Ilustrasi oleh Azam Raharjo |
Episode 9: Priyo Pamit (2)
Iroh bangun karena mendengar suara seseorang klithak-klithik di dapur. Pasti Eyang, pikirnya. Rasa sedih akibat tak akan bisa lagi bertemu Priyo membuatnya sulit tidur. Matanya masih terasa berat namun ia paksakan untuk bangkit, melipat selimut dan membenahi tempat tidur. Dalam kesedihannya, hatinya masih mengucap syukur karena tiga majikannya baik pada dirinya. Meskipun ia terlambat bangun, tidak ada yang memarahinya.
Iroh keluar kamar, melangkah nyaris tanpa suara menuju kamar mandi belakang. Sambil berwudlu, ia berdoa agar rasa sedih di hatinya terbasuh bersama air yang membersihkan bekas-bekas air mata di wajahnya.
Iroh sadar, bagi Priyo dirinya bukan siapa-siapa, hanya seorang pembantu rumah tangga yang kebetulan bekerja pada keluarga yang ia kenal dengan baik.
Iroh tahu ia bukan Cinderella. Dari rangkaian obrolan sorenya dengan Nona Dea, Iroh tahu kalau kisah Cinderella itu hanya dongeng. Itu pun tidak terjadi di Indonesia. Dongeng itu tidak nyata, hanya rekaan semata. Iroh pun tahu, ia bukan anak yang ketika bayi dibuang oleh ibunya, seorang gadis jelita yang dihamili pacarnya, yang kemudian diambil oleh pengemis yang lalu membesarkannya, yang setelah dewasa bertemu kembali dengan sang ibunda yang ternyata kaya raya. Semua cerita yang ia tonton di televisi dan ia baca di majalah itu tak ada satu pun yang cocok dengan kisah hidupnya yang biasa-biasa saja.
“Iroh…”
“Ya, Nyonya…” ternyata yang di dapur bukan Eyang, tapi Nyonya Runi. Iroh cepat-cepat melipat mukena. “Sebentar, Nya.”
“Galonnya semua kosong, ya?” kata Nyonya sambil memandang empat buah galon di salah satu sudut ruang makan. “Lupa pesan tadi malam?”
“Eh… Iya… Maaf, Nya. Kemarin lupa pesan. Nanti saya telpon, jam enam juga sudah buka,” Iroh menyebut nama mini market tak jauh dari rumah yang mau mengantarkan pesanan ke rumah-rumah pelanggannya. “Airnya masih cukup kan untuk pagi ini, Nya?” Mata Iroh beralih ke galon di atas mesin dispenser, airnya masih dua pertiga penuh.
“Masih cukup kayaknya. Jangan lupa, ya. Saya harus berangkat pagi. Ini titip untuk Priyo, ya.” Runi mengangsurkan amplop putih. Nama lelaki itu tertera di atasnya. Semalam Eyang sudah tidur ketika Runi pulang. Ia hanya mendengar laporan sekilas dari Dea yang bercerita sambil mengantuk. Meskipun tidak tahu persis kejadiannya, Runi bisa menduga kalau perempuan muda itu kecewa gara-gara Priyo pamit. Rententan kejadian yang dialami Iroh sejak Priyo menyupiri mobil Eyang sudah menjadi bukti kalau perempuan itu menyimpan rasa suka yang tak biasa pada sang lelaki muda.
“Priyo tidak bekerja lagi minggu depan,” ucap Runi. “Dia mau sekolah lagi. Jauh sekali. Ke Jerman. Kamu sudah tahu, to? Lagi pula, Priyo memang bukan supir…”
Iroh mengangguk sambil menunduk. “Non Dea mau sarapan apa, ya?” Untuk menghalau kegundahannya Iroh mengalihkan pembicaraan.
“Ini, sudah…” Runi mengangkat tudung saji di depannya. Dua lembar roti dan telur dadar telah ia siapkan untuk anak semata wayangnya yang sedang mandi. “Saya tahu kamu suka sama Priyo. Siapa sih yang nggak suka sama dia?” Runi tertawa pelan. “Menyukai orang yang baik itu normal, Roh. Tidak apa-apa. Kalau orang itu ternyata hanya menganggap kita sebagai teman, jangan kecewa. Dulu saya waktu muda juga pernah kecewa. Sekarang pun sesekali saya kecewa. Saya juga kecewa karena Papa Non Dea pergi duluan… meskipun karena dipanggil Tuhan.”
Iroh salah tingkah. Runi sengaja membuka percakapan agar Iroh merasa punya teman berbagi.
“Kamu tidak perlu bersedih, Iroh.” Runi menatap mata Iroh yang mulai digenangi air. “Sudah… kita semua banyak pekerjaan hari ini. Jangan lupa telpon minta diantar galon air, ya. Jangan lupa amplopnya untuk Priyo, ya. Jangan lupa…” Runi mengingatkan beberapa urusan yang harus diselesaikan Iroh hari itu.
Ia ingin mengajak perempuan itu keluar dari kungkungan rasa sedihnya. Runi telah belajar dari pengalaman hidupnya bahwa dunia sebenarnya menawarkan begitu banyak kegembiraan yang tak akan dilihat oleh hati yang gemar menyesali diri. Kegembiraan ada dimana-mana, termasuk di dalam secangkir cokelat panas yang baru saja ia nikmati, juga air hangat yang mengguyur tubuhnya saat mandi atau mobil mungil yang mengantarkannya ke tempat kerja setiap hari. Runi ingin mengajak Iroh melihat kegembiraan versinya sendiri. Mungkin majikan yang baik hati, atau adik-adiknya yang bisa sekolah lebih tinggi, atau sepiring nasi goreng teri buatannya yang kelezatannya sudah diakui.
***
Terpincang-pincang karena sepatunya baru dipakai sebelah, Dea berlari ke belakang, mencari Iroh yang sedang mencuci piring. Pagi ini, setelah menyerahkan amplop pada Priyo, perempuan itu menyibukkan diri di dapur. Hari-hari sebelumnya ia memilih sibuk di luar, tak jauh dari garasi, demi menikmati seraut wajah tampan. Kini Iroh memaksa diri untuk menerima kenyataan, meski terasa pahit akan ia telan.
“Rooh…”
“Di dapur, Nooon…”
“Coba lihat di depan! Cepetan!”
“Ada apa, sih?”
“Ituuu… yang ngantar galon air… kayaknya bukan yang biasanya…”
Iroh tak mau ada masalah dengan galon air pesanannya karena persediaan air nyaris habis. Bisa-bisa ia harus bolak-balik ke mini market sambil mengangkat-angkat galon sendiri. Cepat-cepat ia mengikuti majikan mudanya yang tertatih-tatih melangkah sambil memasang sepatunya yang sebelah lagi.
“Tuuuh…! Mirip siapa…” Dea mengarahkan dagunya pada lelaki yang sedang menurunkan empat galon air dari mobil pick-up. Iroh hanya melihat punggungnya saja. Beberapa detik kemudian, lelaki itu berbalik, siap mengangkat galon air ke dalam rumah.
“Waaah… boleh juga, Non.” Senyum Iroh merekah.
Wajah lelaki pengantar galon air itu tak beda jauh dengan Ryan d’Masiv. Hanya saja lelaki ini rambut poninya lebih pendek dan sosoknya lebih kekar. Dea tahu kalau Iroh tak pernah sehari pun absen mendengarkan lagu-lagu mereka. Di dinding kamarnya, di atas tempat tidurnya, tertempel poster d’Masiv ukuran A-1 yang ia beli di Malioboro tahun lalu. Iroh juga mendapat hadiah dari Dea, sebuah mug besar dengan sablonan gambar wajah Ryan. Tiap pagi, saat menyeruput kopinya, Iroh membiarkan bibirnya membasahi wajah penyanyi idolanya itu.
Dea terkekeh senang melihat wajah Iroh berbinar-binar. Bila punya uang, ingin rasanya semua galon di atas pick-up itu ia beli, untuk membuat Iroh tersenyum lagi.
***
Episode sebelumnya: Priyo Pamit (1)
Keterangan:
Klithak-klithik: dalam konteks kalimat di atas, artinya mengerjakan sesuatu yang menimbulkan bunyi (yang tidak mengganggu).
wahahahahahaha... Irooooooh, bakal jatuh cintrong juga sama Ryan.. eh pengantar galon itu :D
ReplyDeletehahahahahahaaa... ternyata cintanya sama Priyo hanya seberat galon air...
ReplyDeletesuka ilustrasinya, simpel dan unik
ReplyDelete@Budi: heheheheheee... itu karya anak saya :) thanks, ya.
ReplyDeletewah...blh jg seleranya iroh...ryan d'masiv je hahaha
ReplyDelete