Banyak penulis yang belum berpengalaman menerbitkan buku
melalui penerbit besar mengalami kebingungan saat sudah mendapat “lampu hijau”
dari penerbit. Kebingungan ini mungkin disebabkan oleh euforia karena
mengetahui karyanya akan segera dibukukan dan akan dipajang di toko buku-toko
buku seluruh Indonesia. Saking bingungnya, penulis akhirnya hanya bisa pasif
menunggu apa selanjutnya yang akan dilakukan penerbit dengan naskahnya. Padahal
masih banyak prosedur yang melibatkan penulis secara aktif, sampai buku itu
terbit.
Soal bagaimana menembus penerbit, Kampung Fiksi sudah
membahasnya di sini. Nah, bagaimana selanjutnya? Suatu hari penerbit
menghubungi kamu via email atau telepon, mengabarkan berita yang sudah begitu
lama kamu tunggu-tunggu, “Naskahnya mau kita terbitkan. Tunggu kabar
selanjutnya dari kami, ya!” Woggh! Silakan merayakan kebahagiaanmu. Tapi jangan
lama-lama. Mulailah mengikuti secara cermat hal-hal yang berkaitan dengan
terbitnya buku kamu.
Fase selanjutnya setelah mendapat kabar kalau naskahmu lolos
seleksi penerbit, umumnya, adalah pengiriman draft Surat Perjanjian Penerbitan
(SPP) dari penerbit. Mereka akan memintamu membaca dengan teliti, lalu
menanyakan hal-hal yang kurang dipahami atau mengganjal. Manfaatkan kesempatan
ini sebaik mungkin. Kalau memang menemukan hal yang terasa mengganjal, misalnya
soal sistem bagi untung atau lamanya durasi masa kontrak, tanyakan
sejelas-jelasnya dengan PIC yang ditunjuk penerbit. Jangan sampai kamu
menemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan maumu saat SPP sudah ditandatangani
oleh kedua belah pihak. Tanya sebanyak mungkin, jangan sungkan, jangan gengsi.
Toh, penerbit juga tahu kok kamu penulis baru yang masih nol pengalaman. Wajar
aja kamu banyak tanya.
Setelah membaca draft SPP dan kamu sudah merasa jelas dan
cocok dengan perjanjian yang ditawarkan, penandatanganan SPP asli pun
dilakukan. SPP asli akan dikirim melalui pos atau via e-mail dan diminta untuk
mengirim print out yang sudah ditandatangani oleh kamu di atas meterai. Umumnya
durasi kontrak berlaku selama 10 tahun atau sampai jumlah eksemplar tercetak
mencapai angka tertentu (misalnya: 10.000, 25.000 atau bahkan 100.000
eksemplar). Artinya setelah 10 tahun atau jumlah eksemplar tercetak (atau
bahkan terjual) sudah mencapai angka tersebut, kontrak akan habis dan apabila
diperlukan akan dibuatkan kontrak baru. Kalau pun tidak diperbarui, penulis
berhak menarik kembali naskah tersebut, yang artinya hak cipta kembali ke
tangan penulis.
Setelah penandatanganan SPP asli selesai, proses selanjutnya
adalah editing oleh pihak editor yang ditunjuk oleh penerbit. Ini juga menuntut
keterlibatan penulis secara aktif. Dalam prosesnya nanti, ada saja hal-hal di
luar keinginan penulis yang muncul. Bisa saja editor/penerbit meminta judul
diganti, atau beberapa bagian dihilangkan, atau malah menambahkan beberapa
adegan untuk kepentingan menaikkan “drama” dalam cerita. Apa pun itu, ini
merupakan proses kreatif dengan pertimbangan untuk kepentingan bersama; penulis
dan penerbit. Penulis ingin naskahnya dibukukan, penerbit ingin naskah yang
diterbitkan laku di pasaran. Jadi diperlukan kesepakatan yang berwujud win-win
solution. Seringkali pada tahap ini penulis merasa idealismenya terganggu, atau
penerbit merasa penulis (yang nota bene masih belum pengalaman menerbitkan
buku) “ngeyel”. Komunikasikan selalu setiap perkembangan dan ganjalan-ganjalan
yang ada agar nantinya tidak ada masalah baru yang muncul di kemudian hari.
Setelah naskah selesai di-edit, penerbit akan mengirim
contoh jadi dalam bentuk dummy atau PDF. Penting sekali pada tahap ini penulis
jeli membaca keseluruhan naskah jadi tersebut untuk menghindari adanya
kesalahan-kesalahan kecil atau besar (bahkan fatal), karena begitu dummy atau
PDF ini sudah di-approve oleh penulis, itu berarti tak lama lagi naskah itu
akan sampai ke tangan pembaca. Dan ingatlah, pembaca adalah raja. Pembacalah
yang menilai hasil akhir naskah kita. Walaupun tidak bisa dipungkiri, kita
tidak bisa menyenangkan semua pihak. Bacaan pun sama halnya seperti makanan,
semua tergantung selera masing-masing. Tapi paling tidak, dengan ketelitian di
tahap awal, kita bisa menghindari kesalahan teknis seperti typo, inkonsistensi
dan logika cerita yang nggak nyambung.
Begitu buku tercetak dan tersebar di toko buku, ini juga
bukan berarti penulis bisa santai. Penerbit lebih menyukai penulis yang
memiliki visi dalam menjual karyanya. Kalau penulis memiliki konsep jelas
bagaimana menjual bukunya, penerbit akan dengan senang hati mendukung. Tidak
heran, ada beberapa penerbit “yang nggak mau susah” dan memilih penulis-penulis
baru yang memiliki fan base besar. Misalnya memiliki follower berjumlah puluhan
ribu di social media. Tapi ini hanya segelintir. Jangan khawatir, kejadian
seperti hanya kasus unik, karena penerbit-penerbit besar biasanya memiliki
konsep penjualan yang solid dan sudah berjalan selama bertahun-tahun. Intinya,
penulis pun diharapkan mampu berjalan beriringan dengan penerbit dalam menjual
bukunya ke masyarakat luas.
Penting sekali memahami proses dan tahapan menerbitkan buku
ini, terutama bagi kita yang belum memiliki pengalaman. Karena ada saja nanti
kekecewaan yang muncul belakangan. Catatan tambahan mengenai pembagian keuntungan,
selain sistem royalti yang dibayarkan per periode (biasanya per 3 bulan) ada
juga yang dinamakan sistem beli putus. Penerbit membeli naskah penulis dengan
harga sesuai kesepakatan, lalu seluruh keuntungan dari penjualan menjadi milik
penerbit tersebut. Dan ini juga tidak serta-merta bisa kita anggap sebagai
sebuah ketidakadilan. Karena semua itu terjadi setelah adanya kesepakatan dua
pihak (penulis dan penerbit). Kalau kamu merasa pilihan menjual putus naskahmu
akan lebih menguntungkan, kenapa tidak?
Jadi, selamat berkarya dan mengirimkan naskahmu ke penerbit.
Ingat satu hal, penulis dan penerbit adalah partner yang berjalan beriringan.
Jangan sampai ada yang merasa salah satu dirugikan, karena pada dasarnya tujuan
utama keduanya adalah sama: menjual buku. Kalau sejak awal sudah merasa ada
ganjalan di hati, sebaiknya dibicarakan dan dicari solusinya. Kalau mentok? Ya
cari penerbit lain. Penerbit di Indonesia ini ada ribuan, kok!
Wah jadi tau nih prosedur cara menerbitkan buku. Sebelumnya saya belum pernah tau informasi seperti ini. Istri saya sendiri waktu kuliahnya di IKIP PGRI Semarang pernah nerbitkan buku cerita anak anak. Penerbitnya PT WIldan Semarang kalau nda salah
ReplyDeleteBagus ini. Thanks KF dan Winda
ReplyDelete(ER)
wah,jadi semakin tahu seluk beluk penerbitan..makasih KF mbk winda ^^
ReplyDeleteInformasinya top, detail. Jadi yang sudah dapat lampu hijau dari perbit dapat bayangan, perjalanan baru saja dimulai dan kerja keras sudah menanti. :D
ReplyDeleteSalam,
R.Mailindra
http://mailindra.cerbung.com
Mantap infonya. Makasih banyak ya......
ReplyDeletesemangat semangat..saya sangat sangat pemula..ingin sekali secepat ny bisa menerbitkan buku..
ReplyDeleteMisi kak mau nanya, misalkan jika kita buat novel bergambar, nah ntar kita sendiri yang menggambarnya atau pihak editor ya?
ReplyDeletethanks atas infonya gan..sngat bermanfaat..izin copas ya gan
ReplyDeleteSolusi nerbitin buku cepat, dan mudah. Coba liat aja dulu disini. Barangkali bisa membantu
ReplyDeletehttps://malkasmedia.wordpress.com/salam-kreatif/penerbit-indie/
ada batasan umur nggk klw mw nerbitin buku gitu?
ReplyDeletesemua prosedur dari awal sampai akhi kira2 waktunya berapa lama ya?
ReplyDeletewah, terimakasih untuk infonya. bermanfaat sekali bagi saya... :)
ReplyDeleteInfonya sangat bermanfaat sekali :) saya inigin bertanya. kalau ingin menerbitkan buku referensi seperti buku belajar bahasa asing itu kira-kira prosdeurnya apakahsama dengan menerbitkan buku fiksi? mohon pencerahannya. terima kasih.
ReplyDelete