''Ibu kritis, Mas...'' Suaranya terdengar pilu di ujung handphone.
Satrio baru saja menginjakkan kakinya di bandara Minangkabau. Tidak diharapkannya kabar itu yang akan menantinya begitu kakinya sampai di darat.
Termenung dan meragu. Dia diam terpaku tegak. Apa yang harus dilakukannya kini? Kembali ke Jakarta? Sedangkan hatinya begitu yakin kalau dia akan menemukan perempuan itu di kota ini.
Setelah lama berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk menginap satu malam. Besok pagi-pagi sekali dia akan kembali.
''Aku pulang besok pagi. Tolong jaga Ibu,'' katanya.
''Aku selalu menjaganya sepenuh hatiku, Mas. Jangan khawatir,'' jawab Rumi.
Satrio kembali terdiam mendengarnya. Selalu dengan hati. Semua yang dilakukannya selalu dengan hatinya. Mungkin itu yang membuat Ibu jatuh cinta kepadanya. Dia begitu baik. Begitu lembut. Begitu bersahaja. Dan di atas segalanya, dia begitu tulus.
Mendadak Satrio dilanda keraguan yang luar biasa. Apakah ini sebuah kebodohan? Meninggalkan begitu besarnya cinta di sana demi sesuatu yang tak nampak. Hanya mengejar rasa penasarannya saja dan dia rela menukarnya dengan sebuah hati penuh cinta? Satrio bimbang. Hari sudah menjelang senja. Cepat-cepat dia berjalan menjauh dari pintu bandara dan memanggil sebuah taksi gelap. Pantai Padang. Itu tujuannya. Entah mengapa dia begitu yakin kalau perempuan itu ada di sana saat ini. Dia sempat membaca tulisan terakhirnya tadi pagi. Si Jalang akan melaksanakannya sore ini.
Taksi itu menyusuri pinggir pantai sampai ke bagian paling ujung yang sepi. Beberapa batu karang tampak menyembul dari deburan ombak sore. Satrio menghentikan taksi itu dan bergegas turun. Setengah berlari dia menuju ke arah batu karang besar di depannya. Tidak tampak apa-apa dari tempatnya sekarang. Sepertinya ia harus memanjat karang itu untuk dapat melihat jelas ada apa di atasnya.
Matahari sore perlahan meleleh tersentuh garis di ujung laut itu. Jingga tampak mulai pecah berpendar mengikuti ombak di dekatnya.
Satrio memanjat dan sampai di atas.
Perempuan itu di sana. Bergaun hitam dan bersepatu tinggi. Sinar oranye menerpa kulit putihnya. Satrio terpana. Setengah tak percaya akhirnya dia menemukan perempuan itu.
Dia tak berani mengeluarkan suara. Seakan takut perempuan itu akan terkejut dengan kehadirannya dan memutuskan untuk melompat lebih cepat.
Tak disangkanya, perempuan itu membalikkan badan perlahan dan tersenyum, seperti tahu kalau Satrio ada di sana. Dia seperti bidadari tak bersayap yang siap terbang dengan kibaran gaunnya yang tertiup angin itu.
''Jangan kau teruskan. Berhentilah di sana,'' ujarnya setengah berteriak. Berusaha mengalahkan deru angin laut yang makin keras berhembus.
Satrio berhenti di tempatnya.
''Satria Piningit. Kamu benar-benar datang. Selamat menyaksikan kematianku. Hadapi kenyataan kalau ternyata bukan aku yang harus kau selamatkan, tapi hatimu,'' katanya masih dengan senyum.
Satrio masih belum mampu berkata-kata. Lidahnya kelu, bibirnya terkunci dan kedua matanya terpaku pada sosok itu. Dia tampak begitu ringkih, tapi seperti ada lidah api berkibaran di sekujur tubuhnya. Kemarahannya pada hidup tampak jelas dari pancaran matanya.
''Jangan kau teruskan. Kumohon. Siapapun dirimu, kamu berhak untuk hidup. Aku akan menolongmu. Lihatlah, aku sudah sampai di sini, seperti yang pernah kukatakan padamu, bukan?'' Satrio berkata dengan penuh kecemasan.
''Aku berhak untuk hidup dan mati, Satria! Aku tidak perlu kau tolong. Tolonglah dirimu sendiri. Temukan cintamu yang sebenarnya, sepertinya itu yang membuatmu gundah sampai kau harus datang mencariku ke sini,'' ucapnya lantang.
Cepat perempuan itu berbalik dan merentangkan tangannya. Memasrahkan seluruh tubuh kurusnya itu kepada gravitasi bumi di bawahnya. Serta merta tubuhnya melayang seperti seekor camar yang menukik tajam menuju mangsanya di laut biru.
''Jalaaaang!'' Satrio hanya mampu meneriakkan nama itu.
oooOOOooo
Rumi dan Satrio beranjak perlahan dari depan pusara itu. Makam Ibu tampak agak kering setelah hampir setahun mereka tidak nyekar. Rumput-rumput liar telah habis mereka cabuti sesaat setelah mereka tiba di sana. Setidaknya sekarang pusara itu tampak sedikit terawat.
Bergandengan tangan mereka berjalan menuju gerbang pemakaman itu. Rumi dengan perut besarnya itu bergelayut manja di tangan Satrio. Satrio dengan penuh kasih merangkul pundaknya. Teduh bayang-banyang pohon kamboja sepanjang tepian area pemakaman itu memayungi langkah mereka.
Rumi tak henti-hentinya bersyukur atas segala kenikmatan yang didapatnya. Suami yang mencintainya dan jabang bayi yang sebentar lagi akan menemani hari-hari mereka. Ibu benar-benar sangat berjasa. Bahkan kepergiannya setahun yang lalu itu pun membawa berkah bagi pernikahan mereka. Rumi percaya sepenuh hati, kepergian Ibulah yang akhirnya meluluhkan hati Satrio.
Tiba-tiba saja Satrio datang saat Ibu kritis dan memeluknya dengan penuh cinta. Sebuah kata maaf dan segaris air mata di kedua pipinya untuk Rumi. Hanya itu. Namun sudah cukup bagi Rumi untuk segera tahu kalau Satrio kembali untuk dirinya. Penantiannya terbayar. Cintanya terbalas. Entah benar atau tidak prasangkanya, namun hati kecilnya mengatakan kalau keadaan Ibu saat itu yang menyadarkan suaminya pada akhirnya.
Satrio tak henti-hentinya mensyukuri keputusannya untuk datang menemui perempuan itu. Perempuan yang telah menyadarkannya akan arti cinta dalam hidupnya. Perempuan yang tak punya setitikpun cinta untuk siapapun itu telah mengantarnya kembali kepada Rumi, istri yang begitu mencintainya selama ini.
Jalang itu berhasil membuatnya terpekur mengingat Rumi sedetik setelah dia melompat ke tengah arus laut dan bongkahan batu karang di bawahnya itu. Jalang itu menyuruhnya untuk menemukan cinta yang sebenarnya. Dan kini cinta itu ada dalam dekapannya. Betapa bodoh dirinya selama ini karena menyia-nyiakan putih cinta Rumi padanya. Namun Satrio yakin sekali, Jalang itu memang dikirim Tuhan untuk menunjukkan jalannya menemui cinta Rumi.
oooOOOooo
1 komentar
SP mengatakan…
Jalang, maafkan aku karena membiarkanmu pergi. Kamu begitu keras kepala. Tak ada yang dapat merubah pikiranmu. Harusnya kamu tahu kalau kamu begitu kuat. Bahkan di penghujung hidupmu, kamu mampu membuka mataku pada akhirnya. Kamu bisa membuatku menemukan jalanku saat semuanya tampak buntu bagiku. Harusnya kamu sadar itu. Kamu adalah perempuan yang sangat kuat. Tak seharusnya kamu pergi dengan cara seperti ini.
Bahkan pada saat polisi mengangkatmu dari lautan luas itu, aku masih bisa melihat wajah cantikmu yang penuh tekad. Sungguh keras kepala. Tak sia-sia aku mencarimu dan sempat menjumpaimu. Kamu sangat berjasa dalam hidupku.
Bahkan namamu pun aku tak tahu. Namun begitu besar pengaruhmu atas diriku.
Selamat jalan, Jalang. Terima kasih.
Namaku Satrio Putranto.
TAMAT
Bahagia, saat cerbung ini tamat, blog Kampung Fiksi juga menyempurnakan transformasinya menjadi www.kampungfiksi.com :D. Thank you all, for always coming to this humble blog. We just want to share happiness with you through words and imaginations. Cheers!
Obituari Jalang #10 (Tamat)
- By Winda
- On June 29, 2011
- 5 comments
Happy ending story..laik Dis!!!
ReplyDeleteLove this story.... :)
ReplyDeletesari, deasy: untung happy ending, jadi sesuai dengan mood kita yg malam ini semuanya lagi happy karena Kampung Fiksi dot com telah hadiiiir!!! :D mari berpelukaaan.. ^_^
ReplyDeletehahahahhah telat banget aku ya mba win baru baca obituari jalang ini, bis emang jarang mampir juga disini klo ga liat link dr mba endah ttg sketsa joni dan tina pasti ga mampir dehy hehehehhehe. oia sampai lupa, jadiin novel aja mba... coba tanya2 sama redaksi gramedia siapa tau masuk :D
ReplyDeleteakhirnya happy ending...
ReplyDeleteasik banget deh bacanya
Iya bikin novelnya aja Mbak Winda.
laris manis pasti :-)