Ilustrasi oleh Azam Raharjo |
Ringan bagai burung Iroh melangkah ke ruang tengah. Wajahnya menyerupai bunga kana merah muda yang ia sirami tadi sore. Pasti ada sesuatu yang membuatnya tampak begitu bahagia. Eyang baru hendak bertanya saat perempuan berkaus hijau itu tak bisa menahan ledakan di hatinya.
“Ada Mas Priyo… Ada Mas Priyo di depan…” Suara Iroh terdengar seperti senar gitar D’Addario favorit Dea, berdenting jernih.
“Oh…” hanya itu saja yang keluar dari mulut Eyang.
“Ada apa kok datang lagi, ya? Apa Nyonya minta diantar? Tapi Nyonya udah pergi, nyetir sendiri… Apa Non Dea mau pergi? Tapi tadi dia nggak bilang apa-apa sama saya…” Iroh kebingungan seolah ia yang punya kepentingan dengan Priyo. Matanya menatap Eyang minta penjelasan. Meski tak lebih besar dari sebutir pasir dan terpendam begitu dalam, di lubuk hatinya ada harapan Priyo datang lagi karena ada perlu dengan dirinya.
Selama 12 hari bekerja di rumah Nyonya Seruni, Priyo tidak pernah kembali ke rumah itu setelah pulang sekitar pukul 5 sore. Hanya sekali ia pulang malam, saat Dea pergi ke makam sang papa karena terlampau sedih mendapati Kar ternyata sudah punya pacar yang cantik dan jago main gitar.
“Apa Eyang manggil Mas Priyo?” Iroh benar-benar tak mampu menahan diri.
“Kamu ini ngganyik saja…” gerutu Eyang, melangkah ke depan. Iroh mengekor sang majikan sambil menghidupkan lampu ruang tamu. Meskipun dia tadi sudah melihat sosok Priyo dari sela-sela gordin ketika menutup jendela kamar Nyonya Seruni, bayangan tubuh Priyo yang menempel pada vitrage ruang tamu memaksa jantungnya memompa darah lebih deras.
“Sugeng ndalu, Eyang. Maaf saya sowan malam-malam. Tadi sore sebelum pulang mau matur tapi Eyang sedang sare dan Bu Runi kelihatannya capek sekali pulang dari kantor,” sopan Priyo membungkukkan badannya.
“Ooh… masuk… ayo… duduk di dalam saja, di luar dingin…” Eyang menyilakan tamunya masuk. Priyo duduk mingklik-mingklik di sofa yang belum pernah ia duduki itu. Meskipun perabotan di rumah ayahnya jauh lebih baik dari yang ada di dalam rumah itu, ia tak pernah duduk di ruang tamu, selain tidak perlu, ia ingin menunjukkan rasa hormat pada majikannya. “Salah satu cara menghormati diri sendiri adalah dengan menghormati orang lain,” begitu ajaran ayahnya yang sudah ia terima sejak ia kecil.
“Duduknya, lho… dibuat kepenak saja,” ujar Eyang.
“Terima kasih, Eyang.” Lelaki muda itu pelan-pelan menyandarkan punggungnya, sedikit merapatkan lutut, menelangkupkan dua tangan lalu meletakkannya di atas paha. “Ada yang ingin saya aturaken, Eyang. Kalau Bu Runi ada, saya ingin sekalian bertemu beliau,” ucapnya tak kalah sopan dengan posisi duduknya.
“Nyonya sedang keluar,” Iroh menyambar dari belakang Eyang. Dua tangannya memegang sandaran kursi yang diduduki Eyang, pundak dan pinggangnya menggeliat pelan bersamaan. Matanya mengerjap minta perhatian.
“Iroh, tolong tamunya dibuatkan minum. Mau minum apa? Wedang jahe, ya?”
“Terima kasih, Eyang. Apa saja, Iroh, yang tidak merepotkan…” Sepasang mata coklatnya menatap langsung mata Iroh, membuat perempuan muda itu sedikit kehilangan keseimbangan. Bagai dihipnotis, dengan langkah agak terhuyung Iroh ke dapur, membuat minuman untuk sang pujaan.
Karena rumah sepi, Iroh bisa mendengar percakapan Eyang dengan Priyo dari dapur.
“Runi keluar belum lama. Mungkin baru pulang jam 10-an. Ada perlu apa, ya, Nak Priyo?” Karena di luar jam kerja, Eyang menambahkan kata ‘nak’ di depan nama Priyo. Eyang tidak mau njangkar.
“Saya hanya mau matur saja, mau menegaskan kalau mulai Senin depan saya sudah tidak bisa mengantar Eyang,” jelas Priyo dengan suara rendah, namun cukup keras untuk sampai ke telinga Iroh. “Saya akan berhenti bekerja, selain nadzar sudah terlaksana saya juga harus segera ke Jakarta.”
Terdengar suara keras cangkir pecah, terjatuh di lantai.
Dea yang sedang asyik mendengarkan Jason Mraz mendendangkan “Lucky” mencopot earphone-nya, melompat dari kursi dan sedetik kemudian kaki-kaki kurusnya sudah membawa tubuhnya ke ambang pintu ruang makan.
“Ada apa, Roh?” Gadis itu masih bertanya meskipun ia melihat serpihan cangkir berserakan di lantai.
Iroh berdiri kaku, mempermainkan rambut panjangnya yang dikepang dua. Matanya menunduk ke kakinya. Bagian depan kausnya basah tersiram wedang jahe. Di belakang Dea muncul Priyo yang disusul Eyang. Tangan Priyo menggeser tubuh Dea dengan lembut agar ia bisa melangkah ke dapur.
“Hati-hati, Roh… jangan bergerak, nanti nginjak beling…” Eyang mengingatkan, “Ambilkan Iroh sandal, Dea,” tambahnya. Eyang telah cukup kenyang mengasuh anak-anak dan cucu-cucu perempuan, dari rentetan peristiwa sebelumnya ia bisa menduga apa yang membuat cangkir itu terlepas dari tangan Iroh.
Dea mengangsurkan sandal ke tangan Priyo yang lalu menyerahkannya pada Iroh. Di bawah terang lampu hemat energi 18 watt yang iluminasinya setara lampu biasa 100 watt, terlihat percikan cahaya terpantul dari genangan air di mata Iroh.
Tiga orang yang berkerumun di sekitar Iroh tersihir oleh kegalauan yang menyelimuti tubuhnya. Selama beberapa detik keheningan menguasai dapur dan ruang makan diselingi dentingan pecahan cangkir yang dimasukkan ke dalam tas kresek oleh tangan Priyo.
“Pakai sandalnya, Roh… bajumu basah… ganti dulu… sini…” Dea melambaikan tangannya, seolah mengajak anak kecil keluar dari persembunyiannya. Meskipun remaja itu tidak tahu apa yang baru saja terjadi, ia merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikiran Iroh. Mereka sudah tinggal serumah lebih dari empat tahun. Mereka saling menyayangi, tak ada hari dilewati tanpa saling ledek, bercanda dan bergosip; sesekali mereka bertengkar juga, namun selalu berbaikan sebelum mereka masuk ke peraduan.
“Ganti dulu, Roh. Biar Eyang yang bikin minum,” kata Eyang menegaskan kata-kata cucunya.
“Sudah agak bersih…” Priyo berdiri, “Sebentar saya ambil sapu. Banyak pecahan di bawah kulkas,” tambah Priyo berjalan cepat ke belakang.
Tangan Iroh sedikit gemetar saat meletakkan sandalnya ke lantai. Matanya yang sedari tadi tertuju ke bawah melihat tak ada lagi pecahan cangkir, lalu ia mengambil sandalnya, tak jadi memakainya.
“Mungkin masih ada pecahan-pecahan kecil, lho…” Eyang mengingatkan. “Pakai sandal dulu.”
Seperti murid baru yang mematuhi perintah guru, Iroh meletakkan kembali sandalnya ke lantai, memakainya pelan-pelan. Masih dengan mata tertuju ke bawah, perempuan berambut kepang dua itu melangkah hati-hati menuju kamarnya. Dea dan Eyang hanya bisa memandangnya. Priyo mematung di ambang pintu, membawa sapu dan serok plastik warna biru.
***
Keterangan:
Ngganyik: cerewet; bicara tak henti-henti.
Duduk mingklik-mingklik: duduk di ujung kursi karena kikuk atau malu.
Kepenak: nyaman.
Aturaken: disampaikan; dikatakan.
Njangkar: memanggil nama tanpa embel-embel apapun (mas, pak, bu, tuan dll)
Episode 7: Dea Menghilang
Ya ampuuuun .. Iroooooh.. ahahahaha... segitu cintanya sama Mas Priyooo
ReplyDeletejadi penasaran aku sama si mas yang satu ini :D
Iroooohhh... Hikss... Kasiannya.. *saya jadi ngitungin kancing: mungkin, ga mungkin, mungkin, ga mungkin, mungkin, ga mungkin, mungkin...*
ReplyDeleteHiks... hiks... Priyo harus pergi dari kisah ini...
ReplyDeletebye..bye...priyo....
ReplyDelete