Puisi-puisi Indra Wisudha (4)

Cinta Laura

Masa muda berpaling dari wajahmu. Bukankah begitu, Cinta?
Kosmetik diam-diam membungkus wajah cantik
ke pasar barang antik bersama penyiram tanaman, perosotan,
dan sungai di dekat rumahmu dulu.


Bolehkah aku bertanya, Cinta? Apakah di Quakenbruck (Oh,
kubayangkan bibirmu mengucapkannya) kau
telah dilahirkan bersama kata becyek dan ojyek?

Meski mudamu menua tetapi kulihat
kau sungguh merdeka semerdeka tanggal kelahiranmu:
tucuhbelas August nineteen sembilan ciga. Kau tahu kan,
Cinta itu hari kemerdekaan Indonesia.

Lipstik merah merona membuat bibirmu lentik,
kaos yukensi jingga membawamu bangga
menyanyikan lagu Penghianat Cinta.

Walah, aku jadi penasaran ingin mendengar Cinta Laura
menyanyikan Indonesia Raya.

Pulogadung, Juni 2011


Di Sudut Ruang

Senja yang kulukis setiap hari
menjelma merah. Amarah. Hujan
tak lekas datang membasuhnya.
Mendinginkan api menjinggakan ia.

Atau biar kulukis saja hujan basah
di sudut ruang digolak lelah. Lelah.
Sambil menghibur diri dengan harapan
akan datang masa depan.

Pulogadung, Juni 2011


Ciamik

Langkah kakimu itu teka-teki. Ia bisa membunuhmu saat kau hendak
beranjak pergi di pagi hari. Atau menendangmu di siang bolong
saat kau sedang enak-enaknya nongkrong. Mungkin saja ia
akan mencekikmu perlahan di lepas senja pas kau lagi ngopi
pakai duit korupsi bersama seorang mucikari. Tetapi

bisa saja langkah kakimu adalah keberuntungan. Misalnya,
usai rapi kau simpan hasil jarahan, selamatlah kau dari kurungan.
Dan kau nikmati air segar kolam renang tenang-tenang
di negeri seberang.

Hei lihat! Wajahmu muncul di televisi, tercetak di koran
beroplah tinggi, bahkan namamu disebut-sebut radio
seantero negeri lho. Mereka baru ngeh kalau kau.
Kau bersembunyi.

Tuh kan, langkah kakimu cerdik sekali. Ia menjelma
misteri yang harus ditelusuri komisi
penyabik korupsi. Duh, ciamik sekali. Mungkin

langkah kakimu bisa lenggang
sejuta tahun lagi. Seperti di film detektif berseri.

Pulogadung, Juni 2011


Pasang

Apa yang terpasang di air pasangmu: tenang yang gelombang
atau ratus-ribu ikan pembikin hidup esok tenang?

Tetapi terserah saja padamu sebab kami semestinya malu
bertanya setelah sekian lama membikin sebab bencana.

Pulogadung, Juni 2011


Tadi Pagi

Aku tuliskan harapan
di keningmu tadi pagi.

Agar terbaca bagimu:
aku tak ingin kau pergi.

Pulogadung, Juni 2011


Kepada Pengrajin Kata

: Kampung Fiksi

Kalian dedahkan kata demi kata
di bawah rindang pohon kerja. Tiada
ambil peduli pada sengat matari atau hujan
yang mengantar kilat berdecap-decap. Lalu

kalian bingkai kalibut kata mewajah makna
yang cerita yang dengan hati
kalian gantung hati-hati selayak puisi.

Di laman kalian punya kampung
tak kudengar lagak sorak
selain daras kata dan kerja

yang tak akan pernah rampung.

Pulogadung, Juni 2011

0 Spots:

Post a Comment