"Kami turut berduka ya nak, atas kepergian ibumu yang begitu mendadak...," aku menerima ucapan bela sungkawa entah dari beberapa orang di rumah duka pada malam itu.
Ada rekan - rekan guru dari sekolah tempat ibuku bekerja selama puluhan tahun termasuk yang sudah pensiun. Aku harus mengakui bahwa sungguh luar biasa perhatian mereka pada ibuku karena beberapa diantaranya telah pindah ke luar kota. Tapi banyak dari mereka tetap mengusahakan datang ke acara pemakaman ibuku. Aku melirik kearah Mia, salah satu adikku yang balas memperhatikanku sejenak lalu kembali sibuk memberikan makanan siap saji bagi para tamu yang datang. Ibadah baru saja usai untuk mengantarkan ibu kami ke peristirahatannya yang terakhir siang tadi.
Dengan sabar aku dan adik - adikku mendengarkan cerita para rekan - rekan kerja ibu mengenai kebaikan hati ibu kepada mereka.
"Ibumu selalu siap meminjami saya uang setiap kali suami saya yang tidak berguna itu menghabiskannya di meja judi," kali ini cerita datang dari bekas pembantu yang bekerja di sekolah tersebut. "Ibu kalian yang memberikan saya kekuatan untuk meminta cerai dan mencari nafkah tambahan dengan membuka warung... Kalian tahu, ibu kalian yang memberi modal pada kami..." Lalu ibu itu tersedu sedan dan dipeluk - peluk oleh orang - orang yang ada disekitarnya. Aku kembali mengangguk - angguk karena tidak tahu apa lagi yang bisa ku katakan. Mengingat, bukankah seharusnya mereka yang menghibur kami dan bukan sebaliknya?
Beberapa orang menghampiri kami setelah ibu tadi beranjak pergi dan menyalami kami satu persatu. Aku, Mia, Eko dan Dani. Dani mengangguk pada mereka dan kembali ke depan ruangan untuk menerima tamu yang lainnya lagi. Mia pun beranjak meninggalkan kami untuk memastikan tidak ada makanan yang belum diberikan pada tamu yang datang. Jadi tinggallah aku dan Eko, mendengarkan cerita kekaguman lainnya dari para tamu ini yang rupanya mantan murid - murid ibuku.
"Ibu Elly sungguh berbeda dari guru - guru yang lain... Mereka hanya bisa memaksa kami untuk mengambil kursus tambahan atau nilai kami dikurang dari yang seharusnya...," salah seorang pemuda bercerita pada kami dengan mata berkaca - kaca.
"Mbak mungkin tidak melihat karena dulu waktu kami belajar di rumah, mbak dan adik - adik jarang terlihat ya... Tapi Ibu Elly selalu bertanya langsung pada kami, apa yang menjadi kesulitan kami... Dia tidak sungkan menghabiskan waktu dengan bercakap - cakap dari hati ke hati....," sekarang salah seorang wanita turut menimpali cerita temannya. "Menurut beliau, tidak ada satupun anak yang bodoh... Tapi pengaruh dari rumah bisa saja menyebabkan kami tidak bisa berkonsentrasi..."
Dan entah apa lagi yang mereka ceritakan karena sepertinya mereka mulai sibuk sendiri saling bertukar cerita satu sama lain. Mengenang masa – masa mereka ketika masih berjuang dengan pelajaran di sekolah dan bagaimana ibu kami membantu mereka satu persatu. Bagaimana ibu kami mendekati mereka seusai jam pelajaran dan bertanya apa yang menyulitkan mereka dalam memahami pelajaran. Memberi mereka semangat dikala semangat mereka mulai meredup agar jangan menyerah, bahwa harapan selalu ada bagi orang yang tetap mau berusaha.
“Tanpa dorongan ibu Elly, kami mungkin tidak akan menjadi apa –apa,” seorang pria berkaca mata kembali mengalihkan perhatiannya pada kami. “Keluarga saya tidak pernah peduli pada saya dan menganggap saya bodoh… Tapi Ibu Elly mengetahui bahwa saya mempunyai kesulitan untuk membaca dan tanpa dia saya mungkin tidak akan pernah bisa memperbaiki diri…”
“Kalian sungguh beruntung mempunyai ibu seperti Ibu Elly, “ seorang wanita lainnya menghampiri diriku dan menggemgam tanganku. “Jika kalian membutuhkan sesuatu, apa saja… kami siap membantu…”
Teman – temannya menganggukkan kepala dengan sepenuh hati seraya bergumam bahwa mereka berhutang budi begitu banyak pada ibu kami dan akan membalasnya pada kami. Aku dan Eko tidak berkata apa – apa selain mengucapkan terima kasih untuk perhatian mereka kepada kami. Sepertinya ucapan terimakasih berhamburan keluar terlalu banyak dari mulut kami semua malam ini. Aku lega ketika akhirnya mereka pun berpamitan dan tidak sabar menanti hingga acara ini usai.
Setibanya dirumah aku menghempaskan tubuhku ke sofa dan menutup mataku sejenak. Ada rasa sakit di kakiku dan memang sudah beberapa tahun aku mengalami hal ini. Apalagi jika malam telah tiba dengan kiriman udara dinginnya yang dulu sangat aku senangi. Bertambah tua terkadang bisa menyebalkan.
“Kak, kakimu sakit lagi?” Mia bertanya seraya mendekati diriku dan berlutut memegangiku kakiku dengan padangan menyelidik. Aku hanya tersenyum seraya mengelus kepalanya dan berusaha menghindari bagian tertentu yang akan membuatnya sakit.
Eko masuk ke dalam ruangan disertai Dani dengan membawa minuman kaleng untuk kami dan mereka pun turut duduk bersama kami. Kami mulai membicarakan barang – barang yang harus dikemasi dan mana yang sebaiknya dibuang karena memang tidak bisa dipergunakan lagi.
“Aku nyaris meledak didalam sana, “ Eko menghembuskan napasnya dengan kuat – kuat seolah berusaha membuat sesuatu yang menahannya. Mia memberikan pandangan agar Eko tidak melanjutkan kata – katanya. Memang bukan Eko yang melanjutkan melainkan Dani.
“Seandainya mereka tahu monster macam apa ibu kita itu…,” Dani mengelus luka lengannya yang tertutup oleh kemeja. Wajahnya mengeras berusaha terlihat tangguh dan menyembunyikan rasa sakit yang ada di dalam hatinya.
Aku memejamkan mata dan bayangan – bayangan itu kembali menghampiriku. Kecelakaan yang menimpa orangtua kami sehingga kami dirawat oleh Bibi Elly…kakak ibuku. Ia memaksa kami semua memanggilnya ibu dan kami tidak berani membantahnya. Bibi…, ah maksudku Ibu senang menghukum kami untuk kesalahan yang sekecil apapun yang kami lakukan.
Sulit kumengerti apa yang mendorongnya untuk mengambil kami sebagai anak – anaknya jika ia hanya memperlakukan kami dengan tidak layak? Mengapa ia bisa begitu baik pada orang – orang di luar sana tapi tersenyum pun tidak pernah ia berikan bagi kami? Bagaimana mungkin ia bisa menolong orang lain dengan sepenuh hati tapi bisa menyiksa kami dengan kata – katanya yang menusuk? Aku tidak akan pernah mengerti seandainya saja tidak kutemukan buku harian ibu kandungku tergeletak tersembunyi di dalam lemari.
Ibu kandungku merebut tunangan bibi Elly dan mereka lari meninggalkan rumah untuk menikah. Ibuku menulis bahwa ia mendengar bagaimana bibi Elly bersumpah suatu saat nanti ibu dan ayah akan membayar semuanya. Apakah kecelakaan itu memang dikarenakan sumpah bibi Elly? Aku tidak akan pernah tahu dan tidak ingin tahu lagi. Usai membacanya buku harian itu aku bakar hingga habis tidak tersisa.
Biarlah adik – adikku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Aku ingin kemarahan mereka terhadap bibi Elly mendorong mereka untuk belajar berbuat baik pada orang lain. Agar jangan melakukan hal – hal yang kami tidak sukai dari bibi Elly. Seandainya saja bibi Elly memperlakukan kami seperti anak – anaknya sendiri, maka ia tidak akan mengalami serangan jantung di malam aku memperlihatkan buku harian tersebut padanya. Aku menyaksikan dirinya meregang nyawa dan memandangku penuh kebencian.
Yah, selamat berkumpul kembali ayah, ibu, dan bibi Elly… Aku tidak akan membiarkan kesalahan kalian mempengaruhi kehidupan kami semua. Rahasia ini akan kubawa hingga hari – hari diduniaku berakhir. Tidak ada yang perlu tahu. Semua tersimpan rapat. Dan aman.
Tags:
#FictionholicSociety,
Drama,
Ria Tumimomor
Kampung Fiksi adalah komunitas dan platform literasi yang didedikasikan untuk mendukung perkembangan penulis fiksi di Indonesia. Sejak berdiri, Kampung Fiksi telah menjadi ruang kreatif bagi para penulis untuk belajar, berbagi, dan berkarya. Melalui program-program unggulan seperti #J50K—tantangan menulis 50.000 kata dalam satu bulan—dan berbagai workshop serta diskusi literasi, Kampung Fiksi terus mendorong munculnya karya-karya fiksi yang otentik dan bermakna.Dengan semangat kolaborasi dan inovasi, Kampung Fiksi menjadi tempat di mana cerita-cerita hebat dimulai dan komunitas literasi di Indonesia tumbuh bersama.
Cerita yang menarik... Ini hampir mirip dengan kisah nyata seseorang yang kukenal ;-)
ReplyDeletehampir mirip kan yach? Bisa - bisa nanti gue harus mencantumkan disclaimer :D
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteeh? innalilahi ding...
ceritanya bagus bgt.klu ada waktu kunjungi blog ane ya
ReplyDeleteHaduh. Serem membayangkan tampang Bibi Elly yang berubah kayak monster begitu pulang ke rumah... jangan2 kecelakaan itu buatannya juga...
ReplyDeleteCerita yang menarik, Ria :-)
Ah, perempuan bermuka dua? Pagi baik malam jadi monster? Mungkin semacam pagi bergaun, dan malamnya bersarung? *wink wink*
ReplyDelete@is ko yep....
ReplyDelete@i-one blog-nya banyak sekali yang mana yg mesti diliat? :)
@ENdah thank you Mbak :)
@Meli now,now...be nice and don't take it personally ;)
Sukaaaa dgn ceritanya...bener menarik!
ReplyDeletemakasiiiihhhh
ReplyDeletewah, kalo model begini emang pas-nya dibaca tengah malem ya, ri...hihihihihi..
ReplyDeleteperempuan monster...serreeem.... :D
dan OMG, gw ngakak baca komennya mbak meli...huahahahaaaa
segini mah belum serem Win :D
ReplyDeleteceritanya dikemas sungguh bagus,, setiap org memiliki rahasia dan entah bagaimana caranya rahasia itu akan ttp jd rahasia atau tidak.
ReplyDelete