Ketika Imajinasi dan Keberanian Berkelindan dalam Cinta (Sebuah Resensi dari Indra Wisudha)



Perempuan bersatu tak bisa dikalahkan. Saya terpaksa harus mengganti kata Rakyat dengan Perempuan bagi slogan demonstrasi jalanan di depan itu ketika membaca kumpulan cerita pendek ini. Delapan perempuan penulis bergantian bercerita. Meretas waktu: pagi, siang, senja, malam, sampai  tengah malam. Dua puluh empat cerita untuk 24 jam (mungkin ini arti angka 24 yang mereka maktubkan dalam judul buku ini). Mereka, benar-benar (paling tidak) tak mau dikalahkan oleh waktu sekalipun.
Maka berhati-hatilah, waktu. Karena delapan perempuan penulis ini akan mengabaikanmu. Mereka akan memaksamu cemburu ketika mereka sedang bercengkerama dengan kata yang menjelma kalimat demi alinea-alinea nan berkisah. 

Kekuatan Imajinasi

Hal pertama yang saya rasakan dalam 24 Senarai Kisah dalam Kampung Fiksi (selanjutnya perbolehkan saya untuk menyingkatnya menjadi 24 Sekisah, ya) adalah kekuatan imajinasi. Saya kagum dengan bagaimana mereka mengangkat tema-tema sederhana menjadi cerita yang nikmat. Dalam Cupcake Cinta misalnya, Winda Krisnadefa memaksa saya untuk membayangkan rasa sebentuk kue yang membuat para penikmatnya menuai harapan setelah memakannya.
Sari Novita dalam Sri dan Merapi memilki kekuatan imajinasi itu. Bahkan, kalimat pembukanya mengecoh saya. “Deru angin datang rambat-merambat ringkihkan tubuh Sri. Suara liuk-meliuk menghampiri lubang pendengaran Sri, membuat rambut-rambut di tangan Sri bangun terdesir.” Romantis bukan? Padahal, Sari hendak menggambarkan sebuah aksi perkosaan yang dilakukan seorang pria terhadap Sri.

Saya pun takjub dengan deskripsi imajinatif Indah Widianto melalui Luna.  Sungguh, tadinya saya membayangkan kisah yang terinspirasi dari Luna Maya seorang selebritas yang tak habis-habisnya menjadi buah bibir. Tetapi yang saya dapati jauh lebih memikat. Indah memanusiakan bulan melalui bulan. Ya, Luna berarti bulan dalam bahasa Italia.

Keberanian Menulis

Berani betul mereka menulis! Itu juga kesan yang tak habis-habisnya muncul dalam pembacaan 24 Sekisah.  Mereka berani memilih dan memainkan gaya.

Staccato. Ini gaya G dalam Bayi dalam Diksi. Rasakan ini, ”Savanna. Namaku. 31 tahun. Usiaku. 1 tahun. Umur pernikahanku. Bayi. Pertanyaannya. Dia. Suamiku. Nathan. Namanya. 30 tahun. Usianya. 5 tahun. Umur percintaan kami. 1 tahun. Usia pernikahan kami. Bayi. Apakah aku menginginkannya?”

Padahal, G bisa menuliskannya dalam dua atau tiga kalimat saja. Tapi dia memilih untuk memenggal-menggal jadi 20 kalimat! Dan jantung saya berdegup ketika memberikan emosi saat membacanya. Sungguh, ini tidak biasa.

Apakah yang dibutuhkan untuk mengkritik lewat sastra? Keberanian. Meliana Indie melakukannya dalam Lelaki yang Melukis Negeri di Seberang Laut.
“Dik, negeri tempat kita berdiri ini adalah negeri Badee Tan Reuda. Orang-orang saling menghujat, mengambil apapun yang disediakan oleh cinta dengan serakah. Tapi bukan berarti tidak ada cinta yang tersisa, kan? Selalu ada perlawanan yang terbaca, Dik.”

Dengan sepenuh hormat, saya menyejajarkan keberanian Meliana dalam mengangkat tema kritik social dengan perempuan penulis Linda Christanty yang sekarang berdomisili di tanah Atjeh. Tetapi, Bade tan Reuda memang mengingatkan saya terhadap judul sebuah film documenter tentang konflik panjang di Atjeh. Uh! Klop!

Beranikah kau mengirimkan cincin pertanda perpisahan? Kalau pertanyaan itu ditujukan kepada saya, maka nyali saya ciut sebelum sempat memikirkannya. Mengapa? Karena saya terjebak dalam logika yang biasa, logika umum, atau bisa saja dengan meminjam istilah filsafat materialisme-dialektika boleh disebut sebagai logika formal.

Endah Raharjo berani melakukan itu melalui Bagai Shabu-shabu. Dan ada unsur-unsur puitik pula di dalam sejumlah pilihan katanya.  Menggoda. Bolehkah saya jadikan  dua bait haiku?

Bukan purnama, Lana
hanya selingkar cinta
sederhana.

Lebih sederhana
dari shabu-shabu
pengisah kita.

Banyak Cinta

Saya tak bisa mengelak pula dari banyak cinta di 24 Sekisah. Jika cerita yang saya baca tidak melulu berkisah tentang cinta, tetapi di dalamnya nyata-nyata bergelimang cinta. Ada cinta pada kehidupan dalam Akhir Sebuah Perjalanan milik Deasy Maria.

Anda harus membaca sampai pada kalimat-kalimat ini:

Ya, kala tidur, hanya diriku yang mereka butuhkan. Tentunya lebih nikmat tidur di atas gelaran koran bekas, bukan komputer bekas, apalagi iPad bekas.

Tidur adalah salah satu kenikmatan dalam hidup. Menghargai tidur adalah penghormatan terhadap kehidupan. Terimakasih, Deasy Maria, telah mengajari saya sebuah nilai kehidupan.

Juga ada cinta pada kebenaran yang diusung Ria Tumimomor. Dalam Takut, anda disarankan untuk tidak buru-buru mengambil kesimpulan meskipun kesimpulan yang terburu-buru bisa saja diwajarkan setelah anda mengetahui bahwa penulisnya menggemari film-film horor.

Lewat Takut anda akan dicerahkan untuk tidak takut menyuarakan kebenaran. Tidak percaya? Silakan baca sendiri.

Tabik.


Indra Wisudha, pekerja televisi yang gemar mencuri waktu untuk menulis puisi.


6 comments:

  1. review yang tajam dan lugas sekali, Mas Indra. Terima kasih yah. Semoga Mas Indra menikmati '24' ini. Nantikan buku-buku dari Kampung Fiksi berikutnya :)

    ReplyDelete
  2. tertegun, tak bisa bicara
    aku yang tidak mengenal sastra
    belajar dan mencoba berkenalan..reviewnya..mantabbbbbbbbb ui

    ReplyDelete
  3. review yang indah...
    tertegun membacanya...
    terima kasih, mas Indra... :)

    ReplyDelete
  4. Mas Indra, terima kasih atas ulasan yang indah dan inspiratif ini. Sebuah cara mengulas yang 'berbeda' dan personal. Salam :-)

    ReplyDelete
  5. Saya justru harus berterimakasih karena diperkenankan membaca karya monumental milik 8 perempuan penulis yang potensial lalu diperbolehkan meresensikannya. Apa mau dikata? Senarai kisah kawan-kawan ini memukau saya. Ide kalian luar biasa.

    Tabik.

    ReplyDelete
  6. Terima Kasih atas ulasan yang sangat baik ini..

    ReplyDelete