Oleh: Nastiti Denny
Halo Sahabat KF,
Bagaimana perayaan Hari Kartini di tempat kalian?
Parade pakaian adat? Lomba memasak? Atau lomba menulis? Apapun yang kalian
lakukan dalam rangka Hari Kartini tahun ini, admin yakin kalian melakukannya
dengan kesadaran bahwa sosok R.A. Kartini adalah sosok yang menginspirasi
rakyat Indonesia tidak hanya wanita tapi seluruh lapisan masyarakat di tanah
air.
Kali ini admin ingin mengajak kalian untuk mengingat
sosok R.A.Kartini melalui wawancara singkat dengan salah satu pemenang lomba
novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2010 yang bernama Ramayda Akmal (biasa
dipanggil Ayda). Ayda aktif sebagai tenaga pengajar di beberapa universitas di
Yogyakarta, dan saat ini sedang melakukan penelitian di Jerman untuk mengejar
pendidikan S3-nya di Hamburg University, Jerman. Wanita kelahiran Cilacap, Jawa
Tengah, 5 Mei 1987 ini menjadi salah satu pemenang unggulan lomba novel DKJ
untuk novelnya yang berjudul Jatisaba. Untuk kalian yang belum pernah membaca
Jatisaba, admin akan membagi sedikit bocoran tentang kisah yang diangkat dalam
novel ini. Jatisaba mengangkat kisah perdagangan wanita dan anak-anak yang
terjadi di sebuah desa di daerah Jawa Tengah, tempat di mana Ayda menghabiskan
masa kecilnya.
Melalui wawancara ini admin berharap kalian dapat
menggali ilmu tentang bagaimana mengangkat fenomena sosial di sekitar kita ke
dalam sebuah cerita. Selain itu kalian juga akan admin ajak untuk mengetahui
seperti apa pandangan seorang Ramayda Akmal tentang sosok R.A.Kartini.
Kita mulai yuk!
Apa yang membuat menulis novel menjadi begitu menarik bagi Ayda?
Saya tertarik dan menulis novel karena saya besar
dalam lingkungan yang memiliki tradisi bercerita yang kuat. Disadari atau
tidak, itu berpengaruh pada sensitivitas dan pilihan genre tulisan saya. Selain
itu, bagi saya hanya novel yang bisa mengakomodasi secara bersamaan hal-hal
yang kadang sulit dipersatukan. Fakta dan imajinasi, nilai-nilai dan ideologi,
data-data dan rahasia, impian dan kenangan. Begitu banyak cara, begitu luas
kemungkinan yang bisa dihadirkan oleh novel, sehingga orang-orang yang masih
terus belajar menulis seperti saya akan jatuh cinta padanya.
Apakah dalam menulis Ayda punya idealisme sendiri berkaitan dengan tema?
Misal: lebih tertarik dengan tema yang berkaitan dengan wanita, dan lain
sebagainya?
Saya banyak mengangkat tema-tema sosial, cerita
orang-orang miskin, orang-orang pinggiran dan yang dipinggirkan. Saya memiliki
keberpihakan yang jelas kepada mereka. Akan tetapi keberpihakan itu bukan
karena keterbatasan atau kekurangan mereka. Saya tidak peduli dengan bagian
itu. Bagi saya itu hanya stigma. Mereka adalah orang-orang terpilih dengan
kekuatan mereka sendiri, kebijaksanaan yang melebihi orang lain, kesederhanaan
dan kemampuan bertahan yang tidak selalu bisa kita duga. Mereka adalah
orang-orang yang akan saya cemburui seumur hidup saya karena saya tidak
memiliki keberanian untuk menjalankan nasib yang demikian.
Berapa jam dalam sehari Ayda meluangkan waktu untuk menulis, atau dengan
kata lain bagaimana membagi waktu antara kegiatan mengajar dan menulis fiksi?
Adakah waktu khusus?
Saya tidak ada jadwal menulis yang khusus. Hanya
saja, setiap ada ide yang muncul saya cepat menuliskan dalam satu dua kata atau
kalimat. Saya bisa segera mengembangkannya menjadi tulisan atau membiarkannya
untuk sekian lama. Itu bukan suatu masalah.
Mengajar adalah kegemaran saya yang lain. Menulis
dan mengajar justru kadang saling mendukung. Ide-ide tulisan sering muncul
ketika mengajar. Yang terpenting bagi saya, menulis itu butuh irama, bukan
hanya jadwal dan kedisiplinan. Ada kalanya menulis dengan cepat, ada kalanya
kita perlu menunda dan berpikir kembali.
Apakah Ayda tergabung dalam komunitas penulis? Kalau ya, seberapa aktif?
Keuntungan apa yang dirasakan dengan menjadi bagian dari komunitas tersebut?
Saya tidak tergabung dalam komunitas penulis secara
formal. Hanya saja saya punya lingkaran sahabat, guru dan kolega yang selalu
menjadi teman diskusi saya. Mereka adalah pembaca-pembaca pertama karya saya,
kritikus-kritikus yang terkejam dan yang paling setia sekaligus. Meskipun
sedikit berbeda, bersama mereka saya rasakan keuntungan-keuntungan yang berguna
bagi proses kepenulisan seperti yang ditanyakan KF.
Siapa saja penulis favorit Ayda? Dari dalam dan luar negeri?
Penulis favorit dalam negeri saya adalah Ahmad
Tohari dan Eka Kurniawan. Sementara dari luar negeri ada banyak. Beberapa di
antaranya, John Steinbeck, GG. Marquez, Haruki Murakami, Dostoyevski, dan Amy
Tan.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan novel Jatisaba?
Saya menulis Jatisaba selama 8 bulan.
Jatisaba menceritakan fenomena sosial yang terjadi di daerah asal Ayda
sendiri. Membaca bagian pengantar novel ini, sepertinya kondisi di daerah
tersebut sudah sekian lama terpendam dan menjadi pergulatan batin dalam benak
Ayda. Apa yang akhirnya membuat Ayda berani menuliskannya menjadi sebuah novel?
Motif menulis Jatisaba sebenarnya sangat pribadi.
Jatisaba adalah desa yang saya tinggali selama 18 tahun sebelum kemudian
pindah. Saya sulit pulang meski sangat ingin. Kerinduan yang semakin besar,
membuat saya takut kehilangan. Mulailah sejak saat itu, segala momen,
peristiwa, tempat-tempat di Jatisaba, menjadi menarik untuk dirunut kembali dan
ditulis. Tentu saja, banyak masalah sosial di Jatisaba yang dengan jarak serta
waktu berselang memunculkan perspektif baru dalam diri saya, bukan hanya
sebagai bagian darinya tapi juga pengamat. Alasan emosional dan perspektif baru
itu yang menjadi motif utama penulisan Jatisaba.
Membaca Jatisaba, bagi saya, seperti melihat miniatur Indonesia dengan
segala carut marutnya. Ada perdagangan wanita ke luar negeri, ada rusuh pemilihan
kepala desa, juga pola pikir warga (khususnya wanita) di pedesaan yang entah
bagaimana antara meminta belas kasihan dan membuat kesal. Apa sebenarnya yang
paling ingin Ayda sampaikan lewat novel tersebut? Mengapa hal itu menurut Ayda
penting?
Yang terpenting dalam Jatisaba bagi saya cuma satu,
bagaimana persoalan-persoalan di dalamnya membawa pembaca untuk mempertanyakan
kembali apa yang sebenarnya dimaksud dengan nilai yang selama ini dianjurkan
untuk kita yakini dan pahami.
Adakah hambatan yang berarti selama menulis Jatisaba, mengingat kisah
yang diangkat berasal dari fakta yang tidak menyenangkan?
Hambatan menulis Jatisaba yang banyak didasarkan
pada fakta, sebenarnya sama dengan hambatan yang dialami penulis pada umumnya,
yakni prejudice. Saya harus
menyiapkan diri menerima prasangka yang muncul berkelindan antara karya yang
saya hasilkan dengan fakta-fakta yang saya angkat, pendapat-pendapat di
dalamnya dengan gagasan pribadi saya sendiri. Akan dengan mudah pembaca mengira
bahwa apa yang saya ceritakan adalah diri saya. Saya hanya perlu menyiapkan
cerita lebih banyak untuk menjelaskannya. Cerita itu kadang lebih menarik dari
novelnya sendiri.
Adakah alasan khusus mengapa alur yang dipakai bolak-balik?
Alur bolak balik semata-mata saya gunakan demi
pertimbangan intrinsik karya sastra. Bagaimanapun, yang intrinsik menentukan
keseluruhan bangunan karya sastra. Cerita yang baik menjadi lebih baik lagi
jika disampaikan dengan cara yang tepat. Pemilihan alur bolak balik menjadi
bagian dari upaya saya mencari cara yang tepat tersebut. Alur bolak balik
memungkinkan pembaca menemukan suspense
dengan lebih mudah, dan membuat mereka bertahan lebih lama. Tentu saja,
beberapa orang tidak sependapat dengan saya dan menganggap itu justru
menggangu. Akan tetapi, lagi-lagi ini masalah selera dan pilihan.
Salah satu hal yang paling menarik bagi saya di Jatisaba adalah tokoh
utama yaitu seorang wanita yang dengan segala keberaniannya memutuskan untuk
menjadi kaki tangan mafia perdagangan wanita dan anak-anak. Konflik batinnya
begitu hidup. Nuansa romance-nya juga kuat. Bagaimana Ayda membentuk karakter
sang tokoh?
Tokoh Mae adalah tokoh ideal saya. Mae adalah orang
yang bisa bertahan dalam kondisi paling buruk. Menariknya lagi, Mae sulit dan
tidak bisa didefinisikan dalam karakter apapun. Dia mengatasi nilai-nilai yang
ada. Dalam beberapa hal tokoh Mae sangat radikal. Tentu saja, saya menciptakan
tokoh ini setelah melewati berbagai refleksi, dan saya menciptakannya dengan
penuh gairah.
Sebagai penulis wanita yang giat mengangkat konflik sosial di
masyarakat, seperti apa sih sosok seorang R.A. Kartini di mata Ayda kaitannya
dengan dunia literasi?
Bagi saya, R.A Kartini adalah pelopor pada zamannya.
Hormat saya begitu besar kepadanya. Akan tetapi saya tidak terlalu suka
glorifikasi berlebihan yang dilakukan masyarakat Indonesia. Pertama, masih
begitu banyak tokoh perempuan lain yang juga perlu diteladani. Kedua, apa yang
diperjuangkan RA. Kartini sudah sangat berbeda konteksnya dengan yang dihadapi
perempuan Indonesia kontemporer. Alih-alih meneruskan perjuangan, kita
seringkali terjebak pada melankolia masa lalu. Ketiga, menegaskan pemberdayaan
perempuan sama dengan mengakui jika perempuan lemah dan berbeda. Selalu ada
bias di dalamnya, sehingga saya pribadi tidak begitu terkesima dengan
upaya-upaya yang demikian. Teman-teman bisa perhatikan tokoh Mae atau Sitas di
dalam Jatisaba, bagaimana hubungan mereka dengan laki-laki, bagaimana mereka
tampak sangat bergantung tetapi sebenarnya tidak.
Wanita di dalam Jatisaba seolah terbagi menjadi 2 kelompok secara
ekstrim. Yang lemah; mampu diperjualbelikan dan tidak berpendidikan, dan yang
kuat; mampu mengendalikan situasi dan memiliki ambisi besar yang dikendalikan
oleh materi dalam hal ini diwakili Mae, sang tokoh utama. Apakah Ayda memandang
situasi semacam ini sebagai dampak pembangunan yang gagal ataukah emansipasi
wanita yang diterjemahkan secara keliru?
Saya tidak berniat membagi-bagi kelompok sosial
tokoh-tokoh perempuan di dalam Jatisaba. Mereka hanya berbeda kehidupan. Yang
justru ingin saya tekankan adalah bagaimana dengan caranya masing-masing,
mereka bertahan. Tentu saja, saya juga menunjukkan bagaimana perempuan
berhadap-hadapan langsung dengan dunia politik, urusan ekonomi keluarga,
kekerasan, dan lain-lain yang seringkali membuat mereka tunduk. Akan tetapi,
ketundukan yang saya uraikan tidaklah absolut. Itu hanya sebuah cara untuk
bertahan, dan tidak ada yang lebih emansipatif lagi kecuali kemampuan bertahan.
Jika ditanya mengapa bisa demikian? Saya, seperti juga lainnya, masih akan
menyalahkan institusi-institusi yang tidak menjalankan peran dengan semestinya
seperti negara. Juga orang-orang yang bertanggung jawab di dalamnya.
Banyak pendekatan dan metode dilakukan untuk memelihara semangat Kartini
pada generasi muda. Sebagai seorang tenaga pengajar dan penulis, adakah
keinginan Ayda dalam rangka memelihara semangat tersebut yang belum juga
terlaksana hingga sekarang?
Saya akan memelihara semangat Kartini dengan
melupakan bahwa dia adalah perempuan. Dalam artian, saya lebih tertarik dengan
ide-ide Kartini tentang dunia dan pendidikan. Bukan melulu dalam hubungannya
dengan laki-laki dan feodalisme. Ke depan urusan perempuan bukan hanya
berhadapan dengan laki-laki, memperjuangkan hak-haknya, melindungi diri, dan
"keluar rumah". Yang dihadapi perempuan adalah dunia. Oleh karena
itu, sebagai guru dan penulis, yang saya hadapi adalah murid dan ide-ide. Kepada
mereka hidup akan saya pertaruhkan. Sejauh ini, saya baru dalam upaya untuk
konsisten dengan niat tersebut. Sejuta rencana menunggu direalisasikan, di
antaranya menulis selalu menjadi yang pertama dan utama.
Seru ya, Sahabat KF, ngobrol dengan Bu Dosen yang satu
ini. Kalau kalian masih punya pertanyaan yang belum terjawab, kalian bisa
berinteraksi dengan Ayda langsung melalui akun facebooknya Ramayda Akmal.
Sekian dulu ya wawancara KF kali ini. Semoga kalian
dapat memetik banyak manfaat di dalamnya.
Selamat menulis!
Jakarta, 26 April 2014
Alur bolak-balik terkadang memang sering membingungkan. Harus membaca berulang-ulang untuk memahami dan menemukan benang merahnya...
ReplyDelete....wajib baca nih kayaknya.... untuk membuka minda... :)
keren mba ayda ..
ReplyDeletebu dosen bahasa indonesia pertamaku, mba rayda akmal.
ReplyDeletekeren.. :'(