/1./
Bahkan dalam hujan sekalipun, engkau mencurahkan cinta yang menitisi gelombang yang menengadahimu..
/2./
Pernah kau tanya, Langit, serupa apakah biru?
Kataku, seperti aku yang menyebutmu dengan lafal cinta, biru, sekalipun malam yang tergelap bersiasat menyembunyikan kerlip-kerlip bintang darimu.
/3./
Aku mencintaimu. Dengan satu-satunya cinta yang kuketahui. Seperti lengkung dirimu yang melingkupiku utuh-utuh, melepas semua batas. Seperti pernah di suatu masa hanya ada debur dadaku yang mendegupi debar dadamu. Seperti itu saja aku mencintaimu. Tanpa ingin. O, bagaimana mungkin aku menginginkan, sementara kau menindai setiap ombak yang ada di diriku, menjadikanku seluruhmu dalam sepenuhku?
/4./
Dan aku hanya samudera kecil, melaju serupa perahu yang terhela oleh anginmu, langit yang membentangi seangkasa raya.
/5./
Kutitiskan puisi dari buih-buih ombak yang pecah dan doa-doa yang dimantrai oleh bulir-bulir airmata peri-peri penjalin pelangi. Menjatuhkannya kepada langit, merupa titik-titik yang meniti angin menuju dadanya, menjadi anak-anak yang kelak memelukku dengan cinta yang berbaris-baris.
/6./
Kusetubuhi senja, seperti ia pernah menggulir di sepenuh dirimu dalam lingkaran penuh. Dan dalam ektase pendar-pendar keemasan yang melarik di garis-garis gelombang, kuserukan namamu dalam nadir. Langit!
/7./
Kusebut engkau langit, sebab engkau memanggilku samudera. Sebab seperti itulah kita mengeja cinta, langit dan samudera, dalam rentang redup cahaya yang memendar dari kota-kota kita. Kota-kota yang menusuk langit dan membanjiri laut.
/8./
Aku samudera, yang dapat mengalir dan berdiam tanpa jeda, yang dapat membuat semua makhluk berkeliapan dengan ritmis dalam dadanya, membuat semua gerak ringan dan semua warna bicara.
Tapi engkau, langit, adalah maha yang menampung dan menanggung keseluruhan dalam dirimu, termasuk diriku. Maka aku tiada, tanpamu
Surat cinta samudera kepada langit adalah ode gelombang-gelombang yang menggayutkan puisi di tiap ujung lengkungnya, serupa embun pertama yang terlahir dari pagi. Demikianlah kesemestaan mengajarkan cinta, yang senantiasa mendebur, sekalipun dalam sunyi.
/10./
Di ujung tepi langit kesekian, seorang peri pemetik mimpi-mimpi yang tertumpah dari lengkung pelangi dan seorang musafir yang menyimpan arah mata angin di sakunya menangisi senja yang tidak terlahir dari persetubuhan cahaya dan cinta. Dengan bulir-bulir air mata, mereka menumbuhkan sayap-sayap yang terbang menusuk langit, menjadi bintang-bintang yang kerlipnya kerap berpendaran, di matamu, di dadaku.
/11./
Membaca sunyi adalah menyimak riuh gemuruh debur yang menyerbu pikiranku akan perahu yang terus mengayuni gelombang. Menerawangi langit. Menerawangi langit.
/12./
Adakah yang lebih menggetarkan semesta ini selain dari matahari yang lahir dari rahim samudera, yang kemilaunya perlahan menggenangi riak-riak kecil ombak menjelma larik-larik cahaya yang menghunus menuju jantung langit. Seperti cinta. Rekah pada fajar yang sunyi. Diam-diam menoktahkan keagungan nama, mu.
/13./
Dalam setiap sepiku yang riuh dan guntur, engkau menampilkan orkestra bintang-bintang yang berpendaran membentuk lingkaran, melingkupiku dengan seruan yang menyebutmu sepenuh rindu.
/14./
Surat cinta samudera kepada langit adalah bait-bait yang mengeja kesemestaan, disampaikan oleh debur-debur gelombang yang ritmis melajukan perahu-perahu yang merindu, pun oleh lengkung pelangi yang mewarnai gerak tari para bidadari dan mantra doa yang dikidungkan oleh hati orang-orang yang menyebut dirinya seorang pecinta.
/15./
Pernah dihikayatkan, langit dicipta untuk menampung semua kesedihan dan menyulangnya menjadi awan gemawan ungu yang menggumpali waktu.
Pernah dihikayatkan, takdir samudera adalah menampung tiap bulir airmata langit yang rontok karena cinta dan menyulangnya menjadi hidup bagi makhluk-makhluk yang berkeliapan di dalamnya.
Pernah dihikayatkan, demikianlah kata kesejatian berawal. Dari cinta samudera dan langit.
/16./
Dan musim, serupa lingkaran yang memutari dalam gerakan bulat yang tidak terbaca, adalah waktu yang menggugurkan dirinya sedikit demi sedikit, menjadi suatu tempat dan masa yang kelak begitu asing..
Tapi, samudera dan langit, adalah harmonisasi yang terus menyenandungkan simfoni kepada hati yang selalu menyinta, meski telah hilang kata itu sendiri..
/17./
Setiap kali samudera bersedih, akan dikumpulkannya setiap tetes kebahagian-kebahagiaan kecil yang dijatuhkan oleh langit – sebagai pundi-pundi harta karun. Kelak, orang-orang yang hatinya merindu akan menemukan mereka dan menamakannya, damai.
/18./
Tanyakan kepada samudera tentang cinta. Maka, ia akan menjawab – matahari, burung-burung yang berterbangan bersama angin, lengkung pelangi tempat peri-peri belajar menulis puisi, juga ayun laju perahu dan senja yang tergenang-genang di riak ombak-ombak.
Cinta, adalah segala sesuatu yang mengantarinya dan langit.
meski sering baca jenis barisan paragraf ini, tapi kaga bosen. ah pengen bisa menulis seindah ini, ajrin dong :)
ReplyDeletesalut dah!
ah, amat sangat meli sekaliii...sama kayak mas mamar, aku selalu ingin bisa menulis seperti ini..
ReplyDeletebener kata Winda... Ini Meli banget...dan pas dibaca di pagi hari yang mendung romantis seperti sekarang ini :D
ReplyDeletenomor delapan belas. vote!
ReplyDeleteMas Mamar, Winda: wah, barteran. Saya justru mau diajarin nulis cerpen dengan plot dan penokohan yang keren
ReplyDeleteMbak Ria: mendung mendung romantis, jadi kepingin makan bakso... sedyaaapppppp! :D
Mas Naim: semoga ini salah satu tulisan terhapus yang belum sempat dibaca sebelumnya :D
sayangnya, saya sudah pernah baca tulisan ini, mbak. :(
ReplyDeleteSelalu indah dan romantis tis tis ;-)
ReplyDeleteSaya jatuh cinta sama tulisan mba'meli, romantis abiezzz...!!! ^_^
ReplyDeletepengen bisa nulis kaya' ini juga, gimana y caranya? ajarin dunk...
penuis sangat jeli ya dalam melihat sesuatu..
ReplyDeletejangan2 penulis sering memandang langit di depan pantai??heheh
Aku ganti deh panggilan buat Mbak Puitis ini jadi mbak Romantis.
ReplyDeleteMbak Meeell, masih belum berubah juga jiwa romantisnya..