Tembak Di Tempat 3

Bagian 3

Terburu-buru aku keluar kamar hotel. Tim sudah berada di restoran untuk sarapan. Pagi ini aku kemrungsung sekali, mungkin terlalu banyak pikiran, sampai-sampai lupa memakai bra. Untung sewaktu menyusuri koridor hendak menuju lift aku merasa ada yang aneh di dadaku, rasanya semriwing, enteng dan lega; lalu aku berlari kembali ke kamar, tergesa-gesa memakai bra biru tinta itu, warna favoritku, selaras dengan rona kulitku.

“Kamu baik-baik saja, kan?” Tim manatap rambutku yang belum kering benar dan berbagai perlengkapan yang memenuhi kedua tanganku.

“Aku terlalu lama mendengarkan berita…” Sambil duduk kulolos ranselku dari punggung. Satu-satu perlengkapanku kumasukkan ke dalamnya.

“Jangan khawatir. Akhir-akhir ini situasi cukup terkendali. Suasana di sana tidak seseram yang ditulis media,” Tim meyakinkanku. Aku mendengus geli, sejak bangun tidur berkali-kali kuyakinkan diriku agar tidak perlu mengkhawatirkan situasi di lokasi yang akan kami kunjungi.

Tim terlihat segar, semalam ia pasti tidur nyenyak. Mata coklatnya yang tajam terlindung di balik kacamata minus tiga, sibuk membaca Bangkok Post. Kuamati wajah tampannya: sepasang alisnya lebat dan panjang, dagunya dicukur kelimis, tulang pipi dan rahangnya cenderung feminin, membuatnya terlihat muda meskipun satu-dua kerut mulai muncul di sudut-sudut mata dan tengah jidatnya.

Ia jarang tersenyum, namun baik hati dan mudah berteman. Ibunya seorang antropolog yang sering bermuhibah ke negara-negara Asia. Itulah awal ketertarikan Tim pada bagian dunia yang oleh teman-teman ayahnya sering disebut sebagai Timur Jauh. Menurut ceritanya, tiap kali ibunya melakukan penelitian di wilayah Asia Tenggara, mereka akan bilang “Oh, ibumu sedang berada di Timur Jauh!” Bagi Tim, tempat yang disebut Timur Jauh oleh teman-teman ayahnya itu tidak lebih jauh dari kamar ibunya, yang sering mendongeng tentang negara-negara itu sebagai pengantar tidur.

Aku merasa nyaman bekerja dengan Tim. Selama lima tahun tak sekalipun kami bertengkar, kalau sekedar berbeda pendapat itu biasa. Mungkin karena kami hanya bertemu tak lebih dari empat minggu dalam setiap penugasan. Kali ini aku akan bersamanya selama tiga minggu, di tiga tempat yang berbeda.

Lembaga tempatnya bekerja sebagai peneliti, Center for Research in Peace Building, Conflict and Negotiation, tahun ini menerima hibah hampir tiga kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Setiap mengerjakan proyek, ia berhak merekrut sendiri stafnya. Ia punya tiga tim tetap: di Afrika, di Amerika Selatan, dan di Asia Tenggara – aku salah satu stafnya.

Hasil penelitian kami berguna bagi pihak-pihak yang berurusan dengan konflik: membantu mereka mengelola konflik, mengembangkan teknik negosiasi dan mediasi, melakukan kolaborasi multipihak, menganalisa dampak konflik pada berbagai pihak (khususnya kelompok rentan: anak-anak, lansia, dan perempuan), serta masih banyak lagi.

Tahun ini aku dikontrak untuk dua proyek. Ini proyek pertama. Yang kedua akan kukerjakan Agustus nanti. Selain mengerjakan penelitian, tugas kami kali ini diselipi misi kerelawanan yang lumayan berat: menyusun proposal untuk sebuah LSM yang mengurusi korban konflik khusus anak-anak yatim dan ibu tunggal yang punya bayi.

Gajiku – dalam tiap penugasan antara tiga sampai empat minggu – cukup untuk hidup setahun. Kalau dikontrak setahun dua kali aku bisa banyak menabung. Gaya hidupku sederhana. Ya. Ukuran sederhana itu relatif. Aku masih tinggal dengan orang tua, di pavilyun yang tiga tahun lalu direnovasi dengan bantuan Mbak Nia. Aku hampir tidak pernah masak, Ibu pasti marah-marah kalau aku belanja sendiri. Jadi, uangku jarang kupakai kecuali beli buku, DVD, baju, sepatu, jalan-jalan, dan pertamax buat mobil mungilku. Mungkin sudah saatnya membeli rumah sendiri, tabunganku sudah cukup banyak.

Suara sendok beradu dengan cangkir membawaku kembali dari urusan duit ke meja makan. Tim mendekatkan bibir cangkir ke hidungnya, matanya terpejam, menikmati aroma kopi dengan sepenuh hati. Korannya sudah ia lipat, dijejalkan ke saku ranselnya. Sambil memandang sekeliling, kuseruput teh pelan-pelan.

“Kita akan menginap di Sangkhlaburi. Tidak sampai setengah jam bermobil ke Three Pagodas Pass. Sekitar 25 kilometer.” Tim menepikan cangkir kopinya, meraih peta dari saku ranselnya, menggelarnya di atas meja. Peta itu sedikit kumal karena terlalu sering dibuka-tutup.

“Aku sudah pelajari lokasinya. Ada reservoir yang sangat indah di sana,” ujarku, “Khao Laem namanya. Ini. Di sini.” Kubuat lingkaran kecil di atas peta.

“Kalau begitu sebaiknya kita segera sarapan.” Ia melipat peta lalu berdiri. Aku mengikutinya. Kurang dari 10 menit, sarapan kami selesai.

Kami keluar hotel lewat pintu belakang, menuju tempat parkir, sebuah SUV dengan supir sudah disiapkan.

“Tong Rang minta dijemput di hotelnya,” kusampaikan pesan Tong Rang, salah satu anggota tim yang menginap di hotel lain.

Thaung Rangan Sanders adalah psikolog kelahiran Burma. Pada usia sepuluh tahun ia diadopsi oleh pasangan Amerika, Arianne dan Larry Sanders. Orang tua dan adiknya mati tertembak di Rangon – sekarang lebih sering disebut Yangon – dalam pergolakan di bulan Agustus 1988. Ketika duduk di bangku SMA, ia mengubah ejaan namanya menjadi Tong Rang. Lelaki berusia 30 tahun, berwajah oriental ini menguasai 4 bahasa: Thai, Burma, Inggris, dan Perancis. Sedikit-sedikit ia mengerti dan bicara bahasa Melayu, Arianne dan Larry sudah 10 tahun tinggal di Singapura.

“Semua barang sudah masuk?” Tim membuka pintu SUV kiri depan. Kepalanya melongok ke jok tengah, memandangku. Aku mengangguk. Tim senang duduk di samping supir. “Ada kabar dari Rudi?” ia menanyakan anggota tim kami yang satu lagi. Kujelaskan kalau kemarin Rudi berangkat dari Chiang Mai dan semalam sudah sampai di lokasi.

Lalu lintas di Jalan Rama 1 – pusat kota Bangkok – belum begitu padat, belum pukul 7, sebuah tuk-tuk hampir menyerempet mobil kami, penumpangnya, sepasang wisatawan kulit putih, tertawa-tawa. Kutelpon Tong Rang, kuminta ia siap di lobby hotelnya yang tak jauh dari hotel yang kutempati bersama Tim.

“Beres! Aku akan berdiri di depan hotel sambil mengacungkan bendera,” Tong Rang bercanda.

Karakter Tong Rang sulit ditebak. Ia kadang sangat kekanak-kanakan. Ketika Rudi baru bergabung, ia memakai surjan oleh-olehku. Sehabis berkenalan Tong Rang langsung menyentuh surjan lurik warna coklat tua bergaris putih-hitam itu.

“Baju apa ini? Bagus sekali. Seperti tenun Burma,” begitu komentarnya sambil mengamati dan memegang-megang.

“Ini oleh-oleh Mia. Namanya surjan,” jawab Rudi, diikuti mengeja kata surjan. Tong Rang menirukan.

“Bagus sekali,” Tong Rang mengelilingi Rudi.

“Kamu suka? Pakai aja. Nanti aku minta Mia lagi,” Rudi melepas surjan yang ia pakai sebagai jaket untuk menutup kausnya.

 “Really? For me?” Tong Rang menangkupkan dua tangannya ke depan dada lalu bertepuk pelan-pelan seperti anak kecil yang hendak diberi mainan.

Is it okay, Mia?” Tong Rang minta pendapatku, tak sabar ingin meraih surjan itu dari tangan Rudi.

“Ya. Tentu saja. Nanti Rudi saya belikan lagi. Ambil saja.”

Tong Rang bahagia sekali. Surjan yang sedikit kekecilan itu langsung dipakai. Badan Tong Rang setinggi orang Indonesia pada umumnya, sedikit lebih pendek dari Rudi, namun leher dan dadanya kokoh-lebar, kedua lengannya berotot. Selain rajin membentuk otot di pusat-pusat kebugaran, ia juga suka sekali berenang. Kalau sedang senggang, ia bisa berenang tiga kali sehari.

Ia selalu memilih tinggal di hotel terpisah. Mungkin ia perlu privasi lebih dari yang lainnya. Tim, Rudi, dan aku bisa mengerti. Aku juga tidak menanyakan sebabnya. Sekedar iseng pun tidak. Itu urusan pribadinya yang tak ada hubungannya dengan pekerjaan. Bila merasa perlu bercerita, ia pasti akan melakukannya.

Bulan April 2009, tahun lalu, saat kami terjebak di hotel karena Bangkok sedang rusuh, aku dan Tong Rang menghabiskan waktu seminggu duduk-duduk dan membaca, saling bercerita tentang apa saja. Ia ingin tahu mengapa aku – yang menurutnya cantik, cerdas dan menarik – belum menikah. Kujawab apa adanya, aku terlalu mencintai pekerjaanku, tak rela melepasnya demi seorang lelaki. Kuceritakan kalau aku pernah pacaran, sekali, tapi dia melarangku pergi ke Amerika untuk sekolah lagi. Kami putus. Enak saja dia melarang-larang, baru berpacaran saja sudah mau mengatur dan membatasi, bagaimana nanti setelah menikah? Tong Rang berkeras kalau aku hanya butuh jatuh cinta. Mungkin saja dia benar, jadi aku tidak mendebatnya; mungkin juga lelaki memang tidak tertarik padaku. Aku tak mau pusing memikirkannya.

Kami berempat adalah manusia-manusia dewasa yang sudah terbiasa hidup di berbagai negara, bekerja dengan berbagai macam orang dengan aneka latar belakang yang sulit diterka. Sebagai team leader – dan satu-satunya yang sudah menikah – Tim menegaskan, baginya yang penting secara professional masing-masing bertanggung jawab pada tugasnya. Yang lebih penting lagi, satu sama lain harus bisa saling mengisi dan tidak kaku dengan job description. Bekerja untuk misi kemanusian seperti ini, setiap anggota tim terlebih dulu wajib memanusiakan teman kerja, saling menjaga, saling berbagi. Tim pernah menggantikan Rudi mengambil foto saat Rudi demam tinggi tertular flu entah dari siapa.

“Rudi sudah tiba di sana, ya?” tanya Tong Rang, duduk bersilang kaki di jok tengah, di sampingku. Tubuh berototnya terbalut kaus biru muda dan celana kargo broken white. Kakinya terlindungi sneakers kulit berwarna senada celananya. Ia tampak bagai akan berwisata. Menurutku ia lebih pantas jadi instruktur senam para selebriti, di sebuah pusat kebugaran mewah, di dalam gedung pencakar langit yang untuk memasukinya harus terdaftar sebagai member dengan annual fee yang mahal. Ia mengulangi pertanyaannya tentang Rudi karena aku diam saja, sibuk menganalisa dirinya.

“Sudah. Tadi malam,” jawabku, mengalihkan mataku keluar jendela.

Terlahir di Semarang 32 tahun lalu, Rudi, anak bungsu dari tiga bersaudara, tidak pernah melihat ayahnya. Saat usia kandungan ibunya 7 bulan, ayah Rudi meninggal akibat penyakit gula. Pengusaha angkutan barang yang sukses di usia muda itu meninggal saat usianya belum genap 33 tahun. Ibu Rudi masih berusia 27 tahun, tidak memiliki ijasah SMA, tidak mampu meneruskan usaha suaminya. Ia menjual usahanya pada saat yang tepat tanpa menunggu bangkrut. Atas bantuan bekas mitra ayahnya, ibunya membuka toko kelontong kecil di rumah mereka yang terletak di pinggir jalan besar. Toko itu berkembang. Kakak Rudi, dua-duanya perempuan, mewarisi bakat ayahnya, menjadi pedagang sukses.

Selepas SMA Rudi meninggalkan Semarang untuk kuliah di Jogja. Ia mengambil jurusan arsitektur, satu angkatan dengan kakakku, Mbak Nia. Sejak kecil ia hobi memotret. Tiap kali mendapat tugas menggambar sketsa di ruang terbuka, ia justru menghabiskan waktu untuk memotret. Hobinya itu kini menjadi gantungan hidupnya. Keahliannya di bidang arsitektur hampir tidak ia pakai. Karya-karya fotonya menghiasi berbagai media online dan cetak. Ia bergabung dengan Associated Press. Sering ia mendapat pesanan foto dari majalah ternama. Sesekali bila sedang beruntung, Rudi mendapat kontrak dari lembaga-lembaga besar, fotonya dibeli untuk penghias laporan tahunan dan newsletter mereka. Awalnya Rudi tidak memilih-milih lembaga yang mengontraknya. Yang penting ia menerima bayaran sesuai kualitas karyanya. Namun sejak tahun 2005, ia menolak bila disewa oleh perusahaan-perusahaan yang disinyalir ikut andil dalam perusakan lingkungan. Berapapun ia dibayar, ia tidak akan menerima tawaran mereka.

“Sakit, Mia. Di sini,” Rudi menyentuh ulu hatinya. Saat itu, dua tahun lalu, ia hadir di pesta pernikahan Mbak Nia, lalu kuajak bergabung di proyekku. Tim memintaku membantunya mencari fotografer, pengganti fotografer yang sudah lama bekerja bersamanya – yang mati tertembak dalam konflik Kivu, Congo, pada November 2007.

“Kalau banyak waktu luang, bossmu mengijinkan aku ngobyek, nggak?”

“Kamu tanya sendiri aja. Orangnya baik. Nggak pernah rewel. Kalau aku, yang dikontrak waktuku. Jadi aku nggak akan ngerjakan hal lain kalau sedang di lapangan sama dia. Karena kamu dibayar untuk tiap lembar foto yang dibeli, mungkin bisa aja ngobyek.”

Harapan Rudi terkabulkan. Rudi dibayar untuk tiap lembar foto yang dibeli oleh proyek, ia bebas mengisi waktu luangnya untuk kepentingan lain.

“Biaya perjalanan dan akomodasi disediakan oleh proyek,” jelas Tim. “Tapi kalau kamu pergi ke lokasi yang tidak masuk dalam rencana kerja kita, itu tanggunganmu sendiri.”

“Dia boss yang baik, ya,” ujar Rudi. Aku sepakat dengan teman kuliah kakakku yang berambut lurus gondrong itu.

***

3 comments:

  1. masih menyimak..temponya masih lumayan lambat ya..

    ReplyDelete
  2. @Isnan: thanks, supportnya untuk Kampung Fiksi. Sy akan support balik :)

    @Aris: iya, nih, Aris, agak lambat yaa... kyk komputer tua susah booting wuahahahaaa...
    Ntar coba sy cek lg bab2 berikutnya. Masih banyaaaak... makasih ya udah sabar menyimak.

    ReplyDelete