Dokter Purnomo masuk ke dalam ruangan itu dan bercakap-cakap tentang kondisi Ibu. Tampaknya tak ada yang perlu dikhawatirkan menurut dokter itu. Ibu hanya perlu beristirahat, seperti biasa. Lega hatinya. Dia merasa mendapat lambaian bendera hijau atas niatnya yang masih di angan-angan.
Ya, Satrio sudah memutuskan akan berangkat ke kota Padang. Entah besok atau lusa. Dia sudah bertekad akan mencari perempuan itu sampai dapat. Dia hanya berharap masih sempat bercakap-cakap dengannya. Berharap perempuan itu mau membagi kisahnya. Kisah hidupnya yang telah membuat Satrio susah tidur belakangan ini.
Satrio ingin sekali mendapatkan jawaban mengapa dirinya bisa begitu tertarik pada perempuan itu. Hanya kata-katanya selama ini yang membiusnya. Seperti apakah wujudnya? Tak ada satu foto pun dalam blog itu. Bahkan alamat surat elektroniknya pun memakai nama Jalang. Sungguh perempuan unik, pikirnya dalam hati. Perempuan unik yang pemarah, tambahnya.
Ibu tampak bergerak pelan, tanda ia terjaga. Satrio segera mendekatinya. Dilihatnya wajah tua Ibu yang begitu pucat. Ibu tersenyum lemah ketika melihat putra semata wayangnya itu ada di sampingnya.
''Mana istrimu?'' tanyanya.
''Pulang, bu. Sebentar lagi dia akan kembali,'' jawab Satrio sambil memegang tangan Ibu.
Ibu tampak menarik nafas berat. Dipandangnya langit-langit kamar itu.
''Kalau ibu meninggal, jangan kamu ceraikan dia, Satrio,'' kata Ibu tanpa melihat wajah anaknya itu.
Satrio tersentak mendengar ucapan Ibu. Tak disangkanya Ibu akan berkata seperti itu di saat seperti ini. Ibu tidak pernah membahas hal ini selama pernikahan mereka. Ibu tampaknya sudah faham kalau Satrio bersedia menikahi Rumi adalah hanya untuk membahagiakannya.
''Ibu bicara apa? Jangan ngomong seperti itu. Ibu belum akan meninggal. Dokter Purnomo baru dari sini dan mengatakan kalau ibu baik-baik saja,'' ujarnya sambil menenangkan degup jantungnya yang tidak karuan itu.
Ibu tersenyum dan memandangnya. Tangannya terulur ke pipi Satrio. Perlahan dielusnya pipi itu dengan penuh perasaan.
''Ibu pasti akan pergi. Jangan tinggalkan dia kalau ibu pergi lebih dahulu,'' kata Ibu seolah tak mendengar kata-kata Satrio barusan.
''Dia sangat mencintaimu. Dia rela tidak kamu cintai seumur hidupmu, asalkan dia bisa terus mencintaimu. Tak ada perempuan sekuat itu, Satrio. Bahkan Rumi sekalipun. Kalau saatnya tiba, biarlah dia yang meninggalkanmu. Agar terbayar semua sakit hatinya karena tak mendapatkan cintamu. Maafkan ibu, nak. Mungkin ini salah ibu, tapi ibu tetap merasa kalau Rumi adalah jodohmu,'' kata Ibu dengan nafas mulai tersengal akibat kalimat panjangnya itu.
Satrio hanya diam. Dilihatnya nafas Ibu mulai memburu. Cepat-cepat dipasangnya selang oksigen Ibu ke hidungnya. Ibu kembali memejamkan matanya. Satrio berjalan menuju jendela kamar itu. Langit jingga menantangnya. Matahari nyaris terbenam di ufuk barat. Dipandangnya langit Jakarta sore itu. Sebuah pesawat tampak terbang perlahan. Terbang menuju matahari tenggelam itu. Tiba-tiba Satrio merasa seperti ada sengatan listrik mengejutkan sekujur tubuhnya. Dia merasa dia harus pergi ke arah barat juga seperti pesawat itu. Ke arah yang dituju perempuan yang telah membuatnya penasaran itu.
oooOOOooo
Aku sudah sampai di barat. Paling tidak ini adalah barat yang bisa kucapai. Bukankah sudah kukatakan kalau kuteruskan perjalanan ini aku akan sampai di timur juga akhirnya? Bumi itu bulat bukan?
Sejak awal memang kemarilah tujuanku. Ini tempat tumpah darah Ibuku. Maka disini juga akan kutumpahkan darahku. Bukan aku menghargainya sebagai ibuku. Aku hanya melihatnya sebagai sebuah kebetulan yang bagus bagi kematianku. Ketika aku memutuskan pergi menemui matahari tenggelam di barat, ternyata aku dihadapkan pada tanah kelahiran ibuku. Kebetulan saja.
Hari ini terlanjur gelap. Matahari sudah kadung tenggelam meninggalkanku. Tak mengapa. Dia tak pernah ingkar untuk kembali lagi esok hari. Akan kususul dia besok sore. Malam ini adalah malam terakhirku bersama bulan dan bintang. Tak ada yang istimewa. Aku masih terpuruk di pojok warnet kumuh ini. Penuh asap rokok dan pengap. Tak ada yang harus kunikmati sebelum aku menjemput ajalku. Toh memang tak ada yang terasa nikmat di dunia ini olehku. Semua pahit.
Aku tak punya pesan terakhir. Walaupun aku punya seorang anak di tangan orang-orang yang kutinggalkan itu, rasanya tak perlu aku berpesan kepadanya. Cukuplah aku membuatnya menderita dengan mendatangkannya ke dunia keji ini. Itu sudah merupakan kutukan baginya. Tak perlu dia tahu kalau ibunya hanya seorang pelacur yang mati bunuh diri.
Wahai matahariku....
Aku datang kepadamu...
Aku akan ikut bersamamu esok senja...
Tunggu aku...
Kita akan menari bersama...
Sampai gelombang menyapu habis jasadku...
Ketika pagi tiba nanti...
Sampaikan pada dunia...
Satu pelacur telah hilang dari muka bumi...
Dan mereka patut bersyukur untuk itu...
BERSAMBUNG
Haduh!!! Belum juga selesai baca yang no. 2, ini udah melesat aja sampai no. 9. Kapan nulisnya, nih...
ReplyDeleteBaca duluuu... bari ituuu... :-D
bacanya sambil nonton ovj
ReplyDeletejadi senyam senyum sendiri ...hahaahahah