Pada Sebuah Ingatan
Pada sebuah ingatan
Ada suka cita yang aku miliki, dari rambut sampai ujung kaki
Pada waktu yang telah berjalan
Suka cita menjadi ampas yang mengering karena kesedihan
Pada tangis dan senyuman
Tak ada yang benar-benar dimiliki kecuali ingatan
*Bandung, 26 Mei 2011
Pojok Stasiun
pernah sebagian pojok stasiun ini milik kita
tidak lama, hanya beberapa menit saja
pojok itu, saat itu adalah milik kita
kita punya ingatannya, orang lain tidak, ku rasa
pojok itu ingatan kita tentang tawa
menghirupnya dalam hati dan melekatkan pada jiwa
tidak banyak memang tapi ingatan membentuknya menjadi rawa-rawa
kelak akan kita susuri sambil mendayung waktu dihangat khatulistiwa
tadi pagi pojok stasiun ini dimiliki orang lain
namun ingatan itu meniup-niup seperti angin
mengelus ingatan dan menindih batin
ah .. kamu sudah begitu jauh dengan ingatan yang dingin
*Bandung, 17 Desember 2010
Terminal Pagi
Kabut dan mata-mata yang terjaga
sudut-sudut gelap dan bau asap berjelaga
roda-roda dan teriakan penjaja barang seribu tiga
botol-botol plastik dan air kusam pemuas dahaga
pikiranku dan dekapan kata-kata rindu sang raja Pujangga
hatiku dan semua rasa tentang fajar jingga
kamu dan kesibukan hati penuh curiga
aku dan kelelahan jiwa raga
*Ponorogo, 13 Juni 2010
Penanda Semu
sepertinya menjadi rumit dalam hatimu
kala ruang demi ruang seperti terhalang bertemu
kala layang-layang tak terbang terhalang eternit langit-langit semu
juga kala kata-kata menjadi jerat saat diramu
tapi sepertinya menjadi sederhana dalam hatimu
kala kursi tua terpilih menemani ‘tuk menanti tanpa jemu
kala benang layang-layang terikat menjadi penanda musim yang semu
juga kala tak berkata-kata adalah hal mudah yang sulit diramu
*Bandung, 23 maret 2011,
Perasan-perasan Perasaan
Menjelang keberangkatanmu senja ini, masih terasa ada perasaan yang sudah terperas setahun ini. Wajah cantikmu masih menyisakan kedipan kepedihan sisa perasan kegembiraan setahun lalu. Kepergian ini tentang jendela-jendela tua yang tidak pernah terkunci dan menyisakan bunyi engsel karatan saksi berbagai perasan perasaan yang menjelma ke dalam rona-rona wajah dengan tatapan kosong dalam bingkai kayu-kayu kusam.
Setiap waktu terutama senja, wajahmu ada di tengah jendela. Kadang banyak kedipan-kedipan atau bahkan tidak berkedip sama sekali. Seribu rona wajahmu, jutaan kedipanmu satu arti, menanti. Terkadang penantian itu berbuah mangga di seberang jendela. Dan wajahmu terkadang mengernyit lucu merasakan manisnya.
Aku hanya rumput tua yang berumur 3 musim sejak hujan berkepanjangan menyegarkanku. Kesegaran yang membuat ujung daunku akhirnya menyentuh jendelamu. Dan wajahmu tak mengindahkanku. Tapi aku masih ingat ujung nafasmu yang menggoyang daunku. Dan dari hembusan nafasmu itu aku tahu, kau sedang menunggu.
Menjelang keberangkatanmu senja ini, akarku sudah terkulai tercabut, masih terasa ada perasaan yang sudah terperas setahun ini. Wajah cantikmu kini putih abu pucat mencari warna merah jingga rona yang hilang. Ujung daunku mulai pucat menjingga mencari hijau yang hilang. Kau menunggu, aku menunggu. Kau pergi, aku pergi. Kau hidup, aku mati.
*Bandung, 22 Februari 2011.
Puisi-Puisi Nuraziz Widayanto
- By Unknown
- On June 02, 2011
- 12 comments
Indah, sarat makna. Kampung Fiksi, bagaimana caranya kalau mau ikut meyumbang puisi Jui disini ? Siapa tau ada inspirasi pagi ini, hehe.
ReplyDeleteSelamat datang, di kampun fiksi, Kang Nuraziz. Sebentar, kopinya baru disiapkan. Antara terminal, stasiun dan perasaan, kayaknya di situ jiwamu berdiam :-D
ReplyDeleteSip!
Selalu suka baca tulisan pak Nur.... Heran.... Selalu bagus.... ;-)
ReplyDeleteAku masih ingat 3puisi ini di kepala...dan tetap masih menyukai puisi2 itu....
ReplyDelete@newsoul : ayooo ngirim puisiii. trims yah.
ReplyDelete@Mbak endah : makasih sambutannya yang hangat .. terminal, stasiun memang sepertinya begitu .. ;)
@princes :trims banget sudah baca dan menyemangati. trims.
@mbak sari : senangnya aku sampai diingat, trims mbak .. ;)
trims untuk kampung fiksi yang telah memberi ruang. trims.
Toss Sari, aku juga masih ingat puisi-puisinya itu pakde... *kayak begini bilang baru belajar bikin puisi..itu juga aku ingat selalu :D
ReplyDeletemas azis, puisi yang terakhir itu diamput tenan. maknyos -salah satunya- karna yang ini nggak berima. haha. aku suka dengan prasaan-prasaan itu yang dituang begitu saja pada apa saja yang sederhana.
ReplyDeleteAku terpana. Terpesona, lagi-lagi. Duh, jadi bingung, apakah secangkir kopi akan pernah lebih menggoda daripada puisi-puisi Mas Aziz?
ReplyDeleteAku, mabuk puisi dan kopi.. :))
@bulik deasy : trims. tapi serius, saya memang sedang belajar, dengan serius .. :p
ReplyDelete@mas naim : itu masih berima, masih diusahakan untuk berima. bentuknya sedikit berbeda.
@mbak meli : trims. saya akan selalu tergoda oleh kopi daripada yang lain mbak .. heheheh... sekali lagi trims.
Perasan-Perasan Perasaan...
ReplyDeleteAduh.....
meleleh banget baca baca punya om nur. glek
ReplyDeleteSungguh, itu hanya Perasaan-perasaanmu semata-mata ^_^
ReplyDelete