orang-orang memanggilku Aung Tin,” ia terbatuk-batuk, nafasnya tersengal, terdengar seperti laptop tua yang sulit booting, namun matanya tak berkedip, memandang lawan bicaranya yang dengan sigap menarik keluar sebotol air mineral dari saku luar ranselnya. Aung Tin tak menolak. Botol langsung ia buka dan meminum isinya. “Terima kasih,” punggung tangan keriputnya menyapu tetesan air di dagunya. Botol itu ia genggam dengan tangan kiri sementara tangan kanannya terangsur ke depan, “Kita akan berjalan-jalan sebentar mengelilingi kamp ini, kalau kamu tidak keberatan,” Aung Tin Nyein melangkahkan kakinya lebih dulu, “saya akan mengajakmu melihat salah satu gedung sekolah kami. Itu, bangunan di sudut jalan tak jauh di depan kita, salah satu sekolah dasar yang ada di sini.”

Bangunan sekolah itu tak ubahnya bedeng bambu, berukuran tiga kali lebih besar dari bedeng-bedeng lainnya yang berdempetan memenuhi kamp. Sekolah itu dinamai Sekolah Dasar No 3. Memiliki dua ruang tertutup dan sebuah ruang lebih kecil yang terbuka, semacam teras. Salah satu ruang tertutup dipakai untuk kelas, satunya lagi sebagai perpustakaan dan ruang bermain.

Kata tertutup tidak tepat untuk menggambarkan ruangan berpintu itu. Dinding bagian bawah bangunan sekolah terbuat dari potongan kecil batang-batang bambu yang dianyam memanjang dan diikat tiap 1 meter. Dinding bambu itu dipasang setinggi hanya 1,2 meter dan selebihnya ditutup bilah-bilah bambu yang tidak sama panjang, dipasang vertikal. Tiap-tiap potongan bambu satu sama lain berjarak sekitar dua inci. Ya. Bangunan sekolah itu mirip kandang ternak. Di situlah anak-anak pengungsi usia sekolah dasar belajar setiap hari dari pukul 9 pagi hingga tengah hari.

Ada enam guru ditugaskan di sekolah itu. Dua orang bermukim di dalam kamp dan sisanya tinggal di wilayah sekitar kamp. Sesekali ada relawan dari berbagai lembaga atau negara yang ikut mengajar. Mereka datang atas kemauan dan biaya sendiri. Mereka ingin merasakan dan melihat langsung kehidupan para pengungsi. Menatap sinar mata mereka yang menyembunyikan ketakutan dan keputusasaan. Kehadiran para relawan itu serupa sinar lilin, meskipun redup namun mampu menerangi hati mereka, memercikkan pijar harapan.

Di sekolah itulah anak-anak – dan orang dewasa – belajar bahasa, membaca, menulis dan matematika. Mereka juga bertukar cerita dan pengalaman. Gedung sekolah yang seadanya tak mereka hiraukan. Semangat belajar anak-anak pengungsi itu sangat tinggi, walaupun masa depan mereka tidak pasti.

Sambil duduk di teras sekolah yang lantainya ditutup terpal plastik biru, Tim dan Aung Tien mengawali persahabatan mereka. Awal yang sederhana untuk sebuah persahabatan yang besar.

Kematian Aung Tien tidak membuat Tim memutuskan jalinan persahabatan. Selama ia masih bernyawa, Tim akan mempertahankan persahabatan itu. Ia akan berusaha kembali ke kamp pengungsi, menemui para sahabat dari sahabatnya. Meneruskan perjuangan mereka. Menjaga agar api harapan tidak padam. Tim percaya, selama manusia memelihara harapan di dalam jiwanya, penderitaan hidup tak akan mudah menghancurkannya.

Tim mengumpulkan lembar-lembar kertas itu. Tangan kanannya meraih staples yang ada di samping printer. Lelaki itu memandang keluar jendela ruang kantornya yang terletak di kawasan Adams Morgan, di Washington DC, ribuan kilometer jaraknya dari kamp pengungsi Ban Mae. Dilihatnya daunan masih berselimut sisa-sisa salju yang turun kemarin sore hingga tengah malam. Menurut ramalan cuaca malam nanti salju akan turun kembali. Suhu udara berkisar antara 20 hingga 30 derajat Fahrenheit. Cukup dingin bahkan untuk Tim yang terlahir di Nova Scotia, Kanada, pada musim dingin empat puluh tahun yang lalu.

Dedaun yang terbebani salju itu terhembus angin, bergoyang-goyang seperti kepala orang yang sedang terkantuk-kantuk. Di trotoar, tiga orang gadis usia SMA dengan topi wol aneka warna melangkah cepat, tawa mereka terdengar jelas meskipun semua jendela kantornya tertutup rapat. Tim mengikuti langkah mereka sambil memencet-mencet ponselnya.

Honey, tampaknya saya harus segera pergi ke Thailand...” Tim menelpon istrinya, Faith Rosenberg.

Perempuan 37 tahun itu mencintai Tim karena kecintaannya pada orang-orang terpinggirkan, para korban konflik dan ketidakadilan di berbagai negara. Amerika, tanah kelahiran dan tempat tinggalnya, bukanlah surga, ketidakadilan dan pelanggaran hak oleh manusia atas sesamanya terjadi juga. Namun setidaknya setiap bayi yang lahir di negeri para imigran itu diakui sebagai anak negeri dan dilindungi oleh hukum.

“Saya tidak bisa membayangkan bila kita terlahir di sana, Tim,” ujar Faith, sebelum mereka menikah, saat itu Tim berpamitan hendak ke Thailand, membantu sekelompok orang tanpa negara di perbatasan Burma. “Dilahirkan hanya untuk tidak diakui keberadaannya. Bila saya salah satu dari mereka, saya pasti berharap ada orang yang menolong. Pergilah. Sebagai calon istrimu aku bangga.” Faith mencium calon suaminya.

Dunia Faith sama sekali berbeda dengan dunia Tim. Perempuan berambut lurus keemasan itu memiliki toko buku kecil yang menjual buku-buku bekas dari berbagai negara. Mahasiswa internasional sering melego buku-buku mereka selepas wisuda. Tokonya terletak hanya 10 menit jalan kaki dari kantor Tim. Mereka bertemu di depan pintu toko. Tim sedang mengawali karirnya, masih belia, baru saja merayakan seperempat abad usianya. Ia hendak membeli kamus Inggris-Urdu dan Inggris-Hindi. Lelaki yang baru beberapa minggu lulus pasca-sarjana dari Elliott School of International Affair, George Washington University itu begitu bersemangat menjalankan tugasnya di Pakistan. Ia datang terlalu pagi ke toko buku mungil itu. Si pemilik sedang menyandarkan sepeda ke dekat pintu.

“Ah. An early bird!” seru si gadis, membuka gembok pintu tokonya. Syal katun warna mencolok yang jelas-jelas bercorak India melambai-lambai di punggungnya, terhembus angin awal musim gugur yang kering. Senyumnya bagai matahari pagi musim semi. Detak jantung Tim menari-nari, mengikuti langkah riang si gadis ke dalam toko.

Perempuan muda itu membantunya memilih kamus. Tim bercerita kalau dirinya akan sering bepergian ke Asia. Untuk mengulur waktu sekaligus menunjukkan ketertarikannya secara halus, Tim bertanya tentang syal yang ia kenakan. Rupanya dua buah kamus dan selembar syal India adalah benih cinta.

Seminggu berikutnya Faith tidak keberatan dipacari meskipun ia tahu akan sering ditinggal pergi ke sisi lain planet bumi. Tiga tahun mereka menjalin hubungan sebelum sepakat menikah di tengah-tengah musim panas, di bulan Agustus 1998, kala matahari sedang bermurah hati melimpahkan sinar ke langit kota Washington DC. Selepas menikah Faith tetap mengurus toko bukunya sambil mengasuh Tamarine Rosenberg, yang mereka panggil Tammy, satu-satunya anak mereka yang lahir di awal tahun Naga, 10 Februari 2000.

*** 
Catatan:
Tembak Di Tempat adalah cerita bersambung yang akan ditayangkan setiap Kamis. Kisah ini merupakan hasil January for 50K 2011. Saat ini ilustrasinya sedang disiapkan. 

4 comments:

  1. oke..oke..ini baru pembuka..mudah-mudahan istiqomah ngikuti sekaligus saia mau belajar menulis..karena akhir-akhir ini otak saia seperti komputer primitif yang sulit booting..hehe..

    ReplyDelete
  2. Hai, Aris. Thanks, ya udh niat ngikuti cerita ini. otak boleh sulit booting, yg penting karya sering nangkring di majalah :-)

    ReplyDelete
  3. Sepertinya ceritanya baru saja di mulai.. Oke,. insyaAllah saya akan menyimak :)

    ReplyDelete
  4. Memang baru mulai, baru 2 bagian, masih panjang banget kisahnya :-) moga2 tdk kecewa, ya...

    ReplyDelete