[Dongeng] Petualangan Kasenda dan Twittwit (8)

Yang tidak diketahui Twittwit, Kasenda saat ini sedang berada di dalam pohon karnesia merah dan sedang memegang ekornya yang menyala dan menjadikannya sebagai penerang untuk melihat dengan lebih jelas di mana dirinya berada.

“Hmm, tampaknya aku tidak mungkin keluar melalui jalan tempat aku tadi masuk,” Kasenda menimang seraya memperhatikan lorong yang tampak terjal dan memang sepertinya tidak didesain sebagai jalur rahasia untuk keluar, “Baiklah, apapun yang terjadi, terjadilah, aku tidak bisa hanya berdiam diri di sini.”

Kasenda menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat dan mulai melangkah sambil sesekali sebelah tangannya yang bebas memegang permukaan dinding yang lembab dan terasa dingin di telapak tangannya, berusaha menahan keseimbangan agar tidak tergelincir di jalan berlumut yang harus dilaluinya.

Lamat-lamat terdengar suara tertawa di kejauhan. Kasenda memasang telinganya setajam mungkin. Kalau ada yang sedang tertawa di tempat ini, itu artinya aku tidak sendiri. Kasenda merasakan semangatnya kembali pulih. Dia harus menemukan sumber suara itu. Ia berlari kecang menuju asal suara itu datang. Sesekali ia tergelincir karena licinnya lumut di permukaan jalan yang ditempuhnya. Suara tawa itu makin jelas terdengar. Kasenda berhenti di balik serumpun semak rimbun. Suara itu masih terdengar dari balik semak tempatnya berada sekarang. Kasenda merasa ia harus berhenti dan mengintip melalui celah semak-semak rimbun itu. Walau bagaimana ia berada di tempat yang asing sama sekali. Ia harus berhati-hati. Sebuah celah kecil menjadi lubang intipnya. Dan mata Kasenda terbelalak melihat apa yang sedang disaksikannya.

Sekumpulan kurcaci berbaju hitam tengah duduk-duduk mengelilingi sebuah meja. Ada sebuah bola kristal yang berpijar sangat benderang di atas meja itu. Kasenda menghitung. Empat, lima, enam… Enam! Ya, ada enam kurcaci berbaju hitam sedang sibuk melihat ke arah bola kristal itu sambil tertawa senang. Apa yang mereka lihat dalam bola kristal itu?

Kasenda berusaha melihat lebih dekat lagi. Kepalanya dijulurkan lebih jauh. Tanpa sadar ia kembali tergelincir karena lumut licin di bebatuan yang sedang diinjaknya. Brukk! Kasenda dan enam kurcaci berbaju hitam itu tampaknya sama-sama terkejut.

Kasenda tersungkur tepat di samping meja tempat mereka tengah duduk. Serentak keenam kurcaci itu berdiri sambil menghunuskan tongkat batang cemara di tangan kanan. Mereka menghunuskan tongkat itu ke arah Kasenda dengan tatapan curiga.

“Siapa kamu?” tanya kurcaci yang berbadan paling gempal. Kasenda masih tidak bisa berkata-kata. Ia masih terlalu terkejut karena baru saja tersungkur tadi. “Hei, siapa kamu?” bentak si kurcaci gempal itu lagi.

“Aku…eeng…” Kasenda berusaha berdiri sambil menggaruk-garuk kepalanya. Sempat terlintas untuk berkata jujur kepada mereka. Tapi Kasenda tahu, ia takkan bisa menjelaskan bagaimana ia bisa sampai ke tempat itu. Dia sendiri saja masih merasa bingung bagaimana akhirnya ia bisa sampai ke situ. “Aku pengembara dari bukit emas di negeri para penyanyi,” katanya sambil berharap supaya mereka percaya.

Keenam kurcaci itu serentak melihat satu sama lain sambil menurunkan tongkat yang teracung ke arah Kasenda. Wajah mereka tampak menjadi lebih bersahabat dan bersemangat.

“Hey! Benarkah kau datang dari negeri para penyanyi itu? Astaga! Ceritakan pada kami, lagu apa lagi yang akan kalian nyanyikan di festival musik musim gugur nanti?” tanya kurcaci yang berbadan kurus.

Kasenda terperanjat, tidak menyangka akan mendapat sambutan hangat dan bersahabat, tanpa sadar sebuah pertanyaan langsung terlontar dari mulutnya, “Bukankah kalian seharusnya tidak menyukai musik? Setahuku, Dorfii, pemimpin kalian, melarang segala jenis alat musik dan nyanyian.” Setidaknya itulah yang selama ini didengarnya dari cerita-cerita Kakek Bingo tentag para kurcaci, bangsa kurcaci, kata Kakek, tidak suka musik dan lagu, sedangkan bangsa peri sangat suka menghasilkan musik, telah terjadi perang dingin dan juga panas antara kedua bangsa ini karena hal itu.

Mendengar pertanyaan itu, wajah keenam kurcaci itu berubah pucat dan tubuh mereka menjadi gemetar hebat. Tiba-tiba saja mereka berlutut sambil membungkukan tubuh mereka dan berkata, “Ampuuun, jangan adukan kami kepada Dorfii, tolonglah… Katakan apa yang kamu inginkan, kami pasti akan melakukan apa saja yang kamu inginkan asal jangan adukan kami kepada Dorfii, bisa celaka enam belas kali putaran lonceng-lonceng gunung embun apabila Dorfii sampai tahu bahwa kami selalu mengikuti festival menyanyi di negerimu melalui bola kristal itu secara diam-diam.”

Bersambung

5 comments: