Kencan dimeja makan yang dihiasi karangan bunga diatasnya, dan menghidangkan roman picisan
oleh Last Coccaine Dark Poetry pada 11 Maret 2011 jam 14:07
/1/
Sayang, inilah pada kenyataanya. Kedadamu, seperti direstoran kelewat mewah. Deretan meja – meja makan yang dihiasi karangan bunga diatasnya tertata rapih, memenuhi ruang yang dibiasi temaram, menantiku singgah dengan dugaan-dugaan; Tamutamu yang pernah hadir disini, tentunya bukan untuk menghindar dari kematian dilahap lapar, mereka pasti datang membawa gengsi dan kepentingan lain, sebab apa yang ada dalam daftar menumu hanya sebuah jamuan dan prestisi.
Aku melangkah meninggalkan diri menanggalkan bayang yang sebelumnya tak pernah berpisah ditubuhku, menyusuri lantai yang dipenuhi jejak – jejak pelangkah ragu mencari tujuan tanpa ujung dan sebuah alamat. Haruskah aku berbaur, lalu melebur bersama suasanamu yang membekuk dada dan kepalaku? Lantas, wajah apa yang bisa aku bayangkan saat berdiri disana?
Dalam dekorasi interior yang seluruhnya indah, tak ada sekenang rupa dari ekspresi kehidupan. Dinding-dindingmu mengurungku dalam keluasan, disudut kesudut yang membuat seutuhnya engkau tak mampu terjangkau. Ditengah kekosongan itu, aku seperti menjalankan keinginan yang seolah kebutuhan. Sungguh aku sudah tak betah, sejak diambang pintu, menuju sopan santun dan kepura-puraan.
/2/
Kadang, aku keluhkan: ini bukan satu cara mencintai yang akan menghadirkan suatu masa mulai mempuitiskan kisah kita. Tak ada bintang dalam kerlip – kerlip syahdu dimalam resah, seumpama membangun suasana romantis dengan setangkai bunga layu, betapa segalanya akan segera sirna tanpa kesan yang bisa kita kenang.
Dalam cinta ini, kita adalah tamu yang sudah lama singga dimeja makan restoran yang dihiasi karangan bunga diatasnya, menanti hidangan dengan cita rasa yang akan memanjakan lidah semata, sambil membicarakan tentang kerinduan masakan ibu yang slalu disuguhkan dengan kasih sayang untuk memuaskan lapar hati.
/3/
Di meja yang dihiasi karangan bunga diatasnya, kau sajikan kencan yang mendamba romansa dan jatuh cinta. Aku tak bisa lahap memakanya, sebab sibuk menghitung billing yang nanti harus kubayar dikasir.
Yang kuangankan adalah kedekatan yang merah dan asmara, sayang. Bagaikan yang ada dalam daftar menu itu, kemesraan yang kau inginkan hanya sekedar istimewa dalam namanama, tapi sangat kuragukan akan cocok dengan seleraku.
Aku hanya semakin sadar; bertapa asing dihadapanmu. Jauh dari rasa nyaman seperti bersandar dikeyakinan. Adalah waktu yang menjadikan hidangan penutup sebagai sebuah penantian; lekas sudahkan pertemuan.
/4/
Ini bukan gayaku; Untuk apa terbang mengawang kelangit tinggi, jika gelap yang bisa kau rengkuh. Melayang ke angkasa jauh, jika hampa yang hanya didapat. Tak perlu ketepian semesta, dimana keajaiban berujung, sebab hanya sebuah nadir tempat kau berhenti. Sungguh yang lebih penting dari semua itu adalah tahu apa yang hati mau.
Meja makan kini diresapi denyar lilin. Diatasnya, dipermukaan bayang – bayang yang melebur, tak dapat menampung hasrat inginku untuk berpijar lebih pancar dan terang serupa pagi. Maka biarkan aku pergi dan kembali berpijak dibumi, tak peduli kau ledek aku kampungan, kemewahan itu hanya menipu diri.
/5/
Kita yang mengasuh suasana, tapi tak mengenalinya begitu binar. Membentangkan jarak antara aku dan kau, yang paling lapang diladang hati, hingga tak bisa mencapai apa yang ingin dicapai; pelukan berkesan, atau sekedar genggaman hangat.
Bahkan, lagu – lagu yang terputar itu tak mampu mencairkan kebekuan kita, atau sekedar mengajak rasa ingin untuk berdansa walau dalam imaji. Hanya meniup suara menuju sau didadaku yang dipucuki rantingranting kering, menyanyikan kemarau ini.
Maaf sayang, Aku hanya membayangkan kebersamaan ini akan merayakan akhir acara lebih meriah dari merayakan pestanya. Lalu, kita pergi kedua kutub arah yang berbeda, sejejak demi sejejak menjauh, mengulur jarak dan berlalu.
/6/
Ada terbayangkan; Sekali saja, kita kencan di bar, live musik atau tempat lain yang tak ada meja dengan dihiasi karangan bunga diatasnya. Aku pasti betah disana, menikmati bir dan wajahmu—yang keduanya samasama beku, dengan diiringi musik kegemaran;
Rock ‘n’ roll yang aku suka, iramanya bukan mengajak menari dengan segala tetek bengek aturan, tapi joged dengan gerak yang terbebaskan. Seperti juga cinta yang kuharapkan; tak pernah mengekang dan membuatku bergoyang sesuka hati.
Serangkaian puisi temaram. Saya seperti membaca sebuah buku tua yang kertasnya menyoklat mendebu di bawah cahaya lampu sumbu.
ReplyDeleteYang temaram [buat saya] adalah kehidupan yang berdialektika sesukanya. Asik.
Tabik.