Maryam

Setelah selesai membaca iqra bocah-bocah kecil itu menulis huruf hijaiyah. Maryam duduk tersenyum melihat anak muridnya semangat belajar meski buku tulis mereka beralas lantai. Ada Samsul yang tidak berhenti menarik ingus yang selalu gagal turun dari lubang hidungnya. Juga Jamal yang tidak sadar tangan kirinya menggaruk pinggir luka di dekat mata kaki, sekaligus gerakannya itu membuat lalat tidak jadi hinggap. Sementara Siti, menulis dengan hati-hati karena ujung pensilnya hampir patah. Panjang pensil itu sudah setengah kelingking, tidak bisa diraut lagi andai patah matanya.

Jamal, Samsul, Siti dan teman-temannya itu berasal dari keluarga tidak mampu. Maryam berinisiatif mengumpulkan karena dia tahu mereka semua tidak sekolah. Selain diajarkan baca kitab suci, Maryam mengajarkan juga kemampuan dasar lainnya seperti membaca, berhitung serta sedikit percakapan standar Bahasa Inggris.

Mayoritas warga di dekat rumahnya bekerja di sawah yang tidak lagi milik mereka. Mudah menebak berapa penghasilan petani yang hanya bekerja tanpa punya ladang. Meski dekat dengan bandara, tapi jalan tol menuju bandara menjadikan desa itu terisolir dengan desa lain. Akses untuk keluar jauh sekali, harus memutar puluhan kilo meter. Kampung jadi sepi ditinggal penghuni. Hampir tidak tersentuh infrastuktur ekonomi seperti jalanan dan pasar. Otomatis roda perekonomian warga jalan di tempat. Makanya tidak heran masih ditemukan penyakit busung lapar dan cikumunya di sana.

"Maryam.."
Suara ibunya memanggil dari dalam rumah. Dia segera bangkit dan meninggalkan murid-muridnya yang masih asyik menulis. Ibunya sudah duduk di meja makan dari kayu saat dia masuk. Dengan isyarat anggukan pelan ibunya menyuruh Maryam duduk di depannya.

"Bagaimana?" tanya ibunya pelan.
Maryam sudah paham apa yang dimaksud dengan pertanyaan itu. Ibunya ingin memastikan apakah lamaran Suhail, putra H. Jumari, diterima atau tidak. Maryam tidak langsung menjawab. Dia menekur meja sambil menggigit sendiri bibir bawahnya. Umur 31 memang terlalu tua untuk seorang perawan, batinnya. Meski tidak ada patokan yang baku, tapi masyarakat telah membentuk anggapan itu tanpa ada yang bisa melawan.

Maryam sangat hati-hati dalam urusan lamaran. Dia masih ingat 5 tahun lalu dilamar Zakwan. Setalah diterima dan menjelang tiga hari akad—undangan sudah tersebar, tenda sudah di pasang—ternyata datang wanita ke rumahnya marah-marah. Wanita dengan rambut sebahu itu mengaku sebagai istri sah Zakwan sambil memamerkan perutnya yang sedang hamil tua.

“Dasar cewek gatel!”

“Perebut suami orang!”

“Murahan!”

Begitu di antara makian yang dia terima tanpa mampu membalas. Maryam terlampau shock untuk menjawab bahwa dia sama-sekali tidak tahu bila Zakwan itu telah menikah. Setelah sadar realita itu benar adanya, dia hanya menjawab umpatan itu dengan mengeluarkan air mata dan mengunci kamarnya selama seminggu lebih.

Setelah kejadian itu Maryam tidak berani lagi jatuh cinta. Lebih dari sepuluh pria melamarnya, ditolak mentah-mentah. Meski mereka yang datang itu sama sekali tidak seperti Zakwan, dia terlampau trauma dan main pukul rata

Masuk akal bila banyak yang melamar. Selain cerdas, penampilan fisiknya termasuk menarik dengan kulit putih dan tinggi badan di atas rata-rata. Saat dia tersenyum, kedua pipinya membentuk lesum, mustahil pria cepat menoleh kala senyum itu tercipta. Belum lagi pipinya yang kemerahan, seperti ada garis-garis merah merona. Dalam bahasa arab namanya humaira, pipi yang kemerahan.

Tentu saja ibunya khawatir atas keadaan ini. Dia bosan melihat aktivitas anaknya yang hanya mengajar, mengajar dan mengajar. Pagi ke Sekolah Dasar, malamnya membimbing bocah-bocah tak mampu. Belum lagi omongan tetangga yang tiap hari mampir ke telinganya, lumayan menyengat. Meski Tuhan tidak pernah menghukum hambanya menjadi perawan tua, tapi manusia menyiksanya dengan gunjingan dan ghibah. Dan itu membuat dada wanita tua itu sesak. Lagipula, di atas itu semua, dia sudah sangat rindu menggendong cucu. Dan itu hanya bisa didapatkan melalui rahim Maryam, anak satu-satunya.

“Sudahlah… Suhail itu pria baik. Meski tua, dia perjaka tulen. Aku jamin itu! Kerjanya mapan. Punya usaha mebel sendiri.” Ibunya berkata pelan seolah tau apa yang bersemayam di pikiran anaknya.

Maryam bukan tidak percaya dengan penjelasan yang sudah puluhan kali dia dengar itu. Suhail sebenarnya saudara jauh dari famili ibunya. Paman-paman yang dia tanya membenarkan penjelasan ibunya tadi. Maryam juga sadar usianya tidak muda lagi. Dia pun paham semakin tua seorang wanita, semakin riskan saat menghadapi persalinan. Jangan ditanya keinginannya untuk mempunyai anak. Tiap memandang muridnya yang di SD maupun di kelompok belajar di rumahnya, dia selalu membayangkan sendiri bagaimana rupa anaknya kelak.

Yang memberatkan hatinya, bila menerima lamaran Suhail, dia harus ikut ke Bandung, mendampingi calon suaminya yang punya usaha di sana. Itu sama saja meninggalkan pekerjaan yang sangat dia cintai. Nanti bagaimana nasib anak-anak tidak mampu yang sedang menulis di depan itu? Siapa yang akan membimbingnya untuk sekedar mendapatkan pendidikan dasar?

Maryam melempar pandangan keluar melalui jendela, dari sana terlihat beberapa muridnya yang sudah rapi menulis, berdiri dan bermain lari-larian.

“Ibu guru, aku udah rapi..!” tiba-tiba menyumbul dari jendela itu wajah Samsul yang pasti digendong temannya. Jendela itu tinggi dan tidak mungkin dia bisa melongok tanpa menginjak sesuatu yang tinggi.

“Tapi aku tidak mau ke Bandung. Aku masih mau mengajar mereka.” hati-hati Maryam mengucapkan itu khawatir ibunya tersinggung.

“Aku tahu itu. Tapi kau juga punya kehidupan lain yang harus kau jalani. Pekerjaanmu ini luhur, tapi anak-anak itu bukan sepenuhnya tanggung jawabmu. Mereka masih punya orang tua kandung.”

Suasana di luar makin gaduh. Mungkin semuanya telah rapi menulis. Dan dimanapun anak kecil bila berkumpul pasti tidak betah untuk berdiam diri. Maryam mengangkat pantatnya sambil berkata.

“Nanti aku sendiri yang mengatakannya pada Suhail.”

Ibunya hanya bisa memandang pasrah anaknya kembali ke depan rumah. Meneruskan pelajaran berhitung yang kini sudah sampai materi pengurangan. Ibunya tidak tahu sebenarnya Maryam sudah memutuskan tidak mau menerima lamaran itu. Dia sudah shalat istiqoroh dan telah diberi petunjuk untuk tetap mengajar bocah-bocah tidak mampu itu. Dia yakin sekali, Tuhan sedang menunda sebentar memberi pria yang lebih tepat dan cocok untuknya.

***

14 Maret 2011

Untuk guru yang membuat anak saya bisa baca iqra, Maryam
Sumber gambar: www.indonesia-poet.blogspot.com

***

Kontributor Tamu

Ma'mar

Membaca dan Menulis, Itu saja.

7 comments:

  1. pikirkan baik2...22 nya sam-sama penting, tapi tanggung jawab juga sangat penting, saya yakin ada waktu terbaik dan ada pilihan terbaik yang telah disediakan oleh TUhan buat umat nya. salam

    ReplyDelete
  2. Allah tahu yang terbaik buat hambaNya....

    penulisnya sepertinya saya kenal.... :D

    ReplyDelete
  3. menyentuh banget dan ya kita mesti percaya kalau Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik

    ReplyDelete
  4. Paling salut sama perempuan-perempuan yang menjadi guru, apalagi yang bekerja dengan tulus dan bersemangat seperti Maryam :)

    ReplyDelete
  5. @daur ulang: bener banget..
    salam,

    @uleng: memang hanya Dia yang paling tahu

    kenalan yukk..

    @the dream catcher: terima kasih

    @Meli: kadang miris melihat ba:Dyaran dia dengan dedikasi yang telah diberikan, tapi itulah, semua ada balasannya meski belum terlihat. kok jadi sok tu ya?

    ReplyDelete
  6. menjadi guru itu akan sll dikenang dan saya salut dengan yg membuat cerita.. menyentuh,,

    ReplyDelete
  7. Komen lagi ah.... hihihi....

    Meski kaya cerita yang pernah kita baca bareng, Bang..

    Maryam ini tetep sukses mainin esmosi... wkwkwk....

    ReplyDelete