Hidup ini adalah rangkaian pilihan. Sekali memilih kita harus berani dan harus kuat menanggung akibatnya – Endah Raharjo
Dulu kukira cinta hanya membius yang berusia muda. Ternyata salah. Perempuan bernama Larasati yang bulan lalu berusia genap 45 tahun masih bisa terhanyut oleh arus cinta yang mengalir deras dari lelaki bernama Osken O’Shea.
Sepenggal kalimat yang tertulis di halaman 178 tersebut bisa jadi adalah benang merah dari kisah cinta yang dituliskan oleh salah satu teman sekaligus penulis favorit saya, Endah Raharjo, dalam buku solo perdananya Senja di Chao Phraya.
Buku setebal 324 halaman bersampul semburat jingga suasana senja di Sungai Chao Phraya ini memang menceritakan kisah cinta yang hadir secara tak terduga antara dua tokoh utamanya, Larasati Lazuardi dan Osken O’Shea. Larasati, seorang perempuan Jogja yang mandiri dan tangguh dan Osken adalah seorang lajang-mapan-Amerika-keturunan-Kazakhstan-Irlandia yang berusia tujuh tahun lebih tua dari Laras.
Novel yang diterbitkan oleh Leutikaprio pada Juni 2012 ini sungguh membuat saya hanyut ketika membacanya. Penggalan kalimat demi kalimat yang dituliskan Endah terasa puitis namun ringan untuk dibaca. Baca saja kalimat berikut, yang saya kutipkan dari bab pembuka buku ini: “Pagi merekah. Terang langit menembus gorden tebal penutup jendela kaca selebar dinding, mengalahkan lampu kamar mandi yang sengaja kubiarkan semalaman menyala…”
Kisah dibuka dengan cerita mengenai tokoh utamanya, Laras yang bekerja pada sebuah lembaga internasional sedang melaksanakan tugasnya di Bangkok. Pagi yang sibuk itu menjadi sebuah pintu yang membuka kisah perjalanan cinta Laras. Pertemuan yang tidak direncanakan antara Laras dan seorang pria terjadi begitu saja karena situasi di tempat mereka sarapan tampak penuh, dan Laras tak punya pilihan untuk mencari meja kosong selain bergabung bersama pria berambut perak dan bermata hijau zaitun teduh itu. Laras, yang diceritakan sebagai seorang janda dua anak yang sedang berada pada masa usia tanggung itu, tak pernah menduga kehadiran rasa cinta di dalam dirinya terhadap pria ganteng Kaukasia bernama Osken O’Shea.
Dari pertemuan awal, benih-benih cinta di hati Laras mulai tumbuh tanpa tergesa. Begitu pula dengan Osken, pria paruh baya namun masih setia melajang dan bekerja pada bidang yang sama dengan Laras, juga menanam benih-benih yang sama.
Meski tak bertepuk sebelah tangan, namun kisah cinta yang mereka tempuh bukanlah sesuatu yang mulus tanpa konflik. Perbedaan bangsa dan sudut pandang mengenai kebebasan menjadi kerikil yang bisa berkembang menjadi batu sandungan dalam cinta mereka. Laras adalah seorang perempuan timur yang sangat mengedepankan harmonisasi hubungan dengan orang tua dan pendukung lain dalam hidupnya. Meskipun Laras mempunyai pendapat bahwa takdir seorang perempuan itu ada di tangan mereka masing-masing, namun bagi Laras, restu orang tua sangat dia butuhkan dalam melanjutkan hubungannya dengan Osken.
Selain itu Laras pun mempunyai pertimbangan lain, yaitu kebahagiaan kedua anaknya. Laras tidak akan meneruskan hubungan dengan Osken jika kedua anaknya tidak menginginkannya. Sebaliknya Osken, pria yang dibesarkan dalam suasana multiras itu, sangat menghargai kebebasan individu dalam keluarganya. Bagi Osken, kebahagiaan itu ditentukan oleh pribadi masing-masing. Lingkungan sekitarnya hanya menjadi pendukung bagi kebahagiaan hidupnya. Konflik batin inilah yang diceritakan secara mengalir oleh penulisnya sehingga pembaca akan masuk ke dalam sebuah situasi yang nyata dan membumi. Kebanyakan masyarakat Indonesia memang memiliki karakter yang hampir sama dengan Laras. Mereka akan setengah mati memikirkan pendapat lingkungannya dalam mencapai kebahagiaan hidup. Bahkan tak jarang mereka akan mengorbankan kebahagiaan pribadinya jika lingkungannya tidak mendukung.
Selain konflik batin tersebut, Endah juga menyisipkan konflik yang kerap terjadi dalam perkawinan multiras. Perbedaan agama. Secara lembut Endah menyisipkan bahasan yang paling sensitif ini di halaman 178:
“Hubunganku dengan Tuhan sangat personal. Ada di sini…
Aku percaya pada semua kitab suci yang pernah kukenal dan kubaca. Intinya semua mengajarkan kebaikan. Nalarku sulit menerima kalau kitab-kitab suci itu berasal dari Tuhan yang berbeda…. mungkin ini analogi yang konyol. Tapi aku akan coba ungkapkan isi pikiranku. Kamu pengguna Macintosh. Aku pakai apa saja suka, termasuk Windows. Semuanya itu operating system yang tujuannya sama: agar kita bisa menjalankan komputer. Kira-kira begitu.”
Sebagai penulis, menurut saya Endah Raharjo pandai memilih diksi yang tepat sehingga cerita terasa mengalir begitu renyah dan tidak menggurui. Endah pandai menyisipkan kalimat yang berisi petuah hidup yang mampu menyuntik semangat bagi pembacanya. Seperti sepenggal dialog antara Laras dengan putrinya, Mega, yang mulai beranjak dewasa:
“… Setelah hidup di dunia lebih dari empat dasawarsa, Mama masih juga belum hapal kalau persoalan hidup tidak akan terpecahkan hanya dengan dipikirkan. Mama juga tidak jera-jera memendam pikiran, meskipun tahu hanya menambah beban. Persoalan itu hanya bisa diatasi dengan tindakan; kalau tidak bisa teratasi setelah berusaha maksimal, sebaiknya dilepaskan dari pikiran, jangan disimpan, apalagi diingat-ingat dan dibumbui dengan penyesalan…”
Selain konflik-konflik batin tokoh utamanya, Endah juga membawa pembaca untuk mengenang beberapa kejadian nyata yang pernah terjadi. Seperti peristiwa meletusnya Gunung Merapi, dan juga konflik-konflik yang pernah menjadi isu internasional di Thailand. Ini juga menjadi point khusus yang membuat cerita terasa mengalir seperti bukan cerita fiksi.
Oh... ya, saya pikir anda tidak akan rugi membeli buku yang bisa dipesan langsung kepada penulisnya. Karena novel ini berkisah dengan setting di beberapa tempat di Thailand, Jogjakarta, dan Washington DC, yang dideskripsikan dengan baik oleh Endah. Entah melalui riset, atau memang Endah pernah tinggal di tempat-tempat tersebut, gambaran mengenai tempat-tempat seperti Sungai Chao Phraya di Bangkok dan Sangkhlaburi – salah satu kota kecil di barat laut Bangkok - terasa begitu hidup. Dalam buku ini anda akan diajak menikmati keindahan kota-kota yang menjadi setting dalam novel ini.
Sebagai penutup, saya merekomendasikan Anda untuk membeli buku yang dibanderol seharga Rp. 62.500 di penerbit, namun dapat diperoleh dari Endah dengan diskon 20% (Rp 50.000; belum termasuk ongkos kirim). Buku ini dapat menambah koleksi di rak perpustakaan pribadi anda. Karena selain apa yang saya tuliskan di atas, masih banyak pengalaman yang bisa anda peroleh setelah membaca buku yang saya sebut sebagai novel cerdas dan bernas ini.
Cinta tidak akan pernah terlambat menemukan jalannya. Dia akan datang di waktu dan saat yang tepat - Hadi Samsul.
***
Ditulis oleh sahabat Kampung Fiksi: Hadi Samsul; juga ditayangkan di sini.
ada di gramedkah?
ReplyDeletebelum... pesen langsung aja ke mbak Endah nya
ReplyDelete