Tembak Di Tempat 13

Bagian 13

Interior restoran di lantai dua ini sederhana. Warna dindingnya broken white dengan aksen pelisir keemasan membingkai tiap lubang jendela dan pintu. Semua lampunya tertanam ke dalam plafon. Sinar kuningnya memberi kesan hangat dan bersahabat. Kursi-kursinya rotan, dengan dudukan bantal bersalut kain polos merah. Semua mejanya satu ukuran, berbentuk bujur sangkar, cukup untuk empat orang. Kaki-kaki meja dan kursinya lanjai. Warna dan disain semacam itu memberi kesan ringan. Ruangan yang tak begitu luas jadi terasa lebih lega.

Belum pukul 7, namun tetamu hotel sudah banyak yang sarapan. Pasti mereka penyuka Senin, tak sabar kembali bekerja, atau hendak pergi ke luar kota seperti diriku. Sambil menenteng ransel berwarna abu arang, setelah menunjukkan kupon pada petugas di pintu masuk, kucari rekan-rekanku. Kulihat mereka, Naing Naing dan Rudi, memilih meja paling dekat dengan meja buffet. Tim belum terlihat.

“Kamu seperti habis menang lotre,” gurau Rudi. Ia jeli. Pagi ini aku bangun dengan perasaan riang, merasa menemukan diriku kembali, bisa mengatur emosi yang belakangan ini tak terkendali. Aku juga hendak bertemu lelaki yang dikabarkan sangat istimewa.

“Pagi, Mia! Kamu terlihat gembira.” Naing Naing mengangkat mukanya dari piring penuh croissant. Ada pula segulung telur dadar yang pasti dibuat dari tiga butir telur, bukan cuma dua. Juga semangkuk cereal. “Dilarang protes! Aku kelaparan,” ia membela diri sebelum kuserang. Ajaib, sepasang matanya untuk beberapa saat terlihat normal.

Dengan segelas jus jambu di tangan kukelilingi meja buffet, kupilih-pilih makanan. Ada bubur. Ah. Tapi ini bubur dengan kaldu babi, ada tulisannya di depan panci saji. Kulihat meja satunya. Kuputuskan mengambil sepotong muffin dan sebungkus mentega, kemudian kupesan telur dadar. Aku kembali ke meja. Tim sudah bergabung. Wajahnya sembab. Pasti ia melembur laporan. Tadi malam kami membahas beberapa hal bila proyek dihentikan. Tim berjanji akan membayar aku dan Rudi sesuai kontrak, sebagai bentuk tanggung jawabnya. Namun aku dan Rudi menolak. Kami ingin menanggung semuanya bersama-sama.

“Jadwal kita penuh hari ini.” Tim mengawali pembicaraan, menyesap kopi yang baru dituang pelayan. Ia memberi arahan rinci pada Rudi dan Naing Naing. “Ini tiket kereta dan semua informasi yang kamu perlukan,” ia mengambil map biru dari tas, menyerahkannya padaku. Tanpa kuperiksa map itu kujejalkan ke dalam ransel. Kemarin aku menelpon beberapa nama yang ia berikan, termasuk Father Sap, meminta informasi tambahan tentang lelaki yang akan kutemui di pedalaman Petchaburi hari ini.

“Sehebat apa dia? Foto-fotonya memang…. hmmm….” Aku berdecak tanda kagum. “Kamu pasti pernah ketemu, kan?” kutanya Tim. Ia tidak berkomentar, terkesan tidak peduli, atau mungkin sedang banyak pikiran.

“Aku pernah bertemu sekali," sahut Naing Naing, "Di biara, bersama Father Sap. Semua laki-laki normal pasti iri, termasuk aku. Yah… semoga kamu tidak jatuh cinta…” ia menggoda. Rudi pura-pura menggigil sambil melirik nakal. Tim tidak bereaksi.

“Keretamu berangkat pukul 8. Jadi kamu harus cepat,” ujar Tim, “Mo akan mengantarmu ke stasiun. Dia sudah menunggu di luar. Perjalananmu tak sampai 3,5 jam. Setiba di stasiun Petchaburi sudah ada supir yang akan membawamu ke lokasi.”

“Berapa lama dari stasiun ke lokasi?”

“Sekitar 40 menit. Jadi kamu akan sampai di sana tengah hari. Kalau kamu tidak mau menginap, akan ada yang mengantarmu kembali ke Bangkok. Semua sudah diatur. Jangan kuatir, salah satu penjaga kita akan ikut naik kereta.” Tim mengulangi petunjuk yang sudah ia sebutkan tadi malam. “Sesampai di Petchaburi ia akan naik kendaraan terpisah.” Tim menyebut ‘she’ untuk si penjaga.

She?”

“Yes. A lady.” Tim mengerling.

 “Cewek Jagoan? Seperti Charlie’s Angels itu?”

Tim terkekeh. “I think she’s nicer… but not my type, though.” Tim meninggalkan meja, mengambil sarapan. Rudi dan Naing Naing ikut tertawa. Aku curiga, jangan-jangan mereka sudah berkenalan dengan para penjaga itu.

** 

Stasiun kereta api di Petchaburi serupa stasiun kereta api di kota-kota kecil Pulau Jawa. Begitu ada kereta tiba, pedagang asongan berebut menjajakan makanan dan minuman pada penumpang. Kereta yang kunaiki setara dengan kereta eksekutif di Indonesia. Para pengasong dilarang masuk gerbong, namun mereka tetap menawarkan dagangannya lewat jendela.

Selain diriku, hanya ada 11 penumpang yang turun di stasiun ini. Kulihat seorang lelaki menyeberangi aula, menghampiriku. Matanya beralih dari mukaku ke sesuatu yang dipegangnya: selembar foto. “Madam Mia?” Wajahnya kekanakan, senyumnya lebar.

“Ya.”

“Saya Jo. Saya supir sekaligus pemandu Anda. Yeah….” Lelaki berbaju kotak-kotak putih-biru itu memperkenalkan diri, memberikan sebuah amplop. Sesuai perintah Tim tadi, amplop itu segera kubuka. Isinya tiga lembar kertas warna saga seukuran uang dolar Amerika, pertanda bahwa lelaki ini memang orang yang ditugaskan menjemputku.

“Perlu saya bantu?” Matanya melihat ranselku.

“Tidak, terima kasih.”

“Itu mobilnya… Yeah…” Jo berjalan di depanku. Pasti nama asli Jo terdiri dari tiga kata, pikirku. Dari sela-sela pagar besi bercat putih bisa kulihat beberapa mobil terpakir di halaman. Ia membawaku ke sebuah van biru navy yang mengkilat habis dicuci.

Kuedarkan pandangan. Kulihat lima perempuan keluar dari gerbang stasiun. Ada tiga orang menuju tempat parkir, menghampiri penjemput masing-masing. Mereka tampak biasa saja. Tak satupun yang sosoknya tinggi-kekar, berwajah serius dan berpakaian serba hitam seperti bayanganku, seperti dalam film-film action yang sering kutonton itu. Huuuhhh, gerutuku, film-film itu tak tanggung-tanggung mencuci otakku.

“Supir kami yang di Bangkok bernama Mo. Sekarang saya dijemput Jo,” kubuka percakapan. “Apa supir-supir di sini suka memakai nama pendek dengan dua huruf saja?”

Jo tertawa. “Bukan, Madam. Nama saya panjang. Jo mudah diucapkan. Yeah…” Karena aksennya, kata-kata Jo agak sulit kumengerti. “Nama saya Min Zaw Oo. Yeah…” Jo meraih sesuatu dari kotak yang terselip di dalam rak pintu, selembar kartu nama. Di sudut kanan kartu nama itu tertera fotonya, tersenyum lebar berkacamata hitam.

“Sering menjemput tamu, ya?” aku basa-basi.

“Ya, Madam. Tiap hari. Kemarin menjemput tamu dari Afrika. Orangnya sebesar gajah… Yeah…” Jo tertawa.

“Belalainya sepanjang apa?” sambutku. Tawa lelaki berlesung pipit itu makin keras.

“Kita berangkat sekarang atau Madam perlu sesuatu? Yeah…. Kalau haus, di trunk ada cooler penuh minuman. Akan saya ambilkan… Yeah…”

“Tidak perlu. Kita berangkat sekarang.”

“Yeah… Saya orang Burma. Saya orang Shan. Yeah…. Yeah….” Jo manggut-manggut sendiri.

Firasatku mengatakan sepanjang perjalanan Jo akan mengucapkan ‘yeah’ ratusan kali.

** 

Seekor tupai kebingungan di luar garis kuning yang menandai batas badan jalan. Ia ingin menyeberang jalan yang memisahkan hutan ekaliptus dengan perkebunan nanas. Suara menderu di kejauhan membuat binatang kecil abu-abu itu beberapa kali menengok ke belakang. Ia tidak tahu kalau suara itu berasal dari mesin kendaraan kami yang meluncur kencang ke arahnya. Aku menahan nafas saat kulihat si tupai melintas.

 “Aaahhh…!” aku dan Jo teriak bersamaan. Terdengar suara benturan kecil dari dasar van. Tubuh tupai malang itu pasti remuk dan gepeng.

“Hanya tupai. Yeah….” ujar Jo.

“Ya. Hanya tupai,” bisikku, tak enak hati. Aku menoleh. Sedan merah itu masih berada di belakang kami. Aku melihatnya mengekor sejak kami keluar dari halaman stasiun. Itu pasti si penjaga yang disebut Tim tadi, pikirku.

Kunikmati pemandangan sepanjang jalan: perkebunan nanas dan pisang di sebelah kiri serta hutan ekaliptus diselang-seling jati di sebelah kanan; membentang hingga menyentuh kaki pegunungan. Lansekap pedalaman Thailand sekitar 150 km dari Bangkok ini mengingatkanku akan Aceh Tengah.

Terik mentari bulan Februari memberi langit warna putih rata dengan selapis tipis awan, membuat perbukitan tampak biru terang keabu-abuan. Menyilaukan mata.

“Kita akan sampai sepuluh menit lagi. Yeah….” Jo manggut-manggut.

“Bagus,” sahutku pendek.

Kuraih ranselku, kubuka dan kurogoh ke dalam, kuambil map biru. Sekali lagi kupandangi foto lelaki yang sebentar lagi kutemui. Sebagian besar perkebunan nanas, pisang, jati dan ekaliptus yang baru saja kami lewati adalah miliknya. Dari fotonya terlihat ia berdarah campuran Asia dan Kaukasia. Wajah itu luar biasa, sarat aura kekuatan dan kekuasaan. Ganteng bukan kata yang tepat. Memukau, kata itu lebih pas. Sorot matanya menunjukkan ego yang besar. Kerutan di sekitar mata dan dahi menandakan kematangan usia. Guratan senyumnya jelas-jelas berkata: lihatlah aku, sang pemenang.

Sebersit rasa takut menyelinap ke dalam hatiku. Bagaimana kalau aku mati berdiri saat bertemu dengannya? Atau lebih parah lagi, kencing di dalam celana saking terpukau olehnya?

Jo memperlambat laju kendaraan, membelok dari jalan raya. Aku menoleh, sedan merah itu melaju lurus. Jo sama sekali tak memperhatikannya. Atau mungkin ia hanya pura-pura. Kami melalui jalan lebih sempit, di kanan-kirinya penuh berbagai tanaman buah-buahan.

Dari balik rimbunnya dedaun, tampak pagar batu kecoklatan setinggi dua kali orang dewasa. Pintu gerbangnya melengkung tinggi agak menjorok ke dalam. Jo menghentikan van 3 meter dari gerbang. Seorang penjaga turun dari gardu, mendekati kendaraan. Lewat jendela Jo melongokkan kepalanya. Penjaga itu mengangguk, memberi isyarat pada temannya di dalam gardu. Gerbang pelan-pelan terbuka lalu menutup kembali begitu kendaraan kami masuk ke dalam.

Rumah yang kudatangi ini menyerupai istana. Halamannya mungkin seluas lapangan bola. Penuh tanaman yang jelas-jelas dirawat oleh ahlinya. Mobil berhenti di bawah kanopi. Seorang perempuan berseragam kuning muda bertopi putih mirip perawat membuka salah satu daun pintu dengan dua tangan. Ia menyeberangi teras bagai melayang.

“Selamat datang, Madam.” Ia membungkuk, menelangkupkan tangan di dada. Sebentar ia berbasa-basi. Jelas ia terlatih sekali. Bahasa Inggrisnya sempurna. Ia meraih ranselku yang sebenarnya ingin kubawa sendiri.

Kuikuti langkah si pelayan yang berjingkat mirip kaki-kaki burung gereja. Sembunyi-sembunyi mataku melirik ke sana-sini, mengagumi kemewahan istana ini. Di tiap dinding tergantung lukisan perempuan cantik dalam berbagai pose. Pasti sang nyonya rumah, pikirku.

“Silakan, Madam. Tuan menunggu di dalam perpustakaan,” si pelayan membuka pintu, membungkuk dengan sopan, menyerahkan ranselku. Tanpa suara sosoknya menghilang.

Kulihat deretan rak mewah menempel pada dinding ruangan, penuh buku-buku mahal bersampul kulit. Di dinding yang kosong tergantung lukisan seorang perempuan. Wajahnya jelas-jelas Kaukasia. Rambutnya pirang dan ikal, jatuh di bahunya yang telanjang. Mungkin itu ibunya, yang kabarnya berasal dari Amerika. Wajah itu mengingatkanku akan seseorang, namun aku lupa siapa dan kulihat dimana.

Aku hanya terlongong di depan pintu, mengamati benda-benda mewah di depanku. Ini pertama kali aku ditugaskan menemui lelaki yang berpengaruh besar pada nasib dunia.

“Selamat siang, Mia. Aku sudah menunggumu. Rumahku ini tidak tertera di peta. Semoga tadi kamu tidak kesasar,” suara lelaki menyapaku dari balik dinding berlapis kayu jati tua berserat menawan. Bayangannya memantul pada kaca rak buku. Jantungku bertalu-talu.

***



0 Spots:

Post a Comment