Tembak Di Tempat 12

Bagian 12

Kudengar ketukan di pintu kamar saat aku hendak melakukan posisi ardha chandrasana. Pasti Tim. Sore tadi, selepas kami sama-sama keluar kantor karena gusar, ia menelpon, mengajakku bicara. Saat itu aku tengah menyusuri jalanan, membuang semua energi negatif yang tertimbun sejak seminggu lalu, sejak petugas yang marah di perbatasan menembakkan Mosin Nagant dua kali.

Kami sepakat bertemu pukul 6, namun ada urusan mendesak yang harus ia selesaikan.

“Maaf, kupikir 30 menit cukup, ternyata hampir 1 jam,” kilahnya begitu pintu kubuka. Ia mengamati wajah dan leherku yang berleleran keringat. “Kamu baru yoga? Kita bisa….”

“Tidak apa-apa, sekarang saja,” potongku. Aku tak mau menunda kesempatan mendengar apapun yang akan disampaikannya. “Kamu keberatan kalau aku tidak mandi dulu?”

 “It’s fine. Kamu kelihatan lebih segar,” gelaknya. “Mau di kantor atau…?”

“Di kolam renang,” ujarku. Sabtu malam kolam renang buka sampai pukul 10. CafĂ©-nya masih melayani tamu hingga pukul 2 dini hari. “Sebentar….” Pintu kubiarkan terbuka. Kuraih dompet, ponsel, dan jaket. Kolam renang ada di atap, kalau malam anginnya makin kencang. “Apa ada sesuatu yang perlu kubawa?” tanyaku sebelum menutup pintu. Kami berhadapan, aku harus mendongak untuk melihat wajahnya.

“Tidak. Kita hanya akan ngobrol… Sudah membaik?” Ia melihat lengan kiriku yang tidak kubalut.

“Mulai mengering. Dokter memberiku salep, semacam pelembab dengan sedikit antibiotic, agar sel-sel rusak yang mengering tidak mengelupas sebelum waktunya.”

“Kamu ke atas duluan. Aku mau ambil celana renang. Siapa tahu ada waktu….” Ia berbalik menuju kamarnya.

Kupilih meja di dekat tembok setinggi 2 meter. Aku tak suka punggungku terkena angin malam. Tim muncul bersamaan dengan pelayan menyajikan smoothie nanas pesananku. Ia minta pelayan itu menyalakan lampu taman tak jauh dari meja. Di kolam hanya ada tiga orang, sepasang suami istri dan remaja lelaki. Kalau ada lebih banyak orang, baru semua lampu hias dinyalakan.

“Mau makan sekalian?” tanya Tim sambil memberi isyarat agar pelayan menunggu.

“Nanti saja. Ini sudah hampir 300 kalori,” kutuding gelas smoothie.

“Aku lapar,” Tim memesan pad thai sayur dan sebotol bir Jerman. “So….” Punggungnya menyandar ke kursi, kaki kiri ia silangkan ke kaki kanan. Aku hapal, itu posisi duduk yang mengatakan kalau hatinya nyaman. Siap menerima apapun dari siapapun.

“You’re the Boss!” ujarku.

“Aku minta maaf atas sikap konyolku sore tadi. Kita sedang mengalami saat-saat sulit. Pagi tadi Ruth belum bisa memutuskan apapun. Aku mungkin mendapat sanksi – proyek dihentikan dan aku diinvestigasi. Namun belum ada kepastian sampai Rabu. Ruth ada di sini sampai akhir minggu depan. Direktur sedang di Rio de Janeiro. Ada konferensi internasional membahas hasil penelitian tentang perang dingin di Amerika Latin. Apapun keputusannya, aku ingin kita bisa menyelesaikan draft laporan sebelum akhir minggu depan. Semua dokumen milik Tong Rang sudah kurangkum. Kamis, paling lambat, draft kita kirim ke DC.” Tim berhenti, memberi kesempatan pelayan meletakkan pesanannya. “Aku lapar. Makan dulu, ya…”

Boss-ku itu makan cepat sekali. Kutunggu sambil membalas beberapa sms dari Ibu dan Mbak Nia. Ibu sedang di Jakarta, kangen cucu pertamanya. Kata Mbak Nia, Ibu tak jemu-jemu melihat si kecil 7 bulan yang sudah lancar merangkak itu.

Rudi dan Naing Naing entah dimana. Di kota pusat wisata Asia Tenggara ini apa saja ada. Tinggal urusan selera dan isi dompet. Aku tidak mengenal Naing Naing. Kalau Rudi, setahuku ia jenis lelaki yang hati-hati dan hemat. Duitnya jarang ia pakai membeli kesenangan dunia, apalagi yang hanya setipis kulit. Katanya ia ingin membeli kebun mangga yang luas. Di kebun itu akan ia bangun rumah kayu. Ia sudah bicara banyak dengan Mbak Nia soal rancangan calon rumahnya itu. Aku belum tahu adanya calon istri, tapi aku yakin ia sudah punya. Denganku Rudi lebih banyak bicara tentang karya fotonya, bukan urusan pribadinya.

“Rudi ada di kamar. Naing Naing keluar,” Tim bisa menebak yang sedang kupikirkan. “Mia….” Lelaki itu menjauhkan piringnya, kembali duduk bersandar di kursi. “Sejak masih kuliah aku sudah membantu memindahkan pengungsi Burma ke negara-negara ketiga.” Tim mulai membicarakan hal yang kutunggu-tunggu. “Ibuku yang mengilhamiku. Awalnya aku hanya membantunya mengurus ini-itu, mengisi formulir dan semacamnya. Rasanya aku seperti ikut terlahir kembali kalau mereka berhasil dipindahkan ke negara ketiga. Jadi kalau sekarang aku membantu pengungsi keluar Burma, itu bukan hal baru. Sudah kulakukan lama sebelum kita kerja bersama. Setiap kali ada proyek di Asia Tenggara, aku pasti melakukannya. Aku tidak pernah cerita padamu tentang hal ini karena menurutku ini hal pribadi. Sama sekali tidak ada niat menyembunyikan apapun dari siapapun.”

“Legal atau illegal?” aku memotong.

“Segala cara. Katanya kamu tidak suka menyebut kata illegal untuk urusan pemindahan pengungsi ini?” Meskipun lampu remang-remang kulihat alis Tim terangkat.

No pun intended. Just wanna make sure,” kilahku.

Tim mendengus. “Urusan Stella Thin Aye ini hanya salah satu dari sekian banyak pengungsi yang sudah kubantu. Stella dan anaknya yang baru 2 tahun, Aron. Kali ini memang berbeda. Kisahnya panjang, kalau kamu mau mendengarkan.”

“Kenapa kali ini Rudi terlibat?” tanyaku, “dan aku tidak diberi tahu?” suaraku ketus. Beberapa saat sebelum Tim mengetuk pintu kamarku tadi, Rudi minta ketemu. Ia ingin menjelaskan. Tapi kutolak. Aku geram. Aku yang mengajaknya bergabung dalam proyek ini. Apapun alasannya, aku merasa ditinggalkan. Ini bukan perkara uang, namun keterbukaan dengan rekan kerja. Tak masalah dia mau kerja untuk banyak proyek sekaligus, yang penting kalau proyek itu masih berhubungan dengan Tim, mestinya aku diberi tahu. Kupikir harapanku tidak berlebihan.

Please…. Kita sepakat tidak akan bertengkar.” Tim mencondongkan badan ke depan. “Ini salahku. Seharusnya sejak awal kamu kuberi tahu soal keterlibatan Rudi.” Tim menuang sisa bir ke dalam gelas. “Kalau Naing Naing sudah kukenal lama. Dari Father Sap. Dia sering meliput urusan pemindahan pengungsi ini. Aku tidak membayarnya. Ia dapat banyak uang dari tulisannya itu. Beberapa minggu sebelum kita berkumpul, Rudi kutawari untuk ikut. Dulu Odo yang kuajak.” Tim menyebut sahabatnya, Odo, fotografer asal Perancis yang mati tertembak dalam konflik Kivu, Congo, Afrika. “Ini 100% proyek pribadi. Tidak ada yang membiayai. Imbalan buatku hanya kepuasan batin. Untuk jurnalis dan fotografernya, baru ada imbalan bila tulisan dan foto-fotonya dibeli media.” Tim menghela nafas, melepas kacamatanya, mengusap-suap pangkal hidungnya dengan ibu jari dan jari tengahnya.

Remaja yang tadi berenang sudah keluar dari kolam, sedang kelekaran beralas handuk di atas rumputan, memandang langit. Aku ikut-ikutan mendongak. Malam ini langit jernih. Bisa kulihat kerlap-kerlip bintang.

So?” Giliran Tim menunggu reaksiku. “I hope it answered everything.”

Yes. Thank you. Now I know your position. Look… this isn’t about money…”

I know.” Tim mengangguk-angguk. “Not yet 9 o’clock. I wanna swim. May I?”

“Silakan….” Aku berdiri. Kembali kulihat langit, kucoba membaca bintang.

** 

Jarum pendek arlojiku belum menyentuh angka 11. Malam masih muda. Katanya, tiap Sabtu usia sang malam bertambah panjang. Kami keluar bertiga, mencari tempat nongkrong yang nyaman. Naing Naing punya urusan sendiri. Aku sudah bisa memaklumi Rudi. Kami menemukan bakery yang tampak cozy, tak jauh dari hotel.

Kami masuk ke dalam. Rudi memesan satu coklat panas, dua kopi dan tiga potong carrot cake. Tim duduk tepat di depanku. Untuk menyenangkan hatiku, malam ini Rudi berjanji tidak merokok.

“Semua berawal di musim panas 2008. Waktu itu kita ada proyek di Vietnam. Ingat?” Tim menatapku, mengawali cerita tentang Stella Thin Aye. “Seorang lelaki muda dari Cincinnati, namanya Ruben, berangkat ke Chiang Mai. Kakek Ruben kerabat ibuku di Swedia. Ruben menderita kanker otak. Dokter memperkirakan ia hanya bertahan setahun lagi. Permintaan terakhirnya adalah menjadi relawan di kamp pengungsi Burma. Ayahnya mengabulkannya. Dengan bantuanku, teman-teman ibuku, dan Father Sap, ia dapat ijin masuk ke Kamp Ban Mae. Di sana ia bertemu Thin Aye, salah satu pengungsi. Mereka jatuh cinta. Saat itu mereka sama-sama 19 tahun. Ruben kembali ke Cincinnati setelah empat minggu di kamp, kondisinya memburuk. Ruben sudah tidak bisa berkomunikasi ketika Thin Aye mengabarkan kehamilannya. Keluarga Ruben mencari cara mengeluarkan Thin Aye dari kamp, ingin memboyongnya ke Amerika. Proses administrasi belum selesai ketika Ruben meninggal. Saat itu kehamilan Thin Aye menginjak sembilan bulan. Father Sap menyarankan agar pemindahan ditunda, berjanji menjaga keselamatan si ibu dan bayinya. Semua baru diurus kembali setelah si bayi, Aron, berusia 7 bulan, November tahun lalu. Nama Stella ditambahkan oleh ibu Ruben, sama dengan nama nenek Ruben. Proses kali ini legal, kalau kamu ingin tahu. Bisa lebih cepat karena semua cara dikerahkan. Tentunya melibatkan banyak uang. Naing Naing sedang menulis kisahnya. Rudi sudah mengambil foto-fotonya. Mereka, Stella dan Aron, sekarang ada di Chiang Mai. Minggu lalu Rudi ada di sana dalam rangka urusan ini.”

Tim menyudahi ceritanya dengan menyesap kopi. Rudi menunduk, salah tingkah. Aku terpana.

Dalam waktu seminggu sudah kudengar berbagai kisah tragis sekaligus heroik. Serupa kisah yang hanya kulihat dalam film.

Isn’t life furtive yet miraculous?” gumam Tim, tatapannya menembus dinding kaca, menyibak lalu lintas yang masih sesak, entah hinggap di mana.

Seolah dikomando, kami sama-sama meraih piring di meja. Menghabiskan carrot cake dengan takzim. Setiap suap dari sendok kecil itu bagai doa yang akan terkabul saat kue tak lagi bersisa.

“Semua kisah itu. Nama-nama itu. May, Lin, Tong Rang, Yan Aung, dan Stella. Mereka nyata. Para korban konflik dan peperangan, yang berhati-bernyawa seperti kita, yang menjelma sekedar angka dalam tabel, atau sebuah titik dalam grafik,” bisikku. Tiba-tiba mataku basah, aku merasa ingin menangis. Malu-malu kuhapus mataku dengan tisu. Aku tak tahu tangisku ini untuk apa atau siapa. Mungkin untuk masa laluku yang tak berhenti kusesali. Mungkin untuk kekonyolan-kekonyolan yang kulakukan seminggu ini. Mungkin untuk Tong Rang, May, Lin, Yang Aung, dan Stella. Mungkin untuk itu semua.

“Hey.” Tim mengetuk-ngetuk pelan cawan cangkirku, matanya mencari-cari mataku. “Kalau saja aku bisa menangis mungkin semuanya justru lebih mudah.” Tim tertawa kecil. “Sejak peristiwa di perbatasan itu kamu sering gugup. Kamu tahu, tidak semua rencana bisa kita kendalikan hasilnya. Kamu tahu, sebagian besar permainan tidak kita mainkan sendiri. Hasilnya juga tergantung lawan bermain, teman satu tim, penonton, atau kondisi lapangan.”

“Ya…” kuanggukkan kepala. Kuhabiskan coklat yang hampir dingin.

“Jangan dikira aku tidak pernah merasa tertekan,” Rudi akhirnya bersuara. “Kalau sedang melihat-lihat dan mengedit foto-fotoku, sering muncul perasaan aku sedang mengeksploitasi mereka. Wajah-wajah ketakutan yang tertangkap lensa kameraku. Berpasang-pasang mata yang putus asa. Tubuh-tubuh kurus terbungkus kain kumal. Untuk setiap foto itu aku dibayar. Orang-orang itu seperti sekedar obyek. Aku sering terganggu oleh perasaan semacam itu.”

“Kita semua merasakannya. Namun kita harus lebih realistis dan focus dalam menyikapi pekerjaan. Aku mengatasi perasaan semacam itu dengan mencatat hal-hal yang mengganggu pikiranku. Kutulis perasaanku dengan bahasaku sendiri,” kata Tim.

“Ya. Menulis sebagai katarsis,” bisikku. “Aku sering mengajarkan itu pada korban kekerasan. Tapi aku sendiri lupa melakukan untuk diri sendiri.”

“Bagiku itu sangat membantu. Tapi kamu rajin yoga. Mestinya itu bisa membantu juga,” Tim mengulurkan tangannya melewati meja, menepuk-nepuk tanganku.

Sabtu sudah berganti Minggu, namun orang-orang belum hendak berhenti merayakan malam. Kami keluar dari bakery. Bebanku agak berkurang. Langkahku terasa lebih ringan.

***

0 Spots:

Post a Comment