Percakapan-percakapan kita adalah puisi yang
menghelai serupa kelahiran larik matahari
dan lembar-lembar dasi sebagai simpul.
Kekasih, demikianlah hari selalu terbit dari
rona pipimu, menaiki degup debar perjalanan
ini. Seperti masa yang kita simpan dalam bulir-bulir pundi
menjadi mimpi sementara jemari kita menghitung
cinta yang masih bertubi-tubi.
Katamu, secangkir kopi dan dasi adalah diksi
yang terjalin dalam abstraksi pentas rasa danw arna-warni
merah serupa denting-denting putaran sendok
biru dalam garis-garis yang mengaromakan kenangan
menggenang dalam linangan hitam yang tetes-tetesnya
mengabarkan kepulangan sore yang ungu.
Lenggang dalam tunggu.
Ketika sekecup pagi dan dasi adalah mantra yang
terburai dari lingkaran yang semestinya menasbihkan kita dalam ode, maka
kularungkan warna-warnanya menjelma doa yang mengabu!
Kekasih, telah kutukar pelangi yang menggelombangi rambutmu di pagi
dengan hujan yang senantiasa memantrai namamu.
Dengannya, kukenakan ia sebagai dasi, sebagai hati
yang menggantungi cinta yang tertinggal setelah
pejam matamu yang memberi titik pada kalimah cinta
kita
masih
bertubi-tubi.
Puisi Pagi dan Dasi
- By Unknown
- On June 29, 2011
- 3 comments
Hmmmm... meski gak pakai dasi, saya selalu suka aroma kopi dalam puisi Meli... wangiiiii...
ReplyDeletebaca puisinya Meli yang ini berasa gimanaaaaaaaaa gitu ^_^ *terbayang dasi yang rapi tergantung di kemeja maron strip silver :D
ReplyDeleteSaya selalu suka puisi-puisi dari perempuan penyair. Selalu saja ada yang keluar dari sembunyi: kata, kalimat, rasa. Seperti yang ini. Ya, seperti yang satu ini.
ReplyDeleteTabik.